"Siapa dia, Lian?" Tanyaku tak sabar.
"Waktu itu, Pak Bos menyuruh saya memberikan kartunya pada Dian, Bu," jawab Lian membuatku mengernyitkan dahi."Dian? Dian yang biasa nganter Rio?" ulangku memastikan."Iyalah, Bu, Dian sepupu Bu Hasna, emang siapa lagi," sahut mandor muda itu cepat."Kamu nggak bohong 'kan, Yan?" Aku menyipitkan mata."Sumpah Demi Allah, saya ngomong apa adanya, Bu," ujarnya begitu meyakinkan."Ya sudah, terima kasih infonya," ucapku mengakhiri interogasi.Semakin berdenyut saja kepalaku memikirkan masalah ATM ini, dapat keterangan dari Lian bukannya semakin terang malah tambah suram.Kenapa pula Mas Toro memberikan kartu pada Dian? Apakah berarti orang yang dikirimi uang oleh Mas Toro adalah Dian? Tapi untuk apa? Bukannya gaji Dian aku yang membayarkannnya?Daripada tambah pelik, mending aku tanya langsung saja pada orangnya, semoga saja Dian mau jujur."Halo Di, kamu bisa datang ke kamar Mbak nggak?" tanyaku pada Dian lewat telpon, daripada capek nyari di rumah sebesar ini."Sekarang, Mbak?" balas Dian di sebrang sana."Iya, Mbak tunggu, ya!" Aku mengakhiri panggilan.Sengaja kusuruh Dian datang ke kamar, karena aku perlu bicara pribadi dengannya, jangan sampai orang lain tahu, dan tempat paling aman adalah kamarku dan Mas Toro. Untung saja suamiku sudah pergi, malas sekali jika harus bertemu saat ini.Lima menit menunggu, pintu kamarku diketuk."Masuk aja, Di!" perintahku pada orang di luar yang kuyakini adalah Dian.Benar saja, kepala Dian melongok duluan sebelum memasukkan badannya dan kembali menutup pintu. Ini bukan kali pertama dia masuk ke kamarku, jadi sikapnya biasa saja meski melihat ruangan yang luas dan dipenuhi barang mewah ini."Ada apa, Mbak?" tanya Dian penasaran.Aku menyuruhnya duduk di sampingku yang duduk di ranjang, perempuan berparas manis itu menurut."Maaf ya, Di, kalau yang mau aku tanyakan ini mungkin menyinggung perasaanmu," ucapku pelan.Aku menarik napas sebelum kembali bicara, "Apa benar kamu ... dikasih kartu ATM oleh Mas Toro?"Dian nampak terperanjat mendengar pertanyaanku, "Dari mana Mbak Hasna tahu?""Jadi benar kamu dikasih ATM oleh suamiku?" ulangku dengan mata membola."I—iya, Mbak. Tapi Mbak Hasna jangan salah paham dulu!" cegahnya buru-buru."Kalau kamu bisa menjelaskan alasan yang masuk akal, Mbak nggak akan salah paham." Aku percaya Dian orang yang baik, dan semoga kepercayaanku ini tidak sia-sia."Udah setengah tahun yang lalu, Mbak—""Jadi sejak setengah tahun yang lalu kamu pegang kartu ATM suamiku, Di?" potongku sebelum Dian menyelesaikan kalimatnya."Tidak, bukan seperti itu!" sangkal Dian cepat, "dengerin penjelasan aku dulu Mbak!"Bagaimana aku bisa sabar, nasib rumah tanggaku bergantung dengan keterangan Dian. Tapi, baiklah aku akan sabar,kutunggu Dian sampai selesai menjelaskan. Semoga saja tidak ada apa-apa antara suami dan sepupuku ini."Jadi, setengah tahun yang lalu, Lian tiba-tiba datang menyerahkan sebuah kartu ATM padaku. Katanya, sih, disuruh Pak Bos, aku nggak tahu apa-apa. Jadi, kuterima saja. "Dian mengambil napas sebentar sebelum melanjutkan, sementara aku masih setia mendengarkan."Hari berikutnya, Pak Bos nemuin aku Mbak. Aku tanya, untuk apa ATM itu? Dan dia bilang .... ""Dia bilang apa, Di?" tanyaku tak sabar karena Dian menggantungkan kalimatnya.Dian menatapku lekat, "tapi Mbak Hasna janji, jangan marah sama aku, ya, Mbak!"Aku mengangguk cepat, "Mbak janji nggak bakal marah."Dian menarik napas panjang, dia nampak ragu untuk mengatakan. Namun, akhirnya keluar juga pengakuannya setelah kubujuk. "Pak Bos bilang, aku boleh memakai isi ATM itu sesukaku. Asal ... aku mau jadi ... simpenannya, Mbak."Jder. Bagaikan petir di siang bolong, aku memegangi dadaku yang sesak setelah mendengar pengakuan Dian. Benarkah Mas Toro melakukan itu?"Kamu sedang nggak ngarang cerita kan, Di?""Sumpah, Mbak! Aku nggak bohong, " sangkal Dian cepat."Terus kamu mau?" tanyaku mengorek lebih dalam.Dian menggeleng, "Aku nggak mau lah, Mbak. Mbak Hasna kan sepupuku, masak aku tega selingkuh dengan suami Mbak, lagian Mbak Hasna udah baik banget sama aku, sama ibuku, masak aku balas dengan air tuba, sih, Mbak. Aku juga nggak mau lah jadi pelakor, kayak nggak ada cowok single aja.""Terus kenapa kamu nggak pernah ngomong sama Mbak?""Aku malu, Mbak. Juga nggak ingin rumah tangga Mbak Hasna bermasalah," jawab Dian lirih.Aku menghela napas mendengar jawaban Dian. "Tapi dengan kamu nggak bilang, rumah tanggaku justru bermasalah yang mana aku sendiri tidak tahu.""Maaf, Mbak." Dian menundukkan kepalanya."Kamu nggak ngarang cerita ini kan, Di? ""Tanya saja sama anak-anak admin, Mbak. Semuanya pernah dirayu Pak Bos," ujar Dian mengungkap satu fakta lagi yang selama ini aku buta pada suamiku.Benarkah semua ini? Benarkah Mas Toro tega mengkhianatiku? Wanita yang telah menemaninya dari nol hingga menjadi milyader seperti sekarang. Tapi, kenapa selama ini tidak sedikitpun ada sikapnya yang mencurigakan? Apakah aku terlalu naif karena begitu mempercayainya sebagai lelaki setia?"Apa sekarang kamu masih memegang kartu itu, Di?" tanyaku lagi kemudian."Nggak lah, Mbak. Langsung aku balikin begitu tahu apa tujuan Pak Bos," jawab Dian cepat.Lalu siapa pemegang kartu ATM itu sekarang? Apa salah satu anak admin? Bisa dipastikan dia adalah selingkuhan Mas Toro. Ya Allah, ada yang berdenyut di hatiku, sakit sekali. Kuatkan hamba mengetahui kebusukan suami hamba yang selama ini hamba tidak tahu, Ya Allah. Kan kusingkap topeng busuknya sampai dia memperlihatkan wajah aslinya.Baiklah, aku akan mencari tahu kebenarannya sekarang juga, apakah benar suamiku tukang main perempuan seperti yang dituturkan Dian. Ya Allah, entahlah bagaimana hatiku jika ini benar. Tapi, kalau Dian berbohong, berani sekali dia mempermainkan nasib rumah tanggaku, rasanya nggak mungkin Dian setega itu padaku. Ah, sudahlah, lebih baik aku membuktikan langsung dengan menanyai para karyawanku itu. "Lagi pada sibuk, ya?" tanyaku setenang mungkin, meski dalam hatiku tak karuan. "Iya, nih Bu Bos, kita sibuk banget, dari tadi pesenan masuk terus," jawab Anita, salah satu karyawan packing. "Pesanan membludak, Bu Bos," kata Dara sang admin yang bekerja di depan komputer. "Stock pada abis, nih Bos," giliran Raya tukang catat stock bersuara. "Alhamdulillah, tapi saya mau ngomong sebentar, tolong tinggalin kesibukan kalian dulu, ya!" pintaku pada mereka. Semuanya nampak saling pandang, bertanya-tanya kira-kira ada apa?. "Semuanya ada di sini, kan? Hari ini ada yang ijin, nggak?" tanyaku
Bab 6 Ketipu"Dian ...."Dian kah orangnya? Aku melirik Dian yang nampak terkesiap. "... tetangga kamu yang pernah kerja di sini hanya sebulan itu siapa, Di?" lanjut Airin membuatku bernapas lega, fyuh kirain. "Maksudmu Sita?" balas Dian balik bertanya. "Iya, si Sita itu, dia keluar dari sini karena mau jadi simpanannya Pak Bos," ujar Airin memberitahu. Aku tahu siapa Sita, orang dia tetangganya Dian otomatis dulu dia juga tetanggaku sebelum Ayah pindah ke perumahan. Dulu Dian lah yang mengajaknya bekerja padaku, baru sebulan yang lalu dia keluar. Jadi ini sebabnya dia keluar, dia telah terjebak dalam rayuan maut suamiku. Tidak heran sih, Sita memang agak centil dan suka berdandan menor, gaya hidupnya juga lumayan hedon, jadi dia lebih memilih jalan pintas daripada bekerja keras. Bisa jadi Sita lah pemegang ATM itu saat ini. "Kamu tahu dari mana, Rin?" "Pernah lihat Sita sama Pak Bos gandengan tangan di mall, Bu," jawab Airin tanpa sungkan lagi. Nggak perlu lah mencari bukti k
Bab 7 Ya Allah, misteri siapa pemegang ATM belum terpecahkan, sudah datang masalah baru. Tak pernah kubayangkan, kalau aku akan mengalami kejadian tabu ini, diselingkuhi suami yang sudah belasan tahun kubersamai. Kutatap cermin yang menampilkan bayangan diri. Kurang apa aku sebagai istri? Tubuhku tetap langsing meski sudah beranak dua. Wajahku juga mulus dan glowing, cantik mempesona. Tentu saja karena aku rajin merawatnya. Urusan suami juga tak pernah kuabaikan, selalu kulayani dengan sepenuh hati. Lalu, apa yang membuatnya masih berpaling pada wanita lain? "Ma, aku bosan di rumah, pengen ke mall!" Rio tiba-tiba masuk kamar, membuatku berhenti meratapi diri. "Mau ngapain, Nak?" tanyaku sambil menoleh. "Bosen di rumah, Ma. Pengen main." Ini memang hari Minggu, jadi Rio libur sekolah. Begitu juga dengan Dian, dia dan seluruh karyawanku dan Mas Toro libur pada hari ini, kecuali tiga ART-ku. Jadi, sekarang rumahku cukup sunyi. Sebenarnya aku ingin istirahat, memikirk
Bab 8 Ya, aku memang berbohong. Tidak ada kabar tentang Bapak sama sekali. Yang barusan menelponku adalah Dian, aku tidak mau Mas Toro tahu kalau aku sedang menyelidiki dirinya. Sebelum semuanya jelas, aku akan diam dulu sambil mengumpulkan bukti, kalau sudah waktunya, kan kusingkap topeng yang menutupi wajah busuknya itu. Sampai di rumah Dian, aku langsung memberondongnya dengan pertanyaan, "Gimana, Di? Kamu udah dapat ATM-nya? Bener Sita kan yang pegang? Atau bukan dia? Atau Sita nggak mau ngaku?""Tenang dulu, Mbak. Duduk dulu, gih!" Bukannya menjawab, Dian malah menuntunku duduk di sofa yang ada di ruang tamunya. "Nih, lihat dulu!"Kusambar beberapa lembar sekaligus kertas yang disodorkan Dian. Seketika mataku membelalak dan menggeleng-gelengkan kepala melihat gambar yang terpampang di depan mata. Foto-foto Mas Toro dengan wanita lain yang berpakaian sexi dan berpose mesra, setiap foto menampilkan lelaki yang sama dengan wanita yang berbeda-beda. Benar dugaanku, bukan hanya sat
Bab 9 "Astaghfirullahal adhim!" Aku memekik kaget. Bukan Bapak yang kulihat di sana, melainkan dua manusia berlainan jenis tanpa busana. Keduanya nampak kaget, buru-buru mereka saling melepaskan diri dan menutupi tubuh dengan selimut. Namun, tidak ada raut malu apalagi penyesalan di wajah mereka. "Masih berani datang ke sini?" tanya wanita sebayaku itu sinis. "Di mana Bapak? Kenapa kamu melakukan perbuatan bejat ini di kamar ini?" tanyaku berang, kupastikan mereka berzina. Karena setahuku, wanita itu yang tak lain adalah Zeni, anak sambung Bapak, belum menikah sampai sekarang. "Bapak di kamar belakang, Mbak." Yang menjawab adalah Mbok Asih. "Kamar belakang mana, Mbok?" tanyaku bingung. Setahuku di belakang hanya ada kamar pembantu. "Kamar saya, Mbak Hasna." Pelan Mbok Asih menjawab. "APA?" Aku benar-benar kaget. Kuhampiri istri laknat Bapak yang masih berdiri di bawah tangga sedari tadi, mataku nyalang. Aku benar-benar tidak menyangka wanita yang memasang wajah tanpa dosa itu
Bab 10"Keluar kalian dari rumah ini, sekarang juga!!!" sentak Nenek Lampir sambil berkacak pinggang di depan pintu kamar. Ya, mulai sekarang aku akan menyebut istri Bapak yang jahat itu Nenek Lampir saja, sangat cocok dengan karakter dan penampilannya, rambut panjang awut-awutan. Aku maju ke depan, "Memangnya kamu siapa mengusir kami dari sini? Ini rumah Bapak, jadi aku juga berhak ada di sini!"Wanita itu tertawa sinis, "Bukan hanya kamu yang kuusir, tapi bawa pergi juga lelaki tua penyakitan itu!!""Atas dasar apa kamu mengusir Bapakku? Ini rumah Bapakku, harusnya kamu yang pergi dari sini!" balasku sengit. "Sertifikat rumah ini atas namaku, jadi rumah ini milikku, bukan milik bapakmu. Selama ini kubiarkan lelaki tua itu tinggal di sini karena belas kasihan tidak ada tempat lain untuk berteduh. Dan, sekarang kamu sudah datang, jadi segera bawa pergi lelaki tidak berguna itu!" Aku terpengarah mendengar Nenek Lampir itu bicara. "Baik, kami akan pergi. Akan tetapi, beri kami wak
Bab 11 Rahasia Yang Terungkap"Sedang apa, Mas?" tanyaku datar tapi sukses membuat suamiku terlonjak kaget. "Eh, anu Ma, Ayah mau ... ngambil berkas di brankas Mama," jawab Mas Toro gugup. Aku mengerutkan kening mendengar alasannya, "Emang kamu pernah nyimpen berkas di brankasku, Mas? Perasaan itu brankas khusus untukku menyimpan uang.""Atau Ayah yang lupa, ya?" sahutnya cengengesan sambil garuk-garuk kepala, pinter banget aktingnya. Nggak mungkinlah lupa, orang udah bertahun-tahun brankasku hanya untuk menyimpan uangku sendiri, sedangkan berkas-berkas semua disimpan di ruang kerjanya. "Oh ya, Mas ... aku mau ngasih tahu kamu kalau sekarang Bapak tinggal di sini," ujarku sebelum tubuh Mas Toro melewati pintu. "APA?" Aku nggak menyangka kalau reaksinya akan seterkejut itu. Lelaki berkulit putih itu kembali mendekatiku, "kenapa nggak izin dulu padaku?""Kenapa harus minta izin dulu?" ulangku, "apa kamu tidak akan mengizinkan? Dia bapakku loh, Mas."Mas Toro tersenyum sinis, "Apa k
Bab 12"Mana tua bangka sialan itu? Kamu sembunyikan di mana dia? Beraninya dia menipuku!"Mendidih rasanya mendengar wanita itu lagi-lagi menyebut Bapak dengan sebutan itu, "Jangan sebut bapakku seperti itu! Apa kamu tidak sadar kalau dirimu juga sudah nenek peot? Makin tua bukannya tambah ibadah malah jadi germo!"Aku tahu dari Bapak kalau rumah itu benar sudah dijadikan tempat pelacuran, tentu saja Nenek Lampir itu sebagai germonya. Makanya Bapak ingin cepat pergi dari tempat itu dan tidak peduli sekalipun rumah itu sudah bukan jadi miliknya. "Jaga mulutmu, ya! Kamu pikir ...,""Pergi dari sini!" usirku tidak ingin mendengar apapun lagi darinya. "Mana tua bangka sialan itu?! Aku harus menemuinya!" teriak Nenek Lampir tak mau menyerah. "PERGI!" Kudorong tubuh tua yang masih sintal itu keras sampai keluar dari rumahku. Sampai di luar aku justru membelalak kaget, mendapatkan kejutan yang tak pernah kubayangkan. Mas Toro dan seorang wanita yang tak lain adalah Zeni sedang mengobrol