"Kok makannya dikasi ke Tini?" Abizar kembali datang menemuiku saat jam kerja kami telah selesai. Wajahnya terlihat kusut dan tak bersahabat. Kurasa ia tidak suka dengan inisiatifku memberikan bubur ayam darinya kepada Tini. "Ya kan daripada mubazir!" ungkapku meminta pengertiannya. "Seenggaknya kamu bisa makan itu pas makan siang, kan?" tanya pria itu lagi terkesan memaksakan kehendak. "Gak bisa Abi, makan siang aku udah bawa dari rumah!" seruku berbohong. Padahal aku tetap makan siang seperti biasa bersama Tini di warteg langganan. pria itu terlihat mendengkus kasar seraya menyalakan motornya. "Yaudah, lain kali aku males ngasi kamu sarapan lagi!" ungkapnya pada kekesalan. "Ya ampun Abi, gitu aja marah, sayang banget itu bubur gak jadi pahala soalnya pemberinya gak ikhlas." tak ingin kang bengkel terus menerus menekuk wajah, akupun mencoba membujuk. "Huh, bisa aja kamu!" dengkusnya menyimpan senyum saat menunduk lalu kembali melihat ke arahku. "Yuk balik!" ajaknya me
"Masa dicariin? kan Elva bukan anak kecil!" sahutku tak yakin, sambil melenggang memasuki rumah."Masa suami gak nyariin istrinya?" bapak balas bertanya."Ya kan Elva istri keempat Pa, kalaupun Elva terlambat, apa mungkin dia sadar, kan masih ada tiga perempuan yang masih menemaninya dirumah?" jawabku ragu, seolah mengeluhkan ketidaknyamanan saat harus tinggal satu rumah dengan madu lainnya. Risih ... tentu saja, namun aku tak bisa berbuat apa-apa selama ketiga wanita itu merasa aman-aman saja."Mau istri keberapapun, kalau hatinya ada sama kamu, gak mungkin dia lupa!" bapak coba menengahi karena tahu aku pasti mulai tertekan dengan hidupku.Mungkin bapak lumayan kasihan melihat pengorbananku demi membebaskannya walau entah ini bisa disebut pengorbanan atau tidak."Gimana mau ada hati, nikah aja baru hitungan hari!"Aku hanya bisa menanggapi sanggahan bapak dengan mendesah berat, karena rasanya itu tak mungkin. Bukankah selama ini hubungan yang terjalin antara kami berdua hanya seba
"Elva, bangun!" samar-samar kudengar suara seseorang memanggilku, entah itu siapa aku tak bisa melihatnya. Bukan tak bisa ... namun aku tak sanggup untuk membuka mata yang sudah merekat rapat ini.Bahkan, aku merasakan sebuah tangan besar yang menggoyang-goyang tubuhku lalu kemudian menyesap kebawah punggung dan lutut seperti ingin mengangkatnya.Akan tetapi, semua itu tiba-tiba terhenti dan suara panggilan itupun rasanya mulai menjauh pergi.Kulanjutkan kembali menyamankan diri, bahkan niatku yang hendak pulang pun kuabaikan, siapapun pasti tahu rasanya mengantuk berat dan apapun itu sudah tak dihiraukan lagi, bukan?Derap langkah kemudian terdengar kembali diantara kesadaranku yang mulai lemah dan menghilang. Seperti ada suara seorang pria yang sedang bicara namun tak lama tubuhku terasa mengayun keudara dan semakin mengantarkan aku ke tempat yang lebih indah dan nyaman."Wangi!" dalam hatiku bicara sembari kedua tanganku langsung memeluk sesuatu yang paling dekat didepanku dengan
Pertanyaan dengan suara bariton itu menginterupsi obrolan antara aku dan Bapak. Akupun terkesiap ketika menyadari, pertanyaan itu berasal dari Mas Azka yang melangkah mendekat untuk menghampiri kami berdua. "Kak Abi! ... Kamu punya kakak?" tanya suamiku mencecar. "Kenapa saya tidak tahu kalau kamu punya kakak laki-laki?" tuntutnya lagi, penuh penekanan pada kami berdua. "Ehmm bu-bukan, dia hanya..." "Hanya teman Elva." bapak segera menjawab. "Hanya teman, atau teman dekat?" selidiknya lagi melihat ke arah aku dan bapak bergantian. "Kak Abi hanya-" Dengan takut-takut, aku mencoba tersenyum didepan mas Azka, meski kutahu pria itu sedang menatapku tajam sekali. "Jangan khawatir, dia hanya teman biasa yang sering memberi tumpangan setiap Elva pulang kerja." bapak pun menyambar. Meski tahu ada raut ketidaksukaan di wajah suamiku, namun bapak tak serta merta membantuku untuk menutupi sosok pria yang kami bicarakan. Dengan entengnya bapak malah memberitahu jika sosok yang
"Kenapa kau menahannya, biarkan saja dia memukul, Chandra memang anak yang nakal dan tidak tahu diri, sama persis dengan papanya!" ungkap mbak Sonia lantang, ia tak mempedulikan aku yang terus mengingatkan.Wanita itu kemudian mendekat dan menghampiri kami."Bukankah darah lebih kental daripada air? Jadi tak usah heran jika anak sekecil ini sudah bisa membuatmu marah!" ucap mbak Sonia lagi, namun kali ini ia menatap tajam ke arah Mas Azka."Momm!" seru Chandra yang langsung memeluk kaki ibunya namun Sonia pun tetap bergeming, ia tak memandang bocah itu sama sekali, tatapannya sayu beralih padaku seperti mengisyaratkan sesuatu tapi sayangnya aku tak mengerti."Masuk Chandra!" titah mbak Sonia sudah menepis tangan putranya yang melingkar.Namun, bocah itu kukuh tak ingin melepaskan sang Mommy dan makin bergelayut, terlebih ia mulai ketakutan karena memahami situasi yang memanas terutama pada raut wajah Papanya."Kamu pilih menuruti ibumu, atau hukuman dariku!" ancam Mas Azka yang seper
Bagaimana aku tidak seketika mematung dan tertahan saat hendak meninggalkan pintu kamar mbak Damai yang masih tertutup itu.Kupikir, ia sedang bersama atau sedang bertukar kabar dengan suamiku melalui panggilan suara dan video. Namun, aku dibuat blank gara-gara sebuah nama yang asing tiba-tiba terdengar.Parahnya lagi, mereka memang terdengar sangat mesra dan sepertinya mbak Damai dan si Roy itu sudah saling berkaitan satu sama lain sejak lama.Haruskah aku berbalik dan melabraknya?Sempat meragu dan ada rasa takut, akupun memutuskan untuk mengabaikannya walau dalam hatiku ada rasa kasihan pada mas Azka.Ya, entah mengapa dia yang berkhianat tapi aku yang kecewa. Oh, aku tidak perlu sedramatis ini harusnya.Akupun menuju tempat Chandra berada, dimana ketika aku memberitahunya jika akan mengajaknya jalan-jalan, bocah lima tahun itu segera menyeret Laila menuju kamar, ia ingin bersiap dengan tampilan yang memukau. Sungguh anak ini membuatku merasa miris, miris sekali. Mengapa hanya kare
"Kalian ngajak Chandra jalan-jalan tadi siang?" tanya Mas Azka dengan mata melotot padaku yang tertunduk didepannya.Pria itu terlihat sangat murka mendengar laporanku dan Laila yang memberitahu jika Chandra diculik orang tak dikenal."I... iya mas, maaf!" "Siapa yang ngasi kamu izin?" suara Mas Azka menggelegar menghardikku lagi."El ... Elva gak sempet minta izin, mas!" sahutku sesungguhnya meski bibir ini terus bergetar.Mas Azka mendengkus kasar lalu mengalihkan pandangannya cepat kearah mbak Damai. Wanita itu terlihat gugup dan takut-takut."Mbak Damai juga gak tau, aku emang gak bilang karna kupikir ...""Dengar baik-baik Elva, ini peringatanku yang pertama dan terakhir untukmu." lanjutnya lagi, tanpa memberikan kesempatan padaku memberikan penjelasan saat ingin membela, bukan membela demi melindungi kesalahan yang mbak Damai lakukan, lebih tepatnya aku tidak ingin mencampur aduk masalah dan makin mempersulit suasana, biarlah kami fokus pada pencarian Chandra saja saat ini.Aku
Pertanyaan lelaki dominan yang kuduga papanya mbak Sonia itu membuatku mengernyit. Mulanya, aku sedikit terkejut mendengar jawaban suamiku yang sungguh tega, akan tetapi aku perlahan sadar jika ini adalah kemauanku. Andai aku tidak memaksa ikut maka tak akan ada orang yang mempertanyakan tentangku. Dan jika dilihat lagi, wajar jika mbak Sonia dan mas Azka terlihat sangat berhati-hati dalam berbicara karena sepertinya keluarga mbak Sonia juga bukan orang sembarangan. Pantas saja, selama dimobil tadi mereka terus bertukar pikiran dan kadang berdebat kecil, kurasa ini semua pasti ada sebabnya dan keterlibatan Chandra pun tak bisa dianggap remeh. Mencoba menerima pengakuan itu demi Chandra, akupun melapangkan dada dan ikut saja dengan alur yang mereka buat. Sebab aku tahu memang tidak mudah untuk mas Azka mengatakan jika dia telah beristri lagi pada sang mertua, dan tentu saja keluarga mbak Sonia pun tak serta merta mau menerimanya begitu saja. "Ya... saya hanya perawat Chandra."
"Sebenarnya ada apa antara kalian berdua, hemm??" Suamiku bergeleng kepala tak terima dengan permintaanku."Enggak ada mas." jawabku meyakinkan."Tidak mungkin hubungan kalian hanya sebatas teman jika tatapannya saja seperti itu!" mas Azka mengemukakan keresahan hatinya."Serius mas nggak ada, baiklah jika mas masih melarang, itu artinya mas meragukan kesetiaan El." ucapku pasrah.Mas Azka terlihat mengepalkan kedua tangan dan menatapku geram."Semuanya terserah mas, El akan patuh sekalipun mas tetap melarang. Tapi sebuah hubungan tidak akan berjalan baik jika ada ketidakpercayaan didalamnya. Dan dari situ El bisa tahu perasaan mas yang sesungguhnya sama El, apakah cinta yang tulus atau hanya sebuah obsesi." ucapanku sukses membuat mas Azka makin mematung.Bukan maksudku ingin menceramahinya, seolah akulah istri yang sempurna, tapi aku hanya ingin membuka pikirannya. Bahkan karena itu aku sudah menurunkan ego yang sangat ingin tahu tentang hubungan mas Azka dengan istri lainnya."Apa
Huachhiimmm"Ini yang terakhir, sekali lagi kamu berurusan dengannya, maka bengkel itu akan saya ratakan dengan tanah!" peringat mas Azka tegas sambil memberikan selembar cek kosong yang sudah ditandatangani kepadaku.Bahkan saking kesalnya, ia terus memarahiku dan tak peduli padaku yang sejak tadi bersin-bersin karena sakit setelah ikut mandi berendam bersamanya.Huachiiim"Iya mas, iya ... tapi ini apa?" tanyaku kebingungan menerima cek kosong tersebut.HikAku mencoba meluruskan pandangan ke arah mas Azka meskipun rasanya berat sekali. Bukannya apa-apa, kondisi saluran pernapasanku sedang tidak baik-baik saja, karena itulah aku mengalami hidung tersumbat dan bersin tak henti-henti, apalagi sekarang ini aku tak bisa jauh-jauh dari kotak tisyu, cairan bening yang keluar dari dua lubang udara itu semakin membuatku tak karuan."Bayaran untuknya karena sudah jagain bapak, dia bisa mengisi dengan jumlah berapapun." kata mas Azka berpaling dingin."Lihat saja, dari situ kamu pasti tahu,
"Kenapa harus dia sih, El?" mas Azka berdecak marah sambil menyeret koper dan memasuki lift menuju kamar kami. "Mas, jangan salah paham, memang dari dulu cuma kak Abi yang kenal baik sama bapak!" terangku menjelaskan. "Kamu bilang kalian cuma kenal di tempat kerja, lalu kenapa bisa sampai sedekat itu!" mas Azka mulai terang memancarkan aura kecemburuan. "Iya awalnya kita memang baru kenal ditempat kerja, tapi pas pertama kali ka Abi main kerumah dia langsung akrab sama bapak." jelasku tanpa ada kebohongan. "Kalian pacaran?" sarkas mas Azka. "Enggak, mas." Aku langsung bergeleng kepala mengelak. "Ngapain mampir-mampir?" tanyanya kesal. Ting Pintu lift terbuka, mas Azka menoleh dan terdiam sejenak, ekspresi yang tadinya galak coba ia normalkan, tak ingin memperlihatkan perdebatan pada penghuni hotel lain yang ingin menggunakan lift setelah kami. Suamikupun melangkah keluar dari lift dengan cepat, meninggalkan aku yang tergopoh menyetarai langkah lebarnya. "Kak Abi mam
Hiks...Kedua mataku terpejam dengan sekujur tubuh yang menegang ketika pesawat yang sedang kutumpangi tiba-tiba bergetar dan mengeluarkan bunyi nyaring.Sisa sisa kesedihan karena informasi dari mas Azka akhirnya tak bisa kusembunyikan lagi. Akupun menangis mengiringi rasa ketakutan yang kian menjadi, seperti pesawat terbang meninggalkan daratan menuju angkasa.Mendengar isak tangis, rupanya mas Azka pun memusatkan perhatian padaku. Tanpa diminta, pria itu tiba-tiba menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku seperti mengikat sebuah janji.Aku yang tadinya gemetar pun segera membolakan mata, terkejut dengan perlakuan itu. Bagaimana tidak, masalahnya tadi saat mas Azka mengatakan akan membawaku ke Australia, ekspresiku hanya diam lalu tertunduk sedih. Karena itu mungkin mas Azka mengira aku tidak senang berlibur dengannya, hingga ia kecewa dan kembali mendengkus lalu mendiamkanku lagi.Padahal aslinya aku hanya menghawatirkan bapak, karena kupikir bapak benar-benar sakit. M
"Ibu Elva Ivara?" Seorang pria berseragam warna putih tiba-tiba menghampiri dan memastikan identitasku saat berada di ruang tunggu sebelum masuk ke pesawat. "Iya saya!" sahutku mengangguk canggung dengan wajah yang nampak bingung, sambil menoleh ke arah Septo yang tadi menjemput dan membawaku ketempat ini. "Mari bu, ikut saya!" kemudian seorang pramugari ikut menghampiri dengan senyum menawan, mengarahkanku menuju kursi penumpang yang sudah dipesan mas Azka, tempat dimana ia sudah menunggu. Akupun mengangguk dan mengikuti wanita itu memasuki badan pesawat dengan kaki yang gemetar pelan. Karena sebenarnya, ini kali pertamaku naik pesawat, maka dari itu, aku mengalami keringat dingin dan mendadak tremor takut-takut. "Silakan bu, disini!" wanita itu berbalik dan mempersilakan aku untuk duduk dibangku yang sudah disiapkan. Sampai disini, aku masih kebingungan dan mengangguki wanita itu seraya menuruti perintahnya. Kupikir, mas Azka sudah berada disana, namun hingga detik i
"Mbak El!" Keesokan harinya, Laila tiba-tiba memanggil lalu segera menghampiriku tergopoh-gopoh. Aku yang baru selesai sholat subuh dan pergi ke dapur ingin membantu menyiapkan sarapan segera memusatkan perhatian pada wanita itu. "Ada apa?" tanyaku penasaran. Tanpa berkata-kata, Laila langsung memutar tubuhku sambil memindainya dari atas hingga kebawah. "Ada apa sih?" tanyaku makin kebingungan. "Mbak El gak diapa-apain sama Tuan Azka, kan?" tanya wanita itu cemas. "Diapa-apain, maksudnya?" akupun reflek membeo seraya terkekeh dengan alis bertaut dalam. "Anu ... itu loh, kemarin kan kalian bertengkar, takutnya mbak El...?" Laila terdengar kebingungan ingin mendeskripsikan kekhawatirannya. Namun aku segera paham dan berusaha meyakinkan. "Gak marah kok, cuma salah paham aja!" akupun tersenyum seraya memegang kedua bahu wanita itu meyakinkannya. "Syukurlah!" ucapnya menghela napas lega dan percaya. Rupanya, selain mbak Damai yang tercengang melihat kemarahan mas Azka
"El, kemana saja kamu? Kok gak jagain Chan-" Mbak Damai seketika terdiam dan berhenti mengomel disaat mas Azka ikut masuk kerumah menyusulku yang baru saja pulang bersama pria itu. Akupun mengabaikan ucapan wanita yang menyambangku dengan pertanyaan didepan pintu, aku melengos begitu saja langsung masuk ke kamar dengan mas Azka yang juga terus mengekor dibelakangku. Pria itu juga melangkah cepat mengabaikan mbak Damai yang masih mematung menatap gelagat kami berdua, seperti sedang kejar-kejaran. Braak Kututup pintu kamar dengan kasar, namun tetap di dobrak mas Azka yang ikut masuk lalu menutupnya lagi tak kalah kasar. "Kenapa malah kamu yang marah?" tanyanya terdengar emosi. Mas Azka tak suka pada sikapku yang balas mendiamkannya, bahkan aku menolak saat suamiku ingin menciumku saat dimobil tadi. Tak heran jika mas Azka marah padaku karena merasa dikhianati. Tapi aku juga berhak untuk berontak pada sikapnya yang kasar dan posesif itu. "Gimana El gak marah, sikap ma
"Gapapa nih, telur gulungnya buat Elva?" tanyaku pada kak Abizar yang kini malah duduk bersama denganku sambil minum es kelapa muda."Ambil aja El, habisin!" serunya tersenyum lalu kembali sibuk mendulang daging kelapa muda yang tenggelam didasar gelasnya."Makasih!" seruku bersemangat mengambil sisa telur kesukaan kami berdua.Mulanya, aku memang berniat menghindari kang bengkel itu. Namun, aku tiba-tiba berubah pikiran saat menyadari ada hal yang harus aku tuntaskan dengannya.Berhubung telur gulung yang kuinginkan telah diborong habis oleh Kak Abi. Iapun menawariku telur pesanan terakhir itu untuk dimakan berdua, jadilah kini kami kembali nongkrong bersama setelah sekian lama tak bertemu.Karena momen di tempat nongkrong ini cukup istimewa dan menjadi salah satu kegiatan favoritku, akupun menunda sejenak penjelasan yang ingin kusampaikan, dan memilih menikmati hidangan terlebih dahulu karena tak ingin merusak suasana.Meski begitu, jangan khawatir sebab pasti aku akan memberitahun
"Papa Can udah berangkat?" tanyaku pada Chandra yang sedang bermain kelinci dihalaman belakang.Aku bertanya, karena aku baru kembali setelah meninggalkannya pergi ke toilet.Aku menurunkan kedua bahu, karena tidak mendapatkan jawaban dari bocah itu. Maklum saja, aku memang tidak bisa berharap banyak pada jawabannya, anak itu labil dan ia akan menjawab jika ia mau.Menyadari keadaan rumah yang kembali lengang, sudah pasti para maduku telah berangkat ke tempat kerja mereka. Pun dengan mbak Damai yang juga memilih minggat entah kemana bahkan sebelum yang lainnya berangkat.Sedangkan aku yang masih berharap kehadiran mas Azka segera berjalan menuju ruang kerjanya."Titip cacan sebentar ya!" ucapku lagi pada Laila yang sedang beberes didapur untuk mengawasi anak itu. Tak perlu ditemani karena ia terlihat sedang seru sendiri dengan kelincinya.Memastikan kesediaan Laila, aku berjalan memeriksa ruangan suamiku."Mas ... !" panggilku pelan-pelan sambil terus melangkah.Tidak ada sahutan dar