"Enak makanannya?" tanyaku kepada bocah lelaki dihadapanku yang kelihatannya lapar sekali. Iapun menjawabku sambil mengangguk girang tak berhenti mengunyah.
Usut punya usut bocah yang lumayan mudah diajak berinteraksi itu bernama Chandra dan dia juga mengakui bahwa Mas Azka adalah papanya setelah aku menunjukkan foto suamiku yang tersimpan di galeri ponsel. Betapa kecewanya hati ini, setelah drama tentang mencoba mengikhlaskan berbagi suami belumlah usai, kini akupun harus menerima sebuah kebohongan yang baru terungkap. Ternyata anak yang sedang lahap menyantap telor ceplok buatanku adalah anak sambungku sendiri. Teganya mereka semua, ini lebih menyedihkan dari menikahi seorang duda berbuntut tiga. Parah, kebohongan Mas Azka dan tiga istrinya sangat-sangat membuatku kecewa Akupun segera berlalu setelah berhasil menenangkan anak lelaki itu kembali ke kamarnya. Sumpah ... Belum genap sehari aku tinggal disini, tapi mereka sudah berkali-kali membuatku kecewa. Entah kebohongan apalagi yang akan aku terima nanti. Didepan kamar Mbak Damai, aku memberanikan diri untuk mempertanyakan semuanya, karena hanya ada dia orang yang tersisa dirumah pagi ini. "Mbak!" Tok Tok Sekali mengetuk, tak terdengar jawaban. Namun aku tak menyerah untuk mengetuk pintunya sekali lagi. "Ada apa sih, kamu gak bisa liat orang tenang dikit!" omel mbak Damai seraya menyembulkan kepala usai pintu terbuka. "Mbak, boleh bicara sebentar?" tanyaku berhati-hati. "Tentang apa dulu!" tanya Damai dengan wajah malas. "Keluar dulu mbak!" pintaku dengan sangat. "Kalau gak penting mendingan nanti aja!" wanita bertubuh gemoy itu menyahutku dengan ketus. "Ini penting buatku mbak?" akupun terus meyakinkan. "Haaah, ngomong disini aja, cepet!" mbak Damai mendesak, sambil mendesah malas, akhirnya wanita itu bersedia mengeluarkan seluruh tubuhnya yang sedang melakukan perawatan lulur dan masker. Tak ingin membuang waktu, akupun segera mengutarakan tanda tanya dibenakku. "Mbak, kenapa kalian semua gak ada yang ngasi tau saya soal anak itu?" kesahku kemudian. Mbak Damai terlihat mendengkus sambil melipat kedua tangan didada. "Anak, kamu sudah ketemu anak itu?" tanyanya memastikan. "Namanya juga satu rumah mbak, mana mungkin saya gak ketemu!" terangku lagi, lelah sekali. "Oh baguslah. Jadi saya gak perlu repot lagi kasi penjelasan." sahutnya enteng. Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah balik mengeluh padaku. Melihat ekspresi mbak Damai, sebenarnya aku ingin sekali mencakar wajahnya yang menyebalkan itu. Akan tetapi, akhhh ... bisa hancur reputasiku sebagai gadis baik dan kalem jikalau baru sehari menikah sudah main cakar-cakaran dengan istri tua, biar bagaimanapun pernikahan ini aku sendiri yang menyetujuinya dan bodohnya lagi, tak mungkin aku tidak tahu konsekuensi tinggal serumah dengan para maduku. "Kenapa kalian semua tega berbohong padaku? bukannya kemarin mbak Lena bilang kalau ketiga istri mas Azka belum ada yang bisa melahirkan anaknya." protesku yang beruneg-uneg ini. "Emang iya! Makanya kamu dikasi obat penyubur, biar pas malam pertama langsung tokcer, udah kan malam pertamanya? Nah semoga bentar lagi Mas Azka segera dapat momongan dari kamu!" ucap mbak Damai lagi tak kalah santai. Astaga ... Damai sekali hidupnya, sampai-sampai suami punya istri barupun pikirannya sudah sedamai itu? Dan apa tadi, Obat penyubur? Jadi obat yang mereka pertanyakan tadi pagi adalah obat penyubur rahim? Ya Tuhan, sebenarnya dimana otak para istri mas Azka berada? Setauku, dimana-mana biasanya para istri tua sibuk melakukan apapun guna mencegah istri mudanya segera mengandung. Tapi ini, oh maygaaat!! Sekalipun tidak semua, setidaknya ada salah satu yang keberatan dengan kehamilan istri muda, karena sudah pasti jatah kasih sayang yang mereka dapatkan akan berkurang dan terbagi. "Elva!" sentak mbak Damai didepan wajahku yang melamun tak habis pikir. "Iya mbak!" sahutku cepat. "Itu tadi ... Si anu... itu ... si cacan, tolong dijaga, jangan sampai dia berantakin rumah dan jangan sampai dia keluar rumah, saya mau skinkeran dulu, cape banget!" pesannya sebelum berlalu. "Tapi Mbak, tolong jelaskan dulu!" akupun mengejar informasi. "Hadeeh, gini ya Elva Ivara, pokoknya kamu gausah jadiin beban, anggap saja si cacan itu anak majikan. Lagian kamu tinggal jagain dia untuk hari ini aja kok." saran mbak Damai kemudian. Sekali lagi, masih dengan gayanya yang paling damai tanpa beban sedikitpun. Bukannya mendapat keterangan, aku malah terbelit benang yang kusut, membuatku semakin sakit kepala. "Mana bisa begitu mbak ... apalagi tadi dia sebut Mas Azka itu papanya?" kejarku pada informasi penting itu. "Ya ... memang tidak ada salahnya juga sih kalau cacan panggil dia Papa!" selanya lagi mengangkat kedua bahu ragu-ragu. "Mbak, saya serius!" kesahku menyela. Dimana kebenarannya, kenapa tadi mbak Damai membenarkan perkara mereka semua yang memang tidak memiliki anak dari mas Azka, lalu tiba-tiba sekarang dia juga membenarkan jika mas Azka memang pantas disebut papa. "Saya juga serius, memangnya muka saya ini kelihatan becanda?" tanyanya mulai galak. Mulutku terbungkam seketika, istri-istri suamiku memang luar biasa. "Hadeeh, keburu kering nih maskeran! Kamu sih tanya-tanya mulu!" gerutunya mengabaikan aku. "Mbak tolong dijawab!" mohonku memelas, aku terpaksa menghalangi langkahnya yang ingin kembali masuk kamar. Wanita gemoy itu mendesah lelah meladeni pertanyaanku. Salah sendiri, apa susahnya tinggal menjawab, sebenarnya Cacan itu anak siapa? "Jangan ajak saya ngobrol lagi, bisa kan? kalau kamu masih penasaran dan pengen tahu cerita eksklusifnya silakan tanya langsung kepada narasumber." singkatnya begitulah sahutan sang madu ketigaku. Setelah itu, mbak Damai segera menyingkirkan tubuhku, dan langsung menerobos menutup pintu kamar dengan kasar, membiarkan aku yang masih terdiam ditempat, penuh tanda tanya. "Mas Azka tolong jelaskan, siapa Chandra?""Pak!" panggilku cepat pada sosok lelaki paruh baya yang baru tiba dengan tas besarnya.Kebetulan, aku baru saja selesai menjemur pakaian disamping rumah yang masih bisa melihat ke arah sana."Elva!" balasnya seraya tersenyum menyambut kedatanganku yang segera menghampiri.Setelah aku menyalaminya, beliau sekilas memindai sekujur tubuhku yang masih mengenakan kemeja kebasaran milik suamiku, untungnya sekarang aku sudah memakai legging daleman gaunku kemarin, jadi aku tak terlalu terlihat mengenaskan didepan orangtuaku."Maaf, kemarin tas kamu malah kebawa bapak lagi !" ucapnya seraya meninggikan tas besar tersebut didepanku."Gapapa pak, yuk masuk!" segera kuseka keringat, sambil menggiring beliau masuk ke rumah bersama yang kutempati bersama tiga istri mas Azka lainnya.Seraya melangkahkan kaki, terdengar helaan napas bapak sedang mengedarkan pandangannya pada keadaan rumah suamiku yang cukup besar ini."Rumah kamu nyaman ya?" komentarnya reflek penuh syukur. Untuk kesan pertama ku
"Mas!"Aku kembali terpekik melihat suamiku yang baru pulang itu, wajahnya yang lelah membuatku bangkit menghampiri untuk membantunya membuka pakaian."Sini tasnya mas!" ucapku menyambut tas kerja yang ia bawa. Pria itu memberikannya tanpa banyak drama. Sebagai istri yang baik, aku berlanjut membantu mas Azka melepaskan jas dan kemejanya satu persatu.Bekerja seharian dan harus pergi keluar kota demi menghidupi empat istri dan satu anak tentunya sangat melelahkan bukan? Dari itu, aku mencoba mengerti kondisi suamiku, dengan tidak langsung bertanya. Walaupun sebenarya isi kepalaku sudah hampir meledak ingin menuntut penjelasan tentang keberadaan Chandra.Setelah pakaian formal itu terlepas menyisakan celana panjang saja, ia berlalu menuju kamar mandi tanpa menoleh padaku sedikitpun.Sedangkan aku hanya bisa mendesah melihatnya, sungguh aku merasa hanya menjadi penambah bebannya saja, dan pernikahanku ini entah akan kemana tujuannya."Kamu sudah makan?" tanya mas Azka muncul mengagetk
"Ap apa mas?" tanyaku serak, sebab pertanyaan suamiku kurang jelas terdengar. "Apa kamu sudah minum obat dari Lena?" mas Azka mengulang. "I-itu, saya lupa mas!" akuku dengan jujur. Sebab, aku tak pandai berbohong apalagi didepan mas Azka dalam keadaan seperti ini. Lenguhan saja kusuarakan dengan lantang, walau otak ini melarangnya, tapi bahasa tubuhku memang kelewat jujur dan susah diajak bekerjasama. "Serius kamu lupa meminumnya?" tanya mas Azka memastikan. Akupun terpaksa mengangguk lemah, diri ini pasrah dan sudah siap mendapat makian darinya. Terserah lah, kedepannya mas Azka mau marah sebab ini sudah kedua kalinya kami berhubungan tanpa bantuan obat penyubur itu, sedangkan yang kutahu tujuannya menikahiku pun dengan alasan ingin memiliki anak kandung. "Bagus!" serunya tiba-tiba mengecup bibirku lembut, namun sama sekali tak memberikan penjelasan apa-apa padaku yang terkesiap dengan mata membulat sempurna.Masih dalam posisi yang sama, ia melanjutkan kegiatan pa
Terpaksa kulontarkan kalimat tak pantas itu pada suamiku, sebab emosiku mulai memuncak dan gemas padanya.Pria itu cukup terkejut mendengarnya karena mungkin ia tidak menyangka jika aku bisa menuduhnya seperti itu.Memangnya aku harus bagaimana lagi?Mas Azka terlihat menghentikan langkahnya, ia menoleh padaku lagi dengan tatapan yang sulit kuartikan."Kamu menganggapku seperti itu?" Mas Azka malah balas bertanya, ia menatapku tajam seolah menanti jawaban dariku.Namun, kesempatan menjawab itu tak aku manfaatkan dengan baik, bertemu dengan tatapan matanya seperti membuatku bungkam tak bersuara. Pria itu mendengkus kasar dan lanjut berlalu mengetahui aku yang tak punya jawaban pasti. Sepertinya ia paham betul jika yang terlontar dari mulutku hanyalah sebuah luapan emosi."Baiklah! Elva minta maaf karena sudah lancang!" batinku seraya menunduk merelakan mas Azka keluar dari kamar ini.Ya ... mungkin akulah yang terlalu sensitif, mungkin aku yang terlalu berburuk sangka, mungkin aku y
"Kok makannya dikasi ke Tini?" Abizar kembali datang menemuiku saat jam kerja kami telah selesai. Wajahnya terlihat kusut dan tak bersahabat. Kurasa ia tidak suka dengan inisiatifku memberikan bubur ayam darinya kepada Tini. "Ya kan daripada mubazir!" ungkapku meminta pengertiannya. "Seenggaknya kamu bisa makan itu pas makan siang, kan?" tanya pria itu lagi terkesan memaksakan kehendak. "Gak bisa Abi, makan siang aku udah bawa dari rumah!" seruku berbohong. Padahal aku tetap makan siang seperti biasa bersama Tini di warteg langganan. pria itu terlihat mendengkus kasar seraya menyalakan motornya. "Yaudah, lain kali aku males ngasi kamu sarapan lagi!" ungkapnya pada kekesalan. "Ya ampun Abi, gitu aja marah, sayang banget itu bubur gak jadi pahala soalnya pemberinya gak ikhlas." tak ingin kang bengkel terus menerus menekuk wajah, akupun mencoba membujuk. "Huh, bisa aja kamu!" dengkusnya menyimpan senyum saat menunduk lalu kembali melihat ke arahku. "Yuk balik!" ajaknya me
"Masa dicariin? kan Elva bukan anak kecil!" sahutku tak yakin, sambil melenggang memasuki rumah."Masa suami gak nyariin istrinya?" bapak balas bertanya."Ya kan Elva istri keempat Pa, kalaupun Elva terlambat, apa mungkin dia sadar, kan masih ada tiga perempuan yang masih menemaninya dirumah?" jawabku ragu, seolah mengeluhkan ketidaknyamanan saat harus tinggal satu rumah dengan madu lainnya. Risih ... tentu saja, namun aku tak bisa berbuat apa-apa selama ketiga wanita itu merasa aman-aman saja."Mau istri keberapapun, kalau hatinya ada sama kamu, gak mungkin dia lupa!" bapak coba menengahi karena tahu aku pasti mulai tertekan dengan hidupku.Mungkin bapak lumayan kasihan melihat pengorbananku demi membebaskannya walau entah ini bisa disebut pengorbanan atau tidak."Gimana mau ada hati, nikah aja baru hitungan hari!"Aku hanya bisa menanggapi sanggahan bapak dengan mendesah berat, karena rasanya itu tak mungkin. Bukankah selama ini hubungan yang terjalin antara kami berdua hanya seba
"Elva, bangun!" samar-samar kudengar suara seseorang memanggilku, entah itu siapa aku tak bisa melihatnya. Bukan tak bisa ... namun aku tak sanggup untuk membuka mata yang sudah merekat rapat ini.Bahkan, aku merasakan sebuah tangan besar yang menggoyang-goyang tubuhku lalu kemudian menyesap kebawah punggung dan lutut seperti ingin mengangkatnya.Akan tetapi, semua itu tiba-tiba terhenti dan suara panggilan itupun rasanya mulai menjauh pergi.Kulanjutkan kembali menyamankan diri, bahkan niatku yang hendak pulang pun kuabaikan, siapapun pasti tahu rasanya mengantuk berat dan apapun itu sudah tak dihiraukan lagi, bukan?Derap langkah kemudian terdengar kembali diantara kesadaranku yang mulai lemah dan menghilang. Seperti ada suara seorang pria yang sedang bicara namun tak lama tubuhku terasa mengayun keudara dan semakin mengantarkan aku ke tempat yang lebih indah dan nyaman."Wangi!" dalam hatiku bicara sembari kedua tanganku langsung memeluk sesuatu yang paling dekat didepanku dengan
Pertanyaan dengan suara bariton itu menginterupsi obrolan antara aku dan Bapak. Akupun terkesiap ketika menyadari, pertanyaan itu berasal dari Mas Azka yang melangkah mendekat untuk menghampiri kami berdua. "Kak Abi! ... Kamu punya kakak?" tanya suamiku mencecar. "Kenapa saya tidak tahu kalau kamu punya kakak laki-laki?" tuntutnya lagi, penuh penekanan pada kami berdua. "Ehmm bu-bukan, dia hanya..." "Hanya teman Elva." bapak segera menjawab. "Hanya teman, atau teman dekat?" selidiknya lagi melihat ke arah aku dan bapak bergantian. "Kak Abi hanya-" Dengan takut-takut, aku mencoba tersenyum didepan mas Azka, meski kutahu pria itu sedang menatapku tajam sekali. "Jangan khawatir, dia hanya teman biasa yang sering memberi tumpangan setiap Elva pulang kerja." bapak pun menyambar. Meski tahu ada raut ketidaksukaan di wajah suamiku, namun bapak tak serta merta membantuku untuk menutupi sosok pria yang kami bicarakan. Dengan entengnya bapak malah memberitahu jika sosok yang
"Kamu kalau tidak tahu apa-apa, gausah ikut campur!" tegas mas Azka dengan angkuh."Kalau aku tidak tahu tentang kalian, tidak kubiarkan Elva menangisi bajingan sepertimu!" balas kak Abi menyindir.Suasana semakin memanas ketika mas Azka beralih menatapku, entah apa yang ada didalam benaknya."Jadi si tukang bengkel ini tahu semua tentang kita?" lirihnya menanyaiku seperti tak terima."Elva, kamu membeberkan keadaan rumah tangga kita pada orang lain?" tanya mas Azka lagi, sebab tak kunjung mendapat jawaban dariku.Karena bingung harus menjawab apa, akupun hanya diam mematung sambil melirik pada kak Abizar seolah meminta dukungan darinya.Jujur saja, aku masih sangat kesal pada sikap suamiku."Jawab Elva!" kesabaran mas Azka sudah berada pada puncaknya, karena itulah dia makin menuntut dengan nada suara lebih tinggi."Setidaknya, kak Abi bisa memberikan bahunya untuk dijadikan sandaran disaat suamiku sendiri memilih menyingkirkan aku!" sahutku reflek, didasari kekecewaan akhirnya aku
"Please Elva, jujur sama saya!" desak kak Abi saat kami berjalan keluar dari kantor polisi menuju parkiran."Jujur apa lagi sih kak?" tegasku sembari terus menghindari tatapan matanya yang penuh tanda tanya."Kamu jangan bohongin saya, mana mungkin kamu mau menikah dengan pria yang sudah beristri lebih dari satu!" Rupanya kak Abi masih belum memercayai keteranganku dan bapak saat didalam tadi."Untuk apa El sama bapak bohongin kakak, untungnya apa?" terangku lagi."El!"Langkahku terhenti saat kak Abi mencekal lenganku, ia muak dan malas bermain kejarmungkin-kejaran denganku."Jadi selama ini, kamu menjalani rumah tangga secara poligami? dan dua wanita yang mau kamu temui kemarin adalah istri-istri tua suamimu?" tuntutnya lagi, ia sangat tidak berharap aku mengiyakan dugaan itu. Tapi, mau bagaimana lagi, yang dia katakan adalah kenyataan sebenarnya."Iya kak!" jawabku pasrah dan lemah.Kak Abi langsung menjatuhkan kedua bahunya lelah, seperti menolak percaya, kecewa, dan prihatin ter
Salahkan jika aku merindukan suamiku, salahkah jika aku menginginkan kehangatan pelukannya.Rasanya kacau sekali setelah mengetahui mereka telah serumah tanpa memberitahuku."Sadar Elva, sadar!""Yang mbak Sonia lakukan sama halnya seperti yang kau lakukan sendiri bersama Azka di Australia kemarin!" batinku terus memperingati kegundahan hati yang terus mengaduk perasaanku."Aku sendiri juga pernah berduaan dengan suaminya, kan?" kembali, aku berusaha menguatkan diri ini dan terus menyeka air mata yang tak telah menjebol bendungannya."Astagfirullah, apa yang terjadi padaku?"Hampir semalaman aku malah menangisi mas Azka, bukankah harusnya aku lebih memikirkan ayahku yang tengah kedinginan didalam jeruji besi daripada si pembohong itu.Meskipun tubuhku sangat lemas, namun aku berusaha untuk bangkit, selain bangkit dari keterpakuan diatas sofa hampir semalaman, aku juga harus bangkit dari keterpurukan dan rasa cemburu, jangan sampai perasaanku pada mas Azka berhasil menumbangkan pertaha
"Kamu kenapa sih El, emang suami kamu gak bisa ditelpon?" Kak Abi langsung menodongku dengan pertanyaan saat aku baru saja membuka mata dan tersadar, Meskipun nadanya ketus tapi aku tahu dia peduli."Minta minum kak!" ucapku lebih dulu menjeda dengan suara serak yang hampir tak terdengar.Sambil bersabar menunggu jawabanku, kang bengkel itu segera membangunkan tubuhku yang masih lemas untuk bersandar di sandaran sofa lalu diberikan segelas air.Tercium bau menyengat khas minyak kayu putih dari sekeliling tempatku berbaring setelah aku mengembalikan gelas kosong itu padanya."Ukkhh, kalau bisa dihubungi, untuk apa aku menunggu semalaman, El sampai gak bisa tidur kak!" keluhku pada akhirnya penuh kepasrahan.Aku bersandar dikursi dengan kaki yang diluruskan, jujur saja kepala ini masih pusing dan terasa berputar-putar. Hingga kemudian kak Abi menunjukkan keningku yang agak merah dan benjol.Aku baru sadar jika kepalaku juga sakit dan berdenyut, entah apa yang terjadi tadi pagi setelah
"Sudahlah Elva, ayo kita pulang!" tak henti-henti kak Abi dan bapak mengatakan kalimat memuakkan itu.Bukankah sudah kukatakan, aku ingin bermalam disini menemaninya."El, kamu gak bisa disini, ini bukan tempatmu!" kak Abizar kembali membujukku, begitu pula dengan beberapa petugas disana."Aku tahu ini bukan tempatku, dan seharusnya ini juga bukan tempat yang pantas untuk bapak!" Kutepis semua nasihat itu, karena yang kukatakan adalah kebenaran, aku harus berjuang untuk itu."Kita selesaikan ini besok, El!" Astaga, kak Abizar tak bosan-bosan mengajakku untuk pulang.Tentu saja, itu membuatku mengeratkan pelukan pada bapak, sekalipun sudah terbatas oleh besi."Kamu istirahat dirumah ya nak, datanglah besok, bapak gak mau kamu tinggal disini." sejak tadi setelah makan dengan lauk tumis kangkung buatannya, dengan penuh kelembutan dan kesabaran bapak memang terus mengatakan hal yang sama, yaitu menyuruhku segera pulang. Tapi bukankah itu sangat kejam? Sebagai anak, aku tidak mungkin be
"Pak, tolong jangan bawa orangtua saya, dia tidak bersalah!" mohonku segera berlutut menarik kaki seorang Polisi yang sudah memegang kedua tangan orang yang aku sayangi."Ini perintah, mbak tidak boleh menghalang-halangi kami!" dengan tegas, pak polisi berkumis tebal itu menjawabku. Ia juga memperlihatkan surat itu lagi, surat yang tadi kuabaikan karena merasa ketentuannya tidaklah adil dan mendasar."Mana mungkin bapak saya mencelakai orang, dia sudah berhenti bekerja sebagai supir truck sejak empat bulan yang lalu." Sebagai bukti, akupun menunjukkan kebun sayuran organik yang dikelola bapak dibelakang rumah, pun dengan menunjukkan tidak adanya mobil truck yang terparkir didepan rumah. Hanya saja, untuk sementara ini aku memang tidak bisa memperlihatkan surat pemberhentian kontrak atas pekerjaan bapak, karena ia memang hanya sebagai sopir lepas. Entahlah... setahuku bapak memang tidak menerima jaminan apa-apa di perusahaan tempatnya bekerja, sekalipun pekerjaan itu cukup beresiko.
Belum tuntas rasa penasaranku tentang skandal yang disembunyikan mas Azka dan mbak Sonia akhir-akhir ini, tapi sekarang pria itu membuat perkara baru, yakni tak membiarkan aku bertemu muka dengan para istri-istrinya, ada apa sebenarnya?Padahal, baru saja aku ingin membuka komunikasi lagi dengan mereka termasuk pula Chandra, karena harus kuakui aku mulai menerima mereka semua, yang kini telah kuanggap adalah bagian dari diriku. Sekalipun tidak serta-merta kami semua akan selalu berbahagia dan saling menghormati, dan tak ada jaminan jika kami akan terus selalu akur, tapi aku yang menginginkan kerukunan terus terjaga tentu akan berusaha berbuat yang semestinya. Namun, belum apa-apa semangatku sudah terpatahkan oleh sikap mas Azka yang tidak jelas."Apa mas? Kamu kembalikan aku ke bapak, apa itu artinya kamu benar-benar ingin melepaskan aku?" tentu saja, dengan cepat kuajukan pertanyaan itu, mempertanyakan maksudnya, aku butuh kejelasan, aku butuh konfirmasi tentang sikapnya.Sekalipun
"Hueeekkk..." Terjadi lagi, dihari ketigaku dirumah bapak, aku mengalami mual-mual yang cukup parah, entah apa sebabnya setiap bangun tidur aku merasa kepala ini berputar-putar sampai-sampai aku tak kuasa untuk bangun walau hanya sekedar melaksanakan sholat subuh yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit.Alhasil, selama dua hari ini aku selalu sholat dalam keadaan tak menentu, kemarin aku bisa sholat berdiri meski tak mampu lama dan itu bisa kuatasi dengan menambahkan surah pendek saja, akan tetapi hari ini aku tak bisa bangun sama sekali, dan hasilnya aku baru bisa bangun jam setengah sebelas pagi.Anehnya lagi, setelah pagi hari berakhir dan matahari mulai meninggi aku kembali segar seolah tak terjadi apa-apa. Dan masa segarku itu kumanfaatkan dengan memakan makanan beragam yang dibawa bapak sepulang dari pasar.Seperti pagi ini misalnya, setelah mual-mualku berhenti, akupun dengan lahap memakan buah pisang segar yang baru dipetik dari pohon. Rasa buahnya terasa sangat nikmat u
Dak dek dak dek, dalam suasana seperti ini, malah pura-pura mesra.. gak ngaruh!Aku langsung saja tersenyum kecut setelah membaca pesan mas Azka. Bagaimana mungkin ia bisa bersikap seolah tak terjadi apa-apa setelah mengabaikanku begitu saja. Aku sangat tidak mengerti dengan jalan pikirannya.Pesan mas Azka tak kugubris sama sekali, jangankan untuk membalasnya, menyentuh ponselnya pun aku sangat malas. Karena diri ini sudah mulai lelah, bergegas kuambil handuk dan menuju kamar mandi. Hari masih pagi dan udara sekitar pun masih segar dan dingin, Dihalaman belakang, kulihat bapak yang mulai memanen pakcoy yang siap dipilah pilih sebelum akhirnya diedarkan kepada para langganan. Halaman belakang rumah kami memang memiliki luas yang tidak seberapa, akan tetapi dengan lahan itu cukup membuat bapak kewalahan merawatnya, apalagi beliau belum memiliki anakbuah yang membantu pekerjaannya, semuanya dilakukan sendiri, untungnya lagi sayuran organik tidak terlalu sulit dibudidayakan."Ngapain l