Aku masih berkutat dengan pekerjaan rumah, menjemur pakaian baru saja selesai, mentari lumayan terik, sehingga keringat pun bercucuran sebesar biji jagung, ku mengusap pipi tirus ku yang basah dengan keringat.
"Huh, capek." Ku bergumam sendiri menumpu satu tangan di pinggang, tanganku yang lain menyibak anak rambut, dan ku selipkan di belakang telinga.
"Tinggal nyapu lah," ucap ku sambil berjalan menuju samping rumah, untuk mengambil sapu lidi dan pengki yang teronggok di pinggir tembok rumah. Ku menyapu halaman yang masih sedikit basah sisa hujan semalam.
Daun ceremai yang gugur karena terpaan air hujan dan angin kencang membuat daun keringnya berserakan di mana-mana, baru saja setengah halaman aku sudah letih, ku berdiri dan meletakkan kedua tangan di pinggang sambil menggerakkan badan.
"Ini daun... Kurang ajar amat sih," umpat ku sedikit berteriak. Aku kesal karena susah di sapu tanahnya basah daunnya menempel dan lengket hingga sangat sulit untuk di sapu, menghabiskan waktu dan tenaga.
Aku sebal sendiri jadinya, ku taruh sapu dan pengki di bawah pohon Cermai di samping bale yang aku duduki, bale bambu buatan tangan ibu, ku duduk selonjoran beristirahat sejenak untuk menghilangkan rasa lelah.
Duduk melamun sambil berfikir bagaimana caranya aku bisa mendapatkan uang, untuk bayar hutang ibu, ku menimbang-nimbang apa aku nekat saja pergi ke kota besar mencari kerja, apapun akan kulakukan demi keluarga, meskipun kerja sebagai pembantu rumah tangga atau apalah yang penting aku bisa dapat uang.
Sudah jam 10 siang menurut analisis ku dari cahaya mentari yang terik dan sudah tinggi, namun ibuku belum pulang juga, aku sangat khawatir dengan ibu. Mataku mengedar menatap ke jalanan, dan rumah tetangga yang lumayan bagus-bagus, hanya rumahku saja yang paling jelek di antara rumah-rumah yang lain.
Ku melihat ada sebuah kendaraan roda dua melaju ke arahku, entah siapa dia, aku bertanya-tanya dalam hati ini, tibalah sepeda motor matic merah menepi di hadapan ku,
dia memati kan mesin motornya, lalu membuka helm yang ia kenakan."Hai Sil?" sapanya. "Kamu lagi ngapain pagi-pagi udah bengong sendirian?" tanya dia wajahnya tak asing di mataku, perempuan bertubuh bongsor rambutnya di bop, tubuh nya di balut switer merah dan celana jeans panjang berwarna hitam.
Aku langsung turun dari bale dan menghambur pada nya, dia Nabila teman SMA ku dulu.
"Nabila," ucapku sambil mengulas senyum bahagia.
Ia mengulurkan tangannya, aku mencuci tangan di ember bekas tempat cucian baju bersih, lalu ku mengusap-usap telapak tangan ku yang agak basah, untuk mengeringkan nya, sebelum menerima uluran tangan Nabila, ku mengelap tangan pada rok hitam semi payung yang aku kenakan
"Silvi, kamu apa kabar?" sapanya lagi di tengah jabatan tangan lalu kami saling berpelukan dan cipika-cipiki, Nabila memang ramah, dia sahabatku dari dulu.
"Baik," jawab ku. "Kamu sendiri bagaimana?" sambung ku.
"Ni, aku sehat walafiat, kamu lagi ngapain, tadi di situ bengong sendirian, kaya lagi mikirin apa..? Gitu,"
"Nab, kita ngobrol nya di dalam aja yuk!
"Ayo!" Kami berdua masuk ke dalam rumah, duduk bersampingan di kursi kayu dengan tangan saling bertautan tatapan mata kami saling bertemu, melepaskan rasa kangen pada sahabat satu sama lain.
Nabila sahabatku dari dulu namun nasib kita jauh berbeda, dia orang berada sementara aku hanya orang yang tak punya, dia masih menempuh studi S1 di salah satu universitas di kota besar, tak seperti aku hanya bisa sampai tamat SMA.
Ijazah pun baru ku tebus Minggu yang lalu karena kendala biaya, itu juga hasil tabungan ku selama berbulan-bulan, uang jatah jajan dari ibu setiap hari, tapi aku masih bersyukur sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Atas, mungkin di luar sana masih banyak orang yang lebih kurang beruntung dari pada aku.
"Nab, sebentar ya, aku ambil minum dulu!" ucapku berdiri, Nabila menahan tanganku sambil mendongak.
"Gak usah, aku udah minum kok, tadi di warung Pak haji, sebelum sampe ke sini," ujar Nabila, menarik tanganku, aku pun duduk kembali.
"Oh, iya Sil, kamu belum jawab pertanyaan ku loh!" ucapnya seraya menatap wajah ku penuh tanya. Aku menatap sekilas lalu ke beralih pandang ke arah bawah.
"Eum, gak, gak ada apa-apa," jawabku sambil menggeleng pelan.
"Sil, aku lihat kamu lagi punya masalah? Kamu kaya lagi bingung gitu?" telisiknya. "Ngomong sama aku! Sebagai sahabat kamu, siapa tau aku bisa bantu!"
Aku menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskan nya. Ku tatap wajah chubby Nabila dengan penuh keraguan. Aku malu dan tak enak hati kalau bicara masalah pada dia, Nabila terlalu banyak membantu sedari dulu, aku tak mau merepotkan nya lagi.
"Gak ada apa-apa." Aku tetap bergeming. Nabila mengguncang pundakku. "Sil, bicara sama aku! Jangan bikin aku bingung!" desaknya. Aku menghela nafas.
"Nab, Sebenarnya aku lagi butuh pekerja'an,"
"Kerja," ucap Nabila. "Silvi, kebetulan banget loh, kakak ku semalam bicara sama aku bahwa dia sedang butuh pelayan di cafe nya," ujar Nabila. Aku mengembangkan senyuman.
"Nab, serius!" tanya ku antusias sambil memegang tangannya.
"Iya, kalau kamu mau, besok kita berangkat ke kota! Kamu tinggal minta izin dulu sama ibu kamu! Boleh apa enggaknya, kalau udah di izinin, kamu hubungi aku yah!"
"Hubungi lewat mana?" tanya ku.
"Lewat HP lah! Tapi aku minta nomor WA kamu!"
"Hm, aku gak punya HP," jawab ku jujur.
Jangan kan HP Android yang canggih dan mahal, HP jadul saja aku tak punya, boro-boro ke beli benda seperti itu, untuk makan pun kami susah.
"Sil, Ma'af ya! Aku gak bermaksud nyinggung perasa'an kamu!"
"Aku tak tersinggung, Eum... Gini aja, setelah aku ngomong sama ibu, dan di beri izin sama beliau, tar sore aku langsung ke rumah kamu."
"Ya udah kalau gitu, tapi Sil, Ibu mu kemana?" Nabila mengedarkan pandangannya ke seluruh rumah ini.
"Biasa, ibuku masih jualan, Nab, sebenarnya aku gak tega melihat ibu bekerja sendirian, setiap hari dia menggendong bakul uduk yang berat, keliling kampung, sukur-sukur dagangannya habis, kalau enggak, yah, ibuku nombok," terang ku dengan wajah memberengut.
"Kasian ibu kamu Silvi." Nabila mengusap pundak ku.
Setelah kami puas melepas kangen dan bercengkrama hampir satu jam kami ngalor-ngidul berbicara tentang kehidupan kami masing-masing.
"Silvi, aku pulang dulu ya! Salam buat ibu kamu, nanti sore aku tunggu ya di rumah aku." Nabila bangkit aku pun berdiri, kami berdua menuju pintu keluar aku mengantarkan nya sampai depan rumah.
*
Pukul 2 sore Ibu sedang beristirahat menghilangkan lelahnya selepas berjualan keliling kampung, ibu duduk selonjoran di kursi panjang terbuat dari kayu, aku duduk di tepian kursi yang sempit dengan kaki menopang bokong, di samping kiri tubuh ibu.
"Ibu, tadi Nabila Kesini," ucapku pada ibu.
"Oh iya, apa kabar dia?"
"Baik, Bu... tadi Nabila nawarin kerja'an sama aku, katanya kakaknya butuh orang buat kerja di cafe, boleh gak Bu!" Aku merajuk agar di beri izin.
"Hm." Ibu menarik nafas. "Gimana ya Silvi, ibu kok khawatir ya sama kamu, ibu takut kamu di kota besar nanti kamu_" ucapan ibu menggantung, lalu ibu menarik tubuhnya dan membenahi posisi duduk menegakkan tubuh, aku bergeser duduk di sampingnya.
"Kenapa Bu?" Aku menggenggam tangan Ibu.
"Ibu takut, terjadi apa-apa sama kamu,"
"Bu, aku janji! Aku akan selalu ingat pesan ibu, jangan bergaul atau pacaran sampai di luar batas, aku takkan mengecewakan hati ibu!" jelas ku.
"Ya udah kalau gitu, ibu izinin kamu merantau ke kota, tapi jangan sampai gak ada kabar ya! Nanti kalau kamu sudah di sana, kamu kirim surat lewat pos!"
"Iya Bu." Aku mengangguk lalu aku memeluk tubuh perempuan setengah baya ini, ku peluk dengan penuh kasih. "Bu aku mau nyiapin pakaian untuk di bawa ke sana, aku tinggal ya Bu!"
Aku melepas pelukan dan berlalu, ku sibak kain penutup lemari kayu, lemari ini sudah tak berpintu, ku ganti dengan kain jarik yang aku sematkan dengan paku payung di ujung atasnya.
Tak ada pakaian yang bagus, hanya ada 2 stel yang masih agak cerah warnanya, baju bekas lebaran 2 tahun lalu, yang di belikan oleh istri pak RT karena aku membantunya mencuci piring di rumahnya sewaktu dia mengadakan hajatan, pernikahan anaknya.
"Kak, kamu lagi ngapain?" tiba-tiba Sandi anak bertubuh jangkung kurus, masuk ke dalam kamarku.
"Kakak lagi beresin baju," jawab ku tanpa menoleh.
"Emang kakak mau kemana? Kok masukin baju ke dalam tas?" tanyanya lagi penasaran.
"Kakak mau merantau,"
"Merantau ke mana, sama siapa?" Sandi masih penasaran.
"Ke kota, sama kak Nabila, bolehkan Sandi, kakak pergi untuk cari uang!"
"Boleh, asalkan kakak beli'in aku HP kalau kakak udah gajian," rajuknya.
Aku menoleh pada adikku, lalu memegang tangannya. "Sandi, jika kakak udah punya uang, apapun yang kamu minta kakak akan berikan,"
"Serius kak?" Sandi antusias.
"Iya." Aku mengangguk seraya mengulas senyuman.
"Kak, aku juga mau HP!" timpal adik bungsuku dari ruang tengah dan berlari masuk ke kamar ku, dengan penuh semangat, dia duduk di sampingku.
"Iya, kakak akan belikan, tapi, kalian harus janji sama kakak!"
"Janji aps,?" jawab Sandi menatapku.
"Kalian, jangan nakal! Bantuin pekerjaan ibu setiap hari! Bangunnya jangan kesiangan, kasian ibu!"
"Iya kak, kami janji!" jawab mereka serentak.
Aku bertekad untuk mencari uang sebanyak banyaknya untuk membahagiakan Orang tua dan keluarga ku. Setelah aku beres dengan urusan baju, aku meminta Seno dan Sandi ke rumah Nabila untuk memberi kabar jika aku sudah di beri izin oleh ibu, pergi dengannya ikut ke kota besar.
*
Pagi tiba setelah aku membantu menyiapkan dagangan ibu, untuk jualan hari ini aku beberes rumah dengan gerak cepat takut Nabila dan kakak nya keburu datang, pekerjaan pun selesai. Ku mendengar suara deru mobil terparkir di halaman rumah.(Tok, tok, tok) suara pintu di ketuk di barengi ucapan salam, aku pun membuka pintu ternyata benar saja Nabila sudah ada di depan rumah.
"Silvi, kamu udah siap? Ayo kita berangkat!" ucap perempuan bertubuh bongsor itu.
"Tar ya, aku ganti baju dulu!"
Ku tinggalkan Nabila di depan rumah duduk di bale bawah pohon Cermai, dengan segera ke kamar dan mengenakan celana pensil yang sudah tak zaman lagi, dan kaos hitam lengan panjang ku ikat rambutku dengan simpul. Aku kembali ke depan rumah menemui Nabila.
"Silvi, kamu gak pamitan sama ibu kamu?" tanya Silvi.
"Nanti aja, ini baru jam 8 biasanya ibu masih di depan SD kita kesana dulu ya! Aku mau ketemu ibu dulu!" pinta ku. Nabila mengangguk.
"Iya tenang aja, sekalian aku juga mau bertemu ibu kamu," pungkas Nabila.
Kami masuk ke dalam mobil Toyota Agya putih milik kakak Nabila, mobil yang ku naiki pun berlalu meninggalkan pekarangan rumah, aku melongok ke kursi depan laki-laki bertubuh gemuk memakai kemeja biru, dia kakak ipar Nabila sedang mengemudi mobil, di sampingnya perempuan agak gemuk seperti tubuh Nabila mengenakan dress lengan pendek.
Aku melongok dari kaca jendela mobil yang aku tumpangi, pandangan ku mengedar ke sekeliling jalanan berharap bisa bertemu ibu sebelum berangkat ke ibu kota. Dari kejauhan aku melihat sosok yang sangat aku kenal menggendong bakul dan menjinjing box, tubuh kurusnya di balut gamis maroon yang lusuh dan kerudung bergo hitam. Dia adalah ibuku."Nab, Nab, itu ibu," ucapku, pandanganku tertahan ke arah ibu sambil menarik-narik tangan Nabila."Kak, berhenti! Silvi mau pamitan dulu pada ibunya!" pinta Nabila pada kakaknya. Mobil pun menepi di pinggir jalan dekat mushola. Aku membuka pintu dan segera keluar dari mobil."Ibu..." Panggil ku sambil berteriak dan berlari ke arahnya, aku takut ibu keburu jauh, ibu pun menghentikan langkahnya ia menatapku lalu meletakan box plastik di dekat kakinya."Silvi." Ibu merentangkan kedua tangannya ke arah ku, dengan cepat aku menjatuhkan tubuh ke pelukannya."Ibu,""Nak, kamu benar-benar akan pergi!" Aku mengangguk.&nbs
"Sil, Silvi," samar-samar ada suara yang memanggil namaku. "Bangun!" lanjutnya. Akupun mengerjap sambil mengucek mata."Iyah, ada apa?" sahutku, rupanya aku ketiduran di dalam mobil, aku sangat letih semalaman tak bisa tidur, karena memikirkan aku akan pergi meninggalkan Ibu dan Adik-adik ku, sehingga mataku terjaga sepanjang malam."Silvi, kita udah sampai, ayo turun!" ucap Nabila seraya membuka pintu mobil sampingnya, dia pun keluar, sementara Mas Andri dan Mbak Karina sudah turun dan masuk duluan ke dalam rumah."Oh, kita udah sampai ya?" tanya ku pada Nabila, nyawaku belum sepenuhnya sadar, efek tidur yang nanggung cuma beberapa menit, akupun turun mengikuti dia dari belakang, sambil menggendong tas ransel ku.Rumah minimalis dinding tembok warna abu-abu, rumah mungil sederhana namun sangat nyaman, ku berpijak di jalan konblok halaman rumah ini, kanan dan kiri jalan yang kupijak tanaman hias yang hijau nan indah sehingga menghadirkan nuansa asri."S
Di meja makan sudah tersaji nasi putih ayam goreng dan cumi pedas manis juga sup ayam jamur, sebagai pelengkap lalapan selada air mentimun dan sambal goreng, minumannya jus buah, dan untuk cuci mulut beberapa jenis buah tersedia di meja makan, mangga yang tadi kami kupas pun ikut serta di hadapan kami.Jauh berbeda dengan menu setiap hari di rumah ku, setiap pagi aku sarapan nasi uduk sama bihun goreng, tempe orek, kerupuk udang, makan siang alakadarnya kalau ada telur sisa ibu jualan, ya kami makan telur meski satu butir di bagi dua, makan malam tumis-tumisan jarang sekali kami makan ayam apalagi lauk yang enak mungkin tidak pernah.Ya Tuhan... Apa-apaan aku ini masih saja membandingkan kehidupan orang lain dengan kehidupan ku, yang jauh berbeda. Aku mengusap wajah, menyadarkan diri ini yang terhanyut dalam lamunan.Masih beruntung aku bisa makan 3 kali sehari walaupun makan seadanya, di luaran sana masih banyak orang yang ketemu nasi hanya sekali sehari, ba
15 menit perjalanan kami lalui, menuju tempat yang di janjikan oleh Mbak Karina. Mas Andri mengurangi laju kendaraannya, lalu membelokan mobilnya dan menepi di halaman sebuah bangunan. Aku melongok dari kaca jendela mobil mataku mengedar keluar, tempatnya sangat asing bagiku."Mbak, emang kita sudah sampai?" tanya ku pada Mbak Karina yang duduk di kursi depan samping Mas Andri.Mbak Karina memutar tubuhnya menoleh padaku, "Iya Sil, kita sudah sampai, sekarang kita turun yuk!" ajak Mbak Karina sambil menganggukkan kepala."Iya Mbak." Akupun membuka pintu mobil dan turun ku seret koper berisi baju-baju pemberian Mbak Karina, aku mendongak menatap papan nama yang terpampang di atas kanopi, (Maya coffe shop). Aku langsung menyimpulkan bahwa pemilik tempat ini bernama Maya.Kami bertiga berjalan menaiki undakan tangga menuju pintu. Aku berjalan paling belakang mengikuti Mbak Karina, Mas Andri mendorong pintu kaca yang masih ada tulisan tutup yang menempel di kaca.
Ku kenakan baju seragam kemeja lengan pendek hitam kombinasi warna merah di sisi kanan nya, dan celana jeans hitam, rambut panjang ku, ku ikat kuncir kuda, lalu ku buka pintu toilet, aku keluar berdiri di depan lorong toilet dan musholla. Ku pejamkan mata sejenak menetralkan rasa gugup, karena hari ini adalah hari pertama ku bekerja, dan akan berhadapan dengan orang banyak.Meski gaji yang di janjikan hanya 3,5 juta perbulan namun aku tetap bersyukur, tekad ku mencari kerja tak lain hanya untuk membahagiakan keluarga dan membatu ibu melunasi hutangnya ke rentenir, walaupun gajiku sebulan takkan cukup untuk membayar hutang, tapi aku akan fikirkan nanti, aku percaya semua masalah pasti ada jalan keluarnya, yang penting kita berusaha.Ku berdoa semoga di hari pertama ku ini bekerja, aku di berikan kelancaran oleh Tuhan, agar aku bisa menjalankan tugas dan melayani para pengunjung dengan baik, semoga saja aku bisa di percaya oleh Bu Maya yaitu Bos baru ku.Pukul 10 pag
"Bu," ucapku pada perempuan yang bertugas sebagai kepala bagian dapur, "Ini Bu, ada yang pesan lasagna!""Oh, iya," sahutnya menoleh ke arahku, dan mengambil kertas catatan dari tangan ku, dia pun menginformasikan kepada asisten chef, lalu ia kembali fokus mengecek makanan sebelum di antar oleh para waiters, ke meja pelanggan."Sil, antarkan dulu makanan ini ke meja Nomor 13! Sambil menunggu lasagna siap di sajikan!" titah kepala bagian."Baik Bu."Akupun mengangguk patuh, dan mengambil nampan dengan piring berisi kentang goreng saus keju, dengan toping keju parut di atasnya, juga segelas minuman dingin, dari tampilannya nampak begitu segar, rasanya ingin sekali aku meneguknya.Jangankan pernah meminumnya, melihatnya saja baru kali ini dalam seumur hidupku, rasanya seperti apa aku tak tau? membuat kerongkonganku semakin dahagaku. Aku hanya bisa menelan ludah.Aku keluar dari dapur sambil berjalan menuju meja Nomor 13, sesuai yang di perintahkan ol
Pukul 12.30 siang, tubuhku sangat lelah, dari pertama datang ke sini belum sempat istirahat walau sejenak, Sementara karyawan yang lain sudah istirahat bergantian, namun aku belum mendapatkan giliran, karena Bu Ema belum juga menyuruh ku.Aku tak berani meminta izin padanya karena aku anak baru, ya aku sedisuruh nya saja, meski letih namun aku harus menjalani pekerjaan ku dengan tuntas.Setelah mengantarkan pesanan aku kembali ke dapur, duduk menekuk lutut seraya menyenderkan punggung di tembok untuk menghilangkan rasa lelah, sambil melihat Bapak koki yang masih sibuk memasak."Silvi." Bu Ema datang menghampiri dan berdiri di samping ku."I, iya Bu." Aku terperanjat, berdiri dengan gerakan cepat, merapatkan tangan dan kakiku sambil merundukan kepala, "Apa, ada tugas lagi untuk saya Bu?""Gak ada, Sil, istirahat dulu sana! Kamu pasti sudah lapar kan?""Iya Bu,""Sil, Waktu istirahat kamu setengah jam ya, Pergunakan dengan baik! Hanya un
*Satu Minggu aku berkenalan dengan Mas Alex, dia orangnya sangat baik dan perhatian tak ayal jika aku pulang dari bekerja, shift 2 dia sering mampir membawakan makanan untuk ku.Aku selalu menolak, namun aku tetap tak bisa menolaknya, jika aku tak mau menerima dia selalu mengatakan, tak menghargai pemberian orang lain, dengan terpaksa aku menerima nya meskipun aku tak mau."Silvi," panggil Mas Alex dari luar seraya mengetuk pintu kontrakan ku."Iya Mas," gegas aku membuka pintu dan keluar dari kamar kontrakan, "Ada apa Mas?" tanyaku berdiri di ambang pintu."Sil, kita jalan yuk!" ajaknya."Kemana?""Ini kan malam Minggu, Aku ingin mengajakmu jalan! Ada sesuatu yang harus aku katakan sama kamu!" ucap Pria berkemeja putih dan celana jeans hitam penampilan sangat rapi dan wangi."Ya, ngomong aja! Disini juga gak apa-apa." Aku tergagap apa yang mau dia katakan, sampai mengajak aku pergi bersamanya."Sil, aku mau mengajakmu ke suatu tem
POV Author.Gadis yang tengah terlelap, ia terkesiap seketika seraya membuka matanya, saat bahunya di cekal erat oleh seseorang."Siapa kalian?" tanya Silvi pada lelaki berkaos hitam tanpa lengan, dengan celana jeans robek-robek di bagian dengkulnya, kulitnya hitam dan berambut gondrong berwajah garang."Tolong, jangan sakiti saya!" rengek Silvi ketakutan, dia meremat handuk yang ada di pelukannya, dengan tubuh gemetar."Gadis cantik, kenapa kamu sendirian? Kami temani ya, biar kamu tidak kesepian!" timpal Pria berbadan gempal dengan kemeja garis-garis, lengannya ia lipat sebahu. Celana jeans sama robek-robek, berambut gimbal berkumis tebal dan berkulit gelap.Sorot ke-dua mata pria itu penuh dengan nafsu saat melihat bagian paha Silvi yang putih dan mulus."Ayo ikut kami!" ajak Pria berambut gondrong tersebut. Mencekal kedua lengan Silvi."Tolong! Tolong!" Silvi berteriak sekuat tenaga, saat dia di seret oleh kedua Pria itu. Dan membawa Sil
POV Devan.Aku mengitari kota ini hingga larut malam tak ada tanda-tanda keberadaan Silvi sama sekali, sambil mengemudi pandangan ku terus mengedar ke kanan dan kiri berharap menemukan gadis itu.Semoga Tuhan melindungi kekasihku! Aku takut terjadi apa-apa dengan dia, Aku begitu menghawatirkannya, ku susuri kota ini hingga ke setiap pelosok, namun hasilnya sama saja nihil.Ku menepikan kendaraan di bahu jalan yang sepi, lalu ku ambil ponsel yang ada di Dashboard mobil, dan ku tekan tombol navigasi lalu ku usap layar gawai, gegas aku klik aplikasi berwarna hijau dan mulai menghubungi Reno, yang aku perintahkan mencari Silvi."Ren, bagaimana, apa sudah ketemu?" tanyaku dengan perasaan cemas."Maaf Pak! Saya belum menemukan Non Silvi," jawab Reno dari seberang sana."Hah." Ku tarik nafas dalam-dalam, ya Tuhan... Harus kemana lagi aku mencari Silvia, sudah hampir dini hari namun keberadaan Silvi belum sama sekali di ketahui."Lalu, bagaimana ini
POV Silvi.Aku berteduh dari derasnya hujan, yang mengguyur seluruh kota ini, hingga Malam terasa begitu dingin menusuk tulang, langit pun begitu gelap tak ada cahaya rembulan yang menyinari.Di tengah heningannya malam dan derasnya hujan, ku duduk di bale bambu sebuah warung bangunannya terbuat dari kayu, ku kira warung bekas penjual bensin, menurut asumsi ku, terlihat dari rak kayu kecil yang ada di ujung tiang, dengan beberapa botol beling yang bertengger di sana.Aku ketakutan dan kesepian, pandangan ku mengedar ke sekeliling warung, sepertinya tempat ini lama tak di tinggali, terlihat dari debu yang tebal menempel di seluruh permukaan tempat ini.Di keheningan malam dengan cahaya temaram lampu pijar lima wat yang menggantung di atap, aku duduk seorang diri menekuk lutut seraya memeluk tubuh yang menggigil, begitu sepi tak ada tanda-tanda kehidupan, kendaraan pun tak ada yang lalu lalang melintasi jalan di hadapan ku ini.Semakin malam h
POV Devan.Hati ku begitu gelisah fikiran ku di penuhi oleh bayangan Silvi, entah apa yang terjadi padanya, semoga saja dia baik-baik di rumah. Tadi pagi aku titipkan dia pada Bi Rika, hanya dia satu-satunya orang yang bisa aku percaya, untuk menjaga calon istri sekaligus calon ibu dari anakku.Agenda di kantor hari ini begitu padat sehingga aku melupakan Silvi, padahal aku sudah berjanji akan segera pulang dan mengantarkan dia ke kampung halamannya.Ku lirik jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul setengah dua siang, kemungkinan nanti aku pulang agak telat.Semoga saja Silvi masih mempercayai ku! Dan dia bersedia aku nikahi.Tapi aku berharap dia mau mengerti dengan pekerja'an ku di kantor yang tak bisa aku tinggalkan begitu saja.Setelah selesai mengurus dokumen persyaratan dan surat pengantar ke KUA, sekarang aku sudah siap sepenuhnya untuk menikahi Silvi, tak ku pungkiri aku begitu bahagia ingin segera membina rumah tangga
POV Silvi.Aku bangkit dengan perlahan, satu tangan menumpu di lantai, mengumpulkan kekuatan untuk ku berdiri, tangan ku yang lain memegangi perut yang sakit akibat benturan, saat Nyonya Amelia mendorong tubuh ku, hingga aku terhempas ke lantai konblok.Dengkul ku menghantam kerasnya lantai hingga lecet dan mengeluarkan darah. Sakitnya di tubuh tak seberapa jika di bandingkan dengan hancurnya hati ini."Silviana, cepat bangun! Dan segeralah angkat kaki dari rumah ini! Bawa barang rongsokan mu, jangan sampai ada yang tertinggal!" hardik Nyonya Amelia, dia berkacak pinggang di hadapan ku."I-iya Nyonya, saya akan segera pergi, dari sini!" jawab ku tergagap. Aku meringis masih memegangi perut, sambil berusaha bangkit, dan berdiri tertatih-tatih."Lelet banget sih, jadi Orang! Jangan sok mengiba, saya tidak mudah terpengaruh, dengan sandiwara kamu! Pake pura-pura lemas segala lagi!" Dia memutar bola matanya mendelik tajam pada ku."Saya, tidak p
POV Silvi.*Pagi ini aku keluar dari kamar mandi setelah membersihkan badan, ku kenakan baju dress tunik lengan panjang, dan bawahan se-dengkul, warna pastel, di padu padankan dengan sepatu flat warna senada, rambut panjang ku. Aku ikat separuh di bagian atasnya.Aku tak mengenakan seragam seperti yang lain, karena hari ini Devan berjanji akan mengajak ku pulang ke rumah ibu, untuk melamar ku dan dia juga berjanji akan mengikat janji suci di hadapan penghulu.Aku tak mengharapkan pesta pernikahan yang megah, aku hanya menginginkan status Ayah untuk anak ini.Sekarang perutku masih rata dan mungkin tak akan ada yang mengetahui kehamilan ku, jika aku pulang kampung. Aku akan merahasiakan kehamilan ku dari ibu dan juga semua orang, aku tak mau ada tau tentang aib ini.Sesa'at aku ke luar dari kamar mandi, dan berdiri di teras belakang, melihat kawan ART ku sedang sibuk menjemur pakaian ada juga yang menyirami tanaman, sambil menghirup udara se
POV Silvi.Diri ini menegang seketika sa'at Nyonya Amelia datang dan menyerang ku, dia mencerca ku habis-habisan, hati ku hancur berkeping-keping, mendengar cacian yang terlontar dari mulutnya yang tajam dan pedas, begitu pedih mengiris sanubari, membuat fikiran ku kalut seakan dunia ini gelap di penuhi kabut, tak ada setitik cahaya sama sekali dalam hati ini.Wanita itu begitu kasar padaku, kebenciannya pada Raya begitu mendarah daging, hingga wajah ku yang hanya mirip sekilas, membuat dia kalap, dan begitu jijik melihat ku.Apalagi kini aku sedang mengandung benih dari anak semata wayangnya, kebenciannya kini terhadap ku kian bertambah besar.Tidakkah dia melihat sisi gelap putranya, dan jangan terus-terusan mengintimidasi ku, hingga aku terpojok, aku begini karena perbuatan bejat putra kesayangannya.Ku seka air mata yang masih membasahi pipi, dengan jemariku, hati ku kini luluh lantak, hancur sehancur-hancurnya oleh dua orang yang tak punya ha
POV Devan.Aku sangat bahagia mendengar Silvi mengandung anakku, namun aku bingung dengan Mama, karena Mama tambah membencinya."Devan, kamu pilih Mama, atau perempuan itu, jika kamu lebih memilih dia, Mama akan angkat kaki dari rumah mu! Dan Mama takkan pernah, menginjakkan kaki lagi di rumah ini!" sungut Mama menuding tangannya ke arah Silvi.Tak ada yang harus aku pilih, kedua wania itu sama-sama penting dalam hidupku. Aku kini berada di posisi yang sulit, jika aku memilih Silvi.Mama akan begitu marah pada ku, aku tak mau menjadi anak yang membangkang, tapi aku juga tak mungkin mencampakkan gadis yang sudah aku rusak masa depannya.Aku bersimpuh di hadapan Mama, yang sedang duduk di sofa menyilang kaki seraya menyedekapkan tangannya di depan dada dengan angkuh.Ku tundukan kepala di pangkuan Wanita bertubuh proporsional dengan balutan dress tunik lengan panjang warna coklat tua, berharap hatinya bisa sedikit terbuka untuk Silviana.
POV Silvi."Oh, iya Dok, kira-kira usia kandungan istri saya berapa Minggu?" ucap Devan, menatap wajah Dokter Hendri dengan serius."Eum, kalau di lihat dari hasil HPHT, sekitar tujuh Minggu,""Tapi, saya heran Dok, kenapa istri saya bisa begitu mual, dengan mencium aroma tubuh saya?" tanya Devan keheranan dengan tingkahku yang mendadak mual dan ingin muntah bila dekat dengannya."Itu hal yang wajar Pak Devan, karena di trimester pertama kehamilan, seorang wanita hamil mengalami peningkatan hormon, itulah yang menyebabkan istri Bapak, mual dan muntah," ujar Dokter panjang lebar.Devan begitu serius menanggapi penuturan Dokter Hendri."Saya faham Dok, tapi apakah ini berpengaruh terhadap janinnya? Apakah berbahaya?""Tidak, jika itu masih di batas wajar. Namun asupan nutrisi harus di perhatikan, meskipun Bu Silvi merasa mual, tapi harus di usahakan untuk tetap makan, meskipun sedikit, dan konsumsi susu emesis untuk mengurangi rasa mual,"