"Sil, Silvi," samar-samar ada suara yang memanggil namaku. "Bangun!" lanjutnya. Akupun mengerjap sambil mengucek mata.
"Iyah, ada apa?" sahutku, rupanya aku ketiduran di dalam mobil, aku sangat letih semalaman tak bisa tidur, karena memikirkan aku akan pergi meninggalkan Ibu dan Adik-adik ku, sehingga mataku terjaga sepanjang malam.
"Silvi, kita udah sampai, ayo turun!" ucap Nabila seraya membuka pintu mobil sampingnya, dia pun keluar, sementara Mas Andri dan Mbak Karina sudah turun dan masuk duluan ke dalam rumah.
"Oh, kita udah sampai ya?" tanya ku pada Nabila, nyawaku belum sepenuhnya sadar, efek tidur yang nanggung cuma beberapa menit, akupun turun mengikuti dia dari belakang, sambil menggendong tas ransel ku.
Rumah minimalis dinding tembok warna abu-abu, rumah mungil sederhana namun sangat nyaman, ku berpijak di jalan konblok halaman rumah ini, kanan dan kiri jalan yang kupijak tanaman hias yang hijau nan indah sehingga menghadirkan nuansa asri.
"Silvi, Kok kamu malah bengong? Ayo masuk!" ajak Nabila menggamit tangan ku.
"I,iya, Ma'af aku melamun."
"Huh, kamu, melamun... aja kerjanya, mikirin apa sih?"
"Gak mikirin apa-apa, aku_ Cuma malu,"
"Ngapain malu sih! Gak usah sungkan! Anggap aja ini rumah sendiri!" Nabila menarik tanganku ke dalam kamar yang letak temboknya terhubung dengan ruang tengah.
"Ini, kamar mu Nab," tanya ku, menatap sekeliling, lalu meletakan tas ransel di bawah lantai dekat tempat tidur, tas yang sudah agak sedikit sobek resleting nya pun sudah hilang, ku sematkan peniti untuk merekatkan resleting nya.
"Iya, kamu istirahat aja dulu! Aku mau mandi, gerah," ucap Nabila seraya mengambil handuk yang terpaut di kapstok balik pintu kamarnya.
"He'em, aku mau rebahan ya! lelah banget Nab."
Aku menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur yang empuk, jauh berbeda dengan kasur yang ada di kamar rumah ku, hanya kasur kapuk yang sudah mengeras, dan empuk kembali ketika sehabis di jemur itu juga tak bertahan lama. Kamar ini cukup nyaman lemari pakaian ada dua, satu lemari plastik, dan satu lemari kayu 3 pintu dengan cermin besar pada setiap pintunya.
Meja rias minimalis di dekat tempat tidur yang penuh dengan alat make-up dari bedak parfum juga lain-lainya. Aku tak memiliki semua itu, untuk urusan make up aku hanya menggunakan bedak tabur sachet-an, lipstik ku, lipstik Arab pemberian Bu haji waktu dia baru pulang umroh, bulan lalu.
Hah, hidup ku memang menyedihkan, serba kekurangan dan serba tak ada, baju yang aku kenakan pun ini termasuk baju yang paling agak masih bagus yang aku miliki, celana jeans pensil pilox musim beberapa tahun lalu, dan kaos hitam ku ini yang aku pakai juga dapat kredit cicilan 7 ribu perminggu, malah baru lunas Minggu lalu meskipun bajunya sudah tak baru lagi.
"Silvi," panggilan dari depan pintu kamar, seperti suara Mbak Karina. Aku pun bangkit dan berjalan setengah berlari menuju pintu dan membukanya.
"Ada apa Mbak?" tanya ku dari ambang pintu.
"Makan siang dulu yuk! Ini udah jam 1 siang loh,"
"Nanti, aku mau mandi dulu, nungguin Nabila belum selesai mandinya," jawabku.
"Oh gitu, ya udah kalau kamu sudah beres mandi, segera ke dapur ya! Kita makan bareng! Mbak baru beres masak,"
"Iya Mbak, nanti aku ke sana! Nyusul bareng Nabila,"
"Ya udah kalau gitu, Mbak mau kupasin buah dulu, sekalian nunggu kalian!" jawab Mbak Karina sambil berlalu ke ruang dapur letaknya berseberangan dengan kamar yang aku singgahi, tembok ruang tengah jadi penghubung antara kamar dan dapur.
"Silvi," panggil Nabila yang baru habis mandi wajahnya cerah dan segar, Karena habis keramas rambutnya pun masih di gulung dengan handuk yang di letakan di kepala.
"Nab, tadi Mbak kamu kesini, ngajak kita makan!"
"Ya udah cepetan, kamu mandi sana! Lalu kita makan, aku udah laper, sambil nungguin kamu, aku Dan-dan dulu,"
"Iya, tapi Nab, aku gak bawa perlengkapan mandi,"
"Tar ya." Nabila duduk di kursi meja rias sambil membuka laci dia mengambil sesuatu dari dalam. "Silvi, ni sikat giginya! Odol pake yang ada di kamar mandi aja, sabun juga sama, pake aja yang ada!" sambung Nabila.
"Makasih ya Nab." Aku mengambil barang yang di berikan oleh sahabatku ini, si gadis bertubuh bongsor itu mengenakan dress motif mawar lengan pendek.
"Yah, kamu, Gak usah kebanyakan terimakasih! Kaya sama orang asing aja," sergah Nabila. Aku pun keluar dari kamarnya menuju kamar mandi yang berada di dapur letaknya, di samping kiri dapur 2 meter dari meja makan.
Aku masuk ke kamar mandi dan membuka seluruh pakaianku, kusiram tubuh tinggi dan kurus ini, namun kata orang ukuran tubuhku ini sangat ideal, tinggi badan ku 160 cm berat badan ku 50, ku tuang kan shampo ke telapak tangan dan ku usap-usapkan ke rambut panjang ku.
Segar menjalari seluruh tubuh ini, setelah merasa cukup bersih aku pun keluar kamar mandi dengan mengenakan kaos putih polos lengan sebahu, juga bawahan rok semi payung bekas ibu muda dulu.
"Mbak," panggil ku pada Mbak Karina perempuan bertubuh sama bongsor nya seperti Nabila, dia sedang mengupas buah di wastafel dapur lalu mencucinya.
"Iya," sahutnya seraya menoleh seketika. "Sil, seger amat kayanya, ya udah sana gih panggil Nabila!" titahnya.
"Dia tadi lagi Dan-dan, katanya tadi mau nyusul, mungkin sebentar lagi dia kesini," jelasku sambil mendekati Mbak Karina.
"Owh." Mbak Karina membulatkan bibirnya. "Si Nabila tuh, kalau Dan-dan lama, bukan untuk di tungguin, kaya artis mau konser aja," ucap Mbak Karina.
"Mbak, biar aku bantu ngupasin buahnya!"
"Boleh!"
Aku mengambil pisau dari dekat wastafel, dan mengupas buah mangga gedong yang matang sepertinya sangat manis, dari tekstur dan aromanya yang harum.
"Sil, Mbak mau ngomong, tapi kamu jangan kecewa ya!"
"Ngomong aja Mbak!"
Mbak Karina menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, ku lihat dia menggigit bibirnya seperti nya dia ingin mengatakan sesuatu, namun dia sangat ragu,
"Gini Sil_" Mbak Karina menggantung ucapannya.
"Apa Mbak?" tanya ku sedikit mendesak.
Mbak Karina menaruh pisau juga buah di wastafel, pandangannya lurus ke bawah.
"Sil, Di cafe Mbak gak ada lowongan, kata manager cafe, soalnya karyawan yang kemaren mau ngundurin diri, dia gak jadi, katanya masih butuh pekerja'an," ucapnya dengan suara berat dan ragu.
Deg.
Hatiku agak kecewa mendengarnya, terus aku mau kerja apa? Jika di cafe milik Mbak Karina tak ada lowongan, aku akan kerja di mana? tak mungkin aku kembali lagi ke kampung, sementara aku sudah berjanji pada Ibu dan Adik-adiku, aku akan membahagiakan mereka.
"Mbak, terus aku gimana dong, masa aku pulang lagi ke kampung?" tanya ku dengan suara rendah ku taruh pisau di bibir wastafel, buah ku letakkan di keranjang.
"Sil, bukan berarti kamu gak bisa kerja." Mbak Karina memegang tangan seraya menatap mataku. "Tapi, kamu bekerja di cafe teman Mbak, lokasinya lumayan jauh dari sini, kamu mau gak?" Mbak Karina sepertinya sangat ragu padaku.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskan nya perlahan. "Gak apa-apa Mbak, asalkan aku dapat kerja'an, di mana pun, kapan pun aku bersedia! terus kapan mulai kerjanya?"
Mbak Karina menarik nafas lega sambil mengulas senyuman. "Silvi, besok aja ya, mulai kerjanya, sekarang kan kamu pasti capek, baru tiba disini, besok Mas Andi dan Mbak antarkan kamu kesana! Sekalian Mbak mau titipin kamu sama temen Mbak,"
"Oh, makasih ya Mbak, Ma'af aku udah merepotkan Mbak!" Aku menoleh menatap nya dengan penuh rasa syukur karena Mbak Karina tidak lepas tanggung jawab, hati ku sedikit lega mendengar penjelasan dia. Akhirnya aku bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan, kami pun melanjutkan mengupas dan memotong buah.
"Hai, kalian lagi ngobrolin apa sih? Serius amat?" tanya Nabila kedatangannya mengejutkan kami, membuat kami menoleh serentak ke arahnya, lalu dia duduk di kursi meja makan.
"Ah, kepo," sanggah Mbak Karina sambil menuntaskan mencuci buah dan memasukkan nya ke dalam keranjang yang di alasi bak kecil.
"Ih, aku pengen tau lah, apa yang kalian bicarakan! Siapa tau ngomongin aku," tukas Nabila.
"Gak usah dengerin dia! Yuk, Sil, kita makan siang dulu!" ajak Mbak Karina, menepuk bahu ku, lalu kami pun duduk di kursi gabung dengan Nabila, tak lama Mas Andri pun datang dan duduk bersama kami, makan siang pun di mulai.
Di meja makan sudah tersaji nasi putih ayam goreng dan cumi pedas manis juga sup ayam jamur, sebagai pelengkap lalapan selada air mentimun dan sambal goreng, minumannya jus buah, dan untuk cuci mulut beberapa jenis buah tersedia di meja makan, mangga yang tadi kami kupas pun ikut serta di hadapan kami.Jauh berbeda dengan menu setiap hari di rumah ku, setiap pagi aku sarapan nasi uduk sama bihun goreng, tempe orek, kerupuk udang, makan siang alakadarnya kalau ada telur sisa ibu jualan, ya kami makan telur meski satu butir di bagi dua, makan malam tumis-tumisan jarang sekali kami makan ayam apalagi lauk yang enak mungkin tidak pernah.Ya Tuhan... Apa-apaan aku ini masih saja membandingkan kehidupan orang lain dengan kehidupan ku, yang jauh berbeda. Aku mengusap wajah, menyadarkan diri ini yang terhanyut dalam lamunan.Masih beruntung aku bisa makan 3 kali sehari walaupun makan seadanya, di luaran sana masih banyak orang yang ketemu nasi hanya sekali sehari, ba
15 menit perjalanan kami lalui, menuju tempat yang di janjikan oleh Mbak Karina. Mas Andri mengurangi laju kendaraannya, lalu membelokan mobilnya dan menepi di halaman sebuah bangunan. Aku melongok dari kaca jendela mobil mataku mengedar keluar, tempatnya sangat asing bagiku."Mbak, emang kita sudah sampai?" tanya ku pada Mbak Karina yang duduk di kursi depan samping Mas Andri.Mbak Karina memutar tubuhnya menoleh padaku, "Iya Sil, kita sudah sampai, sekarang kita turun yuk!" ajak Mbak Karina sambil menganggukkan kepala."Iya Mbak." Akupun membuka pintu mobil dan turun ku seret koper berisi baju-baju pemberian Mbak Karina, aku mendongak menatap papan nama yang terpampang di atas kanopi, (Maya coffe shop). Aku langsung menyimpulkan bahwa pemilik tempat ini bernama Maya.Kami bertiga berjalan menaiki undakan tangga menuju pintu. Aku berjalan paling belakang mengikuti Mbak Karina, Mas Andri mendorong pintu kaca yang masih ada tulisan tutup yang menempel di kaca.
Ku kenakan baju seragam kemeja lengan pendek hitam kombinasi warna merah di sisi kanan nya, dan celana jeans hitam, rambut panjang ku, ku ikat kuncir kuda, lalu ku buka pintu toilet, aku keluar berdiri di depan lorong toilet dan musholla. Ku pejamkan mata sejenak menetralkan rasa gugup, karena hari ini adalah hari pertama ku bekerja, dan akan berhadapan dengan orang banyak.Meski gaji yang di janjikan hanya 3,5 juta perbulan namun aku tetap bersyukur, tekad ku mencari kerja tak lain hanya untuk membahagiakan keluarga dan membatu ibu melunasi hutangnya ke rentenir, walaupun gajiku sebulan takkan cukup untuk membayar hutang, tapi aku akan fikirkan nanti, aku percaya semua masalah pasti ada jalan keluarnya, yang penting kita berusaha.Ku berdoa semoga di hari pertama ku ini bekerja, aku di berikan kelancaran oleh Tuhan, agar aku bisa menjalankan tugas dan melayani para pengunjung dengan baik, semoga saja aku bisa di percaya oleh Bu Maya yaitu Bos baru ku.Pukul 10 pag
"Bu," ucapku pada perempuan yang bertugas sebagai kepala bagian dapur, "Ini Bu, ada yang pesan lasagna!""Oh, iya," sahutnya menoleh ke arahku, dan mengambil kertas catatan dari tangan ku, dia pun menginformasikan kepada asisten chef, lalu ia kembali fokus mengecek makanan sebelum di antar oleh para waiters, ke meja pelanggan."Sil, antarkan dulu makanan ini ke meja Nomor 13! Sambil menunggu lasagna siap di sajikan!" titah kepala bagian."Baik Bu."Akupun mengangguk patuh, dan mengambil nampan dengan piring berisi kentang goreng saus keju, dengan toping keju parut di atasnya, juga segelas minuman dingin, dari tampilannya nampak begitu segar, rasanya ingin sekali aku meneguknya.Jangankan pernah meminumnya, melihatnya saja baru kali ini dalam seumur hidupku, rasanya seperti apa aku tak tau? membuat kerongkonganku semakin dahagaku. Aku hanya bisa menelan ludah.Aku keluar dari dapur sambil berjalan menuju meja Nomor 13, sesuai yang di perintahkan ol
Pukul 12.30 siang, tubuhku sangat lelah, dari pertama datang ke sini belum sempat istirahat walau sejenak, Sementara karyawan yang lain sudah istirahat bergantian, namun aku belum mendapatkan giliran, karena Bu Ema belum juga menyuruh ku.Aku tak berani meminta izin padanya karena aku anak baru, ya aku sedisuruh nya saja, meski letih namun aku harus menjalani pekerjaan ku dengan tuntas.Setelah mengantarkan pesanan aku kembali ke dapur, duduk menekuk lutut seraya menyenderkan punggung di tembok untuk menghilangkan rasa lelah, sambil melihat Bapak koki yang masih sibuk memasak."Silvi." Bu Ema datang menghampiri dan berdiri di samping ku."I, iya Bu." Aku terperanjat, berdiri dengan gerakan cepat, merapatkan tangan dan kakiku sambil merundukan kepala, "Apa, ada tugas lagi untuk saya Bu?""Gak ada, Sil, istirahat dulu sana! Kamu pasti sudah lapar kan?""Iya Bu,""Sil, Waktu istirahat kamu setengah jam ya, Pergunakan dengan baik! Hanya un
*Satu Minggu aku berkenalan dengan Mas Alex, dia orangnya sangat baik dan perhatian tak ayal jika aku pulang dari bekerja, shift 2 dia sering mampir membawakan makanan untuk ku.Aku selalu menolak, namun aku tetap tak bisa menolaknya, jika aku tak mau menerima dia selalu mengatakan, tak menghargai pemberian orang lain, dengan terpaksa aku menerima nya meskipun aku tak mau."Silvi," panggil Mas Alex dari luar seraya mengetuk pintu kontrakan ku."Iya Mas," gegas aku membuka pintu dan keluar dari kamar kontrakan, "Ada apa Mas?" tanyaku berdiri di ambang pintu."Sil, kita jalan yuk!" ajaknya."Kemana?""Ini kan malam Minggu, Aku ingin mengajakmu jalan! Ada sesuatu yang harus aku katakan sama kamu!" ucap Pria berkemeja putih dan celana jeans hitam penampilan sangat rapi dan wangi."Ya, ngomong aja! Disini juga gak apa-apa." Aku tergagap apa yang mau dia katakan, sampai mengajak aku pergi bersamanya."Sil, aku mau mengajakmu ke suatu tem
"Ini karyawan Ibu, tak mampu bekerja dengan baik," tukas Pria berjambang itu."Iya kami, merasa tak nyaman dengan pelayanan cafe ini, karena waitress anda kurang profesional, sebaiknya anda memilih karyawan yang bisa di andalkan!" timpal Pria berjas hitam tak memiliki jambang, namun tubuhnya sama-sama besar.Aku menarik nafas kesal, "Bu, kan biasanya kami para waiters, bekerja seperti yang sudah di perintahkan, dan sudah sesuai prosedur yang di tentukan,""Silvi, kamu jangan membantah dan jangan bersikap seperti itu pada Pak Devan dan Pak Reno! Kamu harus mengedepankan dan mengutamakan kenyamanan Pak Devan!" omel Bu Maya."Tapi Bu,""Kamu ikut, ke ruangan saya sekarang!" Bu Maya sepertinya marah besar padaku, dari sikapnya yang ketus, padahal aku tak membuat kesalahan, tapi kenapa dua Pria itu malah mengintimidasi ku, aku benar-benar tak mengerti.Ku melirik pada wajah dua Pria aneh itu, mereka saling menoleh dan tatapannya bertemu, sambil menunju
Kurapikan meja dan kursi bekas tempat duduk Devan dan Reno, makanan yang ia pesan tadi sama sekali belum ia sentuh dan di tinggal begitu saja."Dasar, orang kaya," gerutuku sambil meletakan dua piring berisi steak ke atas nampan, juga gelas berisi Orange jus yang masih penuh ku taruh di sudut meja."Mentang-mentang banyak uang, tak pernah menghargai makanan, dan kerja keras orang lain, kalau dia tak mau memakannya, ya udah, gak usah di pesan, untuk apa coba, dia memesannya padaku, kalau ujung-ujungnya gak di makan, hanya ingin mengerjai ku saja, gara-gara dia, kan aku di marahi sama Bu Maya," omel ku sambil bergumam.Aku tak peduli meski banyak pasang mata para pelanggan memerhatikan ku, karena aku terus saja bersungut-sungut, rasa kesal yang masih berkecamuk di dalam dada ini, membuatku tak puas-puasnya mengomel, gara-gara ulah Pria tampan tapi aneh tadi.Beberapa pengunjung ada yang menggeleng pelan, ada juga yang menatapku dengan tatapan bermacam art
POV Author.Gadis yang tengah terlelap, ia terkesiap seketika seraya membuka matanya, saat bahunya di cekal erat oleh seseorang."Siapa kalian?" tanya Silvi pada lelaki berkaos hitam tanpa lengan, dengan celana jeans robek-robek di bagian dengkulnya, kulitnya hitam dan berambut gondrong berwajah garang."Tolong, jangan sakiti saya!" rengek Silvi ketakutan, dia meremat handuk yang ada di pelukannya, dengan tubuh gemetar."Gadis cantik, kenapa kamu sendirian? Kami temani ya, biar kamu tidak kesepian!" timpal Pria berbadan gempal dengan kemeja garis-garis, lengannya ia lipat sebahu. Celana jeans sama robek-robek, berambut gimbal berkumis tebal dan berkulit gelap.Sorot ke-dua mata pria itu penuh dengan nafsu saat melihat bagian paha Silvi yang putih dan mulus."Ayo ikut kami!" ajak Pria berambut gondrong tersebut. Mencekal kedua lengan Silvi."Tolong! Tolong!" Silvi berteriak sekuat tenaga, saat dia di seret oleh kedua Pria itu. Dan membawa Sil
POV Devan.Aku mengitari kota ini hingga larut malam tak ada tanda-tanda keberadaan Silvi sama sekali, sambil mengemudi pandangan ku terus mengedar ke kanan dan kiri berharap menemukan gadis itu.Semoga Tuhan melindungi kekasihku! Aku takut terjadi apa-apa dengan dia, Aku begitu menghawatirkannya, ku susuri kota ini hingga ke setiap pelosok, namun hasilnya sama saja nihil.Ku menepikan kendaraan di bahu jalan yang sepi, lalu ku ambil ponsel yang ada di Dashboard mobil, dan ku tekan tombol navigasi lalu ku usap layar gawai, gegas aku klik aplikasi berwarna hijau dan mulai menghubungi Reno, yang aku perintahkan mencari Silvi."Ren, bagaimana, apa sudah ketemu?" tanyaku dengan perasaan cemas."Maaf Pak! Saya belum menemukan Non Silvi," jawab Reno dari seberang sana."Hah." Ku tarik nafas dalam-dalam, ya Tuhan... Harus kemana lagi aku mencari Silvia, sudah hampir dini hari namun keberadaan Silvi belum sama sekali di ketahui."Lalu, bagaimana ini
POV Silvi.Aku berteduh dari derasnya hujan, yang mengguyur seluruh kota ini, hingga Malam terasa begitu dingin menusuk tulang, langit pun begitu gelap tak ada cahaya rembulan yang menyinari.Di tengah heningannya malam dan derasnya hujan, ku duduk di bale bambu sebuah warung bangunannya terbuat dari kayu, ku kira warung bekas penjual bensin, menurut asumsi ku, terlihat dari rak kayu kecil yang ada di ujung tiang, dengan beberapa botol beling yang bertengger di sana.Aku ketakutan dan kesepian, pandangan ku mengedar ke sekeliling warung, sepertinya tempat ini lama tak di tinggali, terlihat dari debu yang tebal menempel di seluruh permukaan tempat ini.Di keheningan malam dengan cahaya temaram lampu pijar lima wat yang menggantung di atap, aku duduk seorang diri menekuk lutut seraya memeluk tubuh yang menggigil, begitu sepi tak ada tanda-tanda kehidupan, kendaraan pun tak ada yang lalu lalang melintasi jalan di hadapan ku ini.Semakin malam h
POV Devan.Hati ku begitu gelisah fikiran ku di penuhi oleh bayangan Silvi, entah apa yang terjadi padanya, semoga saja dia baik-baik di rumah. Tadi pagi aku titipkan dia pada Bi Rika, hanya dia satu-satunya orang yang bisa aku percaya, untuk menjaga calon istri sekaligus calon ibu dari anakku.Agenda di kantor hari ini begitu padat sehingga aku melupakan Silvi, padahal aku sudah berjanji akan segera pulang dan mengantarkan dia ke kampung halamannya.Ku lirik jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul setengah dua siang, kemungkinan nanti aku pulang agak telat.Semoga saja Silvi masih mempercayai ku! Dan dia bersedia aku nikahi.Tapi aku berharap dia mau mengerti dengan pekerja'an ku di kantor yang tak bisa aku tinggalkan begitu saja.Setelah selesai mengurus dokumen persyaratan dan surat pengantar ke KUA, sekarang aku sudah siap sepenuhnya untuk menikahi Silvi, tak ku pungkiri aku begitu bahagia ingin segera membina rumah tangga
POV Silvi.Aku bangkit dengan perlahan, satu tangan menumpu di lantai, mengumpulkan kekuatan untuk ku berdiri, tangan ku yang lain memegangi perut yang sakit akibat benturan, saat Nyonya Amelia mendorong tubuh ku, hingga aku terhempas ke lantai konblok.Dengkul ku menghantam kerasnya lantai hingga lecet dan mengeluarkan darah. Sakitnya di tubuh tak seberapa jika di bandingkan dengan hancurnya hati ini."Silviana, cepat bangun! Dan segeralah angkat kaki dari rumah ini! Bawa barang rongsokan mu, jangan sampai ada yang tertinggal!" hardik Nyonya Amelia, dia berkacak pinggang di hadapan ku."I-iya Nyonya, saya akan segera pergi, dari sini!" jawab ku tergagap. Aku meringis masih memegangi perut, sambil berusaha bangkit, dan berdiri tertatih-tatih."Lelet banget sih, jadi Orang! Jangan sok mengiba, saya tidak mudah terpengaruh, dengan sandiwara kamu! Pake pura-pura lemas segala lagi!" Dia memutar bola matanya mendelik tajam pada ku."Saya, tidak p
POV Silvi.*Pagi ini aku keluar dari kamar mandi setelah membersihkan badan, ku kenakan baju dress tunik lengan panjang, dan bawahan se-dengkul, warna pastel, di padu padankan dengan sepatu flat warna senada, rambut panjang ku. Aku ikat separuh di bagian atasnya.Aku tak mengenakan seragam seperti yang lain, karena hari ini Devan berjanji akan mengajak ku pulang ke rumah ibu, untuk melamar ku dan dia juga berjanji akan mengikat janji suci di hadapan penghulu.Aku tak mengharapkan pesta pernikahan yang megah, aku hanya menginginkan status Ayah untuk anak ini.Sekarang perutku masih rata dan mungkin tak akan ada yang mengetahui kehamilan ku, jika aku pulang kampung. Aku akan merahasiakan kehamilan ku dari ibu dan juga semua orang, aku tak mau ada tau tentang aib ini.Sesa'at aku ke luar dari kamar mandi, dan berdiri di teras belakang, melihat kawan ART ku sedang sibuk menjemur pakaian ada juga yang menyirami tanaman, sambil menghirup udara se
POV Silvi.Diri ini menegang seketika sa'at Nyonya Amelia datang dan menyerang ku, dia mencerca ku habis-habisan, hati ku hancur berkeping-keping, mendengar cacian yang terlontar dari mulutnya yang tajam dan pedas, begitu pedih mengiris sanubari, membuat fikiran ku kalut seakan dunia ini gelap di penuhi kabut, tak ada setitik cahaya sama sekali dalam hati ini.Wanita itu begitu kasar padaku, kebenciannya pada Raya begitu mendarah daging, hingga wajah ku yang hanya mirip sekilas, membuat dia kalap, dan begitu jijik melihat ku.Apalagi kini aku sedang mengandung benih dari anak semata wayangnya, kebenciannya kini terhadap ku kian bertambah besar.Tidakkah dia melihat sisi gelap putranya, dan jangan terus-terusan mengintimidasi ku, hingga aku terpojok, aku begini karena perbuatan bejat putra kesayangannya.Ku seka air mata yang masih membasahi pipi, dengan jemariku, hati ku kini luluh lantak, hancur sehancur-hancurnya oleh dua orang yang tak punya ha
POV Devan.Aku sangat bahagia mendengar Silvi mengandung anakku, namun aku bingung dengan Mama, karena Mama tambah membencinya."Devan, kamu pilih Mama, atau perempuan itu, jika kamu lebih memilih dia, Mama akan angkat kaki dari rumah mu! Dan Mama takkan pernah, menginjakkan kaki lagi di rumah ini!" sungut Mama menuding tangannya ke arah Silvi.Tak ada yang harus aku pilih, kedua wania itu sama-sama penting dalam hidupku. Aku kini berada di posisi yang sulit, jika aku memilih Silvi.Mama akan begitu marah pada ku, aku tak mau menjadi anak yang membangkang, tapi aku juga tak mungkin mencampakkan gadis yang sudah aku rusak masa depannya.Aku bersimpuh di hadapan Mama, yang sedang duduk di sofa menyilang kaki seraya menyedekapkan tangannya di depan dada dengan angkuh.Ku tundukan kepala di pangkuan Wanita bertubuh proporsional dengan balutan dress tunik lengan panjang warna coklat tua, berharap hatinya bisa sedikit terbuka untuk Silviana.
POV Silvi."Oh, iya Dok, kira-kira usia kandungan istri saya berapa Minggu?" ucap Devan, menatap wajah Dokter Hendri dengan serius."Eum, kalau di lihat dari hasil HPHT, sekitar tujuh Minggu,""Tapi, saya heran Dok, kenapa istri saya bisa begitu mual, dengan mencium aroma tubuh saya?" tanya Devan keheranan dengan tingkahku yang mendadak mual dan ingin muntah bila dekat dengannya."Itu hal yang wajar Pak Devan, karena di trimester pertama kehamilan, seorang wanita hamil mengalami peningkatan hormon, itulah yang menyebabkan istri Bapak, mual dan muntah," ujar Dokter panjang lebar.Devan begitu serius menanggapi penuturan Dokter Hendri."Saya faham Dok, tapi apakah ini berpengaruh terhadap janinnya? Apakah berbahaya?""Tidak, jika itu masih di batas wajar. Namun asupan nutrisi harus di perhatikan, meskipun Bu Silvi merasa mual, tapi harus di usahakan untuk tetap makan, meskipun sedikit, dan konsumsi susu emesis untuk mengurangi rasa mual,"