Share

Uang Jajan 5 Ribu

Penulis: Winda
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-21 01:14:24

Aku berdiri di hadapan ibu, ku membungkukan badan seraya memegang kedua bahunya yang kurus, ku tatap lekat-lekat wajah perempuan yang sangat ku sayangi itu, dengan tatapan penuh kasih.

"Bu, aku akan cari uang! bagaimana pun caranya, agar aku bisa melunasi hutang-hutang kita, pada rentenir kejam itu, tapi aku minta izin dari ibu! Untuk pergi mencari pekerjaan di kota besar!" ucap ku penuh harap.

"Tapi Nak, ibu gak mau kamu jauh dari sisi ibu! Kamu anak perempuan ibu satu-satunya, ibu khawatir kalau kamu pergi ke kota besar, kamu mau ikut siapa di sana Nak? Kamu anak gadis ibu, ibu takut terjadi apa-apa dengan kamu," jawab ibu sambil menangkup pipi kiri ku. Aku mendeku di hadapannya seraya mendongakkan wajah.

"Bu." Ku raih tangan ibu dan menggenggamnya, ku tatap wajah ibu lekat-lekat. "Ibu percaya sama aku! Aku gak akan melakukan hal di luar batas, apalagi melakukan hal yang di larang oleh agama." Aku meyakinkan ibu.

"Sudah Silvi! ibu mau berangkat dagang dulu, takut keburu siang, nanti gak ada yang beli nasi uduk kita," potong ibu mengakhiri pembicaraan kami.

"Tapi Bu,"

"Udah! Kita ngobrolnya nanti kalau ibu sudah pulang dagang!" pungkas ibu.

Ibu melepaskan genggaman tangan ku. Dia bangkit lalu berjalan mengambil kain jarik yang tersampir di batang bambu penyangga tiang rumah reyot kami.

"Ibu berangkat ya Nak! Nanti adik-adikmu beri makan, dengan lauk seadanya! Di lemari penyimpanan makanan." Ibu membungkukkan badannya meraih bakul nasi uduk dan menggendongnya di pinggang.

"Sini Bu! Aku antar sampai depan!" ucap ku sambil menjinjing box plastik berisi gorengan dan sambal telor balado.

"Ayo!" jawab ibu, dia berjalan di depanku. aku mengekornya dari belakang.

Rasanya tak tega melihat ibu yang sudah tua setiap hari menjajakan dagangannya keliling kampung, demi menghidupi aku dan juga adik-adikku.

"Silvi... Ibu berangkat ya, do'akan ibu! Biar dagangannya laris!" pinta ibu sambil berlalu dari hadapan ku, dia berteriak menawarkan dagangan untuk memanggil pembeli.

Ya Tuhan... Aku benar-benar tak tega melihat perempuan 40 tahun bekerja keras sendirian, ku tatap ibuku sampai hilang dari pandangan, tubuhnya kurus di balut baju gamis warna coksu yang sudah usang dan kerudung bergo hitam juga tak kalah usangnya, langkah demi langkah ibu berpijak dengan menggunakan sandal jepit, bahkan kanan dan kiri pun warnanya berbeda, jalanan yang basah karena semalam kampung ini di guyur hujan tak menyurutkan semangat ibu untuk mencari rejeki.

"Silvi, kamu harus melakukan sesuatu! Agar ibu kamu dan adik-adikmu bisa hidup dengan layak!" Aku bicara sendiri kupejamkan mataku sambil mengepalkan tangan, hatiku bergemuruh, masih terngiang di telingaku hina'an dari mulut wanita kejam itu tadi pagi.

Aku membalikkan badan melangkahkan kaki menuju arah rumah, sepanjang jalan aku terus berfikir bagaimana caranya agar aku bisa berangkat ke ibu kota untuk mencari pekerja'an, tak mungkin aku berangkat kesana sendirian tanpa tau arah dan tujuan.

Mentari pagi sudah menampakkan diri, menyinari bumi menghangatkan raga ini, sejuknya hawa pagi di desa yang masih sangat asri, di sini tempatku di besarkan dan tumbuh menjadi gadis belia, di usiaku yang kini menginjak 19 tahun, aku belum bisa membatu dan meringankan beban ibu, keinginan kuat di hati ku hanya satu, yaitu membahagiakan Orang tua dan adik-adikku.

Kubuka pintu kayu dan masuk kedalam rumah kami yang sangat sederhana, dinding rumah ini pun masih bata merah, lantai nya bukan dari granit apalagi marmer yang indah dan mengkilat, lantai rumah kami dari semen bahkan sudah banyak yang retak dan bolong.

Di kala hujan turun atapnya banyak yang bocor hingga beberapa baskom pun ikut serta untuk menadah tetesan air hujan yang masuk lewat celah genteng yang pecah ataupun geser, tak banyak yang bisa dilakukan untuk memperbaiki atap karena kerangka atap rumah ini sudah rapuh, dan tak bisa untuk di pijak.

Ku sibak gorden kamarku karena tak di pasangi pintu, hanya gorden merah yang usianya lebih tua dari pada usia adikku yang pertama, aku duduk di tepian ranjang kayu buatan tangan almarhum ayah, bukan ranjang besi ataupun kayu jati, hanya dari kayu albasia yang kini sudah lapuk dan di makan rayap.

Kadang aku iri pada teman-temanku, kehidupan mereka jauh lebih baik dari pada kehidupan ku ini, Orang tua mereka masih lengkap tak seperti aku yang hanya memiliki ibu, ayahku sudah 5 tahun meninggal karena sakit komplikasi, saat aku duduk di kelas 2 SMP.

"Kak Silvi..." Suara adikku dari dapur membuyarkan lamunanku. segera ku keluar kamar dan menghampirinya.

"Ada apa Sandi?" tanya ku.

"Kak, minta uang jajan dong!" ucap Sandi adikku yang nomor satu, usianya kini 15 tahun dan sebentar lagi masuk SMA, aku bingung tak ada biaya untuk membeli perlengkapan sekolah apalagi untuk biaya daftar masuknya.

"Iya, ini 5rbu ya, jangan boros-boros! Kita harus hemat!" uang kembalian dari warung sisa membeli kantong plastik tadi pagi.

"Ah, kakak... Goceng doang, bilangnya jangan di abisin! Temen-temen ku bawa uang sakunya tiap hari 10 ribu, belum jajan di rumah," protes Sandi bocah remaja yang berambut hitam lurus ke atas seperti ijuk. Tubuhnya kurus tinggi mungkin perawakan karena aku juga sama tinggi kurus.

"Sandi... Jangan samakan dengan orang lain! Kita orang gak punya," ucap ku memberi pengertian, ku buka lemari penyimpanan ku ambil nasi uduk di bakul bambu, yang sengaja ibu sisakan untuk sarapan adik-adikku.

"Nasi uduk lagi kak, gak ada yang lain gitu?" protesnya lagi.

"Gak usah banyak omong! Bersyukur masih ada nasi, tuh liat orang di luar sana! Banyak yang tidak bisa sarapan karena tak ada nasi."

Adikku ini memang banyak ngeluhnya tak seperti adik bungsu ku.

"Kak, dasi ku mana?" teriak adik bungsu ku dari dalam kamarnya.

"Ada di sini... Bekas kamu kemaren kan, tuh nyantol di paku," ucap ku sambil balas berteriak, sudah terbiasa di rumah ku ini, setiap pagi rame dengan teriakan Adik-adikku.

"Iya..." Jawab Adikku berjalan setengah berlari ke dapur sambil memasukan ujung kemeja putihnya yan lusuh, ke dalam celana merah seragam SD nya.

"Ni! Kebiasaan kalau naro barang tuh yang bener! Jangan asal! Giliran butuh aja, kelimpungan," protes ku, sambil menyodorkan dasi merah karet nya pun sudah longgar.

Seno namanya adik bungsuku usianya 12 tahun kelas 6 SD. Dia orangnya tak banyak ngeluh tapi anaknya asal, menaruh barang asal lempar ketika ia butuh baru bingung mencari.

"Kak, tadi pagi, siapa di depan rumah teriak-teriak, kaya bentak ibu gitu?" tanya Seno, dia duduk samping Sandi, di kursi panjang terbuat dari kayu.

"Oh, itu Bu Tati,"

"Mau ngapain dia kak? Pagi-pagi sudah datang ke rumah kita, Pake marah-marah lagi?" timpal Sandi menautkan alisnya menatap ku dengan penuh tanya.

"Bu Tati, nagih hutang sama ibu," jawabku berat.

"Hutang apa? Emangnya ibu punya utang berapa duit kak?" sambung Seno.

"Eum... 30 juta," jawabku ragu. Mereka berdua kaget hingga matanya terbelalak.

"Banyak amat Kak, emang hutang bekas beli apa sih?" tanya Seno di sela suapan nasi uduk dan bihun goreng juga kerupuk udang.

"Gak tau, tapi kayanya sih bekas berobat Bapak dulu,"

"Kok banyak amat ya, berobat sampe 30 juta?" tanya Sandi keheranan dengan nominal yang cukup besar bekas berobat.

 "Tadinya hanya 10 juta, terus ibu pinjem lagi 2 juta buat biaya pemakaman ayah, karena lama belum di bayar, jadinya beranak pinak," terang ku.

"Emang, uang bisa beranak ya Kak?" tanya Seno polos.

"Bisa, yang namanya pinjem ke rentenir, ya makin lama anaknya bertambah," jawabku.

"Bukannya bunga ya Kak?" timpal Sandi.

"Anak sama bunga sama aja, makin lama makin banyak," jelasku. "Makannya cepetan! Ini udah setengah tujuh, nanti kalian kesiangan lagi. Seno ni uang jajan untuk kamu!"

Aku menyodorkan uang yang sama jumlahnya seperti Sandi 5 ribu tak lebih, uang jajan untuk satu hari. Kami bertiga di beri jatah 5 ribu rupiah setiap harinya, tapi aku tak pernah membeli jajanan, uang itu aku tabung, untuk jaga-jaga jika ada keperluan mendesak.

"Makasih Kak," jawab Seno. Dia anaknya hemat, meskipun di beri uang jajan hanya 5 ribu perhari tapi dia masih bisa menyisihkan 2 ribu perak untuk masuk celengan Ayam.

"Yang giat ya belajarnya! Biar kalian jadi orang sukses!" Aku memberi semangat kepada Adik-adikku.

"Ya Kak," jawab mereka serentak. Dan menghabiskan sarapannya, di akhiri minum air putih segelas.

Mereka bangkit dan berpamitan pada ku, tak lupa Salim dan mencium punggung tangan ku.

"Ati-ati ya! Jangan pada nakal! Selesai sekolah langsung pulang, jangan pada keluyuran!" Aku menutup kembali pintu rumah ini dan segera beres-beres seperti kegiatan ku setiap hari.

Ku rapikan kamar adikku yang berantakan baju kotor pun di mana-mana ada yang menggantung di paku balik pintu, ada juga yang bergulung dengan selimut juga handuk, padahal setiap hari aku bereskan tapi tak pernah ada rapihnya.

Capek rasanya tak pernah ada ujungnya, tapi aku ikhlas demi membantu meringankan pekerjaan ibu, setelah selesai berbenah aku beranjak ke dapur untuk membereskan dapur bekas tadi pagi masak untuk jualan ibu.

Aku masuk ke dalam kamar mandi berdinding tembok bata merah setengah badan, satu meter dari bawah ke atas, dinding atasnya dengan bilik bambu yang sudah lapuk, sinar mentari pun menyeruak masuk ke dalam lewat celah bilik yang renggang.

Demi kenyamanan dan aku takut ada orang iseng mengintip, ku lapisi dengan karung bekas beras dapat aku minta dari Pak haji pemilik warung. Kamar mandinya luas namun tak ada kenyamanan, beginilah rumah ku dan kamar mandiku hanya alakadar dan seadanya.

 Aku meraih pompa air manual lalu menekannya keatas dan kebawah, tak ada pompa listrik, seperti Sanyo apalagi mesin jetpam, yang tinggal tekan lalu air pun keluar, di kamar mandi ku air sumur keluar dengan mengandalkan tenaga. untuk tiap tetes air.

 Aku mengisi semua bak dan ember di kamar mandi dengan air sampai semuanya penuh, tubuh ini rasanya sangat letih namun aku tak peduli, aku bahagia bisa sedikit membantu pekerjaan ibu.

 Setelah beberapa saat dan mungkin satu atau dua jam aku keluar dari kamar mandi, ku jemur baju yang sudah aku cuci di halaman rumah tak membutuhkan waktu yang lama untuk mengeringkan pakaian karena halaman rumahku luas tanpa ada pepohonan, semuanya sudah di jual dan di tebang oleh pembeli, tinggal pohon ceremai yang tersisa karena tak bisa di jual.

Bab terkait

  • Kulakukan Demi Keluarga   Sahabat Lama

    Aku masih berkutat dengan pekerjaan rumah, menjemur pakaian baru saja selesai, mentari lumayan terik, sehingga keringat pun bercucuran sebesar biji jagung, ku mengusap pipi tirus ku yang basah dengan keringat."Huh, capek." Ku bergumam sendiri menumpu satu tangan di pinggang, tanganku yang lain menyibak anak rambut, dan ku selipkan di belakang telinga."Tinggal nyapu lah," ucap ku sambil berjalan menuju samping rumah, untuk mengambil sapu lidi dan pengki yang teronggok di pinggir tembok rumah. Ku menyapu halaman yang masih sedikit basah sisa hujan semalam.Daun ceremai yang gugur karena terpaan air hujan dan angin kencang membuat daun keringnya berserakan di mana-mana, baru saja setengah halaman aku sudah letih, ku berdiri dan meletakkan kedua tangan di pinggang sambil menggerakkan badan."Ini daun... Kurang ajar amat sih," umpat ku sedikit berteriak. Aku kesal karena susah di sapu tanahnya basah daunnya menempel dan lengket hingga sangat sulit untuk di

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • Kulakukan Demi Keluarga   Merantau

    Aku melongok dari kaca jendela mobil yang aku tumpangi, pandangan ku mengedar ke sekeliling jalanan berharap bisa bertemu ibu sebelum berangkat ke ibu kota. Dari kejauhan aku melihat sosok yang sangat aku kenal menggendong bakul dan menjinjing box, tubuh kurusnya di balut gamis maroon yang lusuh dan kerudung bergo hitam. Dia adalah ibuku."Nab, Nab, itu ibu," ucapku, pandanganku tertahan ke arah ibu sambil menarik-narik tangan Nabila."Kak, berhenti! Silvi mau pamitan dulu pada ibunya!" pinta Nabila pada kakaknya. Mobil pun menepi di pinggir jalan dekat mushola. Aku membuka pintu dan segera keluar dari mobil."Ibu..." Panggil ku sambil berteriak dan berlari ke arahnya, aku takut ibu keburu jauh, ibu pun menghentikan langkahnya ia menatapku lalu meletakan box plastik di dekat kakinya."Silvi." Ibu merentangkan kedua tangannya ke arah ku, dengan cepat aku menjatuhkan tubuh ke pelukannya."Ibu,""Nak, kamu benar-benar akan pergi!" Aku mengangguk.&nbs

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • Kulakukan Demi Keluarga   Cari Kerja

    "Sil, Silvi," samar-samar ada suara yang memanggil namaku. "Bangun!" lanjutnya. Akupun mengerjap sambil mengucek mata."Iyah, ada apa?" sahutku, rupanya aku ketiduran di dalam mobil, aku sangat letih semalaman tak bisa tidur, karena memikirkan aku akan pergi meninggalkan Ibu dan Adik-adik ku, sehingga mataku terjaga sepanjang malam."Silvi, kita udah sampai, ayo turun!" ucap Nabila seraya membuka pintu mobil sampingnya, dia pun keluar, sementara Mas Andri dan Mbak Karina sudah turun dan masuk duluan ke dalam rumah."Oh, kita udah sampai ya?" tanya ku pada Nabila, nyawaku belum sepenuhnya sadar, efek tidur yang nanggung cuma beberapa menit, akupun turun mengikuti dia dari belakang, sambil menggendong tas ransel ku.Rumah minimalis dinding tembok warna abu-abu, rumah mungil sederhana namun sangat nyaman, ku berpijak di jalan konblok halaman rumah ini, kanan dan kiri jalan yang kupijak tanaman hias yang hijau nan indah sehingga menghadirkan nuansa asri."S

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • Kulakukan Demi Keluarga   Jauh Berbeda

    Di meja makan sudah tersaji nasi putih ayam goreng dan cumi pedas manis juga sup ayam jamur, sebagai pelengkap lalapan selada air mentimun dan sambal goreng, minumannya jus buah, dan untuk cuci mulut beberapa jenis buah tersedia di meja makan, mangga yang tadi kami kupas pun ikut serta di hadapan kami.Jauh berbeda dengan menu setiap hari di rumah ku, setiap pagi aku sarapan nasi uduk sama bihun goreng, tempe orek, kerupuk udang, makan siang alakadarnya kalau ada telur sisa ibu jualan, ya kami makan telur meski satu butir di bagi dua, makan malam tumis-tumisan jarang sekali kami makan ayam apalagi lauk yang enak mungkin tidak pernah.Ya Tuhan... Apa-apaan aku ini masih saja membandingkan kehidupan orang lain dengan kehidupan ku, yang jauh berbeda. Aku mengusap wajah, menyadarkan diri ini yang terhanyut dalam lamunan.Masih beruntung aku bisa makan 3 kali sehari walaupun makan seadanya, di luaran sana masih banyak orang yang ketemu nasi hanya sekali sehari, ba

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • Kulakukan Demi Keluarga   Melamar Kerja

    15 menit perjalanan kami lalui, menuju tempat yang di janjikan oleh Mbak Karina. Mas Andri mengurangi laju kendaraannya, lalu membelokan mobilnya dan menepi di halaman sebuah bangunan. Aku melongok dari kaca jendela mobil mataku mengedar keluar, tempatnya sangat asing bagiku."Mbak, emang kita sudah sampai?" tanya ku pada Mbak Karina yang duduk di kursi depan samping Mas Andri.Mbak Karina memutar tubuhnya menoleh padaku, "Iya Sil, kita sudah sampai, sekarang kita turun yuk!" ajak Mbak Karina sambil menganggukkan kepala."Iya Mbak." Akupun membuka pintu mobil dan turun ku seret koper berisi baju-baju pemberian Mbak Karina, aku mendongak menatap papan nama yang terpampang di atas kanopi, (Maya coffe shop). Aku langsung menyimpulkan bahwa pemilik tempat ini bernama Maya.Kami bertiga berjalan menaiki undakan tangga menuju pintu. Aku berjalan paling belakang mengikuti Mbak Karina, Mas Andri mendorong pintu kaca yang masih ada tulisan tutup yang menempel di kaca.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • Kulakukan Demi Keluarga   Hari Pertama

    Ku kenakan baju seragam kemeja lengan pendek hitam kombinasi warna merah di sisi kanan nya, dan celana jeans hitam, rambut panjang ku, ku ikat kuncir kuda, lalu ku buka pintu toilet, aku keluar berdiri di depan lorong toilet dan musholla. Ku pejamkan mata sejenak menetralkan rasa gugup, karena hari ini adalah hari pertama ku bekerja, dan akan berhadapan dengan orang banyak.Meski gaji yang di janjikan hanya 3,5 juta perbulan namun aku tetap bersyukur, tekad ku mencari kerja tak lain hanya untuk membahagiakan keluarga dan membatu ibu melunasi hutangnya ke rentenir, walaupun gajiku sebulan takkan cukup untuk membayar hutang, tapi aku akan fikirkan nanti, aku percaya semua masalah pasti ada jalan keluarnya, yang penting kita berusaha.Ku berdoa semoga di hari pertama ku ini bekerja, aku di berikan kelancaran oleh Tuhan, agar aku bisa menjalankan tugas dan melayani para pengunjung dengan baik, semoga saja aku bisa di percaya oleh Bu Maya yaitu Bos baru ku.Pukul 10 pag

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • Kulakukan Demi Keluarga   Jadi Pelayan

    "Bu," ucapku pada perempuan yang bertugas sebagai kepala bagian dapur, "Ini Bu, ada yang pesan lasagna!""Oh, iya," sahutnya menoleh ke arahku, dan mengambil kertas catatan dari tangan ku, dia pun menginformasikan kepada asisten chef, lalu ia kembali fokus mengecek makanan sebelum di antar oleh para waiters, ke meja pelanggan."Sil, antarkan dulu makanan ini ke meja Nomor 13! Sambil menunggu lasagna siap di sajikan!" titah kepala bagian."Baik Bu."Akupun mengangguk patuh, dan mengambil nampan dengan piring berisi kentang goreng saus keju, dengan toping keju parut di atasnya, juga segelas minuman dingin, dari tampilannya nampak begitu segar, rasanya ingin sekali aku meneguknya.Jangankan pernah meminumnya, melihatnya saja baru kali ini dalam seumur hidupku, rasanya seperti apa aku tak tau? membuat kerongkonganku semakin dahagaku. Aku hanya bisa menelan ludah.Aku keluar dari dapur sambil berjalan menuju meja Nomor 13, sesuai yang di perintahkan ol

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • Kulakukan Demi Keluarga   Rumah Kontrakan

    Pukul 12.30 siang, tubuhku sangat lelah, dari pertama datang ke sini belum sempat istirahat walau sejenak, Sementara karyawan yang lain sudah istirahat bergantian, namun aku belum mendapatkan giliran, karena Bu Ema belum juga menyuruh ku.Aku tak berani meminta izin padanya karena aku anak baru, ya aku sedisuruh nya saja, meski letih namun aku harus menjalani pekerjaan ku dengan tuntas.Setelah mengantarkan pesanan aku kembali ke dapur, duduk menekuk lutut seraya menyenderkan punggung di tembok untuk menghilangkan rasa lelah, sambil melihat Bapak koki yang masih sibuk memasak."Silvi." Bu Ema datang menghampiri dan berdiri di samping ku."I, iya Bu." Aku terperanjat, berdiri dengan gerakan cepat, merapatkan tangan dan kakiku sambil merundukan kepala, "Apa, ada tugas lagi untuk saya Bu?""Gak ada, Sil, istirahat dulu sana! Kamu pasti sudah lapar kan?""Iya Bu,""Sil, Waktu istirahat kamu setengah jam ya, Pergunakan dengan baik! Hanya un

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21

Bab terbaru

  • Kulakukan Demi Keluarga   Akhir sebuah kisah.

    POV Author.Gadis yang tengah terlelap, ia terkesiap seketika seraya membuka matanya, saat bahunya di cekal erat oleh seseorang."Siapa kalian?" tanya Silvi pada lelaki berkaos hitam tanpa lengan, dengan celana jeans robek-robek di bagian dengkulnya, kulitnya hitam dan berambut gondrong berwajah garang."Tolong, jangan sakiti saya!" rengek Silvi ketakutan, dia meremat handuk yang ada di pelukannya, dengan tubuh gemetar."Gadis cantik, kenapa kamu sendirian? Kami temani ya, biar kamu tidak kesepian!" timpal Pria berbadan gempal dengan kemeja garis-garis, lengannya ia lipat sebahu. Celana jeans sama robek-robek, berambut gimbal berkumis tebal dan berkulit gelap.Sorot ke-dua mata pria itu penuh dengan nafsu saat melihat bagian paha Silvi yang putih dan mulus."Ayo ikut kami!" ajak Pria berambut gondrong tersebut. Mencekal kedua lengan Silvi."Tolong! Tolong!" Silvi berteriak sekuat tenaga, saat dia di seret oleh kedua Pria itu. Dan membawa Sil

  • Kulakukan Demi Keluarga   Hanya Mimpi.

    POV Devan.Aku mengitari kota ini hingga larut malam tak ada tanda-tanda keberadaan Silvi sama sekali, sambil mengemudi pandangan ku terus mengedar ke kanan dan kiri berharap menemukan gadis itu.Semoga Tuhan melindungi kekasihku! Aku takut terjadi apa-apa dengan dia, Aku begitu menghawatirkannya, ku susuri kota ini hingga ke setiap pelosok, namun hasilnya sama saja nihil.Ku menepikan kendaraan di bahu jalan yang sepi, lalu ku ambil ponsel yang ada di Dashboard mobil, dan ku tekan tombol navigasi lalu ku usap layar gawai, gegas aku klik aplikasi berwarna hijau dan mulai menghubungi Reno, yang aku perintahkan mencari Silvi."Ren, bagaimana, apa sudah ketemu?" tanyaku dengan perasaan cemas."Maaf Pak! Saya belum menemukan Non Silvi," jawab Reno dari seberang sana."Hah." Ku tarik nafas dalam-dalam, ya Tuhan... Harus kemana lagi aku mencari Silvia, sudah hampir dini hari namun keberadaan Silvi belum sama sekali di ketahui."Lalu, bagaimana ini

  • Kulakukan Demi Keluarga   Aku Takut.

    POV Silvi.Aku berteduh dari derasnya hujan, yang mengguyur seluruh kota ini, hingga Malam terasa begitu dingin menusuk tulang, langit pun begitu gelap tak ada cahaya rembulan yang menyinari.Di tengah heningannya malam dan derasnya hujan, ku duduk di bale bambu sebuah warung bangunannya terbuat dari kayu, ku kira warung bekas penjual bensin, menurut asumsi ku, terlihat dari rak kayu kecil yang ada di ujung tiang, dengan beberapa botol beling yang bertengger di sana.Aku ketakutan dan kesepian, pandangan ku mengedar ke sekeliling warung, sepertinya tempat ini lama tak di tinggali, terlihat dari debu yang tebal menempel di seluruh permukaan tempat ini.Di keheningan malam dengan cahaya temaram lampu pijar lima wat yang menggantung di atap, aku duduk seorang diri menekuk lutut seraya memeluk tubuh yang menggigil, begitu sepi tak ada tanda-tanda kehidupan, kendaraan pun tak ada yang lalu lalang melintasi jalan di hadapan ku ini.Semakin malam h

  • Kulakukan Demi Keluarga   Silvi Kau Dimana?

    POV Devan.Hati ku begitu gelisah fikiran ku di penuhi oleh bayangan Silvi, entah apa yang terjadi padanya, semoga saja dia baik-baik di rumah. Tadi pagi aku titipkan dia pada Bi Rika, hanya dia satu-satunya orang yang bisa aku percaya, untuk menjaga calon istri sekaligus calon ibu dari anakku.Agenda di kantor hari ini begitu padat sehingga aku melupakan Silvi, padahal aku sudah berjanji akan segera pulang dan mengantarkan dia ke kampung halamannya.Ku lirik jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul setengah dua siang, kemungkinan nanti aku pulang agak telat.Semoga saja Silvi masih mempercayai ku! Dan dia bersedia aku nikahi.Tapi aku berharap dia mau mengerti dengan pekerja'an ku di kantor yang tak bisa aku tinggalkan begitu saja.Setelah selesai mengurus dokumen persyaratan dan surat pengantar ke KUA, sekarang aku sudah siap sepenuhnya untuk menikahi Silvi, tak ku pungkiri aku begitu bahagia ingin segera membina rumah tangga

  • Kulakukan Demi Keluarga   Ku Pergi Dengan Luka

    POV Silvi.Aku bangkit dengan perlahan, satu tangan menumpu di lantai, mengumpulkan kekuatan untuk ku berdiri, tangan ku yang lain memegangi perut yang sakit akibat benturan, saat Nyonya Amelia mendorong tubuh ku, hingga aku terhempas ke lantai konblok.Dengkul ku menghantam kerasnya lantai hingga lecet dan mengeluarkan darah. Sakitnya di tubuh tak seberapa jika di bandingkan dengan hancurnya hati ini."Silviana, cepat bangun! Dan segeralah angkat kaki dari rumah ini! Bawa barang rongsokan mu, jangan sampai ada yang tertinggal!" hardik Nyonya Amelia, dia berkacak pinggang di hadapan ku."I-iya Nyonya, saya akan segera pergi, dari sini!" jawab ku tergagap. Aku meringis masih memegangi perut, sambil berusaha bangkit, dan berdiri tertatih-tatih."Lelet banget sih, jadi Orang! Jangan sok mengiba, saya tidak mudah terpengaruh, dengan sandiwara kamu! Pake pura-pura lemas segala lagi!" Dia memutar bola matanya mendelik tajam pada ku."Saya, tidak p

  • Kulakukan Demi Keluarga   Kau Harus Pergi!

    POV Silvi.*Pagi ini aku keluar dari kamar mandi setelah membersihkan badan, ku kenakan baju dress tunik lengan panjang, dan bawahan se-dengkul, warna pastel, di padu padankan dengan sepatu flat warna senada, rambut panjang ku. Aku ikat separuh di bagian atasnya.Aku tak mengenakan seragam seperti yang lain, karena hari ini Devan berjanji akan mengajak ku pulang ke rumah ibu, untuk melamar ku dan dia juga berjanji akan mengikat janji suci di hadapan penghulu.Aku tak mengharapkan pesta pernikahan yang megah, aku hanya menginginkan status Ayah untuk anak ini.Sekarang perutku masih rata dan mungkin tak akan ada yang mengetahui kehamilan ku, jika aku pulang kampung. Aku akan merahasiakan kehamilan ku dari ibu dan juga semua orang, aku tak mau ada tau tentang aib ini.Sesa'at aku ke luar dari kamar mandi, dan berdiri di teras belakang, melihat kawan ART ku sedang sibuk menjemur pakaian ada juga yang menyirami tanaman, sambil menghirup udara se

  • Kulakukan Demi Keluarga   Anak Haram

    POV Silvi.Diri ini menegang seketika sa'at Nyonya Amelia datang dan menyerang ku, dia mencerca ku habis-habisan, hati ku hancur berkeping-keping, mendengar cacian yang terlontar dari mulutnya yang tajam dan pedas, begitu pedih mengiris sanubari, membuat fikiran ku kalut seakan dunia ini gelap di penuhi kabut, tak ada setitik cahaya sama sekali dalam hati ini.Wanita itu begitu kasar padaku, kebenciannya pada Raya begitu mendarah daging, hingga wajah ku yang hanya mirip sekilas, membuat dia kalap, dan begitu jijik melihat ku.Apalagi kini aku sedang mengandung benih dari anak semata wayangnya, kebenciannya kini terhadap ku kian bertambah besar.Tidakkah dia melihat sisi gelap putranya, dan jangan terus-terusan mengintimidasi ku, hingga aku terpojok, aku begini karena perbuatan bejat putra kesayangannya.Ku seka air mata yang masih membasahi pipi, dengan jemariku, hati ku kini luluh lantak, hancur sehancur-hancurnya oleh dua orang yang tak punya ha

  • Kulakukan Demi Keluarga   Tinggalkan Dia

    POV Devan.Aku sangat bahagia mendengar Silvi mengandung anakku, namun aku bingung dengan Mama, karena Mama tambah membencinya."Devan, kamu pilih Mama, atau perempuan itu, jika kamu lebih memilih dia, Mama akan angkat kaki dari rumah mu! Dan Mama takkan pernah, menginjakkan kaki lagi di rumah ini!" sungut Mama menuding tangannya ke arah Silvi.Tak ada yang harus aku pilih, kedua wania itu sama-sama penting dalam hidupku. Aku kini berada di posisi yang sulit, jika aku memilih Silvi.Mama akan begitu marah pada ku, aku tak mau menjadi anak yang membangkang, tapi aku juga tak mungkin mencampakkan gadis yang sudah aku rusak masa depannya.Aku bersimpuh di hadapan Mama, yang sedang duduk di sofa menyilang kaki seraya menyedekapkan tangannya di depan dada dengan angkuh.Ku tundukan kepala di pangkuan Wanita bertubuh proporsional dengan balutan dress tunik lengan panjang warna coklat tua, berharap hatinya bisa sedikit terbuka untuk Silviana.

  • Kulakukan Demi Keluarga   Bertanggung jawab

    POV Silvi."Oh, iya Dok, kira-kira usia kandungan istri saya berapa Minggu?" ucap Devan, menatap wajah Dokter Hendri dengan serius."Eum, kalau di lihat dari hasil HPHT, sekitar tujuh Minggu,""Tapi, saya heran Dok, kenapa istri saya bisa begitu mual, dengan mencium aroma tubuh saya?" tanya Devan keheranan dengan tingkahku yang mendadak mual dan ingin muntah bila dekat dengannya."Itu hal yang wajar Pak Devan, karena di trimester pertama kehamilan, seorang wanita hamil mengalami peningkatan hormon, itulah yang menyebabkan istri Bapak, mual dan muntah," ujar Dokter panjang lebar.Devan begitu serius menanggapi penuturan Dokter Hendri."Saya faham Dok, tapi apakah ini berpengaruh terhadap janinnya? Apakah berbahaya?""Tidak, jika itu masih di batas wajar. Namun asupan nutrisi harus di perhatikan, meskipun Bu Silvi merasa mual, tapi harus di usahakan untuk tetap makan, meskipun sedikit, dan konsumsi susu emesis untuk mengurangi rasa mual,"

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status