*
Satu Minggu aku berkenalan dengan Mas Alex, dia orangnya sangat baik dan perhatian tak ayal jika aku pulang dari bekerja, shift 2 dia sering mampir membawakan makanan untuk ku.Aku selalu menolak, namun aku tetap tak bisa menolaknya, jika aku tak mau menerima dia selalu mengatakan, tak menghargai pemberian orang lain, dengan terpaksa aku menerima nya meskipun aku tak mau.
"Silvi," panggil Mas Alex dari luar seraya mengetuk pintu kontrakan ku.
"Iya Mas," gegas aku membuka pintu dan keluar dari kamar kontrakan, "Ada apa Mas?" tanyaku berdiri di ambang pintu.
"Sil, kita jalan yuk!" ajaknya.
"Kemana?"
"Ini kan malam Minggu, Aku ingin mengajakmu jalan! Ada sesuatu yang harus aku katakan sama kamu!" ucap Pria berkemeja putih dan celana jeans hitam penampilan sangat rapi dan wangi.
"Ya, ngomong aja! Disini juga gak apa-apa." Aku tergagap apa yang mau dia katakan, sampai mengajak aku pergi bersamanya.
"Sil, aku mau mengajakmu ke suatu tempat! Mau kan?"
"Eum, ya sudah aku ganti baju dulu." Aku pun kembali masuk ku kenakan dress putih lengan pendek pemberian Mbak Karina waktu itu, rambut panjangku, aku urai.
"Yuk Mas!"
Kami pun berlalu dari rumah kontrakan hingga sampai di suatu tempat, mataku mengedar ke sekeliling tempat ini, dekorasi cafe bernuansa alam di setiap kanan dan kiri tempat duduk para pengunjung.
Di tumbuhi palem raja kursi-kursinya di letakan di luar dengan lampu-lampu kelap-kelip yang di lilitkan di setiap pohon palem ada juga lampu gantung yang indah dan terhubung di atas pohon ke pohon.
"Silvi, ayo!" ajak Mas Alex.
Aku pun mengekorinya dari belakang, kami duduk di pojok cafe yang sudah di pesan Mas Alex sebelumnya.
"Mas, kenapa aku di bawa kesini?" tanya ku.
Mas Alex meraih tangan ku lalu mengusap-ngusap kan ibu jarinya di punggung tangan ku. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
"Sil," tatapan matanya sangat tajam membuat aku tak sanggup untuk melihat sorot mata indahnya, "Silvi, malam ini aku ingin mengungkapkan perasaan ku!"
"Maksud Mas Alex." Aku mengerutkan kening terheran dengan ucapan Pria di hadapan ku ini, Mas Alex mendehem.
"Silvi, aku suka sama kamu, apa kamu mau menerima cinta aku?"
"Tapi Mas, aku belum mau berpacaran, aku masih ingin fokus bekerja,"
"Kenapa, kamu menolak ku Silvi?"
"Mas, aku bukan menolak mu, tapi aku belum ingin memiliki kekasih,"
"Sil, asal kamu tau, Aku suka sama kamu dari semenjak kita bertemu di cafe itu,"
"Tapi Mas,"
"Apa kamu sudah punya kekasih?" sela Mas Alex.
"Gak Mas, aku belum punya pacar, tapi aku ingin mengejar impian ku dulu, untuk membahagiakan orang tua dan Adik-adik ku, aku tak mau, jika aku memiliki kekasih, dan nantinya aku di ajak menikah, aku tak bisa lagi membantu ekonomi keluarga,"
"Ya sudah, aku gak akan maksa." Mas Alex nampak begitu kecewa dengan penuturan ku, dari raut wajahnya dan juga sikapnya yang mendadak dingin.
"Mas, kamu marah?"
"Gak,"
"Aku butuh waktu Mas, untuk memikirkan semuanya, ku harap Mas Alex mengerti!"
"Ya... Aku ngerti, kamu mau pesan apa Sil?" tanya Mas Alex, sambil melihat menu yang tertera di buku.
"Terserah Mas Alex!"
Aku bingung harus berkata apa, sebenarnya aku suka kepada laki-laki yang ada di hadapanku ini, namun aku ke sampingkan keinginan ku untuk menerima cinta Mas Alex, aku tak mau memiliki kekasih dulu.
Tekad ku hanya satu membahagiakan keluarga, baru aku akan memikirkan kebahagiaan ku. Kami makan malam berdua suasananya sangat romantis, namun aku melihat kekecewaan dari gurat wajah Pria tampan ini.
*
Beberapa hari kemudian, pukul 12.00 di tempat ku bekerja, aku sangat sibuk melayani para tamu, dengan cekatan aku mengantarkan pesanan ke setiap meja pelanggan, aku sudah mahir dengan pekerjaan ku ini, kujalani dengan senang hati meski gaji tak seberapa, aku merasa nyaman dan betah.
"Hai Nona, sini!" ucap Pria yang biasa duduk di kursi paling pojok dekat dinding kaca, tempat favoritnya, setiap hari dia duduk di situ dengan rekannya.
Tak jarang dia meeting dengan klien nya di sini, entah apa pekerjaan Pria itu aku tak tau, dan tak ingin tau, namun yang aku suka dari Pria aneh tapi tampan dan maskulin itu, dia sering memberikan ku uang tip.
Sikapnya kini lebih sopan dan ramah padaku, tak seperti pertama bertemu, namun yang membuat hati ku bertanya-tanya kenapa dia tak mau di layani oleh waitress lain kecuali aku.
"Iya Pak," ucapku ramah sambil mengulas senyuman.
"Bawakan kami dua moccacino ya!" pintanya.
"Baik, apa ada lagi yang mau anda pesan?"
"Tidak, hanya itu saja." Aku pun berlalu dari hadapannya dan kembali membawakan pesanan Pria itu.
"Silahkan Pak!"
Dia mendongak sambil menyunggingkan senyum manis di bibir seksi nya, dia mengusap akar jambang yang menghiasi wajah tampannya. Aku terpanah melihat senyumnya yang memesona.
"Terimakasih,"
"Sama-sama." Aku mengangguk lalu berbalik badan dan melangkah.
"Nona,"
"Apa Pak?" Aku kembali ke hadapannya.
"Kamu meninggalkan ini," ucapnya seraya meletakkan selembar uang kertas berwarna merah.
"Terimakasih Pak."
Dia hanya mengangguk, aku heran ada apa di balik semua ini, kenapa dia baik sekali pada ku, aku pun berjalan menuju dapur.
"Silvi," ada yang memanggilku seperti suara Mas Alex, aku pun menoleh seketika ke arah suara itu.
"Mas."
Aku tersenyum bahagia melihat dia kembali, ku menghambur padanya, hati ku sangat senang bertemu lagi dengan Pria itu, aku merindukan kan nya, selama 3 hari dia ke luar kota, dan kami tak pernah tau kabar satu sama lain.
Karena aku tak memiliki alat untuk berkomunikasi, meski Mas Alex mau membelikan ponsel untuk ku, tapi aku menolaknya, aku tak mau merepotkan orang lain, aku memang belum mengungkapkan perasaan ku padanya.
Aku sangat mencintai dia, tapi aku tak mau ada ikatan di antara kami, cukup menjadi teman dekat saja, sebelum aku mewujudkan impian ku, untuk membahagiakan orang tua dan Adik-adik ku.
"Sil, gimana kabar mu?" ucap Mas Alex kami duduk di kursi meja tamu.
"Baik, kamu sendiri Mas?"
"Lebih baik, apalagi setelah bertemu kamu," ucapan Mas Alex membuat ku tersipu malu, Mas Alex membenahi posisi duduknya dan meraih tangan ku, tatapan mata kami saling bertemu.
"Nona, mana pesanan saya?" teriak Pria yang tadi, aku pun menoleh gegas ku lepaskan tangan Mas Alex.
"Perasa'an dia belum memesan makanan atau minuman lagi pada ku," batinku,
"Tar ya Mas, kita ngobrolnya nanti, setelah aku pulang kerja! Gak enak takut di adukan oleh pelanggan pada Bu Maya, karena aku kurang profesional,"
"Iya, tapi Sil, Mas juga mau pesan minuman!" ujar Mas Alex.
"Ya udah, tar aku bawakan, tapi sebentar, aku mau melayani tamu yang lain dulu! Dia adalah tamu spesial di sini." Aku bangkit, Mas Alex mengangguk menuruti permintaan ku.
Aku berlari ke arahnya, "Iya Pak, mau pesan apa?" ucapku berdiri di depan dua Pria aneh.
"Saya mau pesan steak, yang cepat ya, jangan lama-lama!" Dia menatapku tajam sambil menggebrak meja. Aku tertegun dengan sikapnya yang tiba-tiba kasar,
"Nona, cepat bawakan pesanan saya!" Aku pun mengangguk patuh.
"Baik Pak, apa ada lagi yang mau Bapak pesan?"
"Cukup itu saja," ucapnya dengan sikap dingin, padahal beberapa menit sebelumnya dia begitu ramah padaku, dari tatapan mata Pria itu sepertinya dia tak suka aku berbicara dengan Mas Alex, tapi aku tak tau apa yang sedang dia fikirkan, hanya dia yang tau.
Gegas ku masuk ke dapur dan menginformasikan kepada kepala dapur, tak lama aku keluar membawa minuman untuk Mas Alex terlebih dahulu, sementara steak untuk Pria aneh itu di siapkan.
"Mas, ini jus nya." Aku meletakan gelas berisi jus alpukat untuk Mas Alex.
"Nona," teriak Pria itu lagi, aku berlari ke arahnya.
"Ada apa Pak?"
"Mana pesanan saya?"
"Sedang di siapkan Pak,"
"Hm..." Dia membuang nafas kasar, lalu dia menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan.
Tak berselang lama aku pun kembali mengantarkan steak untuk nya, "Ini Pak," ucapku gugup.
"Kenapa lama sekali? Saya tidak suka di selang oleh orang lain, kenapa kamu berani berbuat seperti itu?"
"Maksud Bapak apa? Saya tak mengerti,"
"Saya pesan duluan, tapi kenapa kamu mengantarkan pesanan kepada Pria itu terlebih dahulu?"
"Tapi Pak, kan saya sudah katakan tadi, pesanan Bapak sedang di siapkan, makanya saya mengantarkan minuman dulu ke pelanggan lain, sementara menunggu pesanan Bapak matang,"
"Saya tidak suka, sikap kamu yang kurang profesional, saya bisa adu kan kamu pada owner, biar kamu di pecat!"
"Tapi Pak, biasanya juga seperti itu, jika pesanan pelanggan sedang di siapkan, kami para waiters mengantarkan pesanan ke pelanggan lain sambil menunggu masakan siap,"
"Saya tidak peduli."
Ya Tuhan, ternyata aku salah menilai laki-laki ini ku kira dia benar-benar baik, tapi dia pemarah, rasanya aku tak mau lagi melayani dia, lebih baik aku melayani semua pelanggan di cafe ini, dari pada melayani dua Pria aneh ini.
"Ada apa ini?" ucap Bu Maya tiba-tiba dia ada di samping ku. Aku menunduk takut akan di marahi oleh Bu Maya.
"Bu, ini pelanggan kita, dia tak mau mengerti, tadi kan pesanan dia sedang di siapkan, Sementara itu aku mengantarkan minuman dulu pada pelanggan lain, tapi Bapak-bapak ini tak mau mengerti, mereka ngotot aku bersikap tak profesional,"
"Ini karyawan Ibu, tak mampu bekerja dengan baik," tukas Pria berjambang itu."Iya kami, merasa tak nyaman dengan pelayanan cafe ini, karena waitress anda kurang profesional, sebaiknya anda memilih karyawan yang bisa di andalkan!" timpal Pria berjas hitam tak memiliki jambang, namun tubuhnya sama-sama besar.Aku menarik nafas kesal, "Bu, kan biasanya kami para waiters, bekerja seperti yang sudah di perintahkan, dan sudah sesuai prosedur yang di tentukan,""Silvi, kamu jangan membantah dan jangan bersikap seperti itu pada Pak Devan dan Pak Reno! Kamu harus mengedepankan dan mengutamakan kenyamanan Pak Devan!" omel Bu Maya."Tapi Bu,""Kamu ikut, ke ruangan saya sekarang!" Bu Maya sepertinya marah besar padaku, dari sikapnya yang ketus, padahal aku tak membuat kesalahan, tapi kenapa dua Pria itu malah mengintimidasi ku, aku benar-benar tak mengerti.Ku melirik pada wajah dua Pria aneh itu, mereka saling menoleh dan tatapannya bertemu, sambil menunju
Kurapikan meja dan kursi bekas tempat duduk Devan dan Reno, makanan yang ia pesan tadi sama sekali belum ia sentuh dan di tinggal begitu saja."Dasar, orang kaya," gerutuku sambil meletakan dua piring berisi steak ke atas nampan, juga gelas berisi Orange jus yang masih penuh ku taruh di sudut meja."Mentang-mentang banyak uang, tak pernah menghargai makanan, dan kerja keras orang lain, kalau dia tak mau memakannya, ya udah, gak usah di pesan, untuk apa coba, dia memesannya padaku, kalau ujung-ujungnya gak di makan, hanya ingin mengerjai ku saja, gara-gara dia, kan aku di marahi sama Bu Maya," omel ku sambil bergumam.Aku tak peduli meski banyak pasang mata para pelanggan memerhatikan ku, karena aku terus saja bersungut-sungut, rasa kesal yang masih berkecamuk di dalam dada ini, membuatku tak puas-puasnya mengomel, gara-gara ulah Pria tampan tapi aneh tadi.Beberapa pengunjung ada yang menggeleng pelan, ada juga yang menatapku dengan tatapan bermacam art
"Mbak, jadi gak nganterin aku ke rumah Devan?""Ma'af ya Sil! Aku lupa, kalau aku gak bisa antar kamu, hari ini aku mau ke rumah Kakak ku, Ma'af ya sekali lagi!" ucap Mbak Ridha sambil menggenggam tanganku."Eum, ya sudah," jawabku sambil memberengut.Aku sedikit agak kecewa karena Mbak Ridha tidak jadi menemani ku ke rumah Devan, kemarin sore dia berjanji akan mengantarkan ku, namun karena dia ada urusan lain, akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri.Sebenarnya aku sangat lelah dan mengantuk, ingin sekali aku merebahkan tubuh ini dan beristirahat sejenak, karena hampir semalaman aku terjaga mataku tak kunjung terpejam, di otakku terus berputar memikirkan perkataan Mbak Ridha, yang mengusulkan ku untuk menerima tawaran kerja dari Devan, agar aku bisa melunasi hutang ibu.Atas dorongan dari Mbak Ridha, akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran Devan, meski aku tak tau pekerjaan apa yang akan aku jalani nanti, memang ada sedikit keraguan di hati
"Sudah Tuan, saya sudah fikirkan semuanya, dan saya akan berhenti dari pekerjaan, saya, besok saya akan kirim surat pengunduran diri,""Eum, baik kalau begitu, jadi, Anda bersedia bekerja dengan saya? Menjadi asisten pribadi saya!" tanyanya lagi meyakinkan."Iya, Tuan, saya bersedia,""Apa Anda bersedia, dengan pekerjaan apapun yang akan saya perintahkan, dan akan Anda turuti! Menjalankannya dengan baik!""Iya,""Nona Silvi, apa Anda sungguh-sungguh?" tanya Devan lagi, itu pertanyaan sudah kesekian kalinya yang keluar dari mulutnya."Siap Tuan," jawabku tegas. Devan menoleh pada Pak Reno seraya menganggukkan kepala di barengi dengan kedipan mata.Aku tak tau maksudnya apa? Dan aku juga tak tau itu kode apa, yang di berikan oleh Devan pada Pak Reno. Devan bangkit dia menggerakkan kepalanya, Pak Reno pun mengambil alih posisinya. Dia duduk di kursi yang barusan di duduki oleh Devan, Pria yang di panggil Bos itu pun berdiri menyaksikan kami.
"Silahkan masuk Nona! Ini kamar Anda,""Iya, terimakasih Bi," jawabku pada perempuan berbadan gemuk rambut pendek sebahu, dengan baju putih tulang dan rok span setengah betis, namanya Bi Rika, sebelum mengantar ku ke kamar ini, aku di kenalkan oleh Devan, dia adalah kepala asisten rumah tangga."Ayo masuk! Tak usah sungkan!" serunya ramah, sambil membukakan pintu kamar, yang berada di lantai dua, rumah Devan yang luas dan megah."Iya Bi," angguk ku dengan rasa canggung, aku berjalan masuk ke kamar yang di tujukan untuk ku, aku mendongak, pandangan ku mengedar ke seluruh ruangan."Non, silahkan istirahat dulu! Kalau mau ganti baju, silahkan ambil! di dalam lemari yang sudah tersedia, Tuan muda sudah mempersiapkan semua kebutuhan Non Silvi, di sini!" ucapnya ramah."Terimakasih banyak, Bi," ucapku, tak ada kata lagi yang harus aku ucapkan selain kata itu."Non, bila mau mandi, kamar mandinya di sebelah sana!" ucapnya lagi menunjukkan jarinya k
Devan membungkukkan badannya kaki dia mulai naik lagi ke atas tempat tidur, mendekati ku satu tangan menumpu, di sisi kanan tubuhku."Saya suka, dengan gadis seperti mu, malu-malu kucing, berpura-pura menolak, padahal kamu menginginkannya bukan? Hm."Tangannya meraih pipi ku, lalu jemarinya menyisir rambut. Dia menarik kepalaku mendekatkan wajahnya dengan wajahku kembali. Nafasku semakin sesak, aku tak tau harus berbuat apa, tanganku mengepal seraya memegang kerah bajuku dengan kuat, satu tanganku meremas sprei putih motif mawar, pembungkus kasur busa yang aku duduki.Tubuhku gemetar, keringat dingin pun bercucuran membasahi pelipis, kakiku lemas, rasanya aku ingin sekali berlari, dan meloloskan diri dari cengkeramannya, namun apalah daya. Aku tak bisa berbuat apa-apa tubuhku seakan membeku, tak ada kekuatan dalam diri ku, untuk melawan Pria bejat di hadapan ku ini."Tolong Tuan, lepaskan saya!" Aku tak bosan-bosannya meminta belas kasih darinya agar di
Aku sangat letih, tenggorokan kupun rasanya sangat haus. Tanganku bertumpu di lantai untuk membantu ku bangkit, lalu ku duduk di tepian ranjang. Aku meraih gelas bening berisi air mineral, dan meminumnya dengan segera hingga tak bersisa, rasanya segar menjalari tenggorokan ku.Ku usap wajah ini, dari atas sampai leher masih terasa bekas ciuman baj*ngan itu, aku sangat jijik benar-benar jijik. gegas ku berlari ke kamar mandi yang berada di seberang tempat tidur, di balik tembok dekat lemari pakaian.Ku putar keran dan air pun mengalir, aku menadahnya dengan tangan, ku basuh muka sampai ke leher, dan mengambil sabun wajah yang berada di depan cermin, ku tuangkan ke telapak tangan dan menggosoknya ku usapkan ke wajah ini hingga berbusa.Wangi dari aroma sabun sangat menyegarkan membuat diri ini rileks, sejenak aku melupakan kejadian yang tadi ku alami, berharap si Devan tak kembali lagi ke dalam kamar ini, setidaknya sampai besok malam, atau beberapa jam kedepan.
"Cukup Tuan! Jangan hancurkan masa depan saya! Apa salah saya?" ucapku dengan suara lirih."Kamu tak punya salah, yang jadi masalahnya, kamu terlalu cantik, dan kau mengingatkan ku pada orang yang pernah mengisi hidup ku, tapi dia kini telah pergi,""Lalu, apa hubungannya dengan saya?"Dia menggeleng sembari menarik sudut bibirnya. Devan membungkukkan badan ke arah ku, menumpu kedua tangannya di sisi tubuhku, kedua kakinya melebarkan paha ku, dalam hitungan detik mahkota ku yang sangat berharga akan segera di renggut oleh pria bej*t ini. Kini aku benar-benar hancur hanya bisa pasrah dengan nasib yang aku alami."Pejamkan mata mu sayang! Rasakan dan nikmati sentuhan yang aku berikan! Aku takkan menyakiti mu, aku hanya ingin membawamu ke dalam puncak kenikmatan!" bisik Devan.Dia mendekap tubuh ku dengan erat, bibirnya menepi di bibirku aku mengatup dan tak sudi membukanya, wajahnya turun menyusur ke leher pangkal janggut dan jambangnya yang kasar menyent
POV Author.Gadis yang tengah terlelap, ia terkesiap seketika seraya membuka matanya, saat bahunya di cekal erat oleh seseorang."Siapa kalian?" tanya Silvi pada lelaki berkaos hitam tanpa lengan, dengan celana jeans robek-robek di bagian dengkulnya, kulitnya hitam dan berambut gondrong berwajah garang."Tolong, jangan sakiti saya!" rengek Silvi ketakutan, dia meremat handuk yang ada di pelukannya, dengan tubuh gemetar."Gadis cantik, kenapa kamu sendirian? Kami temani ya, biar kamu tidak kesepian!" timpal Pria berbadan gempal dengan kemeja garis-garis, lengannya ia lipat sebahu. Celana jeans sama robek-robek, berambut gimbal berkumis tebal dan berkulit gelap.Sorot ke-dua mata pria itu penuh dengan nafsu saat melihat bagian paha Silvi yang putih dan mulus."Ayo ikut kami!" ajak Pria berambut gondrong tersebut. Mencekal kedua lengan Silvi."Tolong! Tolong!" Silvi berteriak sekuat tenaga, saat dia di seret oleh kedua Pria itu. Dan membawa Sil
POV Devan.Aku mengitari kota ini hingga larut malam tak ada tanda-tanda keberadaan Silvi sama sekali, sambil mengemudi pandangan ku terus mengedar ke kanan dan kiri berharap menemukan gadis itu.Semoga Tuhan melindungi kekasihku! Aku takut terjadi apa-apa dengan dia, Aku begitu menghawatirkannya, ku susuri kota ini hingga ke setiap pelosok, namun hasilnya sama saja nihil.Ku menepikan kendaraan di bahu jalan yang sepi, lalu ku ambil ponsel yang ada di Dashboard mobil, dan ku tekan tombol navigasi lalu ku usap layar gawai, gegas aku klik aplikasi berwarna hijau dan mulai menghubungi Reno, yang aku perintahkan mencari Silvi."Ren, bagaimana, apa sudah ketemu?" tanyaku dengan perasaan cemas."Maaf Pak! Saya belum menemukan Non Silvi," jawab Reno dari seberang sana."Hah." Ku tarik nafas dalam-dalam, ya Tuhan... Harus kemana lagi aku mencari Silvia, sudah hampir dini hari namun keberadaan Silvi belum sama sekali di ketahui."Lalu, bagaimana ini
POV Silvi.Aku berteduh dari derasnya hujan, yang mengguyur seluruh kota ini, hingga Malam terasa begitu dingin menusuk tulang, langit pun begitu gelap tak ada cahaya rembulan yang menyinari.Di tengah heningannya malam dan derasnya hujan, ku duduk di bale bambu sebuah warung bangunannya terbuat dari kayu, ku kira warung bekas penjual bensin, menurut asumsi ku, terlihat dari rak kayu kecil yang ada di ujung tiang, dengan beberapa botol beling yang bertengger di sana.Aku ketakutan dan kesepian, pandangan ku mengedar ke sekeliling warung, sepertinya tempat ini lama tak di tinggali, terlihat dari debu yang tebal menempel di seluruh permukaan tempat ini.Di keheningan malam dengan cahaya temaram lampu pijar lima wat yang menggantung di atap, aku duduk seorang diri menekuk lutut seraya memeluk tubuh yang menggigil, begitu sepi tak ada tanda-tanda kehidupan, kendaraan pun tak ada yang lalu lalang melintasi jalan di hadapan ku ini.Semakin malam h
POV Devan.Hati ku begitu gelisah fikiran ku di penuhi oleh bayangan Silvi, entah apa yang terjadi padanya, semoga saja dia baik-baik di rumah. Tadi pagi aku titipkan dia pada Bi Rika, hanya dia satu-satunya orang yang bisa aku percaya, untuk menjaga calon istri sekaligus calon ibu dari anakku.Agenda di kantor hari ini begitu padat sehingga aku melupakan Silvi, padahal aku sudah berjanji akan segera pulang dan mengantarkan dia ke kampung halamannya.Ku lirik jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul setengah dua siang, kemungkinan nanti aku pulang agak telat.Semoga saja Silvi masih mempercayai ku! Dan dia bersedia aku nikahi.Tapi aku berharap dia mau mengerti dengan pekerja'an ku di kantor yang tak bisa aku tinggalkan begitu saja.Setelah selesai mengurus dokumen persyaratan dan surat pengantar ke KUA, sekarang aku sudah siap sepenuhnya untuk menikahi Silvi, tak ku pungkiri aku begitu bahagia ingin segera membina rumah tangga
POV Silvi.Aku bangkit dengan perlahan, satu tangan menumpu di lantai, mengumpulkan kekuatan untuk ku berdiri, tangan ku yang lain memegangi perut yang sakit akibat benturan, saat Nyonya Amelia mendorong tubuh ku, hingga aku terhempas ke lantai konblok.Dengkul ku menghantam kerasnya lantai hingga lecet dan mengeluarkan darah. Sakitnya di tubuh tak seberapa jika di bandingkan dengan hancurnya hati ini."Silviana, cepat bangun! Dan segeralah angkat kaki dari rumah ini! Bawa barang rongsokan mu, jangan sampai ada yang tertinggal!" hardik Nyonya Amelia, dia berkacak pinggang di hadapan ku."I-iya Nyonya, saya akan segera pergi, dari sini!" jawab ku tergagap. Aku meringis masih memegangi perut, sambil berusaha bangkit, dan berdiri tertatih-tatih."Lelet banget sih, jadi Orang! Jangan sok mengiba, saya tidak mudah terpengaruh, dengan sandiwara kamu! Pake pura-pura lemas segala lagi!" Dia memutar bola matanya mendelik tajam pada ku."Saya, tidak p
POV Silvi.*Pagi ini aku keluar dari kamar mandi setelah membersihkan badan, ku kenakan baju dress tunik lengan panjang, dan bawahan se-dengkul, warna pastel, di padu padankan dengan sepatu flat warna senada, rambut panjang ku. Aku ikat separuh di bagian atasnya.Aku tak mengenakan seragam seperti yang lain, karena hari ini Devan berjanji akan mengajak ku pulang ke rumah ibu, untuk melamar ku dan dia juga berjanji akan mengikat janji suci di hadapan penghulu.Aku tak mengharapkan pesta pernikahan yang megah, aku hanya menginginkan status Ayah untuk anak ini.Sekarang perutku masih rata dan mungkin tak akan ada yang mengetahui kehamilan ku, jika aku pulang kampung. Aku akan merahasiakan kehamilan ku dari ibu dan juga semua orang, aku tak mau ada tau tentang aib ini.Sesa'at aku ke luar dari kamar mandi, dan berdiri di teras belakang, melihat kawan ART ku sedang sibuk menjemur pakaian ada juga yang menyirami tanaman, sambil menghirup udara se
POV Silvi.Diri ini menegang seketika sa'at Nyonya Amelia datang dan menyerang ku, dia mencerca ku habis-habisan, hati ku hancur berkeping-keping, mendengar cacian yang terlontar dari mulutnya yang tajam dan pedas, begitu pedih mengiris sanubari, membuat fikiran ku kalut seakan dunia ini gelap di penuhi kabut, tak ada setitik cahaya sama sekali dalam hati ini.Wanita itu begitu kasar padaku, kebenciannya pada Raya begitu mendarah daging, hingga wajah ku yang hanya mirip sekilas, membuat dia kalap, dan begitu jijik melihat ku.Apalagi kini aku sedang mengandung benih dari anak semata wayangnya, kebenciannya kini terhadap ku kian bertambah besar.Tidakkah dia melihat sisi gelap putranya, dan jangan terus-terusan mengintimidasi ku, hingga aku terpojok, aku begini karena perbuatan bejat putra kesayangannya.Ku seka air mata yang masih membasahi pipi, dengan jemariku, hati ku kini luluh lantak, hancur sehancur-hancurnya oleh dua orang yang tak punya ha
POV Devan.Aku sangat bahagia mendengar Silvi mengandung anakku, namun aku bingung dengan Mama, karena Mama tambah membencinya."Devan, kamu pilih Mama, atau perempuan itu, jika kamu lebih memilih dia, Mama akan angkat kaki dari rumah mu! Dan Mama takkan pernah, menginjakkan kaki lagi di rumah ini!" sungut Mama menuding tangannya ke arah Silvi.Tak ada yang harus aku pilih, kedua wania itu sama-sama penting dalam hidupku. Aku kini berada di posisi yang sulit, jika aku memilih Silvi.Mama akan begitu marah pada ku, aku tak mau menjadi anak yang membangkang, tapi aku juga tak mungkin mencampakkan gadis yang sudah aku rusak masa depannya.Aku bersimpuh di hadapan Mama, yang sedang duduk di sofa menyilang kaki seraya menyedekapkan tangannya di depan dada dengan angkuh.Ku tundukan kepala di pangkuan Wanita bertubuh proporsional dengan balutan dress tunik lengan panjang warna coklat tua, berharap hatinya bisa sedikit terbuka untuk Silviana.
POV Silvi."Oh, iya Dok, kira-kira usia kandungan istri saya berapa Minggu?" ucap Devan, menatap wajah Dokter Hendri dengan serius."Eum, kalau di lihat dari hasil HPHT, sekitar tujuh Minggu,""Tapi, saya heran Dok, kenapa istri saya bisa begitu mual, dengan mencium aroma tubuh saya?" tanya Devan keheranan dengan tingkahku yang mendadak mual dan ingin muntah bila dekat dengannya."Itu hal yang wajar Pak Devan, karena di trimester pertama kehamilan, seorang wanita hamil mengalami peningkatan hormon, itulah yang menyebabkan istri Bapak, mual dan muntah," ujar Dokter panjang lebar.Devan begitu serius menanggapi penuturan Dokter Hendri."Saya faham Dok, tapi apakah ini berpengaruh terhadap janinnya? Apakah berbahaya?""Tidak, jika itu masih di batas wajar. Namun asupan nutrisi harus di perhatikan, meskipun Bu Silvi merasa mual, tapi harus di usahakan untuk tetap makan, meskipun sedikit, dan konsumsi susu emesis untuk mengurangi rasa mual,"