Pukul 12.30 siang, tubuhku sangat lelah, dari pertama datang ke sini belum sempat istirahat walau sejenak, Sementara karyawan yang lain sudah istirahat bergantian, namun aku belum mendapatkan giliran, karena Bu Ema belum juga menyuruh ku.
Aku tak berani meminta izin padanya karena aku anak baru, ya aku sedisuruh nya saja, meski letih namun aku harus menjalani pekerjaan ku dengan tuntas.
Setelah mengantarkan pesanan aku kembali ke dapur, duduk menekuk lutut seraya menyenderkan punggung di tembok untuk menghilangkan rasa lelah, sambil melihat Bapak koki yang masih sibuk memasak.
"Silvi." Bu Ema datang menghampiri dan berdiri di samping ku.
"I, iya Bu." Aku terperanjat, berdiri dengan gerakan cepat, merapatkan tangan dan kakiku sambil merundukan kepala, "Apa, ada tugas lagi untuk saya Bu?"
"Gak ada, Sil, istirahat dulu sana! Kamu pasti sudah lapar kan?"
"Iya Bu,"
"Sil, Waktu istirahat kamu setengah jam ya, Pergunakan dengan baik! Hanya untuk makan dan melaksanakan ibadah, Nanti, kamu masuk kembali pukul 13.00, mengerti!"
"Baik Bu,"
"Kamu ambil jatah makan siang dulu, Satu box ya! di meja yang sudah di sediakan untuk para pegawai," ujarnya seraya menunjuk jarinya ke arah meja pojok dapur.
"Iya Bu." Aku mengangguk lalu mengambil box plastik jatah makan siang ku.
"Bu, saya mau minta izin!"
"Izin apa?"
"Apa boleh, saya membawa box ini ke musholla? Dan makan di sana?" ucap ku ragu.
"Silahkan, tapi jangan sampai mengotori area musholla, dan mengganggu orang, yang melaksanakan ibadah ya!"
"Baik Bu." Aku membawa box ke musholla yang temboknya berdampingan dengan tembok dapur.
Aku masuk ke musholla yang sepi, hanya ada satu karyawan perempuan sedang melaksanakan ibadah, lalu ku duduk di belakang perempuan itu, di pinggir tembok dekat koper coklat milikku.
Perut ku sangat lapar, ku buka dengan segera benda kotak berwarna merah yang berada di hadapan ku. Menu makanan yang lumayan enak bagiku, aku bersyukur karena mendapatkan jatah makan siang, yang cukup.
Jatah makan siang sebanyak ini untuk makan sendiri, sedangkan aku di rumah biasanya lauk segini di bagi tiga dengan Adik-adikku, Nasi putih telor dadar yang ukurannya cukup tebal dan besar, dan sayur lodeh, tempe tahu goreng, juga ada buah semangka satu potong, untuk cuci mulut.
Aku teringat saat dulu Ibu ku sedang sakit dan tak berjualan berhari-hari, tak ada pemasukan sama sekali, bahkan modal jualan Ibu pun sudah habis, bahan makanan sehari-hari saja sudah tak ada.
Masih terngiang di telinga ku hingga kini, rengekan si bungsu yang baru pulang sekolah, dia merebahkan tubuh kurusnya di bale bambu yang ada di dapur tempat aku duduk kala memotong dan meracik sayuran untuk bahan jualan Ibu.
"Kak, aku lapar," ucap Seno sambil mengusap-usap perutnya yang cekung dan terdengar bunyi perut kosong meminta isi.
"Nanti ya Dek!" ucapku menenangkannya, aku duduk di pinggir bale samping tubuhnya, lalu ku usap kepalanya sambil ku sodorkan gelas berisi air putih.
"Aku pengen makan Kak!, bukan mau minum," rengeknya lagi. Aku pun berjalan menuju sudut dapur, berjongkok di dekat tempat penyimpanan beras.
"Sabar ya Dek! Kakak mau masak nasi dulu!"
Ku buka tutup gentong tempat menyimpan beras, dan aku keruk dengan tempurung kelapa yang ibu gunakan sebagai literan, ku keruk hingga beberapa kali agar berasnya terkumpul semua, dada ku sesak melihat Adikku yang kelaparan, namun beras hanya tinggal satu mangkuk saja.
Gegas aku mencucinya dan ku masak di atas panci yang terjerang di atas tungku terbuat dari tanah liat, ku campur dengan air satu gayung agar menjadi banyak dan ku masak dengan api besar ku aduk terus menerus supaya cepat matang.
Setelah beberapa saat beras pun menjadi lunak sengaja ku membuatnya menjadi bubur agar kebagian semua, dan kami bisa makan, ku taburkan garam secukupnya untuk menambah rasa, setelah matang aku bagi empat mangkuk dan sisanya untuk makan malam.
Dari semua pengalaman hidup ku yang sulit dan serba kekurangan, apa lagi ibu mempunyai hutang ke rentenir, yang harus segera aku lunasi, aku tak ingin rumah peninggalan ayah kami di sita oleh Bu Tati untuk menutupi seluruh hutang.
Aku tak mau kami tidak punya tempat tinggal, hingga aku bertekad ingin membahagiakan Ibu dan Adik-adikku, dan membawa mereka keluar dari kemiskinan, apapun caranya aku akan berjuang demi mereka.
Dua hari aku jauh dari keluarga, aku merasakan kerinduan yang amat dalam kepada mereka, namun aku tepis demi cita-cita.
"Mbak," panggil perempuan yang baru selesai beribadah dia menghampiri ku.
"Iya," sahut ku terkejut, aku menoleh suaranya membuat aku tersadar dari lamunan.
"Kamu, baru makan Mbak?" tanyanya lalu duduk di samping ku, perempuan berambut sebahu di kuncir satu, wajahnya bulat pipi chubby, tubuhnya agak gemuk tinggi sekitar 154 cm. Usia kira-kira 20.
"Iya Mbak, aku baru kebagian jatah istirahat,"
"Oh, Kamu karyawan baru kayanya ya, Mbak?"
"Iya, aku baru hari ini, Mbak udah lama kerja di sini?" Aku balik tanya.
"Baru, satu Minggu,"
"Eum... berarti kita sama-sama karyawan baru, cuma beda dikit," ucapku sambil tersenyum, "Oh iya Mbak, makan bareng yuk!"
"Terimakasih, aku udah makan," tatapan mata perempuan itu tertuju pada koper di samping ku, "Mbak, kok bawa koper segala?"
"Iya, aku baru sampai kemaren sore, dan langsung dapat pekerjaan, tapi belum mendapatkan kos-kosan atau rumah kontrakan,"
"Eum, gini aja, mau gak tinggal sama aku? Dan kita bayarnya separuh-separuh!"
"Mau Mbak," jawabku antusias, "Tapi di mana tempatnya, jauh gak dari sini?"
"Deket kok, cuma 10 menit, jalan kaki juga sudah sampai,"
"Oh, aku mau banget,"
"Nama kamu Siapa? Kita belum berkenalan, loh,"
"Aku Silvi, terus nama Mbak siapa?" Ku balik bertanya.
"Panggil aja Ridha, Ya udah sekarang kamu makan dulu! Nanti jam 3 setelah pekerjaan kita beres, kamu tunggu aku di depan pintu, kita sekalian pulang ke rumah kontrakan ku!"
"Iya Mbak."
"Aku duluan ya," ujarnya menepuk bahuku dan berlalu dari musholla.
Aku senang akhirnya aku akan mendapatkan kos-an, jadi aku takkan merepotkan Bu Maya untuk tinggal di rumah nya, Walaupun dia mengizinkan ku untuk tinggal di rumahnya untuk sementara waktu, tapi aku tetap tak mau lebih banyak lagi merepotkan Beliau, di beri pekerjaan saja aku sudah cukup dan bersyukur.
*
Pukul 3 siang waktunya karyawan shift pagi pulang, setelah serah terima pekerjaan dengan karyawan shift 2 masuk, terlebih dahulu aku berpamitan pada Bu Maya sebelum pulang bahwa aku sudah mendapatkan kos-an, dia pun mengiyakan nya. Aku berdiri di depan cafe menunggu Ridha teman baruku datang.
"Hai, Sil," ucap Mbak Ridha menepuk pundak ku. Aku pun menoleh padanya.
"Iya Mbak,"
"Sil, Ayo kita pulang!"
"Yuk!"
Kamipun menyebrang jalan yang lumayan ramai lalu lintas, masuk ke sebuah gang kanan kirinya rumah-rumah besar dan bagus, hanya beberap menit kami sampai di tempat tujuan, mataku mengedar ke sekeliling aku berdiri di depan rumah petak dinding tembok warna kuning.
"Sil, kita sudah sampai, ayo masuk!" ajak Mbak Ridha seraya membuka pintu kayu bercat biru.
"Iya Mbak." Aku membuka sepatu dan meletakkan nya di undakan teras lalu aku masuk ke dalam sambil menyeret koper.
Rumah kontrakan yang tak begitu besar namun cukup untuk kami tinggal berdua di sini, ruang depan ada TV 14 inci di atas rak kayu, lalu aku masuk ke ruang tengah tak banyak perabotan hanya ada kasur lantai dan lemari plastik berwarna merah dan kipas angin gantung di atas plafon.
"Duduk Silvi!"
"Iya Mbak." Aku pun duduk sambil meletakkan koper di dekat dinding tembok.
"Sil, kamu mau mandi duluan, atau aku dulu?"
"Mbak aja dulu, kan Mbak pemilik rumah ini,"
"Ini kan, rumah kamu juga,"
"Iya Mbak, tapi aku pengen ngadem dulu di teras," ucapku.
Ku duduk selonjoran di tembok pembatas teras sambil menyenderkan punggung, memerhatikan anak-anak yang sedang bermain petak umpet, di halaman kontrakan membuat aku teringat dengan Adik-adik ku.
Sa'at aku sedang melamun tiba-tiba ada suara deru motor menepi di jalan tepat di hadapan ku, aku tak memperdulikannya, tatapanku lurus pada anak-anak yang riang bermain bersama kawannya.
"Hai Sil, ternyata kamu tinggal di sini ya?" Suara itu membuat aku terkesiap. Aku menegakkan tubuh seraya menurunkan kedua kaki ku ke lantai.
"I, iya." Aku gugup ternyata Pria yang di cafe tadi pagi, dia yang menemukan dompet ku.
"Sil, boleh saya ikut duduk?" ucapnya sambil turun dari sepeda motor Ninja merah.
"Boleh, silahkan duduk!" Dia berjalan menuju ke arah ku, lalu dia pun duduk di tembok pembatas di samping ku.
"Kenalin, saya Alex," ucapnya seraya mengulurkan tangannya. Aku pun membalas uluran tangannya. Sambil mengangguk kecil, dan kutarik kembali tangan ku.
"Sil, kamu baru tinggal di sini ya?" tanyanya sambil menatap wajah ku.
"Iya Mas, aku di ajak sama Mbak Ridha, tinggal di sini." Aku menundukkan wajah dari tatapan mata Mas Alex, sambil menautkan kedua tanganku dan ku di pangkal dengkul ku.
Ku melihat ada sesuatu dari sorot matanya sejak awal kami bertemu, entah apa arti dari tatapannya itu.
*Satu Minggu aku berkenalan dengan Mas Alex, dia orangnya sangat baik dan perhatian tak ayal jika aku pulang dari bekerja, shift 2 dia sering mampir membawakan makanan untuk ku.Aku selalu menolak, namun aku tetap tak bisa menolaknya, jika aku tak mau menerima dia selalu mengatakan, tak menghargai pemberian orang lain, dengan terpaksa aku menerima nya meskipun aku tak mau."Silvi," panggil Mas Alex dari luar seraya mengetuk pintu kontrakan ku."Iya Mas," gegas aku membuka pintu dan keluar dari kamar kontrakan, "Ada apa Mas?" tanyaku berdiri di ambang pintu."Sil, kita jalan yuk!" ajaknya."Kemana?""Ini kan malam Minggu, Aku ingin mengajakmu jalan! Ada sesuatu yang harus aku katakan sama kamu!" ucap Pria berkemeja putih dan celana jeans hitam penampilan sangat rapi dan wangi."Ya, ngomong aja! Disini juga gak apa-apa." Aku tergagap apa yang mau dia katakan, sampai mengajak aku pergi bersamanya."Sil, aku mau mengajakmu ke suatu tem
"Ini karyawan Ibu, tak mampu bekerja dengan baik," tukas Pria berjambang itu."Iya kami, merasa tak nyaman dengan pelayanan cafe ini, karena waitress anda kurang profesional, sebaiknya anda memilih karyawan yang bisa di andalkan!" timpal Pria berjas hitam tak memiliki jambang, namun tubuhnya sama-sama besar.Aku menarik nafas kesal, "Bu, kan biasanya kami para waiters, bekerja seperti yang sudah di perintahkan, dan sudah sesuai prosedur yang di tentukan,""Silvi, kamu jangan membantah dan jangan bersikap seperti itu pada Pak Devan dan Pak Reno! Kamu harus mengedepankan dan mengutamakan kenyamanan Pak Devan!" omel Bu Maya."Tapi Bu,""Kamu ikut, ke ruangan saya sekarang!" Bu Maya sepertinya marah besar padaku, dari sikapnya yang ketus, padahal aku tak membuat kesalahan, tapi kenapa dua Pria itu malah mengintimidasi ku, aku benar-benar tak mengerti.Ku melirik pada wajah dua Pria aneh itu, mereka saling menoleh dan tatapannya bertemu, sambil menunju
Kurapikan meja dan kursi bekas tempat duduk Devan dan Reno, makanan yang ia pesan tadi sama sekali belum ia sentuh dan di tinggal begitu saja."Dasar, orang kaya," gerutuku sambil meletakan dua piring berisi steak ke atas nampan, juga gelas berisi Orange jus yang masih penuh ku taruh di sudut meja."Mentang-mentang banyak uang, tak pernah menghargai makanan, dan kerja keras orang lain, kalau dia tak mau memakannya, ya udah, gak usah di pesan, untuk apa coba, dia memesannya padaku, kalau ujung-ujungnya gak di makan, hanya ingin mengerjai ku saja, gara-gara dia, kan aku di marahi sama Bu Maya," omel ku sambil bergumam.Aku tak peduli meski banyak pasang mata para pelanggan memerhatikan ku, karena aku terus saja bersungut-sungut, rasa kesal yang masih berkecamuk di dalam dada ini, membuatku tak puas-puasnya mengomel, gara-gara ulah Pria tampan tapi aneh tadi.Beberapa pengunjung ada yang menggeleng pelan, ada juga yang menatapku dengan tatapan bermacam art
"Mbak, jadi gak nganterin aku ke rumah Devan?""Ma'af ya Sil! Aku lupa, kalau aku gak bisa antar kamu, hari ini aku mau ke rumah Kakak ku, Ma'af ya sekali lagi!" ucap Mbak Ridha sambil menggenggam tanganku."Eum, ya sudah," jawabku sambil memberengut.Aku sedikit agak kecewa karena Mbak Ridha tidak jadi menemani ku ke rumah Devan, kemarin sore dia berjanji akan mengantarkan ku, namun karena dia ada urusan lain, akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri.Sebenarnya aku sangat lelah dan mengantuk, ingin sekali aku merebahkan tubuh ini dan beristirahat sejenak, karena hampir semalaman aku terjaga mataku tak kunjung terpejam, di otakku terus berputar memikirkan perkataan Mbak Ridha, yang mengusulkan ku untuk menerima tawaran kerja dari Devan, agar aku bisa melunasi hutang ibu.Atas dorongan dari Mbak Ridha, akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran Devan, meski aku tak tau pekerjaan apa yang akan aku jalani nanti, memang ada sedikit keraguan di hati
"Sudah Tuan, saya sudah fikirkan semuanya, dan saya akan berhenti dari pekerjaan, saya, besok saya akan kirim surat pengunduran diri,""Eum, baik kalau begitu, jadi, Anda bersedia bekerja dengan saya? Menjadi asisten pribadi saya!" tanyanya lagi meyakinkan."Iya, Tuan, saya bersedia,""Apa Anda bersedia, dengan pekerjaan apapun yang akan saya perintahkan, dan akan Anda turuti! Menjalankannya dengan baik!""Iya,""Nona Silvi, apa Anda sungguh-sungguh?" tanya Devan lagi, itu pertanyaan sudah kesekian kalinya yang keluar dari mulutnya."Siap Tuan," jawabku tegas. Devan menoleh pada Pak Reno seraya menganggukkan kepala di barengi dengan kedipan mata.Aku tak tau maksudnya apa? Dan aku juga tak tau itu kode apa, yang di berikan oleh Devan pada Pak Reno. Devan bangkit dia menggerakkan kepalanya, Pak Reno pun mengambil alih posisinya. Dia duduk di kursi yang barusan di duduki oleh Devan, Pria yang di panggil Bos itu pun berdiri menyaksikan kami.
"Silahkan masuk Nona! Ini kamar Anda,""Iya, terimakasih Bi," jawabku pada perempuan berbadan gemuk rambut pendek sebahu, dengan baju putih tulang dan rok span setengah betis, namanya Bi Rika, sebelum mengantar ku ke kamar ini, aku di kenalkan oleh Devan, dia adalah kepala asisten rumah tangga."Ayo masuk! Tak usah sungkan!" serunya ramah, sambil membukakan pintu kamar, yang berada di lantai dua, rumah Devan yang luas dan megah."Iya Bi," angguk ku dengan rasa canggung, aku berjalan masuk ke kamar yang di tujukan untuk ku, aku mendongak, pandangan ku mengedar ke seluruh ruangan."Non, silahkan istirahat dulu! Kalau mau ganti baju, silahkan ambil! di dalam lemari yang sudah tersedia, Tuan muda sudah mempersiapkan semua kebutuhan Non Silvi, di sini!" ucapnya ramah."Terimakasih banyak, Bi," ucapku, tak ada kata lagi yang harus aku ucapkan selain kata itu."Non, bila mau mandi, kamar mandinya di sebelah sana!" ucapnya lagi menunjukkan jarinya k
Devan membungkukkan badannya kaki dia mulai naik lagi ke atas tempat tidur, mendekati ku satu tangan menumpu, di sisi kanan tubuhku."Saya suka, dengan gadis seperti mu, malu-malu kucing, berpura-pura menolak, padahal kamu menginginkannya bukan? Hm."Tangannya meraih pipi ku, lalu jemarinya menyisir rambut. Dia menarik kepalaku mendekatkan wajahnya dengan wajahku kembali. Nafasku semakin sesak, aku tak tau harus berbuat apa, tanganku mengepal seraya memegang kerah bajuku dengan kuat, satu tanganku meremas sprei putih motif mawar, pembungkus kasur busa yang aku duduki.Tubuhku gemetar, keringat dingin pun bercucuran membasahi pelipis, kakiku lemas, rasanya aku ingin sekali berlari, dan meloloskan diri dari cengkeramannya, namun apalah daya. Aku tak bisa berbuat apa-apa tubuhku seakan membeku, tak ada kekuatan dalam diri ku, untuk melawan Pria bejat di hadapan ku ini."Tolong Tuan, lepaskan saya!" Aku tak bosan-bosannya meminta belas kasih darinya agar di
Aku sangat letih, tenggorokan kupun rasanya sangat haus. Tanganku bertumpu di lantai untuk membantu ku bangkit, lalu ku duduk di tepian ranjang. Aku meraih gelas bening berisi air mineral, dan meminumnya dengan segera hingga tak bersisa, rasanya segar menjalari tenggorokan ku.Ku usap wajah ini, dari atas sampai leher masih terasa bekas ciuman baj*ngan itu, aku sangat jijik benar-benar jijik. gegas ku berlari ke kamar mandi yang berada di seberang tempat tidur, di balik tembok dekat lemari pakaian.Ku putar keran dan air pun mengalir, aku menadahnya dengan tangan, ku basuh muka sampai ke leher, dan mengambil sabun wajah yang berada di depan cermin, ku tuangkan ke telapak tangan dan menggosoknya ku usapkan ke wajah ini hingga berbusa.Wangi dari aroma sabun sangat menyegarkan membuat diri ini rileks, sejenak aku melupakan kejadian yang tadi ku alami, berharap si Devan tak kembali lagi ke dalam kamar ini, setidaknya sampai besok malam, atau beberapa jam kedepan.
POV Author.Gadis yang tengah terlelap, ia terkesiap seketika seraya membuka matanya, saat bahunya di cekal erat oleh seseorang."Siapa kalian?" tanya Silvi pada lelaki berkaos hitam tanpa lengan, dengan celana jeans robek-robek di bagian dengkulnya, kulitnya hitam dan berambut gondrong berwajah garang."Tolong, jangan sakiti saya!" rengek Silvi ketakutan, dia meremat handuk yang ada di pelukannya, dengan tubuh gemetar."Gadis cantik, kenapa kamu sendirian? Kami temani ya, biar kamu tidak kesepian!" timpal Pria berbadan gempal dengan kemeja garis-garis, lengannya ia lipat sebahu. Celana jeans sama robek-robek, berambut gimbal berkumis tebal dan berkulit gelap.Sorot ke-dua mata pria itu penuh dengan nafsu saat melihat bagian paha Silvi yang putih dan mulus."Ayo ikut kami!" ajak Pria berambut gondrong tersebut. Mencekal kedua lengan Silvi."Tolong! Tolong!" Silvi berteriak sekuat tenaga, saat dia di seret oleh kedua Pria itu. Dan membawa Sil
POV Devan.Aku mengitari kota ini hingga larut malam tak ada tanda-tanda keberadaan Silvi sama sekali, sambil mengemudi pandangan ku terus mengedar ke kanan dan kiri berharap menemukan gadis itu.Semoga Tuhan melindungi kekasihku! Aku takut terjadi apa-apa dengan dia, Aku begitu menghawatirkannya, ku susuri kota ini hingga ke setiap pelosok, namun hasilnya sama saja nihil.Ku menepikan kendaraan di bahu jalan yang sepi, lalu ku ambil ponsel yang ada di Dashboard mobil, dan ku tekan tombol navigasi lalu ku usap layar gawai, gegas aku klik aplikasi berwarna hijau dan mulai menghubungi Reno, yang aku perintahkan mencari Silvi."Ren, bagaimana, apa sudah ketemu?" tanyaku dengan perasaan cemas."Maaf Pak! Saya belum menemukan Non Silvi," jawab Reno dari seberang sana."Hah." Ku tarik nafas dalam-dalam, ya Tuhan... Harus kemana lagi aku mencari Silvia, sudah hampir dini hari namun keberadaan Silvi belum sama sekali di ketahui."Lalu, bagaimana ini
POV Silvi.Aku berteduh dari derasnya hujan, yang mengguyur seluruh kota ini, hingga Malam terasa begitu dingin menusuk tulang, langit pun begitu gelap tak ada cahaya rembulan yang menyinari.Di tengah heningannya malam dan derasnya hujan, ku duduk di bale bambu sebuah warung bangunannya terbuat dari kayu, ku kira warung bekas penjual bensin, menurut asumsi ku, terlihat dari rak kayu kecil yang ada di ujung tiang, dengan beberapa botol beling yang bertengger di sana.Aku ketakutan dan kesepian, pandangan ku mengedar ke sekeliling warung, sepertinya tempat ini lama tak di tinggali, terlihat dari debu yang tebal menempel di seluruh permukaan tempat ini.Di keheningan malam dengan cahaya temaram lampu pijar lima wat yang menggantung di atap, aku duduk seorang diri menekuk lutut seraya memeluk tubuh yang menggigil, begitu sepi tak ada tanda-tanda kehidupan, kendaraan pun tak ada yang lalu lalang melintasi jalan di hadapan ku ini.Semakin malam h
POV Devan.Hati ku begitu gelisah fikiran ku di penuhi oleh bayangan Silvi, entah apa yang terjadi padanya, semoga saja dia baik-baik di rumah. Tadi pagi aku titipkan dia pada Bi Rika, hanya dia satu-satunya orang yang bisa aku percaya, untuk menjaga calon istri sekaligus calon ibu dari anakku.Agenda di kantor hari ini begitu padat sehingga aku melupakan Silvi, padahal aku sudah berjanji akan segera pulang dan mengantarkan dia ke kampung halamannya.Ku lirik jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul setengah dua siang, kemungkinan nanti aku pulang agak telat.Semoga saja Silvi masih mempercayai ku! Dan dia bersedia aku nikahi.Tapi aku berharap dia mau mengerti dengan pekerja'an ku di kantor yang tak bisa aku tinggalkan begitu saja.Setelah selesai mengurus dokumen persyaratan dan surat pengantar ke KUA, sekarang aku sudah siap sepenuhnya untuk menikahi Silvi, tak ku pungkiri aku begitu bahagia ingin segera membina rumah tangga
POV Silvi.Aku bangkit dengan perlahan, satu tangan menumpu di lantai, mengumpulkan kekuatan untuk ku berdiri, tangan ku yang lain memegangi perut yang sakit akibat benturan, saat Nyonya Amelia mendorong tubuh ku, hingga aku terhempas ke lantai konblok.Dengkul ku menghantam kerasnya lantai hingga lecet dan mengeluarkan darah. Sakitnya di tubuh tak seberapa jika di bandingkan dengan hancurnya hati ini."Silviana, cepat bangun! Dan segeralah angkat kaki dari rumah ini! Bawa barang rongsokan mu, jangan sampai ada yang tertinggal!" hardik Nyonya Amelia, dia berkacak pinggang di hadapan ku."I-iya Nyonya, saya akan segera pergi, dari sini!" jawab ku tergagap. Aku meringis masih memegangi perut, sambil berusaha bangkit, dan berdiri tertatih-tatih."Lelet banget sih, jadi Orang! Jangan sok mengiba, saya tidak mudah terpengaruh, dengan sandiwara kamu! Pake pura-pura lemas segala lagi!" Dia memutar bola matanya mendelik tajam pada ku."Saya, tidak p
POV Silvi.*Pagi ini aku keluar dari kamar mandi setelah membersihkan badan, ku kenakan baju dress tunik lengan panjang, dan bawahan se-dengkul, warna pastel, di padu padankan dengan sepatu flat warna senada, rambut panjang ku. Aku ikat separuh di bagian atasnya.Aku tak mengenakan seragam seperti yang lain, karena hari ini Devan berjanji akan mengajak ku pulang ke rumah ibu, untuk melamar ku dan dia juga berjanji akan mengikat janji suci di hadapan penghulu.Aku tak mengharapkan pesta pernikahan yang megah, aku hanya menginginkan status Ayah untuk anak ini.Sekarang perutku masih rata dan mungkin tak akan ada yang mengetahui kehamilan ku, jika aku pulang kampung. Aku akan merahasiakan kehamilan ku dari ibu dan juga semua orang, aku tak mau ada tau tentang aib ini.Sesa'at aku ke luar dari kamar mandi, dan berdiri di teras belakang, melihat kawan ART ku sedang sibuk menjemur pakaian ada juga yang menyirami tanaman, sambil menghirup udara se
POV Silvi.Diri ini menegang seketika sa'at Nyonya Amelia datang dan menyerang ku, dia mencerca ku habis-habisan, hati ku hancur berkeping-keping, mendengar cacian yang terlontar dari mulutnya yang tajam dan pedas, begitu pedih mengiris sanubari, membuat fikiran ku kalut seakan dunia ini gelap di penuhi kabut, tak ada setitik cahaya sama sekali dalam hati ini.Wanita itu begitu kasar padaku, kebenciannya pada Raya begitu mendarah daging, hingga wajah ku yang hanya mirip sekilas, membuat dia kalap, dan begitu jijik melihat ku.Apalagi kini aku sedang mengandung benih dari anak semata wayangnya, kebenciannya kini terhadap ku kian bertambah besar.Tidakkah dia melihat sisi gelap putranya, dan jangan terus-terusan mengintimidasi ku, hingga aku terpojok, aku begini karena perbuatan bejat putra kesayangannya.Ku seka air mata yang masih membasahi pipi, dengan jemariku, hati ku kini luluh lantak, hancur sehancur-hancurnya oleh dua orang yang tak punya ha
POV Devan.Aku sangat bahagia mendengar Silvi mengandung anakku, namun aku bingung dengan Mama, karena Mama tambah membencinya."Devan, kamu pilih Mama, atau perempuan itu, jika kamu lebih memilih dia, Mama akan angkat kaki dari rumah mu! Dan Mama takkan pernah, menginjakkan kaki lagi di rumah ini!" sungut Mama menuding tangannya ke arah Silvi.Tak ada yang harus aku pilih, kedua wania itu sama-sama penting dalam hidupku. Aku kini berada di posisi yang sulit, jika aku memilih Silvi.Mama akan begitu marah pada ku, aku tak mau menjadi anak yang membangkang, tapi aku juga tak mungkin mencampakkan gadis yang sudah aku rusak masa depannya.Aku bersimpuh di hadapan Mama, yang sedang duduk di sofa menyilang kaki seraya menyedekapkan tangannya di depan dada dengan angkuh.Ku tundukan kepala di pangkuan Wanita bertubuh proporsional dengan balutan dress tunik lengan panjang warna coklat tua, berharap hatinya bisa sedikit terbuka untuk Silviana.
POV Silvi."Oh, iya Dok, kira-kira usia kandungan istri saya berapa Minggu?" ucap Devan, menatap wajah Dokter Hendri dengan serius."Eum, kalau di lihat dari hasil HPHT, sekitar tujuh Minggu,""Tapi, saya heran Dok, kenapa istri saya bisa begitu mual, dengan mencium aroma tubuh saya?" tanya Devan keheranan dengan tingkahku yang mendadak mual dan ingin muntah bila dekat dengannya."Itu hal yang wajar Pak Devan, karena di trimester pertama kehamilan, seorang wanita hamil mengalami peningkatan hormon, itulah yang menyebabkan istri Bapak, mual dan muntah," ujar Dokter panjang lebar.Devan begitu serius menanggapi penuturan Dokter Hendri."Saya faham Dok, tapi apakah ini berpengaruh terhadap janinnya? Apakah berbahaya?""Tidak, jika itu masih di batas wajar. Namun asupan nutrisi harus di perhatikan, meskipun Bu Silvi merasa mual, tapi harus di usahakan untuk tetap makan, meskipun sedikit, dan konsumsi susu emesis untuk mengurangi rasa mual,"