Di meja makan sudah tersaji nasi putih ayam goreng dan cumi pedas manis juga sup ayam jamur, sebagai pelengkap lalapan selada air mentimun dan sambal goreng, minumannya jus buah, dan untuk cuci mulut beberapa jenis buah tersedia di meja makan, mangga yang tadi kami kupas pun ikut serta di hadapan kami.
Jauh berbeda dengan menu setiap hari di rumah ku, setiap pagi aku sarapan nasi uduk sama bihun goreng, tempe orek, kerupuk udang, makan siang alakadarnya kalau ada telur sisa ibu jualan, ya kami makan telur meski satu butir di bagi dua, makan malam tumis-tumisan jarang sekali kami makan ayam apalagi lauk yang enak mungkin tidak pernah.
Ya Tuhan... Apa-apaan aku ini masih saja membandingkan kehidupan orang lain dengan kehidupan ku, yang jauh berbeda. Aku mengusap wajah, menyadarkan diri ini yang terhanyut dalam lamunan.
Masih beruntung aku bisa makan 3 kali sehari walaupun makan seadanya, di luaran sana masih banyak orang yang ketemu nasi hanya sekali sehari, bahkan mungkin ada yang tak bisa makan. Hah, aku harus selalu bersyukur atas apa yang di berikan oleh Tuhan, dan apa yang ku miliki.
"Silvi, ayo makan! Gak usah sungkan!" ucap Mbak Karina, membuyarkan lamunanku. Dia menyodorkan wadah berisi nasi ke hadapan ku, setelah dia menyendok nasi untuk Mas Andri dan dirinya.
"Iya Sil, gak usah canggung!" sambung Nabila, sambil menyendok cumi pedas manis dari mangkuk keramik, lalu ia bubuhkan di atas nasi panas yang masih mengepul.
"Makan, Sil! Dari tadi Mas perhati'in, kamu tuh melamun... aja emang mikirin apa sih?" tanya Mas Andri penuh selidik.
"Gak, mikirin apa-apa," sanggah ku seraya menggelengkan kepala.
"Ya udah, kalau gak mikirin apa-apa, kenapa dari tadi bengong aja," tanya Mas Andri lagi.
"Aku cuma inget Ibu, kasian dia, aku pergi gak ada yang membantu pekerjaannya,"
"Kan ada Adik-adikmu, masa gak pada mau bantuin ibunmu,"
"Moga aja sih," sahut ku, lalu menyendok nasi ke piring keramik putih yang ada di hadapanku.
Aku menghawatirkan ibu, takut adik-adikku tak mematuhi pesan ku, saat sebelum berangkat, aku meminta mereka untuk selalu membantu pekerjaan ibu, aku juga belum bisa memberinya kabar, aku tak punya handphone, meskipun pinjam pada Nabila untuk menghubungi ibu, ya sama saja di rumah juga tak ada handphone.
"Oh iya Sil, Karina udah ngomong belum sama kamu? Prihal pekerja'an untuk kamu?" tanya Mas Andri menatapku, lalu beralih pandangannya pada Mbak Karina.
"Eum, udah Mas, Mbak Karina udah ngomong sama aku,"
"Terus, gimana? kamu mau kerja di tempat lain?" tanya Mas Andri, di sela suapan nya.
"He'm, iya aku mau Mas, yang penting aku bisa kerja," sahutku. Nabila menatapku lalu beralih pandangannya ke arah Mbak Karina juga Mas Andri.
"Loh kok, terus Silvi, gak kerja di cafe Mbak?" sela Nabila menghentikan suapannya menatap Mbak Karina dengan alisnya yang bertaut.
"Gak Nab," jawab Mbak Karina.
"Emangnya, kenapa Mbak? Kok gitu sih? Mbak jangan PHPin orang dong!" tukas Nabila.
"Di cafe Mbak gak ada lowongan Nabila... Makanya, Silvi Mbak oper ke cafe teman Mbak, kebetulan dia butuh tambahan karyawan,"
"Terus, Silvi gak jadi tinggal di sini dong,"
"Gak lah Nab, kalau Silvi tinggal di sini, ke jauhan dia ke tempat kerjanya,"
"Hm." Nabila nampak kecewa wajahnya memberengut, "Aku tuh berharap Silvi tinggal di sini! Biar aku ada temennya," lanjutnya seraya melipat kedua tangannya di meja dengan bibir mengerucut.
"Kan ada si Chiko Bila, bilang gak ada temen,"
"Ah, Mbak Chiko kan kucing, gak bisa di ajak curhat, sama aku,"
"Curhat, Hm..." Mbak Karina tersenyum miring, mengejek Nabila, "Lah kamu, bilang gak ada temen curhat, kaya punya pacar aja."
Percakapan di meja makan membuat cair suasana, kami berempat tertawa renyah bersama keluarga kecil ini, dan aku merasa betah berada di tengah-tengah mereka meskipun jauh dari orang tua, seperti di dalam keluarga sendiri.
*
Pagi hari pukul setengah 9 setelah sarapan pagi, aku membatu Mbak Karina mencuci piring juga mengepel rumah, memang pekerjaan itu sudah biasa aku lakukan setiap hari, jika aku tak beraktivitas di pagi hari rasanya ada yang kurang, kini aku sudah siap, untuk pergi ke tempat yang di katakan oleh Mbak Karina. Hari ini aku mengenakan baju yang sedikit usang, memang aku tak punya baju yang bagus.
"Silvi, ayo berangkat!" ajak Mbak Karina, menepuk pundak ku, dari belakang sa'at aku sedang menjemur handuk bekas Nabila pakai di halaman belakang.
"Iya Mbak, sebentar ya! aku mau ngambil tas dulu," ucapku sambil berlalu ke kamar Nabila yang sudah ku rapikan sebelumnya, dia sudah pergi dari tadi pagi ke kampus katanya ada kelas.
Ku buka lemari plastik, dan mengambil tas ransel butut ku yang berada di dalam, lalu aku masukkan baju-baju ku yang kemaren siang aku tata di lemari, karena kemarin Nabila menyuruh ku, meletakkan nya di sana, karena menurut dia aku akan tinggal di sini, jika aku kerja di cafe Mbak Karina.
Lalu aku berdiri di depan meja rias, merapikan rambut, dan aku ikat panjang, dengan gerak cepat aku keluar dari kamar Nabila, takut Mbak Karina kelamaan menungguku.
"Mbak ayo!" ucap ku berdiri di dekat sofa ruang tengah.
Mbak Karina menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku mengerti, entah dia merasa aneh atau iba melihat penampilanku, dengan rok payung setengah betis, yang sudah lusuh, dan blouse warna peach bekas ibu, memang aku tak punya baju, hanya baju bekas ibu muda dulu, semuanya turun pada ku.
"Sil." Dia berdiri di samping ku, menatapku dari atas sampai bawah, sambil memegang pundak ku.
"Iya, ada apa Mbak?" sahutku polos.
"Sil, ini baju_" ucapannya terhenti. "Ma'af ya! Bukannya Mbak mau menghina, atau menyinggung perasaan kamu, tapi ini baju, udah jelek banget, ikut ke kamar Mbak yuk! Kita cari baju, yang udah gak muat di badan Mbak, siapa tau ada yang cocok di badan kamu?" ucap Mbak Karina berjalan menaiki undakan tangga, lalu masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua, akupun mengekorinya dari belakang.
Mbak Karina membuka lemari dan berjongkok aku hanya berdiri di ambang pintu. Dia mengeluarkan baju dari dalam lemari paling bawah.
"Silvi, sini!" panggil Mbak Karina menoleh padaku seraya menganggukkan kepalanya.
"Iya Mbak." Aku pun mendekat berdiri di samping nya.
Mbak Karina menyodorkan beberapa stel pakaian yang masih bagus, malah lebih bagus dari pada baju-baju, yang aku punya, yang menurut ku baju paling bagus sekalipun.
"Silvi, ini pilih sendiri mana yang muat di tubuh kamu, silahkan kamu ambil, mau 3, 4 kek, terserah!" ucap perempuan bertubuh gemuk dengan blouse lengan pendek warna merah maroon dan celana bahan warna hitam, tatanan rambut di Curly.
"Makasih Mbak," jawabku sambil mengulas senyuman. Lalu Mbak Karina melirik pada tas ransel yang masih ada di tanganku. Dia membalikkan badannya dan membuka lemari kayu jati samping tempat tidur, ia meraih sesuatu entah apa yang dia ambil, dan yang ia keluarkan.
"Silvi, pake ini aja ya! buat tempat baju kamu!" ucap Mbak Karina menyodorkan koper warna coklat lalu ia membuka nya.
"Gak usah Mbak!" sergah ku, aku tak enak hati Mbak Karina terlalu baik.
Sama seperti Nabila dia baik dulu waktu kami masih sekolah aku sering di beri baju bekas dia pakai, tentunya ya baju masih layak, namun tak pernah ada yang muat, Karena tubuh dia bongsor bajunya pun kegedean di badanku, bahkan buku tulis pun dia sering memberikannya.
"Silvi, gak usah nolak! itu tas udah rusak, mending Mbak buang sekalian!" tekannya. Aku pun mengangguk patuh. Dan akhirnya ku mengambil koper kecil pemberian Mbak Karina untuk tempat pakaian.
"Bawa baju-baju ini ke kamar Nabila, kamu ganti baju yang kamu pakai! Bukannya Mbak mau merendahkan kamu, namun Mbak gak mau ada orang yang mengejek mu, akrena pakaian mu sudah lusuh kaya gini,"
"Tapi Mbak,"
"Gak usah tapi-tapian! Sana bawa ini baju Mbak buat kamu salin!"
"Iya Mbak, makasih."
Akupun kembali ke kamar Nabila sambil membawa beberapa stel baju dan koper kecil yang di berikan oleh Mbak Karina. Ku masuk ke dalam kamar Nabila sambil membawa baju pemberian Mbak Karina.
Ku coba satu persatu dan ada satu yang muat di tubuh tinggi dan jenjang ini, dress warna pink pastel lengan pendek sangat pas membalut tubuh ini, ku berdiri di depan cermin menatap pantulan tubuh dan wajahku, aku sempat terperangah menatap diri ini, cantik dan modis. Akupun keluar dari kamar Nabila.
"Silvi." Mbak Karina menatapku dengan kagum, senyumnya merekah menghiasi wajah cantik nya. "Waw... Kamu cantik sekali, Mbak sampai pangling loh."
"Ah Mbak bisa aja," sergah ku aku tersipu malu di puji seperti itu.
15 menit perjalanan kami lalui, menuju tempat yang di janjikan oleh Mbak Karina. Mas Andri mengurangi laju kendaraannya, lalu membelokan mobilnya dan menepi di halaman sebuah bangunan. Aku melongok dari kaca jendela mobil mataku mengedar keluar, tempatnya sangat asing bagiku."Mbak, emang kita sudah sampai?" tanya ku pada Mbak Karina yang duduk di kursi depan samping Mas Andri.Mbak Karina memutar tubuhnya menoleh padaku, "Iya Sil, kita sudah sampai, sekarang kita turun yuk!" ajak Mbak Karina sambil menganggukkan kepala."Iya Mbak." Akupun membuka pintu mobil dan turun ku seret koper berisi baju-baju pemberian Mbak Karina, aku mendongak menatap papan nama yang terpampang di atas kanopi, (Maya coffe shop). Aku langsung menyimpulkan bahwa pemilik tempat ini bernama Maya.Kami bertiga berjalan menaiki undakan tangga menuju pintu. Aku berjalan paling belakang mengikuti Mbak Karina, Mas Andri mendorong pintu kaca yang masih ada tulisan tutup yang menempel di kaca.
Ku kenakan baju seragam kemeja lengan pendek hitam kombinasi warna merah di sisi kanan nya, dan celana jeans hitam, rambut panjang ku, ku ikat kuncir kuda, lalu ku buka pintu toilet, aku keluar berdiri di depan lorong toilet dan musholla. Ku pejamkan mata sejenak menetralkan rasa gugup, karena hari ini adalah hari pertama ku bekerja, dan akan berhadapan dengan orang banyak.Meski gaji yang di janjikan hanya 3,5 juta perbulan namun aku tetap bersyukur, tekad ku mencari kerja tak lain hanya untuk membahagiakan keluarga dan membatu ibu melunasi hutangnya ke rentenir, walaupun gajiku sebulan takkan cukup untuk membayar hutang, tapi aku akan fikirkan nanti, aku percaya semua masalah pasti ada jalan keluarnya, yang penting kita berusaha.Ku berdoa semoga di hari pertama ku ini bekerja, aku di berikan kelancaran oleh Tuhan, agar aku bisa menjalankan tugas dan melayani para pengunjung dengan baik, semoga saja aku bisa di percaya oleh Bu Maya yaitu Bos baru ku.Pukul 10 pag
"Bu," ucapku pada perempuan yang bertugas sebagai kepala bagian dapur, "Ini Bu, ada yang pesan lasagna!""Oh, iya," sahutnya menoleh ke arahku, dan mengambil kertas catatan dari tangan ku, dia pun menginformasikan kepada asisten chef, lalu ia kembali fokus mengecek makanan sebelum di antar oleh para waiters, ke meja pelanggan."Sil, antarkan dulu makanan ini ke meja Nomor 13! Sambil menunggu lasagna siap di sajikan!" titah kepala bagian."Baik Bu."Akupun mengangguk patuh, dan mengambil nampan dengan piring berisi kentang goreng saus keju, dengan toping keju parut di atasnya, juga segelas minuman dingin, dari tampilannya nampak begitu segar, rasanya ingin sekali aku meneguknya.Jangankan pernah meminumnya, melihatnya saja baru kali ini dalam seumur hidupku, rasanya seperti apa aku tak tau? membuat kerongkonganku semakin dahagaku. Aku hanya bisa menelan ludah.Aku keluar dari dapur sambil berjalan menuju meja Nomor 13, sesuai yang di perintahkan ol
Pukul 12.30 siang, tubuhku sangat lelah, dari pertama datang ke sini belum sempat istirahat walau sejenak, Sementara karyawan yang lain sudah istirahat bergantian, namun aku belum mendapatkan giliran, karena Bu Ema belum juga menyuruh ku.Aku tak berani meminta izin padanya karena aku anak baru, ya aku sedisuruh nya saja, meski letih namun aku harus menjalani pekerjaan ku dengan tuntas.Setelah mengantarkan pesanan aku kembali ke dapur, duduk menekuk lutut seraya menyenderkan punggung di tembok untuk menghilangkan rasa lelah, sambil melihat Bapak koki yang masih sibuk memasak."Silvi." Bu Ema datang menghampiri dan berdiri di samping ku."I, iya Bu." Aku terperanjat, berdiri dengan gerakan cepat, merapatkan tangan dan kakiku sambil merundukan kepala, "Apa, ada tugas lagi untuk saya Bu?""Gak ada, Sil, istirahat dulu sana! Kamu pasti sudah lapar kan?""Iya Bu,""Sil, Waktu istirahat kamu setengah jam ya, Pergunakan dengan baik! Hanya un
*Satu Minggu aku berkenalan dengan Mas Alex, dia orangnya sangat baik dan perhatian tak ayal jika aku pulang dari bekerja, shift 2 dia sering mampir membawakan makanan untuk ku.Aku selalu menolak, namun aku tetap tak bisa menolaknya, jika aku tak mau menerima dia selalu mengatakan, tak menghargai pemberian orang lain, dengan terpaksa aku menerima nya meskipun aku tak mau."Silvi," panggil Mas Alex dari luar seraya mengetuk pintu kontrakan ku."Iya Mas," gegas aku membuka pintu dan keluar dari kamar kontrakan, "Ada apa Mas?" tanyaku berdiri di ambang pintu."Sil, kita jalan yuk!" ajaknya."Kemana?""Ini kan malam Minggu, Aku ingin mengajakmu jalan! Ada sesuatu yang harus aku katakan sama kamu!" ucap Pria berkemeja putih dan celana jeans hitam penampilan sangat rapi dan wangi."Ya, ngomong aja! Disini juga gak apa-apa." Aku tergagap apa yang mau dia katakan, sampai mengajak aku pergi bersamanya."Sil, aku mau mengajakmu ke suatu tem
"Ini karyawan Ibu, tak mampu bekerja dengan baik," tukas Pria berjambang itu."Iya kami, merasa tak nyaman dengan pelayanan cafe ini, karena waitress anda kurang profesional, sebaiknya anda memilih karyawan yang bisa di andalkan!" timpal Pria berjas hitam tak memiliki jambang, namun tubuhnya sama-sama besar.Aku menarik nafas kesal, "Bu, kan biasanya kami para waiters, bekerja seperti yang sudah di perintahkan, dan sudah sesuai prosedur yang di tentukan,""Silvi, kamu jangan membantah dan jangan bersikap seperti itu pada Pak Devan dan Pak Reno! Kamu harus mengedepankan dan mengutamakan kenyamanan Pak Devan!" omel Bu Maya."Tapi Bu,""Kamu ikut, ke ruangan saya sekarang!" Bu Maya sepertinya marah besar padaku, dari sikapnya yang ketus, padahal aku tak membuat kesalahan, tapi kenapa dua Pria itu malah mengintimidasi ku, aku benar-benar tak mengerti.Ku melirik pada wajah dua Pria aneh itu, mereka saling menoleh dan tatapannya bertemu, sambil menunju
Kurapikan meja dan kursi bekas tempat duduk Devan dan Reno, makanan yang ia pesan tadi sama sekali belum ia sentuh dan di tinggal begitu saja."Dasar, orang kaya," gerutuku sambil meletakan dua piring berisi steak ke atas nampan, juga gelas berisi Orange jus yang masih penuh ku taruh di sudut meja."Mentang-mentang banyak uang, tak pernah menghargai makanan, dan kerja keras orang lain, kalau dia tak mau memakannya, ya udah, gak usah di pesan, untuk apa coba, dia memesannya padaku, kalau ujung-ujungnya gak di makan, hanya ingin mengerjai ku saja, gara-gara dia, kan aku di marahi sama Bu Maya," omel ku sambil bergumam.Aku tak peduli meski banyak pasang mata para pelanggan memerhatikan ku, karena aku terus saja bersungut-sungut, rasa kesal yang masih berkecamuk di dalam dada ini, membuatku tak puas-puasnya mengomel, gara-gara ulah Pria tampan tapi aneh tadi.Beberapa pengunjung ada yang menggeleng pelan, ada juga yang menatapku dengan tatapan bermacam art
"Mbak, jadi gak nganterin aku ke rumah Devan?""Ma'af ya Sil! Aku lupa, kalau aku gak bisa antar kamu, hari ini aku mau ke rumah Kakak ku, Ma'af ya sekali lagi!" ucap Mbak Ridha sambil menggenggam tanganku."Eum, ya sudah," jawabku sambil memberengut.Aku sedikit agak kecewa karena Mbak Ridha tidak jadi menemani ku ke rumah Devan, kemarin sore dia berjanji akan mengantarkan ku, namun karena dia ada urusan lain, akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri.Sebenarnya aku sangat lelah dan mengantuk, ingin sekali aku merebahkan tubuh ini dan beristirahat sejenak, karena hampir semalaman aku terjaga mataku tak kunjung terpejam, di otakku terus berputar memikirkan perkataan Mbak Ridha, yang mengusulkan ku untuk menerima tawaran kerja dari Devan, agar aku bisa melunasi hutang ibu.Atas dorongan dari Mbak Ridha, akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran Devan, meski aku tak tau pekerjaan apa yang akan aku jalani nanti, memang ada sedikit keraguan di hati
POV Author.Gadis yang tengah terlelap, ia terkesiap seketika seraya membuka matanya, saat bahunya di cekal erat oleh seseorang."Siapa kalian?" tanya Silvi pada lelaki berkaos hitam tanpa lengan, dengan celana jeans robek-robek di bagian dengkulnya, kulitnya hitam dan berambut gondrong berwajah garang."Tolong, jangan sakiti saya!" rengek Silvi ketakutan, dia meremat handuk yang ada di pelukannya, dengan tubuh gemetar."Gadis cantik, kenapa kamu sendirian? Kami temani ya, biar kamu tidak kesepian!" timpal Pria berbadan gempal dengan kemeja garis-garis, lengannya ia lipat sebahu. Celana jeans sama robek-robek, berambut gimbal berkumis tebal dan berkulit gelap.Sorot ke-dua mata pria itu penuh dengan nafsu saat melihat bagian paha Silvi yang putih dan mulus."Ayo ikut kami!" ajak Pria berambut gondrong tersebut. Mencekal kedua lengan Silvi."Tolong! Tolong!" Silvi berteriak sekuat tenaga, saat dia di seret oleh kedua Pria itu. Dan membawa Sil
POV Devan.Aku mengitari kota ini hingga larut malam tak ada tanda-tanda keberadaan Silvi sama sekali, sambil mengemudi pandangan ku terus mengedar ke kanan dan kiri berharap menemukan gadis itu.Semoga Tuhan melindungi kekasihku! Aku takut terjadi apa-apa dengan dia, Aku begitu menghawatirkannya, ku susuri kota ini hingga ke setiap pelosok, namun hasilnya sama saja nihil.Ku menepikan kendaraan di bahu jalan yang sepi, lalu ku ambil ponsel yang ada di Dashboard mobil, dan ku tekan tombol navigasi lalu ku usap layar gawai, gegas aku klik aplikasi berwarna hijau dan mulai menghubungi Reno, yang aku perintahkan mencari Silvi."Ren, bagaimana, apa sudah ketemu?" tanyaku dengan perasaan cemas."Maaf Pak! Saya belum menemukan Non Silvi," jawab Reno dari seberang sana."Hah." Ku tarik nafas dalam-dalam, ya Tuhan... Harus kemana lagi aku mencari Silvia, sudah hampir dini hari namun keberadaan Silvi belum sama sekali di ketahui."Lalu, bagaimana ini
POV Silvi.Aku berteduh dari derasnya hujan, yang mengguyur seluruh kota ini, hingga Malam terasa begitu dingin menusuk tulang, langit pun begitu gelap tak ada cahaya rembulan yang menyinari.Di tengah heningannya malam dan derasnya hujan, ku duduk di bale bambu sebuah warung bangunannya terbuat dari kayu, ku kira warung bekas penjual bensin, menurut asumsi ku, terlihat dari rak kayu kecil yang ada di ujung tiang, dengan beberapa botol beling yang bertengger di sana.Aku ketakutan dan kesepian, pandangan ku mengedar ke sekeliling warung, sepertinya tempat ini lama tak di tinggali, terlihat dari debu yang tebal menempel di seluruh permukaan tempat ini.Di keheningan malam dengan cahaya temaram lampu pijar lima wat yang menggantung di atap, aku duduk seorang diri menekuk lutut seraya memeluk tubuh yang menggigil, begitu sepi tak ada tanda-tanda kehidupan, kendaraan pun tak ada yang lalu lalang melintasi jalan di hadapan ku ini.Semakin malam h
POV Devan.Hati ku begitu gelisah fikiran ku di penuhi oleh bayangan Silvi, entah apa yang terjadi padanya, semoga saja dia baik-baik di rumah. Tadi pagi aku titipkan dia pada Bi Rika, hanya dia satu-satunya orang yang bisa aku percaya, untuk menjaga calon istri sekaligus calon ibu dari anakku.Agenda di kantor hari ini begitu padat sehingga aku melupakan Silvi, padahal aku sudah berjanji akan segera pulang dan mengantarkan dia ke kampung halamannya.Ku lirik jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul setengah dua siang, kemungkinan nanti aku pulang agak telat.Semoga saja Silvi masih mempercayai ku! Dan dia bersedia aku nikahi.Tapi aku berharap dia mau mengerti dengan pekerja'an ku di kantor yang tak bisa aku tinggalkan begitu saja.Setelah selesai mengurus dokumen persyaratan dan surat pengantar ke KUA, sekarang aku sudah siap sepenuhnya untuk menikahi Silvi, tak ku pungkiri aku begitu bahagia ingin segera membina rumah tangga
POV Silvi.Aku bangkit dengan perlahan, satu tangan menumpu di lantai, mengumpulkan kekuatan untuk ku berdiri, tangan ku yang lain memegangi perut yang sakit akibat benturan, saat Nyonya Amelia mendorong tubuh ku, hingga aku terhempas ke lantai konblok.Dengkul ku menghantam kerasnya lantai hingga lecet dan mengeluarkan darah. Sakitnya di tubuh tak seberapa jika di bandingkan dengan hancurnya hati ini."Silviana, cepat bangun! Dan segeralah angkat kaki dari rumah ini! Bawa barang rongsokan mu, jangan sampai ada yang tertinggal!" hardik Nyonya Amelia, dia berkacak pinggang di hadapan ku."I-iya Nyonya, saya akan segera pergi, dari sini!" jawab ku tergagap. Aku meringis masih memegangi perut, sambil berusaha bangkit, dan berdiri tertatih-tatih."Lelet banget sih, jadi Orang! Jangan sok mengiba, saya tidak mudah terpengaruh, dengan sandiwara kamu! Pake pura-pura lemas segala lagi!" Dia memutar bola matanya mendelik tajam pada ku."Saya, tidak p
POV Silvi.*Pagi ini aku keluar dari kamar mandi setelah membersihkan badan, ku kenakan baju dress tunik lengan panjang, dan bawahan se-dengkul, warna pastel, di padu padankan dengan sepatu flat warna senada, rambut panjang ku. Aku ikat separuh di bagian atasnya.Aku tak mengenakan seragam seperti yang lain, karena hari ini Devan berjanji akan mengajak ku pulang ke rumah ibu, untuk melamar ku dan dia juga berjanji akan mengikat janji suci di hadapan penghulu.Aku tak mengharapkan pesta pernikahan yang megah, aku hanya menginginkan status Ayah untuk anak ini.Sekarang perutku masih rata dan mungkin tak akan ada yang mengetahui kehamilan ku, jika aku pulang kampung. Aku akan merahasiakan kehamilan ku dari ibu dan juga semua orang, aku tak mau ada tau tentang aib ini.Sesa'at aku ke luar dari kamar mandi, dan berdiri di teras belakang, melihat kawan ART ku sedang sibuk menjemur pakaian ada juga yang menyirami tanaman, sambil menghirup udara se
POV Silvi.Diri ini menegang seketika sa'at Nyonya Amelia datang dan menyerang ku, dia mencerca ku habis-habisan, hati ku hancur berkeping-keping, mendengar cacian yang terlontar dari mulutnya yang tajam dan pedas, begitu pedih mengiris sanubari, membuat fikiran ku kalut seakan dunia ini gelap di penuhi kabut, tak ada setitik cahaya sama sekali dalam hati ini.Wanita itu begitu kasar padaku, kebenciannya pada Raya begitu mendarah daging, hingga wajah ku yang hanya mirip sekilas, membuat dia kalap, dan begitu jijik melihat ku.Apalagi kini aku sedang mengandung benih dari anak semata wayangnya, kebenciannya kini terhadap ku kian bertambah besar.Tidakkah dia melihat sisi gelap putranya, dan jangan terus-terusan mengintimidasi ku, hingga aku terpojok, aku begini karena perbuatan bejat putra kesayangannya.Ku seka air mata yang masih membasahi pipi, dengan jemariku, hati ku kini luluh lantak, hancur sehancur-hancurnya oleh dua orang yang tak punya ha
POV Devan.Aku sangat bahagia mendengar Silvi mengandung anakku, namun aku bingung dengan Mama, karena Mama tambah membencinya."Devan, kamu pilih Mama, atau perempuan itu, jika kamu lebih memilih dia, Mama akan angkat kaki dari rumah mu! Dan Mama takkan pernah, menginjakkan kaki lagi di rumah ini!" sungut Mama menuding tangannya ke arah Silvi.Tak ada yang harus aku pilih, kedua wania itu sama-sama penting dalam hidupku. Aku kini berada di posisi yang sulit, jika aku memilih Silvi.Mama akan begitu marah pada ku, aku tak mau menjadi anak yang membangkang, tapi aku juga tak mungkin mencampakkan gadis yang sudah aku rusak masa depannya.Aku bersimpuh di hadapan Mama, yang sedang duduk di sofa menyilang kaki seraya menyedekapkan tangannya di depan dada dengan angkuh.Ku tundukan kepala di pangkuan Wanita bertubuh proporsional dengan balutan dress tunik lengan panjang warna coklat tua, berharap hatinya bisa sedikit terbuka untuk Silviana.
POV Silvi."Oh, iya Dok, kira-kira usia kandungan istri saya berapa Minggu?" ucap Devan, menatap wajah Dokter Hendri dengan serius."Eum, kalau di lihat dari hasil HPHT, sekitar tujuh Minggu,""Tapi, saya heran Dok, kenapa istri saya bisa begitu mual, dengan mencium aroma tubuh saya?" tanya Devan keheranan dengan tingkahku yang mendadak mual dan ingin muntah bila dekat dengannya."Itu hal yang wajar Pak Devan, karena di trimester pertama kehamilan, seorang wanita hamil mengalami peningkatan hormon, itulah yang menyebabkan istri Bapak, mual dan muntah," ujar Dokter panjang lebar.Devan begitu serius menanggapi penuturan Dokter Hendri."Saya faham Dok, tapi apakah ini berpengaruh terhadap janinnya? Apakah berbahaya?""Tidak, jika itu masih di batas wajar. Namun asupan nutrisi harus di perhatikan, meskipun Bu Silvi merasa mual, tapi harus di usahakan untuk tetap makan, meskipun sedikit, dan konsumsi susu emesis untuk mengurangi rasa mual,"