"Masih belum?" tanyanya sambil mengernyit heran.
"Sudah Mas!" aku menjawab sekenanya. Walau aku masih ragu sebenarnya pria itu mau menanyakan tentang apa. "Kalau sudah mandi, kenapa masih pakai baju itu?" tanyanya memindai sekujur penampilanku. Akupun tersenyum palsu, untuk menutupi rasa canggung bercampur rasa takut pada komentarnya lagi. "Elva belum punya baju ganti, mas!" akupun memberitahu dengan ragu-ragu. Dalam diam, Mas Azka menganggukkan kepalanya mengerti. "Ok, mau saya pinjamkan baju sama Sonia, Lena, atau Damai?" tanyanya memberi pilihan. "Ti-tidak usah mas!" selaku cepat. Jujur, aku sedikit kecewa karena mas Azka hafal betul urutan nama istri-istrinya. Tapi bukankah itu memang harus, tak mungkin juga mas Azka hanya mengingat satu nama istri saja, dan bukankah itu bentuk jika dirinya memang mampu memiliki istri empat? Mas Azka kemudian berlalu tanpa banyak bicara lagi, dan akupun gegas mengenakan mukena terbaru pemberiannya. Kupikir pria itu akan bergerak ke luar kamar menuju musholla yang ada di salah satu sudut rumah, lalu memanggil istri-istrinya yang lain untuk menjalankan sholat isya berjamaah. Akan tetapi, tubuhku hampir menabrak mas Azka ketika ia malah menggelar sajadah di tengah-tengah ruangan, lalu menoleh kebelakang mengisyaratkan padaku untuk mengambil posisi. "M-mas, kenapa sholatnya disini?" tanyaku pelan. "Memangnya saya harus sholat dimana?" jawabnya ketus. Mulutku masih terbuka saat pertanyaanku dijawabnya cepat dengan singkat, padat, dan menohok. "Mau berdiri disitu, atau ikut saya sholat?" tanyanya lagi mendesak. "Ikut Mas, ikut!" jawabku tergagap akupun bergegas menggelar sajadah dibelakang tubuhnya, karena biar bagaimanapun sholat berjamaah lebih banyak nilainya dibanding sholat sendirian. Apalagi dengan statusku yang baru saja menyempurnakan separuh agama dengan menjadi seorang istri, maka jumlah pahalanya tentu berkali-kali lipat. Namun, hal yang membuatku bingung adalah mengapa mas Azka hanya mengajakku sholat berjamaah berdua saja didalam kamar, bukankah ia punya tiga makmum lagi yang harus diimami? Berbekal prasangka baik jika istri-istri mas Azka yang lain sudah sholat lebih dahulu diawal waktu, akupun ikut saja sholat berjamaah dengan khusyuk tanpa banyak protes, lagipula momen ini cukup membuatku merasa menjadi wanita sempurna dan satu-satunya. Tak apalah, mungkin juga di malam pertama ini mas Azka memang dipersembahkan diri hanya untukku. "Bismillah!" Kurebahkan batang tubuh yang lelah ini menikmati empuknya tempat tidur yang lembut dan wangi setelah sholat Isya berjamaah dengan suamiku. Napasku mulai tenang dan nyaman, sebab akhirnya aku bisa beristirahat setelah hampir seharian penuh berkutat dengan kesibukan menjadi seorang mempelai. Seluruh tubuhku rasanya pegal sekali seperti dipukul dan dililit seutas tali, untung saja berbaring menjadi solusi menghilangkan rasa penatku itu. Kusadari mas Azka sudah keluar dari kamar setelah sholat, entah pergi kemana akupun tidak berani bertanya karena segan. Aku terpaksa mengenakan kemeja kebesaran milik mas Azka, sebab baju-bajuku yang tadi didalam tas malah terbawa pulang oleh bapak, dan penawaran mas Azka tentang usulan meminjam baju pada istri-istrinya berhasil kutolak karena tak ingin merepotkan, toh besok paginya bapak akan datang lagi membawakan baju-bajuku. Dengan posisi telentang, kubiarkan mata ini perlahan terpejam sambil merentang kedua tangan guna mengencangkan otot-otot, selagi mas Azka belum kembali, maka akulah yang jadi penguasa tempat tidur. Walau ini malam pertama kami, namun sejujurnya aku tidak menginginkan pria itu berada dikamarku, sebab keberadaannya disini hanya membuatku merasa risih. Setidaknya aku lebih leluasa bermalasan sesuka hati sampai besok hari jika tanpa mas Azka. Tak butuh waktu lama untukku sampai ke alam mimpi, karena setelah lima menit menjatuhkan tubuh diatas tempat tidur akupun terlena dan tenang. "Elva!" Suara bariton sayup-sayup terdengar memanggil namaku, lalu kemudian menyelimuti setengah badanku, saking ngantuknya aku tak bisa lagi membuka mata. Entah sudah berapa lama aku tertidur, tiba tiba saja kurasakan sebuah tubuh kekar dan hangat memeluk diatasku, disematkannya kelima jari kami hingga menyatu, lalu sebuah daging kenyal seketika menempel dibibirku. Degh. "Mas belum tidur?" lirihku serak seraya membuka mata. "Saya tidak bisa tidur, tugasku masih banyak!" ujarnya memandangku dengan sayu. Tubuhnya yang kuat mengunci tubuh ini, akupun hanya bisa melenting tanpa elakan ketika Mas Azka menyingkap selimut yang baru saja diletakkannya. Mas Azka mulai hilang kendali terhadap pesonaku, ia yang sudah menguasaiku tiba-tiba memacu hingga lenguhan itu terjadi, dan dengan rasa yang tak karuan kubalas pesonanya dengan dekapan erat pada tubuhnya yang sedang bergejolak. Bukan, bukan aku yang sengaja melakukannya ... Tapi anggota tubuh yang terlibat itulah yang bekerja sendiri secara otomatis, dan akupun juga merasakan energiku tiba-tiba habis terkuras. Cup Sekali lagi, tubuhku yang terasa koyak ini dimesrai olehnya, setelah menenggelamkan wajah dan memberi tanda kepemilikan di ceruk leher, pria polos itu berguling disampingku, ia terkulai lemas sebelum akhirnya terpejam tenang. Aku menggelengkan kepala pelan merasakan sesuatu yang lumayan perih, bahkan hatikupun juga ikut perih sesudahnya, seolah tak percaya dengan apa yang terjadi. Aku mulai mengatur napas, entah bagaimana, kami bisa saling melengkapi dan mengisi peran dalam hal yang masih tabu bagiku. Aku tahu Mas Azka sudah pro, jadi hal ini biasa untuknya, berbeda denganku yang pasti akan mengalami banyak perubahan setelah ini. Lelah dengan keadaan, akupun memilih mengistirahatkan jiwa raga disisinya. "Elva!" Suara bariton yang tegas itu terdengar memanggil namaku, akupun diguncang olehnya sebab tak juga menjawab panggilannya. "Elva!" Panggil mas Azka lagi, ia menepis tanganku yang tak sengaja melingkar ditubuhnya, dan dapat kurasakan dia mulai bangkit seraya menyelimutiku yang kedinginan, dan masih mengharap pelukan hangatnya. Meski sadar dengan semua yang ia lakukan, tapi aku sama sekali belum dapat membuka mata, bukan tidak mau tapi rasanya kedua kelopak ini sangatlah berat dipaksa terangkat. "Elva bangun!" hardik mas Azka padaku. "Iya-iya mas!" karena terkejut, akupun kelabakan menegakkan tubuh. "Apa kamu minum obat ini tadi malam?" tanyanya menunjuk sesuatu diatas nakas yang luput dari perhatianku. "Memangnya itu obat apa mas?" tanyaku kebingungan, seraya membenarkan penutup tubuh. "Gak usah banyak tanya, kamu meminumnya atau tidak?" kembali mas Azka menegaskan. Akupun mengucek kedua mata yang masih buram, kutegakkan tubuh menjadi duduk dengan rambut panjang terurai berantakan sambil memegang erat selimut sebatas dada. "Elva bahkan gak tau kalau ada obat disitu!" cicitku yang langsung membuat mas Azka mendengkus. Pria itu berpaling seraya mengusap wajahnya kasar lalu mengetik sesuatu di ponselnya. Aku yang masih belum mengerti apa-apa hanya bisa menatapnya heran. Setelah itu, ia berlalu keluar kamar meninggalkanku yang terpaksa mengejar waktu sholat subuh sendirian. "Mas Azka sudah berangkat ya mbak?" tanyaku sambil celingukan setibanya dimeja makan, kepada tiga wanita yang sudah senior menjadi istri suamiku. Sebab mas Azka tak terlihat disana untuk sarapan bersama. "Mas Azka nggak bisa malas-malasan kayak kamu, pagi ini dia sudah harus keluar kota!" sahut mbak Damai seadanya seraya mengambil sesendok nasi untuk ia makan sendiri. Sementara mbak Lena dan mbak Sonia hanya duduk tenang sambil menyantap makanan masing-masing. "Oh begitu ya!" gumamku pelan menundukkan kepala. Rasa kecewaku mulai muncul lagi, seolah tak terima kenyataan keberangkatan suamiku tanpa pamit dihari pertama kami sebagai pasutri, apalagi dihari pertama yang harusnya ceria dan bahagia aku malah harus merasa canggung karena berhadapan dengan wanita-wanita ini. "Sebenarnya rumah tangga macam apa yang sedang kujalani?" hatiku sempat bergumam mengomentari suasana pagi pertamaku dirumah ini, setelah menikah dan bermalam pengantin. Aneh saja rasanya tinggal satu atap bersama semua madu dan harus saling ... ya begitulah, Apa aku bisa? Terlihat istri ketiga suamiku itu memindai sinis pada pakaian yang kukenakan. "Sudah, malam pertamanya? UhukkkTiba-tiba saja maduku mbak Damai bertanya demikian, dengan wajah datar sambil menyuap sarapannya, seolah yang dibicarakan bukanlah suaminya sendiri. Aku tak habis pikir. Bisa bisanya ia bertanya seperti itu. Aku yang sempat tersedak lalu meneggak segelas air kemudian mengangguk malu-malu memberi jawaban jujur pada wanita itu. "Trus kamu berhasil dapat apa, Ruko, Mobil, atau Rumah?" tanya Lena menambahkan. Ekspresi wanita itupun sama, yaitu biasa saja. Padahal kemarin-kemarin mbak Lena mengaku sangat mencintai mas Azka, sebagai istri ke-2 cinta seperti apa yang dimaksud, jika responnya sebiasa itu saat tahu sang suami baru saja menikmati malam pengantin dengan wanita lain? Akupun menggelengkan kepala, "Saya tidak minta apa-apa sama Mas Azka!" jawab ku kemudian. Sonia yang merupakan istri pertama tiba-tiba menghentikan makannya lalu menyipitkan mata kepadaku. "Kamu ini bodoh atau apa, masa iya seorang gadis menyerahkan keperawanannya tanpa minta imbalan!" tanya Son
"Enak makanannya?" tanyaku kepada bocah lelaki dihadapanku yang kelihatannya lapar sekali. Iapun menjawabku sambil mengangguk girang tak berhenti mengunyah. Usut punya usut bocah yang lumayan mudah diajak berinteraksi itu bernama Chandra dan dia juga mengakui bahwa Mas Azka adalah papanya setelah aku menunjukkan foto suamiku yang tersimpan di galeri ponsel. Betapa kecewanya hati ini, setelah drama tentang mencoba mengikhlaskan berbagi suami belumlah usai, kini akupun harus menerima sebuah kebohongan yang baru terungkap. Ternyata anak yang sedang lahap menyantap telor ceplok buatanku adalah anak sambungku sendiri. Teganya mereka semua, ini lebih menyedihkan dari menikahi seorang duda berbuntut tiga. Parah, kebohongan Mas Azka dan tiga istrinya sangat-sangat membuatku kecewa. Akupun segera berlalu setelah berhasil menenangkan anak lelaki itu kembali ke kamarnya. Sumpah ... Belum genap sehari aku tinggal disini, tapi mereka sudah berkali-kali membuatku kecewa. Entah kebo
"Pak!" panggilku cepat pada sosok lelaki paruh baya yang baru tiba dengan tas besarnya.Kebetulan, aku baru saja selesai menjemur pakaian disamping rumah yang masih bisa melihat ke arah sana."Elva!" balasnya seraya tersenyum menyambut kedatanganku yang segera menghampiri.Setelah aku menyalaminya, beliau sekilas memindai sekujur tubuhku yang masih mengenakan kemeja kebasaran milik suamiku, untungnya sekarang aku sudah memakai legging daleman gaunku kemarin, jadi aku tak terlalu terlihat mengenaskan didepan orangtuaku."Maaf, kemarin tas kamu malah kebawa bapak lagi !" ucapnya seraya meninggikan tas besar tersebut didepanku."Gapapa pak, yuk masuk!" segera kuseka keringat, sambil menggiring beliau masuk ke rumah bersama yang kutempati bersama tiga istri mas Azka lainnya.Seraya melangkahkan kaki, terdengar helaan napas bapak sedang mengedarkan pandangannya pada keadaan rumah suamiku yang cukup besar ini."Rumah kamu nyaman ya?" komentarnya reflek penuh syukur. Untuk kesan pertama ku
"Mas!"Aku kembali terpekik melihat suamiku yang baru pulang itu, wajahnya yang lelah membuatku bangkit menghampiri untuk membantunya membuka pakaian."Sini tasnya mas!" ucapku menyambut tas kerja yang ia bawa. Pria itu memberikannya tanpa banyak drama. Sebagai istri yang baik, aku berlanjut membantu mas Azka melepaskan jas dan kemejanya satu persatu.Bekerja seharian dan harus pergi keluar kota demi menghidupi empat istri dan satu anak tentunya sangat melelahkan bukan? Dari itu, aku mencoba mengerti kondisi suamiku, dengan tidak langsung bertanya. Walaupun sebenarya isi kepalaku sudah hampir meledak ingin menuntut penjelasan tentang keberadaan Chandra.Setelah pakaian formal itu terlepas menyisakan celana panjang saja, ia berlalu menuju kamar mandi tanpa menoleh padaku sedikitpun.Sedangkan aku hanya bisa mendesah melihatnya, sungguh aku merasa hanya menjadi penambah bebannya saja, dan pernikahanku ini entah akan kemana tujuannya."Kamu sudah makan?" tanya mas Azka muncul mengagetk
"Ap apa mas?" tanyaku serak, sebab pertanyaan suamiku kurang jelas terdengar. "Apa kamu sudah minum obat dari Lena?" mas Azka mengulang. "I-itu, saya lupa mas!" akuku dengan jujur. Sebab, aku tak pandai berbohong apalagi didepan mas Azka dalam keadaan seperti ini. Lenguhan saja kusuarakan dengan lantang, walau otak ini melarangnya, tapi bahasa tubuhku memang kelewat jujur dan susah diajak bekerjasama. "Serius kamu lupa meminumnya?" tanya mas Azka memastikan. Akupun terpaksa mengangguk lemah, diri ini pasrah dan sudah siap mendapat makian darinya. Terserah lah, kedepannya mas Azka mau marah sebab ini sudah kedua kalinya kami berhubungan tanpa bantuan obat penyubur itu, sedangkan yang kutahu tujuannya menikahiku pun dengan alasan ingin memiliki anak kandung. "Bagus!" serunya tiba-tiba mengecup bibirku lembut, namun sama sekali tak memberikan penjelasan apa-apa padaku yang terkesiap dengan mata membulat sempurna.Masih dalam posisi yang sama, ia melanjutkan kegiatan pa
Terpaksa kulontarkan kalimat tak pantas itu pada suamiku, sebab emosiku mulai memuncak dan gemas padanya.Pria itu cukup terkejut mendengarnya karena mungkin ia tidak menyangka jika aku bisa menuduhnya seperti itu.Memangnya aku harus bagaimana lagi?Mas Azka terlihat menghentikan langkahnya, ia menoleh padaku lagi dengan tatapan yang sulit kuartikan."Kamu menganggapku seperti itu?" Mas Azka malah balas bertanya, ia menatapku tajam seolah menanti jawaban dariku.Namun, kesempatan menjawab itu tak aku manfaatkan dengan baik, bertemu dengan tatapan matanya seperti membuatku bungkam tak bersuara. Pria itu mendengkus kasar dan lanjut berlalu mengetahui aku yang tak punya jawaban pasti. Sepertinya ia paham betul jika yang terlontar dari mulutku hanyalah sebuah luapan emosi."Baiklah! Elva minta maaf karena sudah lancang!" batinku seraya menunduk merelakan mas Azka keluar dari kamar ini.Ya ... mungkin akulah yang terlalu sensitif, mungkin aku yang terlalu berburuk sangka, mungkin aku y
"Kok makannya dikasi ke Tini?" Abizar kembali datang menemuiku saat jam kerja kami telah selesai. Wajahnya terlihat kusut dan tak bersahabat. Kurasa ia tidak suka dengan inisiatifku memberikan bubur ayam darinya kepada Tini. "Ya kan daripada mubazir!" ungkapku meminta pengertiannya. "Seenggaknya kamu bisa makan itu pas makan siang, kan?" tanya pria itu lagi terkesan memaksakan kehendak. "Gak bisa Abi, makan siang aku udah bawa dari rumah!" seruku berbohong. Padahal aku tetap makan siang seperti biasa bersama Tini di warteg langganan. pria itu terlihat mendengkus kasar seraya menyalakan motornya. "Yaudah, lain kali aku males ngasi kamu sarapan lagi!" ungkapnya pada kekesalan. "Ya ampun Abi, gitu aja marah, sayang banget itu bubur gak jadi pahala soalnya pemberinya gak ikhlas." tak ingin kang bengkel terus menerus menekuk wajah, akupun mencoba membujuk. "Huh, bisa aja kamu!" dengkusnya menyimpan senyum saat menunduk lalu kembali melihat ke arahku. "Yuk balik!" ajaknya me
"Masa dicariin? kan Elva bukan anak kecil!" sahutku tak yakin, sambil melenggang memasuki rumah."Masa suami gak nyariin istrinya?" bapak balas bertanya."Ya kan Elva istri keempat Pa, kalaupun Elva terlambat, apa mungkin dia sadar, kan masih ada tiga perempuan yang masih menemaninya dirumah?" jawabku ragu, seolah mengeluhkan ketidaknyamanan saat harus tinggal satu rumah dengan madu lainnya. Risih ... tentu saja, namun aku tak bisa berbuat apa-apa selama ketiga wanita itu merasa aman-aman saja."Mau istri keberapapun, kalau hatinya ada sama kamu, gak mungkin dia lupa!" bapak coba menengahi karena tahu aku pasti mulai tertekan dengan hidupku.Mungkin bapak lumayan kasihan melihat pengorbananku demi membebaskannya walau entah ini bisa disebut pengorbanan atau tidak."Gimana mau ada hati, nikah aja baru hitungan hari!"Aku hanya bisa menanggapi sanggahan bapak dengan mendesah berat, karena rasanya itu tak mungkin. Bukankah selama ini hubungan yang terjalin antara kami berdua hanya seba
Belum tuntas rasa penasaranku tentang skandal yang disembunyikan mas Azka dan mbak Sonia akhir-akhir ini, tapi sekarang pria itu membuat perkara baru, yakni tak membiarkan aku bertemu muka dengan para istri-istrinya, ada apa sebenarnya?Padahal, baru saja aku ingin membuka komunikasi lagi dengan mereka termasuk pula Chandra, karena harus kuakui aku mulai menerima mereka semua, yang kini telah kuanggap adalah bagian dari diriku. Sekalipun tidak serta-merta kami semua akan selalu berbahagia dan saling menghormati, dan tak ada jaminan jika kami akan terus selalu akur, tapi aku yang menginginkan kerukunan terus terjaga tentu akan berusaha berbuat yang semestinya. Namun, belum apa-apa semangatku sudah terpatahkan oleh sikap mas Azka yang tidak jelas."Apa mas? Kamu kembalikan aku ke bapak, apa itu artinya kamu benar-benar ingin melepaskan aku?" tentu saja, dengan cepat kuajukan pertanyaan itu, mempertanyakan maksudnya, aku butuh kejelasan, aku butuh konfirmasi tentang sikapnya.Sekalipun
"Hueeekkk..." Terjadi lagi, dihari ketigaku dirumah bapak, aku mengalami mual-mual yang cukup parah, entah apa sebabnya setiap bangun tidur aku merasa kepala ini berputar-putar sampai-sampai aku tak kuasa untuk bangun walau hanya sekedar melaksanakan sholat subuh yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit.Alhasil, selama dua hari ini aku selalu sholat dalam keadaan tak menentu, kemarin aku bisa sholat berdiri meski tak mampu lama dan itu bisa kuatasi dengan menambahkan surah pendek saja, akan tetapi hari ini aku tak bisa bangun sama sekali, dan hasilnya aku baru bisa bangun jam setengah sebelas pagi.Anehnya lagi, setelah pagi hari berakhir dan matahari mulai meninggi aku kembali segar seolah tak terjadi apa-apa. Dan masa segarku itu kumanfaatkan dengan memakan makanan beragam yang dibawa bapak sepulang dari pasar.Seperti pagi ini misalnya, setelah mual-mualku berhenti, akupun dengan lahap memakan buah pisang segar yang baru dipetik dari pohon. Rasa buahnya terasa sangat nikmat u
Dak dek dak dek, dalam suasana seperti ini, malah pura-pura mesra.. gak ngaruh!Aku langsung saja tersenyum kecut setelah membaca pesan mas Azka. Bagaimana mungkin ia bisa bersikap seolah tak terjadi apa-apa setelah mengabaikanku begitu saja. Aku sangat tidak mengerti dengan jalan pikirannya.Pesan mas Azka tak kugubris sama sekali, jangankan untuk membalasnya, menyentuh ponselnya pun aku sangat malas. Karena diri ini sudah mulai lelah, bergegas kuambil handuk dan menuju kamar mandi. Hari masih pagi dan udara sekitar pun masih segar dan dingin, Dihalaman belakang, kulihat bapak yang mulai memanen pakcoy yang siap dipilah pilih sebelum akhirnya diedarkan kepada para langganan. Halaman belakang rumah kami memang memiliki luas yang tidak seberapa, akan tetapi dengan lahan itu cukup membuat bapak kewalahan merawatnya, apalagi beliau belum memiliki anakbuah yang membantu pekerjaannya, semuanya dilakukan sendiri, untungnya lagi sayuran organik tidak terlalu sulit dibudidayakan."Ngapain l
"Hahahaaa, kamu lebay nak." Gelak tawa bapak yang menggema diruang utama kediaman kami segera membuatku mendesah berat. Setelah mendengar ceritaku tentang mas Azka yang tiba-tiba membawaku ke Australia, lalu tiba-tiba mengajak pulang padahal belum sempat kami menikmati waktu berdua, kemudian aku yang istri sah mendadak diminta untuk bersandiwara menjadi asisten, seolah tidak ada hubungan apa-apa selain karena pekerjaan. Tak membuat pria yang telah merawatku sejak kecil itu emosi.Lantas ia malah menertawakan cerita itu, memangnya ada yang lucu?Lebay??? ada yang bisa menjelaskan, dimana lebaynya.Tak habis pikir dengan tanggapannya, hingga bibirku sudah maju seperti bebek. Apalagi sejak memulai cerita, aku sudah sesegukan merasa yang kualami ini teramat pahit. Anehnya, bukannya membelaku bapak malah tertawa gelak, ia gemas padaku dan mencubit pipiku. "Kok bapak malah ketawa sih?" kulontarkan pertanyaan itu dengan nada kecewa, apakah bapak tidak kasihan pada anaknya ini? harusnya b
ByurTanpa mau mendengar ucapan mas Azka, wanita itu tiba-tiba saja mendekat lalu menyiram kepalaku dengan segelas air. Air minum yang baru saja kupesan untuk makan malam dengan suamiku. Seketika aku menggigil kedinginan, bukan hanya karena air yang baru dibawa pelayan itu adalah air es, namun juga bercampur dengan perasaan sakit serta kecewa hati yang tak terbendung, ditambah lagi mas Azka tak melakukan pembelaan sedikitpun setelah melihat kejadian itu."Irmaaa!" teriaknya mungkin cukup menggema namun tubuhnya mematung kaku seperti robot yang nonaktif.Sekalipun bola matanya melotot, dia tak membentak, menampar atau menyiram balik tubuh wanita itu dengan segelas air minum yang tersisa, melainkan ia menarik tangan wanita itu untuk menjauh dari hadapanku, membiarkan aku sendirian memeluk tubuh diselimuti tatapan miring orang-orang sekitar termasuk para karyawan restoran.Jujur aku kecewa, mengapa disaat seperti ini sikap mas Azka malah tidak tegas, sebagai perempuan yang menyandang s
KletakKletakJari jariku secara berurutan mengetuk permukaan meja hingga berbunyi. Sedangkan sebelah tangan menopang dagu dengan siku yang bertumpu pada meja itu pula.Aku mendesah malas seorang diri, semangatku dan rasa laparku yang tadi kubawa ke tempat ini akhirnya tak terasa lagi. Semuanya berganti dengan rasa bosan yang mendera.Setelah membalas pesanku dan memberi jawaban bersedia, mas Azka kembali membuatku kesal karena aku harus menunggunya seorang diri. Walaupun menyetujui ajakan itu, nyatanya aku masih merasa tak diinginkan mengingat pertemuan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, aku tidak tahu seluas apa pengaruh keluarga mbak Sonia di Sukabumi, sampai-sampai suaminya yang cukup memiliki power pun tak bisa leluasa."Mas!" seruku terjengkit saat seseorang tiba-tiba menepuk bahuku, akupun reflek menyebut sosok yang sedang aku tunggu-tunggu."Sudah lama?" tanyanya tanpa basa-basi mengambil posisi duduk didepanku, tempat duduk yang memang tersedia untuknya."Enggak kok!" j
Aku melirik mas Azka yang lebih dulu keluar dari mobil. Sementara aku diminta membawa berkas-berkasnya.Layaknya seorang asisten, akupun menyusul dengan kehebohan dari beberapa barang bawaan, sedang mas Azka kini berjalan mendahuluiku menemui kliennya.Jam menunjukkan pukul empat sore. Tak tahu berapa lama kami diperjalanan dari Australia hingga akhirnya sampai ke Sukabumi, tapi yang kurasakan disini adalah rasa lelah yang luar biasa, rasanya aku tak kuat untuk sekedar mengangkat ujung kaki, apalagi harus mengangkat seluruh tubuh apalagi medan yang harus kami lalui ternyata adalah perbukitan yang dikelilingi perkebunan teh. Ingin sekali aku berhenti dan menjatuhkan diri saat melihat bentangan vertikal alam yang menghijau, karena dari sudut pandangku yang lelah ini, semuanya bagai kasur empuk yang melambai dan minta ditiduri. "Akhh... jatuh diatas daun teh yang merapat ini sakit tidak ya?" tanyaku pada diri sendiri, sekedar untuk memberi semangat agar aku bisa melanjutkan perjalanan
"Mas kenapa gak ngajak mbak Sonia?" tanyaku berbarengan menghempas tubuh diatas kursi kabin pesawat."Maksud kamu apa?" bukannya menjawab, mas Azka malah balik bertanya.Sesak didada membuatku menghela napas panjang sebelum memberikan jawaban yang diinginkan."Mas tahu aku tidak bisa apa-apa, lantas kenapa malah mengajakku untuk terlibat dengan pekerjaan ini, bukannya mbak Sonia yang lebih berpotensi menjadi seorang asisten." jelasku pada akhirnya.Mas Azka langsung menghentikan gerakannya saat mengetik sesuatu pada laptop. Bahkan untuk fokus menjawab pertanyaanku, ia langsung mematikan benda pipih itu lalu menyimpannya."Mas pergi ke Australi bukan karena ingin bulan madu, kan?" tebakku disaat mas Azka baru saja membuka mulut. Namun saking tak sabarnya aku sampai tidak memberinya kesempatan untuk mulai bicara."El, sudah ya. Keberangkatan ini memang sekaligus untuk urusan pekerjaan. Tapi kita juga masih bisa memanfaatkan sisa waktunya berdua, Apa itu yang kamu permasalahkan? bukankah
KlentingKlentingBunyi halus suara dentingan sendok yang diaduk didalam cangkir berisi teh hangat menemani suasana pagiku dan suami didalam hotel. Entah siapa yang memesannya, namun tiba-tiba saja seorang pramusaji mengetuk kamar kami lalu memberikan dua gelas teh madu beserta kue manis yang aku tidak tahu namanya. Maklum saja, aku hanya gadis biasa yang belum pernah bepergian jauh. Maka tak heran jika makanan manis itu tak kutemukan di daerahku dan lantas aku tak tahu sebutan untuk mekanan asing itu.Setelah mengaduk dan menambahkan madu sesuai selera, akupun membawa teh tersebut ke arah balkon, demi menikmati keindahan suasana pagi di negara orang ini. Walau suasana hatiku sendiri tak seceran dan seceria suasana yang ada.Kuhirup udara perkotaan yang begitu sejuk dengan tingkat kebersihan udaranya yang seperti pedesaan, sangat nyaman, dadaku terasa lega dan hidup saat aku menghirup udara pagi berembun.Puas memandangi orang-orang dibawah sana yang akan memulai aktivitas mereka se