Ku kenakan baju seragam kemeja lengan pendek hitam kombinasi warna merah di sisi kanan nya, dan celana jeans hitam, rambut panjang ku, ku ikat kuncir kuda, lalu ku buka pintu toilet, aku keluar berdiri di depan lorong toilet dan musholla. Ku pejamkan mata sejenak menetralkan rasa gugup, karena hari ini adalah hari pertama ku bekerja, dan akan berhadapan dengan orang banyak.
Meski gaji yang di janjikan hanya 3,5 juta perbulan namun aku tetap bersyukur, tekad ku mencari kerja tak lain hanya untuk membahagiakan keluarga dan membatu ibu melunasi hutangnya ke rentenir, walaupun gajiku sebulan takkan cukup untuk membayar hutang, tapi aku akan fikirkan nanti, aku percaya semua masalah pasti ada jalan keluarnya, yang penting kita berusaha.
Ku berdoa semoga di hari pertama ku ini bekerja, aku di berikan kelancaran oleh Tuhan, agar aku bisa menjalankan tugas dan melayani para pengunjung dengan baik, semoga saja aku bisa di percaya oleh Bu Maya yaitu Bos baru ku.
Pukul 10 pagi cafe ini sudah mulai buka, dan para pengunjung pun sudah mulai berdatangan, beberapa dari mereka sudah ada yang memesan makanan, ada juga yang masih duduk-duduk santai sambil berbincang dengan kawannya.
Para pegawai sudah bertugas sesuai arahan dari atasan, ada yang membawakan secangkir kopi, ataupun makanan dan juga minuman, namun aku bingung apa yang harus aku kerjakan, karena aku belum di berikan tugas.
"Hai, sini kamu!" Suara perempuan yang asing di telinga ku, aku pun menoleh ke arah suara itu.
"Iya Mbak," jawabku sambil berjalan cepat menuju ke arah perempuan yang memanggilku, perempuan berambut sebahu, dengan kemeja putih dan celana bahan warna hitam membalut tubuh proporsional nya.
"Kamu, karyawan baru itu kan?" tanyanya.
"Iya Mbak," balasku, dia menatap seraya menepuk pundak ku.
"Nama kamu Siapa?"
"Silvi, Mbak," ucapku. Dia mengulurkan tangan akupun membalas uluran tangannya, kami saling berjabat.
"Kenalkan! saya Ema, supervisor di sini,"
"Oh, Bu Ema." Akupun langsung merapatkan tangan dan kaki ku.
Aku sedikit mencondongkan tubuh ke depan, lalu mengangguk hormat padanya, sambil mengulas senyuman.
"Ma'af ya Bu, saya gak tau kalau ibu adalah supervisor,"
"Gak apa-apa, Silvi kerjakan tugas mu ya! sekarang kamu ke depan! dan tanya pada pelanggan yang baru datang itu!" titahnya seraya menyodorkan kertas tebal berwarna coklat di dalamnya terdapat catatan berbagai macam menu makanan dan minuman.
"Baik Bu, tapi tamu yang duduk di mana?" tanya ku bingung.
Bu Ema menunjuk jarinya ke arah meja paling pojok dekat dinding kaca cafe ini, apakah dua Pria itu, fikirku, pandangan ku tertuju ke sana, namun aku belum yakin.
"Yang mana Bu?" Aku memastikan.
"Yang itu Silvi, itu kan ada dua Pria, duduk di kursi paling pojok, Kamu kesana ya! Kamu harus bersikap ramah, dan harus selalu tersenyum! biar dia nyaman dengan pelayanan di cafe kita ini, dia pelanggan terbaik di sini,"
Aku mengangguk sambil menatap ke arah yang di tunjuk Bu Ema.
"Ya baik Bu, saya ke sana!" Aku berjalan menuju meja yang di tunjuk Bu Ema.
DuaPria dengan penampilan formal dan sangat rapi, sama-sama tampan namun berbeda usia menurut pandanganku, satu sekitar 30, dan yang satunya mungkin 35/37.
"Selamat pagi Pak?" sapa ku ramah, ku berdiri di dekat meja hadapan mereka berdua. "Mau pesan apa Pak?" ucapku lagi seraya mengulas senyuman.
Pria berkemeja putih jas abu-abu dan celana warna senada itu hanya sekilas menoleh pada ku, lalu pandangannya kembali ke layar laptop, temannya Pria berkemeja putih, jas biru navy bawahan warna senada, berbisik padanya, entah apa yang sedang di bicarakan oleh mereka.
Aku memperkirakan Pria di berjas biru navy itu adalah asisten pribadi nya atau mungkin rekan kerjanya. Ah... aku tidak tau ngapain juga mikirin orang lain, aku mengerjapkan mata dengan sedikit menggeleng.
Aku masih berdiri tak bergerak bingung apa yang harus aku lakukan, apa aku pergi saja dari hadapan mereka, ataukah aku harus menunggunya sampai mereka menyelesaikan urusannya, dan pesan sesuatu padaku.
Mereka masih saling berbisik, tatapannya saling bertemu, lalu menatap ke arah ku dengan tatapan tajam, entah apa yang ada dalam fikiran dua Pria itu. Aku tak tau hanya 2 orang itu dan tuhan yang tau.
"Kenapa kamu masih berdiri di sini?" ucap Pria berjas abu-abu dengan nada dingin.
"Te-terus, saya harus apa Pak? tanya ku tergagap.
"Kamu bawakan kami 2 cangkir kopi! Kopi yang biasa kami pesan setiap hari di sini!" sambung Pria berjas navy itu.
Aku menggigit bibir sambil mengerutkan kening, aku sangat bingung. Mana aku tau kopi yang biasa mereka pesan setiap hari di sini.
"Kopi apa ya Pak? Saya tidak tau, kopi yang di maksud oleh bapak berdua itu apa?" tanyaku, masih dengan ke bingungan dan ke gugupan ku.
"Oh, rupanya kamu karyawan baru di sini?" Pria itu mendongak menatap ku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan.
"I,iya Pak, saya karyawan baru,"
"Eum, sini!" Pria berjas biru navy itu melambai kecil padaku. Aku pun mendekat.
"Ada apa Pak?" Aku mengangguk.
"Nama kamu Siapa?"
"Silviana,"
"Eum, nama yang cantik, seperti orangnya," ucapnya menatapku dengan senyuman miring, dia meletakkan jari telunjuknya di dagu. "Nona, bawakan saya 2 cappuccino ya!"
"Iya Pak, apa ada yang lainnya?" tanya ku lagi.
"Sa'at ini tidak ada, nanti jika saya butuh yang lain, saya akan panggil kamu lagi ok!" ujarnya menaikan alisnya.
"Oh, ya sudah." jawabku seraya mencatat pesanannya. "Kalau begitu, saya permisi!" anggukku, aku sangat gugup dan takut dengan Pria itu. Aku langsung berbalik badan berjalan dengan langkah cepat.
"Hei, Nona!" Dia memanggilku, aku terhenti dan berdiri mematung.
"Iya, Pak?" jawab ku tanpa menoleh pada nya.
"Bawakan pesanan saya yang tadi, jangan sampai lupa!"
Aku mengangguk sambil berlalu, ya Tuhan siapa dia, aku bergidik ngeri melihat tatapannya yang tajam. Aku pun segera berlari ke dapur dan menyampaikan pesanan pada kepala bagian, lalu dia pun menginformasikan kepada barista, tak lama 2 cappuccino sudah siap untuk di antarkan pada pelanggan.
Teman seprofesi ku yang mungkin sudah lama bekerja di sini nampak terbiasa, tak seperti aku benar-benar gugup, mereka mengerjakan tugasnya dengan santai, mengantarkan pesanan kepada pelanggan dan menanyakan apa yang akan di pesan oleh tamu yang baru datang.
Ku bawa nampan dengan 2 cangkir cappuccino, berjalan hati-hati menuju meja pelanggan, karena aku takut nantinya akan tumpah dan berceceran, tangan ku masih sangat kaku, karena aku belum terbiasa bekerja di tempat seperti ini. Ku langkahkan kaki menuju kursi paling pojok dengan langkah pelan.
"Pak, ini cappuccino nya, silahkan di minum!" ucapku seraya menaruh cangkir di meja.
"Terimakasih," sahutnya.
"Sama-sama," jawabku singkat, aku pun menegakkan tubuh lalu berbalik, untuk meninggalkan dua Pria ini.
"Nona, jangan pergi dulu!" Suaranya sangat lembut.
"Iya, ada apa lagi?" Aku memutar tubuh ku dan menghadapnya.
"Bawakan kami 2 porsi lasagna!" pinta Pria berjas abu-abu, seraya menautkan kedua tangannya di meja, Dia mendongak lalu menatapku sambil tersenyum tipis.
"Makanan apa ya itu Pak?" Aku tertegun mendengar nama makanan yang sangat asing di telinga ku, aku masih belum mengerti.
"Nona, coba di buka buku menunya, dan anda baca!"
Akupun mengambil buku menu dari meja dan ku buka lalu ku baca.
"Apakah ada, menu yang saya sebutkan barusan?"
"I, iya Pak ada." Akupun berlalu sebelum di suruh, dengan setengah berlari aku pergi ke dapur.
"Bu," ucapku pada perempuan yang bertugas sebagai kepala bagian dapur, "Ini Bu, ada yang pesan lasagna!""Oh, iya," sahutnya menoleh ke arahku, dan mengambil kertas catatan dari tangan ku, dia pun menginformasikan kepada asisten chef, lalu ia kembali fokus mengecek makanan sebelum di antar oleh para waiters, ke meja pelanggan."Sil, antarkan dulu makanan ini ke meja Nomor 13! Sambil menunggu lasagna siap di sajikan!" titah kepala bagian."Baik Bu."Akupun mengangguk patuh, dan mengambil nampan dengan piring berisi kentang goreng saus keju, dengan toping keju parut di atasnya, juga segelas minuman dingin, dari tampilannya nampak begitu segar, rasanya ingin sekali aku meneguknya.Jangankan pernah meminumnya, melihatnya saja baru kali ini dalam seumur hidupku, rasanya seperti apa aku tak tau? membuat kerongkonganku semakin dahagaku. Aku hanya bisa menelan ludah.Aku keluar dari dapur sambil berjalan menuju meja Nomor 13, sesuai yang di perintahkan ol
Pukul 12.30 siang, tubuhku sangat lelah, dari pertama datang ke sini belum sempat istirahat walau sejenak, Sementara karyawan yang lain sudah istirahat bergantian, namun aku belum mendapatkan giliran, karena Bu Ema belum juga menyuruh ku.Aku tak berani meminta izin padanya karena aku anak baru, ya aku sedisuruh nya saja, meski letih namun aku harus menjalani pekerjaan ku dengan tuntas.Setelah mengantarkan pesanan aku kembali ke dapur, duduk menekuk lutut seraya menyenderkan punggung di tembok untuk menghilangkan rasa lelah, sambil melihat Bapak koki yang masih sibuk memasak."Silvi." Bu Ema datang menghampiri dan berdiri di samping ku."I, iya Bu." Aku terperanjat, berdiri dengan gerakan cepat, merapatkan tangan dan kakiku sambil merundukan kepala, "Apa, ada tugas lagi untuk saya Bu?""Gak ada, Sil, istirahat dulu sana! Kamu pasti sudah lapar kan?""Iya Bu,""Sil, Waktu istirahat kamu setengah jam ya, Pergunakan dengan baik! Hanya un
*Satu Minggu aku berkenalan dengan Mas Alex, dia orangnya sangat baik dan perhatian tak ayal jika aku pulang dari bekerja, shift 2 dia sering mampir membawakan makanan untuk ku.Aku selalu menolak, namun aku tetap tak bisa menolaknya, jika aku tak mau menerima dia selalu mengatakan, tak menghargai pemberian orang lain, dengan terpaksa aku menerima nya meskipun aku tak mau."Silvi," panggil Mas Alex dari luar seraya mengetuk pintu kontrakan ku."Iya Mas," gegas aku membuka pintu dan keluar dari kamar kontrakan, "Ada apa Mas?" tanyaku berdiri di ambang pintu."Sil, kita jalan yuk!" ajaknya."Kemana?""Ini kan malam Minggu, Aku ingin mengajakmu jalan! Ada sesuatu yang harus aku katakan sama kamu!" ucap Pria berkemeja putih dan celana jeans hitam penampilan sangat rapi dan wangi."Ya, ngomong aja! Disini juga gak apa-apa." Aku tergagap apa yang mau dia katakan, sampai mengajak aku pergi bersamanya."Sil, aku mau mengajakmu ke suatu tem
"Ini karyawan Ibu, tak mampu bekerja dengan baik," tukas Pria berjambang itu."Iya kami, merasa tak nyaman dengan pelayanan cafe ini, karena waitress anda kurang profesional, sebaiknya anda memilih karyawan yang bisa di andalkan!" timpal Pria berjas hitam tak memiliki jambang, namun tubuhnya sama-sama besar.Aku menarik nafas kesal, "Bu, kan biasanya kami para waiters, bekerja seperti yang sudah di perintahkan, dan sudah sesuai prosedur yang di tentukan,""Silvi, kamu jangan membantah dan jangan bersikap seperti itu pada Pak Devan dan Pak Reno! Kamu harus mengedepankan dan mengutamakan kenyamanan Pak Devan!" omel Bu Maya."Tapi Bu,""Kamu ikut, ke ruangan saya sekarang!" Bu Maya sepertinya marah besar padaku, dari sikapnya yang ketus, padahal aku tak membuat kesalahan, tapi kenapa dua Pria itu malah mengintimidasi ku, aku benar-benar tak mengerti.Ku melirik pada wajah dua Pria aneh itu, mereka saling menoleh dan tatapannya bertemu, sambil menunju
Kurapikan meja dan kursi bekas tempat duduk Devan dan Reno, makanan yang ia pesan tadi sama sekali belum ia sentuh dan di tinggal begitu saja."Dasar, orang kaya," gerutuku sambil meletakan dua piring berisi steak ke atas nampan, juga gelas berisi Orange jus yang masih penuh ku taruh di sudut meja."Mentang-mentang banyak uang, tak pernah menghargai makanan, dan kerja keras orang lain, kalau dia tak mau memakannya, ya udah, gak usah di pesan, untuk apa coba, dia memesannya padaku, kalau ujung-ujungnya gak di makan, hanya ingin mengerjai ku saja, gara-gara dia, kan aku di marahi sama Bu Maya," omel ku sambil bergumam.Aku tak peduli meski banyak pasang mata para pelanggan memerhatikan ku, karena aku terus saja bersungut-sungut, rasa kesal yang masih berkecamuk di dalam dada ini, membuatku tak puas-puasnya mengomel, gara-gara ulah Pria tampan tapi aneh tadi.Beberapa pengunjung ada yang menggeleng pelan, ada juga yang menatapku dengan tatapan bermacam art
"Mbak, jadi gak nganterin aku ke rumah Devan?""Ma'af ya Sil! Aku lupa, kalau aku gak bisa antar kamu, hari ini aku mau ke rumah Kakak ku, Ma'af ya sekali lagi!" ucap Mbak Ridha sambil menggenggam tanganku."Eum, ya sudah," jawabku sambil memberengut.Aku sedikit agak kecewa karena Mbak Ridha tidak jadi menemani ku ke rumah Devan, kemarin sore dia berjanji akan mengantarkan ku, namun karena dia ada urusan lain, akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri.Sebenarnya aku sangat lelah dan mengantuk, ingin sekali aku merebahkan tubuh ini dan beristirahat sejenak, karena hampir semalaman aku terjaga mataku tak kunjung terpejam, di otakku terus berputar memikirkan perkataan Mbak Ridha, yang mengusulkan ku untuk menerima tawaran kerja dari Devan, agar aku bisa melunasi hutang ibu.Atas dorongan dari Mbak Ridha, akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran Devan, meski aku tak tau pekerjaan apa yang akan aku jalani nanti, memang ada sedikit keraguan di hati
"Sudah Tuan, saya sudah fikirkan semuanya, dan saya akan berhenti dari pekerjaan, saya, besok saya akan kirim surat pengunduran diri,""Eum, baik kalau begitu, jadi, Anda bersedia bekerja dengan saya? Menjadi asisten pribadi saya!" tanyanya lagi meyakinkan."Iya, Tuan, saya bersedia,""Apa Anda bersedia, dengan pekerjaan apapun yang akan saya perintahkan, dan akan Anda turuti! Menjalankannya dengan baik!""Iya,""Nona Silvi, apa Anda sungguh-sungguh?" tanya Devan lagi, itu pertanyaan sudah kesekian kalinya yang keluar dari mulutnya."Siap Tuan," jawabku tegas. Devan menoleh pada Pak Reno seraya menganggukkan kepala di barengi dengan kedipan mata.Aku tak tau maksudnya apa? Dan aku juga tak tau itu kode apa, yang di berikan oleh Devan pada Pak Reno. Devan bangkit dia menggerakkan kepalanya, Pak Reno pun mengambil alih posisinya. Dia duduk di kursi yang barusan di duduki oleh Devan, Pria yang di panggil Bos itu pun berdiri menyaksikan kami.
"Silahkan masuk Nona! Ini kamar Anda,""Iya, terimakasih Bi," jawabku pada perempuan berbadan gemuk rambut pendek sebahu, dengan baju putih tulang dan rok span setengah betis, namanya Bi Rika, sebelum mengantar ku ke kamar ini, aku di kenalkan oleh Devan, dia adalah kepala asisten rumah tangga."Ayo masuk! Tak usah sungkan!" serunya ramah, sambil membukakan pintu kamar, yang berada di lantai dua, rumah Devan yang luas dan megah."Iya Bi," angguk ku dengan rasa canggung, aku berjalan masuk ke kamar yang di tujukan untuk ku, aku mendongak, pandangan ku mengedar ke seluruh ruangan."Non, silahkan istirahat dulu! Kalau mau ganti baju, silahkan ambil! di dalam lemari yang sudah tersedia, Tuan muda sudah mempersiapkan semua kebutuhan Non Silvi, di sini!" ucapnya ramah."Terimakasih banyak, Bi," ucapku, tak ada kata lagi yang harus aku ucapkan selain kata itu."Non, bila mau mandi, kamar mandinya di sebelah sana!" ucapnya lagi menunjukkan jarinya k
POV Author.Gadis yang tengah terlelap, ia terkesiap seketika seraya membuka matanya, saat bahunya di cekal erat oleh seseorang."Siapa kalian?" tanya Silvi pada lelaki berkaos hitam tanpa lengan, dengan celana jeans robek-robek di bagian dengkulnya, kulitnya hitam dan berambut gondrong berwajah garang."Tolong, jangan sakiti saya!" rengek Silvi ketakutan, dia meremat handuk yang ada di pelukannya, dengan tubuh gemetar."Gadis cantik, kenapa kamu sendirian? Kami temani ya, biar kamu tidak kesepian!" timpal Pria berbadan gempal dengan kemeja garis-garis, lengannya ia lipat sebahu. Celana jeans sama robek-robek, berambut gimbal berkumis tebal dan berkulit gelap.Sorot ke-dua mata pria itu penuh dengan nafsu saat melihat bagian paha Silvi yang putih dan mulus."Ayo ikut kami!" ajak Pria berambut gondrong tersebut. Mencekal kedua lengan Silvi."Tolong! Tolong!" Silvi berteriak sekuat tenaga, saat dia di seret oleh kedua Pria itu. Dan membawa Sil
POV Devan.Aku mengitari kota ini hingga larut malam tak ada tanda-tanda keberadaan Silvi sama sekali, sambil mengemudi pandangan ku terus mengedar ke kanan dan kiri berharap menemukan gadis itu.Semoga Tuhan melindungi kekasihku! Aku takut terjadi apa-apa dengan dia, Aku begitu menghawatirkannya, ku susuri kota ini hingga ke setiap pelosok, namun hasilnya sama saja nihil.Ku menepikan kendaraan di bahu jalan yang sepi, lalu ku ambil ponsel yang ada di Dashboard mobil, dan ku tekan tombol navigasi lalu ku usap layar gawai, gegas aku klik aplikasi berwarna hijau dan mulai menghubungi Reno, yang aku perintahkan mencari Silvi."Ren, bagaimana, apa sudah ketemu?" tanyaku dengan perasaan cemas."Maaf Pak! Saya belum menemukan Non Silvi," jawab Reno dari seberang sana."Hah." Ku tarik nafas dalam-dalam, ya Tuhan... Harus kemana lagi aku mencari Silvia, sudah hampir dini hari namun keberadaan Silvi belum sama sekali di ketahui."Lalu, bagaimana ini
POV Silvi.Aku berteduh dari derasnya hujan, yang mengguyur seluruh kota ini, hingga Malam terasa begitu dingin menusuk tulang, langit pun begitu gelap tak ada cahaya rembulan yang menyinari.Di tengah heningannya malam dan derasnya hujan, ku duduk di bale bambu sebuah warung bangunannya terbuat dari kayu, ku kira warung bekas penjual bensin, menurut asumsi ku, terlihat dari rak kayu kecil yang ada di ujung tiang, dengan beberapa botol beling yang bertengger di sana.Aku ketakutan dan kesepian, pandangan ku mengedar ke sekeliling warung, sepertinya tempat ini lama tak di tinggali, terlihat dari debu yang tebal menempel di seluruh permukaan tempat ini.Di keheningan malam dengan cahaya temaram lampu pijar lima wat yang menggantung di atap, aku duduk seorang diri menekuk lutut seraya memeluk tubuh yang menggigil, begitu sepi tak ada tanda-tanda kehidupan, kendaraan pun tak ada yang lalu lalang melintasi jalan di hadapan ku ini.Semakin malam h
POV Devan.Hati ku begitu gelisah fikiran ku di penuhi oleh bayangan Silvi, entah apa yang terjadi padanya, semoga saja dia baik-baik di rumah. Tadi pagi aku titipkan dia pada Bi Rika, hanya dia satu-satunya orang yang bisa aku percaya, untuk menjaga calon istri sekaligus calon ibu dari anakku.Agenda di kantor hari ini begitu padat sehingga aku melupakan Silvi, padahal aku sudah berjanji akan segera pulang dan mengantarkan dia ke kampung halamannya.Ku lirik jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul setengah dua siang, kemungkinan nanti aku pulang agak telat.Semoga saja Silvi masih mempercayai ku! Dan dia bersedia aku nikahi.Tapi aku berharap dia mau mengerti dengan pekerja'an ku di kantor yang tak bisa aku tinggalkan begitu saja.Setelah selesai mengurus dokumen persyaratan dan surat pengantar ke KUA, sekarang aku sudah siap sepenuhnya untuk menikahi Silvi, tak ku pungkiri aku begitu bahagia ingin segera membina rumah tangga
POV Silvi.Aku bangkit dengan perlahan, satu tangan menumpu di lantai, mengumpulkan kekuatan untuk ku berdiri, tangan ku yang lain memegangi perut yang sakit akibat benturan, saat Nyonya Amelia mendorong tubuh ku, hingga aku terhempas ke lantai konblok.Dengkul ku menghantam kerasnya lantai hingga lecet dan mengeluarkan darah. Sakitnya di tubuh tak seberapa jika di bandingkan dengan hancurnya hati ini."Silviana, cepat bangun! Dan segeralah angkat kaki dari rumah ini! Bawa barang rongsokan mu, jangan sampai ada yang tertinggal!" hardik Nyonya Amelia, dia berkacak pinggang di hadapan ku."I-iya Nyonya, saya akan segera pergi, dari sini!" jawab ku tergagap. Aku meringis masih memegangi perut, sambil berusaha bangkit, dan berdiri tertatih-tatih."Lelet banget sih, jadi Orang! Jangan sok mengiba, saya tidak mudah terpengaruh, dengan sandiwara kamu! Pake pura-pura lemas segala lagi!" Dia memutar bola matanya mendelik tajam pada ku."Saya, tidak p
POV Silvi.*Pagi ini aku keluar dari kamar mandi setelah membersihkan badan, ku kenakan baju dress tunik lengan panjang, dan bawahan se-dengkul, warna pastel, di padu padankan dengan sepatu flat warna senada, rambut panjang ku. Aku ikat separuh di bagian atasnya.Aku tak mengenakan seragam seperti yang lain, karena hari ini Devan berjanji akan mengajak ku pulang ke rumah ibu, untuk melamar ku dan dia juga berjanji akan mengikat janji suci di hadapan penghulu.Aku tak mengharapkan pesta pernikahan yang megah, aku hanya menginginkan status Ayah untuk anak ini.Sekarang perutku masih rata dan mungkin tak akan ada yang mengetahui kehamilan ku, jika aku pulang kampung. Aku akan merahasiakan kehamilan ku dari ibu dan juga semua orang, aku tak mau ada tau tentang aib ini.Sesa'at aku ke luar dari kamar mandi, dan berdiri di teras belakang, melihat kawan ART ku sedang sibuk menjemur pakaian ada juga yang menyirami tanaman, sambil menghirup udara se
POV Silvi.Diri ini menegang seketika sa'at Nyonya Amelia datang dan menyerang ku, dia mencerca ku habis-habisan, hati ku hancur berkeping-keping, mendengar cacian yang terlontar dari mulutnya yang tajam dan pedas, begitu pedih mengiris sanubari, membuat fikiran ku kalut seakan dunia ini gelap di penuhi kabut, tak ada setitik cahaya sama sekali dalam hati ini.Wanita itu begitu kasar padaku, kebenciannya pada Raya begitu mendarah daging, hingga wajah ku yang hanya mirip sekilas, membuat dia kalap, dan begitu jijik melihat ku.Apalagi kini aku sedang mengandung benih dari anak semata wayangnya, kebenciannya kini terhadap ku kian bertambah besar.Tidakkah dia melihat sisi gelap putranya, dan jangan terus-terusan mengintimidasi ku, hingga aku terpojok, aku begini karena perbuatan bejat putra kesayangannya.Ku seka air mata yang masih membasahi pipi, dengan jemariku, hati ku kini luluh lantak, hancur sehancur-hancurnya oleh dua orang yang tak punya ha
POV Devan.Aku sangat bahagia mendengar Silvi mengandung anakku, namun aku bingung dengan Mama, karena Mama tambah membencinya."Devan, kamu pilih Mama, atau perempuan itu, jika kamu lebih memilih dia, Mama akan angkat kaki dari rumah mu! Dan Mama takkan pernah, menginjakkan kaki lagi di rumah ini!" sungut Mama menuding tangannya ke arah Silvi.Tak ada yang harus aku pilih, kedua wania itu sama-sama penting dalam hidupku. Aku kini berada di posisi yang sulit, jika aku memilih Silvi.Mama akan begitu marah pada ku, aku tak mau menjadi anak yang membangkang, tapi aku juga tak mungkin mencampakkan gadis yang sudah aku rusak masa depannya.Aku bersimpuh di hadapan Mama, yang sedang duduk di sofa menyilang kaki seraya menyedekapkan tangannya di depan dada dengan angkuh.Ku tundukan kepala di pangkuan Wanita bertubuh proporsional dengan balutan dress tunik lengan panjang warna coklat tua, berharap hatinya bisa sedikit terbuka untuk Silviana.
POV Silvi."Oh, iya Dok, kira-kira usia kandungan istri saya berapa Minggu?" ucap Devan, menatap wajah Dokter Hendri dengan serius."Eum, kalau di lihat dari hasil HPHT, sekitar tujuh Minggu,""Tapi, saya heran Dok, kenapa istri saya bisa begitu mual, dengan mencium aroma tubuh saya?" tanya Devan keheranan dengan tingkahku yang mendadak mual dan ingin muntah bila dekat dengannya."Itu hal yang wajar Pak Devan, karena di trimester pertama kehamilan, seorang wanita hamil mengalami peningkatan hormon, itulah yang menyebabkan istri Bapak, mual dan muntah," ujar Dokter panjang lebar.Devan begitu serius menanggapi penuturan Dokter Hendri."Saya faham Dok, tapi apakah ini berpengaruh terhadap janinnya? Apakah berbahaya?""Tidak, jika itu masih di batas wajar. Namun asupan nutrisi harus di perhatikan, meskipun Bu Silvi merasa mual, tapi harus di usahakan untuk tetap makan, meskipun sedikit, dan konsumsi susu emesis untuk mengurangi rasa mual,"