"Sudah Tuan, saya sudah fikirkan semuanya, dan saya akan berhenti dari pekerjaan, saya, besok saya akan kirim surat pengunduran diri,"
"Eum, baik kalau begitu, jadi, Anda bersedia bekerja dengan saya? Menjadi asisten pribadi saya!" tanyanya lagi meyakinkan.
"Iya, Tuan, saya bersedia,"
"Apa Anda bersedia, dengan pekerjaan apapun yang akan saya perintahkan, dan akan Anda turuti! Menjalankannya dengan baik!"
"Iya,"
"Nona Silvi, apa Anda sungguh-sungguh?" tanya Devan lagi, itu pertanyaan sudah kesekian kalinya yang keluar dari mulutnya.
"Siap Tuan," jawabku tegas. Devan menoleh pada Pak Reno seraya menganggukkan kepala di barengi dengan kedipan mata.
Aku tak tau maksudnya apa? Dan aku juga tak tau itu kode apa, yang di berikan oleh Devan pada Pak Reno. Devan bangkit dia menggerakkan kepalanya, Pak Reno pun mengambil alih posisinya. Dia duduk di kursi yang barusan di duduki oleh Devan, Pria yang di panggil Bos itu pun berdiri menyaksikan kami.
"Nona, saya akan bertanya sekali lagi, mungkin ini pertanyaan yang membosankan, dan berulang kali kami tanyakan pada Anda." Pak Reno melipat kedua tangannya di meja, "Anda sungguh-sungguh, dan siap menjadi asisten pribadi Tuan saya, mengurusi kebutuhannya, untuk di luar dan di dalam rumah?"
"Siap Pak," angguk ku, ya Tuhan pertanyaan macam apa ini, berkali dua orang ini mengatakan hal yang sama.
"Yakin?" tanyanya mencondongkan tubuh ke depan, aku menatapnya dengan heran.
Kenapa dia terus-terusan bertanya seperti itu, sebenarnya pekerjaan apa yang akan mereka berikan pada ku, se'olah-olah tugasnya sangat berat, sehingga pertanyaan itu berulang kali di ucapkan untuk meyakinkan ku.
"Yakin Pak."
"Nona, Bos saya akan memberikan gaji yang sangat besar, tentunya anda harus bekerja semaksimal mungkin, dan tak boleh mengecewakan Bos saya!"
Aku menggigit bibir pertanyaan yang membuatku muak, tapi aku harus menjawabnya dan aku harus siap dengan segala konsekwensinya.
"Siap Pak!"
Pak Reno mengambil satu dari tupukan kertas yang ada meja paling atas, kertas putih dan masih polos, tak ada tulisan sama sekali.
"Nona, Silahkan, di tanda tangani!" ucap Pak Reno seraya menyodorkan selembar kertas kosong bermaterai, juga pena pada ku. Ku tarik nafas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
"Baik Pak."
Ku ambil pena dengan hati ragu, tangan kiri ku mengepal, satu tanganku masih mengambang sambil memegang pena, lalu ku tekan pena di atas kertas polos itu, berfikir sejenak untuk memantapkan hati, tanpa berfikir panjang lagi, aku pun menandatangani surat perjanjian.
Aku tak tau surat apa itu, dan perjanjian apa yang sudah kami sepakati, ah, aku harus tetap berfikir positif, dan jangan negatif thinking, menilai orang lain, Pak Reno dan Devan tentunya orang yang sangat baik menurutku, aku menepis semua fikiran buruk tentangnya. Apapun yang terjadi ini sudah jadi keputusan ku. Semoga saja semuanya baik-baik saja dan sesuai dengan harapan ku.
"Emm." Pak Reno mendehem, "Nona apa sudah selesai?" tanyanya menatapku dengan tatapan tajam.
"Sudah Pak." Aku menyodorkan kembali kertas pada Pak Reno.
Pak Reno menatap secarik kertas itu dengan seksama, lalu ia mengulurkan tangannya, aku pun balas ulur tangan meski ragu.
"Baik, terimakasih atas kerjasama nya!'
"Iya Pak,"
"Selamat bergabung, Nona, sekarang anda sudah sah menjadi asisten pribadi Bos saya, mulai besok anda bisa bekerja di sini!"
"Terimakasih Pak,"
"Sama-sama."
Pak Reno menoleh ke arah Devan, sambil tersenyum dan mengangguk memberi kode lagi, lalu dia bangkit, Devan kini beralih ke posisinya kembali, dia tersenyum padaku, entah apa arti dari senyuman nya.
"Hm." Devan menarik nafas lalu dia menyedekapkan tangannya di dada, sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
"Nona, terimakasih atas kesedia'an Anda untuk datang ke sini, dan bersedia bekerja dengan saya, sebagai kesepakatan kontrak kerja, saya akan memberikan DP saat ini juga, tanda jadi, Apa anda punya nomor rekening?"
Aku menggeleng, "Gak, punya Tuan,"
"Oh, lalu bagaimana saya mentransfer uang itu kepada anda?"
"Gak tau." Aku mengangkat kedua bahuku.
"Apa begini saja, saya akan berikan cek, atau anda mau uang tunai?"
"Uang tunai saja Tuan! Saya gak begitu faham dengan yang namanya cek," jawabku lantang.
"Eum." Devan mengangguk, "Nona, ada nomor HP, berapa nomornya? biar Reno catat, supaya dia besok gampang menghubungi anda, dan menjemput anda ke rumah! Untuk memulai pekerja'an?"
"Saya gak punya HP,"
"Oh." Devan kembali mendesah pelan, mungkin dia berfikir betapa kuno dan norak nya aku di zaman serba modern seperti ini aku tak punya alat komunikasi, "Nona, bagaimana kalau, Reno sekarang membelikan ponsel untuk Anda, apa Anda mau?"
"Terserah!" hanya itu yang bisa keluar dari mulut ku, aku benar-benar canggung.
"Saya, akan bertanya kepada Anda? Jika anda sudah bekerja dengan saya, Apa anda siap, dan bersedia tinggal di rumah ini, bersama kami? Tentunya di kamar tamu, yang sudah di siapkan,"
Aku ragu dengan pertanyaan Devan, ku harus menjawab apa? Hening sejenak, Jika aku bekerja di sini dan jadi asisten Devan, otomatis aku gak bisa kemana-mana, 24 jam aku berada di sini, sebaiknya aku meminta sesuatu pada dia sebelum aku terikat di sini, semoga saja dia bersedia dengan permintaan ku.
"Bersedia, tapi Tuan, saya punya satu permintaan, apa Tuan mau mengabulkan nya untuk saya? Sebelum saya kerja dan tinggal di sini?"
"Apa? Katakan saja, tak usah sungkan!
Aku menarik nafas dalam-dalam, "Tuan, jika di perbolehkan, saya mau pulang kampung dulu, saya rindu pada Adik-adik dan Ibu, hanya untuk satu hari."
Aku memelas agar Devan mengizinkan aku pulang dahulu, untuk menemui keluarga, karena aku sangat merindukan mereka, aku ingin sekali bertemu Ibu dan Adik-adik.
"Hm." Devan mendengkus pelan, "Baik kampung mu di mana? Biar Reno yang mengantar mu besok pagi-pagi!" lanjutnya menatapku.
"Di daerah C, Tuan." Aku menunduk.
"Baik, tak terlalu jauh, hanya 4 jam perjalanan,"
"Terimakasih Tuan,"
"Iya," lirihnya.
Devan manggut-manggut, dengan mengatupkan bibirnya. Pandangannya beralih ke bawah, terdengar suara laci meja yang di tarik, lalu ia menyodorkan sebuah amplop coklat ke hadapan ku.
"Nona, ini uang tunai yang kamu minta! Jumlahnya seratus juta, sebagai tanda jadi kesepakatan kita, bahwa Anda kini sudah terikat kontrak dengan saya!"
Aku meraih nya dengan tangan bergetar, lalu ku buka sedikit amplop itu dan mengintipnya, betapa terkejutnya aku, melihat uang dengan jumlah yang sangat besar, seumur hidup ku baru kali ini memegang uang sebanyak itu.
"Tu-Tuan, serius ini uang untuk saya?" tanyaku dengan suara tercekat.
"Betul, itu sebagai DP saja, sisanya akan saya, berikan setelah kamu menjalankan tugas Anda!"
"Baik, terimakasih Tuan!" Aku mengangguk sambil memasukkan amplop coklat itu ke dalam tas selempang ku, "Tuan, saya pamit mau pulang dulu!"
"Reno, antarkan Nona Silvi! Pastikan dia sampai ke rumahnya, saya tidak mau terjadi apa-apa dengan calon asisten saya!" titah Devan menoleh dan bersitatap dengan Pak Reno yang berdiri menyedepkan tangannya di dada.
"Baik!" angguk nya.
"Mari Nona saya antarkan!" Pak Reno berjalan menuju pintu keluar.
"Iya Pak," jawab ku, pandangan ku kembali ke arah Devan.
"Tuan, saya permisi! Terimakasih atas segala kebaikan Anda." Aku menyunggingkan senyuman, mata Devan terlihat berbinar dengan membalas senyuman ku.
"Iya silahkan!"
Aku bangkit sambil sambil menganggukkan kepala, lalu ku memutar tubuh dan beranjak, Devan mengantarku sampai ke depan pintu keluar.
"Silahkan masuk Nona! Ini kamar Anda,""Iya, terimakasih Bi," jawabku pada perempuan berbadan gemuk rambut pendek sebahu, dengan baju putih tulang dan rok span setengah betis, namanya Bi Rika, sebelum mengantar ku ke kamar ini, aku di kenalkan oleh Devan, dia adalah kepala asisten rumah tangga."Ayo masuk! Tak usah sungkan!" serunya ramah, sambil membukakan pintu kamar, yang berada di lantai dua, rumah Devan yang luas dan megah."Iya Bi," angguk ku dengan rasa canggung, aku berjalan masuk ke kamar yang di tujukan untuk ku, aku mendongak, pandangan ku mengedar ke seluruh ruangan."Non, silahkan istirahat dulu! Kalau mau ganti baju, silahkan ambil! di dalam lemari yang sudah tersedia, Tuan muda sudah mempersiapkan semua kebutuhan Non Silvi, di sini!" ucapnya ramah."Terimakasih banyak, Bi," ucapku, tak ada kata lagi yang harus aku ucapkan selain kata itu."Non, bila mau mandi, kamar mandinya di sebelah sana!" ucapnya lagi menunjukkan jarinya k
Devan membungkukkan badannya kaki dia mulai naik lagi ke atas tempat tidur, mendekati ku satu tangan menumpu, di sisi kanan tubuhku."Saya suka, dengan gadis seperti mu, malu-malu kucing, berpura-pura menolak, padahal kamu menginginkannya bukan? Hm."Tangannya meraih pipi ku, lalu jemarinya menyisir rambut. Dia menarik kepalaku mendekatkan wajahnya dengan wajahku kembali. Nafasku semakin sesak, aku tak tau harus berbuat apa, tanganku mengepal seraya memegang kerah bajuku dengan kuat, satu tanganku meremas sprei putih motif mawar, pembungkus kasur busa yang aku duduki.Tubuhku gemetar, keringat dingin pun bercucuran membasahi pelipis, kakiku lemas, rasanya aku ingin sekali berlari, dan meloloskan diri dari cengkeramannya, namun apalah daya. Aku tak bisa berbuat apa-apa tubuhku seakan membeku, tak ada kekuatan dalam diri ku, untuk melawan Pria bejat di hadapan ku ini."Tolong Tuan, lepaskan saya!" Aku tak bosan-bosannya meminta belas kasih darinya agar di
Aku sangat letih, tenggorokan kupun rasanya sangat haus. Tanganku bertumpu di lantai untuk membantu ku bangkit, lalu ku duduk di tepian ranjang. Aku meraih gelas bening berisi air mineral, dan meminumnya dengan segera hingga tak bersisa, rasanya segar menjalari tenggorokan ku.Ku usap wajah ini, dari atas sampai leher masih terasa bekas ciuman baj*ngan itu, aku sangat jijik benar-benar jijik. gegas ku berlari ke kamar mandi yang berada di seberang tempat tidur, di balik tembok dekat lemari pakaian.Ku putar keran dan air pun mengalir, aku menadahnya dengan tangan, ku basuh muka sampai ke leher, dan mengambil sabun wajah yang berada di depan cermin, ku tuangkan ke telapak tangan dan menggosoknya ku usapkan ke wajah ini hingga berbusa.Wangi dari aroma sabun sangat menyegarkan membuat diri ini rileks, sejenak aku melupakan kejadian yang tadi ku alami, berharap si Devan tak kembali lagi ke dalam kamar ini, setidaknya sampai besok malam, atau beberapa jam kedepan.
"Cukup Tuan! Jangan hancurkan masa depan saya! Apa salah saya?" ucapku dengan suara lirih."Kamu tak punya salah, yang jadi masalahnya, kamu terlalu cantik, dan kau mengingatkan ku pada orang yang pernah mengisi hidup ku, tapi dia kini telah pergi,""Lalu, apa hubungannya dengan saya?"Dia menggeleng sembari menarik sudut bibirnya. Devan membungkukkan badan ke arah ku, menumpu kedua tangannya di sisi tubuhku, kedua kakinya melebarkan paha ku, dalam hitungan detik mahkota ku yang sangat berharga akan segera di renggut oleh pria bej*t ini. Kini aku benar-benar hancur hanya bisa pasrah dengan nasib yang aku alami."Pejamkan mata mu sayang! Rasakan dan nikmati sentuhan yang aku berikan! Aku takkan menyakiti mu, aku hanya ingin membawamu ke dalam puncak kenikmatan!" bisik Devan.Dia mendekap tubuh ku dengan erat, bibirnya menepi di bibirku aku mengatup dan tak sudi membukanya, wajahnya turun menyusur ke leher pangkal janggut dan jambangnya yang kasar menyent
POV Devan.Hm... Menikah kata dia, aku tak ingin ada ikatan dengan perempuan, aku lebih suka seperti ini, cukup sudah! Aku merasakan kehilangan dan sakit hati karena di tinggalkan oleh seorang Istri. Dengan seperti ini aku takkan pernah merasa kehilangan ataupun sakit hati lagi.Ku duduk menyilang kaki di sofa kamar ku, sambil meletakan kedua tangan yang bertaut di bawah kepala, yang ku sandarkan di sandaran sofa.Ku senyum-senyum sendiri, hati ini merasa puas dan bahagia bahwa aku sudah berhasil merebutnya dari gadis itu. Gadis cantik polos dan masih suci. Aku suka dengan dia, sejak pertama kali aku bertemu dengannya di cafe waktu itu.Aku terus memikirkannya, ada rasa ingin memiliki, namun aku tak mau ada ikatan di antara kami, satu hari setelah bertemu dengannya, gegas ku perintahkan Reno asisten pribadi ku, yang selalu siap membantu dalam segala urusan ku, untuk mencari informasi tentang dia kepada teman dekatnya juga Bu Maya sang owner cafe.
POV Silvi.Aku hancur, benar-benar hancur, hidup ku kini tak ada gunanya lagi, masa depan ku sudah rusak, namun setidaknya aku sedikit lega, Karena tugas ku sebagai Kakak tertua dan bakti kepada orang tua, mungkin sudah selesai, impian ku sudah tercapai untuk membahagiakan Adik-adikku dengan memenuhi permintaan mereka, dan sudah membebaskan ibu dari jeratan hutang, yang selama ini membuat hidup kami tidak tenang."Ibu... Tolong aku!" lirihku di sela tangisan, ini benar-benar seperti mimpi buruk, namun ini nyata, dan sungguh nyata.Aku masih tak percaya ini terjadi padaku, kini aku sudah tak suci lagi, Ku remat ujung bantal yang menutupi wajah ini, ku tidur meringkuk membelakangi pintu dengan tubuh bergulung oleh selimut tebal.Mata pun enggan untuk kubuka, rasanya tak ada kekuatan untuk bangkit, masih sangat terasa sa'at Devan merenggutnya dariku. Sakit sungguh sakit, bukan hanya tubuhku yang sakit, hati ku juga sangat hancur. Ku dengar p
POV Devan.Ku pandangi wajah sayu gadis cantik yang masih terduduk di lantai, menekuk lutut sembari membenamkan wajahnya di antara kedua lengan, tubuhnya berguncang karena Isak tangisnya yang tak kunjung reda.Melihat dia seperti itu, ada rasa tak tega merasuk dalam hati, dan tak bisa ku tepis perasa'an itu, aku sudah melukai dirinya dan sudah merusak kehormatan nya, sprei katun berwarna putih menjadi saksi bisu atas apa yang telah aku lakukan pada dia, masih terpampang jelas bercak merah yang mulai mengering.Aku angkat tubuh mungilnya, dan membawa dia ke kamar mandi. Ku siram tubuhnya dari kepala hingga ujung kaki dengan shower.Ku usapkan sabun cair yang begitu wangi ke seluruh tubuhnya, dan ku tuangkan shampo ke telapak tangan, untuk mencuci rambut panjangnya. Tanpa perlawanan dia begitu pasrah saat aku memandikannya.Setelah sepersekian menit, aku selesai memandikan gadis ku, ku tutup tubuh polosnya dengan handuk, lalu ku bopong dia kembali k
POV Silvi.Tubuhku serasa di sengat listrik bertegangan tinggi saat Devan menarik tubuhku ke dalam dekapannya, dia menyisir rambut ku dengan jemarinya, lalu merebahkan tubuh ku, kedua kakinya menghimpit kedua belah sisi tubuhku. Aku memberontak sekuat tenaga dengan memukuli bidang dadanya yang keras, agar dia melonggarkan himpitannya.Namun. Bukannya melepaskan ku, dia malah menyentak tanganku, sambil tersenyum miring yang ia tampilkan, membuat kecemasan dan ketakutan ku bertambah. Devan menautkan jemarinya dengan jemari ku, lalu ia tekan ke atas bantal dengan Posesif hingga aku tak bisa berkutik."Tangan mu lembut, kulit mu halus, sehalus sutra, tubuhmu wangi seperti bunga. Sesungguhnya aku tak ingin melakukannya lagi, namun tubuhmu yang memaksa ku, hingga aku ingin melakukannya, mungkin kali ini akan sampai pagi, kita habiskan malam panjang ini dengan indah!" ucap nya sembari mengendus tubuhku, lalu mencium bahu ku dengan waktu yang agak lama.Aku terpe
POV Author.Gadis yang tengah terlelap, ia terkesiap seketika seraya membuka matanya, saat bahunya di cekal erat oleh seseorang."Siapa kalian?" tanya Silvi pada lelaki berkaos hitam tanpa lengan, dengan celana jeans robek-robek di bagian dengkulnya, kulitnya hitam dan berambut gondrong berwajah garang."Tolong, jangan sakiti saya!" rengek Silvi ketakutan, dia meremat handuk yang ada di pelukannya, dengan tubuh gemetar."Gadis cantik, kenapa kamu sendirian? Kami temani ya, biar kamu tidak kesepian!" timpal Pria berbadan gempal dengan kemeja garis-garis, lengannya ia lipat sebahu. Celana jeans sama robek-robek, berambut gimbal berkumis tebal dan berkulit gelap.Sorot ke-dua mata pria itu penuh dengan nafsu saat melihat bagian paha Silvi yang putih dan mulus."Ayo ikut kami!" ajak Pria berambut gondrong tersebut. Mencekal kedua lengan Silvi."Tolong! Tolong!" Silvi berteriak sekuat tenaga, saat dia di seret oleh kedua Pria itu. Dan membawa Sil
POV Devan.Aku mengitari kota ini hingga larut malam tak ada tanda-tanda keberadaan Silvi sama sekali, sambil mengemudi pandangan ku terus mengedar ke kanan dan kiri berharap menemukan gadis itu.Semoga Tuhan melindungi kekasihku! Aku takut terjadi apa-apa dengan dia, Aku begitu menghawatirkannya, ku susuri kota ini hingga ke setiap pelosok, namun hasilnya sama saja nihil.Ku menepikan kendaraan di bahu jalan yang sepi, lalu ku ambil ponsel yang ada di Dashboard mobil, dan ku tekan tombol navigasi lalu ku usap layar gawai, gegas aku klik aplikasi berwarna hijau dan mulai menghubungi Reno, yang aku perintahkan mencari Silvi."Ren, bagaimana, apa sudah ketemu?" tanyaku dengan perasaan cemas."Maaf Pak! Saya belum menemukan Non Silvi," jawab Reno dari seberang sana."Hah." Ku tarik nafas dalam-dalam, ya Tuhan... Harus kemana lagi aku mencari Silvia, sudah hampir dini hari namun keberadaan Silvi belum sama sekali di ketahui."Lalu, bagaimana ini
POV Silvi.Aku berteduh dari derasnya hujan, yang mengguyur seluruh kota ini, hingga Malam terasa begitu dingin menusuk tulang, langit pun begitu gelap tak ada cahaya rembulan yang menyinari.Di tengah heningannya malam dan derasnya hujan, ku duduk di bale bambu sebuah warung bangunannya terbuat dari kayu, ku kira warung bekas penjual bensin, menurut asumsi ku, terlihat dari rak kayu kecil yang ada di ujung tiang, dengan beberapa botol beling yang bertengger di sana.Aku ketakutan dan kesepian, pandangan ku mengedar ke sekeliling warung, sepertinya tempat ini lama tak di tinggali, terlihat dari debu yang tebal menempel di seluruh permukaan tempat ini.Di keheningan malam dengan cahaya temaram lampu pijar lima wat yang menggantung di atap, aku duduk seorang diri menekuk lutut seraya memeluk tubuh yang menggigil, begitu sepi tak ada tanda-tanda kehidupan, kendaraan pun tak ada yang lalu lalang melintasi jalan di hadapan ku ini.Semakin malam h
POV Devan.Hati ku begitu gelisah fikiran ku di penuhi oleh bayangan Silvi, entah apa yang terjadi padanya, semoga saja dia baik-baik di rumah. Tadi pagi aku titipkan dia pada Bi Rika, hanya dia satu-satunya orang yang bisa aku percaya, untuk menjaga calon istri sekaligus calon ibu dari anakku.Agenda di kantor hari ini begitu padat sehingga aku melupakan Silvi, padahal aku sudah berjanji akan segera pulang dan mengantarkan dia ke kampung halamannya.Ku lirik jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul setengah dua siang, kemungkinan nanti aku pulang agak telat.Semoga saja Silvi masih mempercayai ku! Dan dia bersedia aku nikahi.Tapi aku berharap dia mau mengerti dengan pekerja'an ku di kantor yang tak bisa aku tinggalkan begitu saja.Setelah selesai mengurus dokumen persyaratan dan surat pengantar ke KUA, sekarang aku sudah siap sepenuhnya untuk menikahi Silvi, tak ku pungkiri aku begitu bahagia ingin segera membina rumah tangga
POV Silvi.Aku bangkit dengan perlahan, satu tangan menumpu di lantai, mengumpulkan kekuatan untuk ku berdiri, tangan ku yang lain memegangi perut yang sakit akibat benturan, saat Nyonya Amelia mendorong tubuh ku, hingga aku terhempas ke lantai konblok.Dengkul ku menghantam kerasnya lantai hingga lecet dan mengeluarkan darah. Sakitnya di tubuh tak seberapa jika di bandingkan dengan hancurnya hati ini."Silviana, cepat bangun! Dan segeralah angkat kaki dari rumah ini! Bawa barang rongsokan mu, jangan sampai ada yang tertinggal!" hardik Nyonya Amelia, dia berkacak pinggang di hadapan ku."I-iya Nyonya, saya akan segera pergi, dari sini!" jawab ku tergagap. Aku meringis masih memegangi perut, sambil berusaha bangkit, dan berdiri tertatih-tatih."Lelet banget sih, jadi Orang! Jangan sok mengiba, saya tidak mudah terpengaruh, dengan sandiwara kamu! Pake pura-pura lemas segala lagi!" Dia memutar bola matanya mendelik tajam pada ku."Saya, tidak p
POV Silvi.*Pagi ini aku keluar dari kamar mandi setelah membersihkan badan, ku kenakan baju dress tunik lengan panjang, dan bawahan se-dengkul, warna pastel, di padu padankan dengan sepatu flat warna senada, rambut panjang ku. Aku ikat separuh di bagian atasnya.Aku tak mengenakan seragam seperti yang lain, karena hari ini Devan berjanji akan mengajak ku pulang ke rumah ibu, untuk melamar ku dan dia juga berjanji akan mengikat janji suci di hadapan penghulu.Aku tak mengharapkan pesta pernikahan yang megah, aku hanya menginginkan status Ayah untuk anak ini.Sekarang perutku masih rata dan mungkin tak akan ada yang mengetahui kehamilan ku, jika aku pulang kampung. Aku akan merahasiakan kehamilan ku dari ibu dan juga semua orang, aku tak mau ada tau tentang aib ini.Sesa'at aku ke luar dari kamar mandi, dan berdiri di teras belakang, melihat kawan ART ku sedang sibuk menjemur pakaian ada juga yang menyirami tanaman, sambil menghirup udara se
POV Silvi.Diri ini menegang seketika sa'at Nyonya Amelia datang dan menyerang ku, dia mencerca ku habis-habisan, hati ku hancur berkeping-keping, mendengar cacian yang terlontar dari mulutnya yang tajam dan pedas, begitu pedih mengiris sanubari, membuat fikiran ku kalut seakan dunia ini gelap di penuhi kabut, tak ada setitik cahaya sama sekali dalam hati ini.Wanita itu begitu kasar padaku, kebenciannya pada Raya begitu mendarah daging, hingga wajah ku yang hanya mirip sekilas, membuat dia kalap, dan begitu jijik melihat ku.Apalagi kini aku sedang mengandung benih dari anak semata wayangnya, kebenciannya kini terhadap ku kian bertambah besar.Tidakkah dia melihat sisi gelap putranya, dan jangan terus-terusan mengintimidasi ku, hingga aku terpojok, aku begini karena perbuatan bejat putra kesayangannya.Ku seka air mata yang masih membasahi pipi, dengan jemariku, hati ku kini luluh lantak, hancur sehancur-hancurnya oleh dua orang yang tak punya ha
POV Devan.Aku sangat bahagia mendengar Silvi mengandung anakku, namun aku bingung dengan Mama, karena Mama tambah membencinya."Devan, kamu pilih Mama, atau perempuan itu, jika kamu lebih memilih dia, Mama akan angkat kaki dari rumah mu! Dan Mama takkan pernah, menginjakkan kaki lagi di rumah ini!" sungut Mama menuding tangannya ke arah Silvi.Tak ada yang harus aku pilih, kedua wania itu sama-sama penting dalam hidupku. Aku kini berada di posisi yang sulit, jika aku memilih Silvi.Mama akan begitu marah pada ku, aku tak mau menjadi anak yang membangkang, tapi aku juga tak mungkin mencampakkan gadis yang sudah aku rusak masa depannya.Aku bersimpuh di hadapan Mama, yang sedang duduk di sofa menyilang kaki seraya menyedekapkan tangannya di depan dada dengan angkuh.Ku tundukan kepala di pangkuan Wanita bertubuh proporsional dengan balutan dress tunik lengan panjang warna coklat tua, berharap hatinya bisa sedikit terbuka untuk Silviana.
POV Silvi."Oh, iya Dok, kira-kira usia kandungan istri saya berapa Minggu?" ucap Devan, menatap wajah Dokter Hendri dengan serius."Eum, kalau di lihat dari hasil HPHT, sekitar tujuh Minggu,""Tapi, saya heran Dok, kenapa istri saya bisa begitu mual, dengan mencium aroma tubuh saya?" tanya Devan keheranan dengan tingkahku yang mendadak mual dan ingin muntah bila dekat dengannya."Itu hal yang wajar Pak Devan, karena di trimester pertama kehamilan, seorang wanita hamil mengalami peningkatan hormon, itulah yang menyebabkan istri Bapak, mual dan muntah," ujar Dokter panjang lebar.Devan begitu serius menanggapi penuturan Dokter Hendri."Saya faham Dok, tapi apakah ini berpengaruh terhadap janinnya? Apakah berbahaya?""Tidak, jika itu masih di batas wajar. Namun asupan nutrisi harus di perhatikan, meskipun Bu Silvi merasa mual, tapi harus di usahakan untuk tetap makan, meskipun sedikit, dan konsumsi susu emesis untuk mengurangi rasa mual,"