"Kalian ngajak Chandra jalan-jalan tadi siang?" tanya Mas Azka dengan mata melotot padaku yang tertunduk didepannya.Pria itu terlihat sangat murka mendengar laporanku dan Laila yang memberitahu jika Chandra diculik orang tak dikenal."I... iya mas, maaf!" "Siapa yang ngasi kamu izin?" suara Mas Azka menggelegar menghardikku lagi."El ... Elva gak sempet minta izin, mas!" sahutku sesungguhnya meski bibir ini terus bergetar.Mas Azka mendengkus kasar lalu mengalihkan pandangannya cepat kearah mbak Damai. Wanita itu terlihat gugup dan takut-takut."Mbak Damai juga gak tau, aku emang gak bilang karna kupikir ...""Dengar baik-baik Elva, ini peringatanku yang pertama dan terakhir untukmu." lanjutnya lagi, tanpa memberikan kesempatan padaku memberikan penjelasan saat ingin membela, bukan membela demi melindungi kesalahan yang mbak Damai lakukan, lebih tepatnya aku tidak ingin mencampur aduk masalah dan makin mempersulit suasana, biarlah kami fokus pada pencarian Chandra saja saat ini.Aku
Pertanyaan lelaki dominan yang kuduga papanya mbak Sonia itu membuatku mengernyit. Mulanya, aku sedikit terkejut mendengar jawaban suamiku yang sungguh tega, akan tetapi aku perlahan sadar jika ini adalah kemauanku. Andai aku tidak memaksa ikut maka tak akan ada orang yang mempertanyakan tentangku. Dan jika dilihat lagi, wajar jika mbak Sonia dan mas Azka terlihat sangat berhati-hati dalam berbicara karena sepertinya keluarga mbak Sonia juga bukan orang sembarangan. Pantas saja, selama dimobil tadi mereka terus bertukar pikiran dan kadang berdebat kecil, kurasa ini semua pasti ada sebabnya dan keterlibatan Chandra pun tak bisa dianggap remeh. Mencoba menerima pengakuan itu demi Chandra, akupun melapangkan dada dan ikut saja dengan alur yang mereka buat. Sebab aku tahu memang tidak mudah untuk mas Azka mengatakan jika dia telah beristri lagi pada sang mertua, dan tentu saja keluarga mbak Sonia pun tak serta merta mau menerimanya begitu saja. "Ya... saya hanya perawat Chandra."
Tak kusangka papanya mbak Sonia bisa mengucapkan kata sedemikian kejam dengan entengnya.Kutatap reaksi mas Azka yang cukup kesal hingga kedua tangannya mengepal, lalu mbak Sonia yang kulihat terus bersikap acuh pada putranya. Mengapa?"Selamanya aku tidak akan pernah tinggal di neraka ini lagi, cukup sudah kau menekan kehidupanku." sahut mbak Sonia."Kalau begitu jangan salahkan aku jika suatu saat kalian akan terpisah di dua alam." ancamnya lagi."Kau tidak perlu mengotori tanganmu, bukankah dia bukan siapa-siapa, kenapa harus takut!" tutur mbak Sonia yang membuatku bingung setengah mati. Sebenarnya apa yang mereka bahas?"Satu lagi, namamu juga akan kucoret dari daftar warisan, jadi jangan berharap si Cacan-cacan itu bisa mendapatkan bagian warisan dariku." tukas si tua."Tak ada yang mengharapkannya sekalipun kau limpahkan semua hartamu pada orang lain, lagipula kau bisa lihat sendiri, kan? Suamiku yang dulu kau hina sekarang sudah menjadi arsitek kelas tinggi dan rancangannya beg
"Triing!" suara ponselku berdering nyaring saat panggilan yang berasal dari Tini baru saja kuabaikan. "Elvaaaa... angkat tuh telponnya, berisik!" teriak mbak Damai pagi ini saat aku tengah sibuk didapur membantu Laila menyiapkan menu sarapan. Sebenarnya ponselku sudah kusimpan didalam kamar, namun aku lupa mengecilkan volume dering saat tak sengaja mengaturnya full. "Iya mbak, sebentar lagi!" sahutku bergegas mengaduk segelas susu yang sengaja kubuat untuk Chandra. Setibanya mbak Sonia, Damai dan Lena di meja makan, aku bergegas meletakkan semua menu yang sudah disiapkan Laila ke hadapan mereka. Setelahnya, akupun pergi ke kamar demi melihat ponselku yang memang berisik sekali. "Duh siapa sih!" gumamku yang merutuk ponsel tersebut sembari menghempas tubuh diatas tempat tidur. Kulihat, sebuah panggilan masuk itu berasal dari nomer yang tidak tersimpan di kontak. Sembari mengernyit heran dan ragu-ragu untuk menerimanya. Jadi sebelum aku memutuskan mengangkat atau tidak, a
"Oh iya kak, boleh ditunggu sebentar! Silakan duduk dulu!" Tini sedang melayani salah satu pelanggan yang datang dan meminta barangnya kembali, karena memang sudah tertera di kertas nota jika pakaian yang ia serahkan tempo hari akan selesai hari ini."El, tolong ambilin punya kak Putri donk!" pinta wanita itu dari luar seraya meneriakiku yang masih sibuk dengan setrikaan di bilik lain."Iya bentar ih, nunggu mbak Riri kelar deh." balasku lagi, ikut berteriak karena menyetrika sebenarnya adalah pekerjaan karyawan baru itu. Berhubung ia tadi sakit perut, akupun inisiatif menggantikan tugasnya sementara ini.By the way semenjak aku yang sempat tidak pulang kerumah gara-gara kesorean dihari kerja, mbak Lena tiba-tiba saja menambah lowongan untuk sepuluh orang karyawan baru, juga menambah beberapa unit mesin cuci kualitas tinggi dan alat-alat keperluan lainnya dengan alasan agar usaha laundry ini semakin berkembang.Namun, aku sempat curiga jika perluasan jangkauan usaha kami ini ada campu
"Udah lama Mas?" tanyaku sembari mengatur napas yang ngosngosan setelah berhasil menemukan suamiku yang menunggu di salah satu sudut restoran. Pria itu langsung berdiri begitu melihatku dan menarik kursi lalu memintaku segera duduk. "Kamu kenapa lari-lari?" tanyanya panik seraya memegang tanganku. "Gapapa mas, cuma tadi pas ganti baju mau kesini, ada mbak Lena!" jawabku pelan dan ragu. "Oh!" Pria dingin itu hanya ber-oh ria sembari menduduki kursinya yang berhadapan denganku. "Kenapa gak telpon Septo aja!" ucapnya lagi menyebut nama si supir pribadi yang kemarin. "Takut yang lain makin curiga mas!" jawabku sekenanya, ponsel yang tadi kupegang untuk mencari lokasi kini kuletakkan sembarang diatas meja. "Yang lain, siapa?" tanyanya menaikkan sebelah alis. "Kamu takut dilihat laki-laki yang diceritakan bapak kemarin?" selidiknya, yang mungkin tertuju pada Kak Abizar. "Bukan mas ..." Aku menjeda kalimat itu cepat, karena seketika aku terpikir jika terus meladeni kec
"Kalau kamu yang marah, itu lucu! harusnya saya yang marah!" sentak mas Azka dingin, ia tiba-tiba menghempas lamunanku yang dibarengi rasa ngantuk."Marah, memangnya siapa yang marah?" tanyaku menegakkan kepala yang tadinya bersandar pasrah."Kamu kan?" tuduhnya ketus."Enggak, adek gak marah loh!" tolakku meyakinkan."Trus kenapa bibirmu maju?" tanya mas Azka tanpa menoleh namun anehnya ia bisa tahu aku yang sedang cemberut disisinya."Gada apa-apa mas?" sahutku canggung, seraya memutar pandangan kesamping demi melihat wajah datar suamiku yang sedang mengemudi mobil.Ia menghela napas panjang mendengar jawabanku yang tidak memuaskan, lalu kembali diam tanpa suara yang membuatku serba salah.Kujatuhkan kedua bahu ini lagi dengan lemas, sesungguhnya aku sangat menyayangkan keromantisan kami yang baru dimulai namun semuanya terpaksa hancur karena kelalaianku menaruh ponsel."Masih belum mau menjawab?" tanyanya lagi menoleh sekali lalu kembali fokus kedepan."Jawab apa?" tanyaku balas."
"Isshh, kamutu malu maluin banget sih El, gak mikir apa resikonya buat gerai, mana udah habis modal banyak, malah kamu mau seenaknya ngancurin nama besar laundry!" gerutu mbak Lena sepanjang jalan menarikku untuk segera pergi ke kamar dan berganti pakaian."Maaf mbak, maaf !" seruku dengan wajah menyesal sebab baru saja membenarkan tuduhan wanita itu.Ya... aku terpaksa melakukannya karena tak ingin mereka tahu jika aku baru saja selesai makan malam berdua dengan Mas Azka."Pokoknya kamu harus cuci lagi baju itu dan kembalikan ketempatnya semula, ingat jangan sampai ada yang lecet dan rusak, itu baju harganya mahal!" peringatnya lagi seraya menghempas tubuh didepan meja makan."Apasih, berisik!" mbak Damai menyela."Itu mbak si Elva, ketahuan pinjem baju mahal punya pelanggan di gerai, katanya biar hedon pas datang ke ulangtahun teman SMA." jawab mbak Lena . Meski bergeleng kepala karena jawabannya yang berlebihan, Namun aku tidak berniat membela diri atau menyangkalnya karena menur
"Kamu kalau tidak tahu apa-apa, gausah ikut campur!" tegas mas Azka dengan angkuh."Kalau aku tidak tahu tentang kalian, tidak kubiarkan Elva menangisi bajingan sepertimu!" balas kak Abi menyindir.Suasana semakin memanas ketika mas Azka beralih menatapku, entah apa yang ada didalam benaknya."Jadi si tukang bengkel ini tahu semua tentang kita?" lirihnya menanyaiku seperti tak terima."Elva, kamu membeberkan keadaan rumah tangga kita pada orang lain?" tanya mas Azka lagi, sebab tak kunjung mendapat jawaban dariku.Karena bingung harus menjawab apa, akupun hanya diam mematung sambil melirik pada kak Abizar seolah meminta dukungan darinya.Jujur saja, aku masih sangat kesal pada sikap suamiku."Jawab Elva!" kesabaran mas Azka sudah berada pada puncaknya, karena itulah dia makin menuntut dengan nada suara lebih tinggi."Setidaknya, kak Abi bisa memberikan bahunya untuk dijadikan sandaran disaat suamiku sendiri memilih menyingkirkan aku!" sahutku reflek, didasari kekecewaan akhirnya aku
"Please Elva, jujur sama saya!" desak kak Abi saat kami berjalan keluar dari kantor polisi menuju parkiran."Jujur apa lagi sih kak?" tegasku sembari terus menghindari tatapan matanya yang penuh tanda tanya."Kamu jangan bohongin saya, mana mungkin kamu mau menikah dengan pria yang sudah beristri lebih dari satu!" Rupanya kak Abi masih belum memercayai keteranganku dan bapak saat didalam tadi."Untuk apa El sama bapak bohongin kakak, untungnya apa?" terangku lagi."El!"Langkahku terhenti saat kak Abi mencekal lenganku, ia muak dan malas bermain kejarmungkin-kejaran denganku."Jadi selama ini, kamu menjalani rumah tangga secara poligami? dan dua wanita yang mau kamu temui kemarin adalah istri-istri tua suamimu?" tuntutnya lagi, ia sangat tidak berharap aku mengiyakan dugaan itu. Tapi, mau bagaimana lagi, yang dia katakan adalah kenyataan sebenarnya."Iya kak!" jawabku pasrah dan lemah.Kak Abi langsung menjatuhkan kedua bahunya lelah, seperti menolak percaya, kecewa, dan prihatin ter
Salahkan jika aku merindukan suamiku, salahkah jika aku menginginkan kehangatan pelukannya.Rasanya kacau sekali setelah mengetahui mereka telah serumah tanpa memberitahuku."Sadar Elva, sadar!""Yang mbak Sonia lakukan sama halnya seperti yang kau lakukan sendiri bersama Azka di Australia kemarin!" batinku terus memperingati kegundahan hati yang terus mengaduk perasaanku."Aku sendiri juga pernah berduaan dengan suaminya, kan?" kembali, aku berusaha menguatkan diri ini dan terus menyeka air mata yang tak telah menjebol bendungannya."Astagfirullah, apa yang terjadi padaku?"Hampir semalaman aku malah menangisi mas Azka, bukankah harusnya aku lebih memikirkan ayahku yang tengah kedinginan didalam jeruji besi daripada si pembohong itu.Meskipun tubuhku sangat lemas, namun aku berusaha untuk bangkit, selain bangkit dari keterpakuan diatas sofa hampir semalaman, aku juga harus bangkit dari keterpurukan dan rasa cemburu, jangan sampai perasaanku pada mas Azka berhasil menumbangkan pertaha
"Kamu kenapa sih El, emang suami kamu gak bisa ditelpon?" Kak Abi langsung menodongku dengan pertanyaan saat aku baru saja membuka mata dan tersadar, Meskipun nadanya ketus tapi aku tahu dia peduli."Minta minum kak!" ucapku lebih dulu menjeda dengan suara serak yang hampir tak terdengar.Sambil bersabar menunggu jawabanku, kang bengkel itu segera membangunkan tubuhku yang masih lemas untuk bersandar di sandaran sofa lalu diberikan segelas air.Tercium bau menyengat khas minyak kayu putih dari sekeliling tempatku berbaring setelah aku mengembalikan gelas kosong itu padanya."Ukkhh, kalau bisa dihubungi, untuk apa aku menunggu semalaman, El sampai gak bisa tidur kak!" keluhku pada akhirnya penuh kepasrahan.Aku bersandar dikursi dengan kaki yang diluruskan, jujur saja kepala ini masih pusing dan terasa berputar-putar. Hingga kemudian kak Abi menunjukkan keningku yang agak merah dan benjol.Aku baru sadar jika kepalaku juga sakit dan berdenyut, entah apa yang terjadi tadi pagi setelah
"Sudahlah Elva, ayo kita pulang!" tak henti-henti kak Abi dan bapak mengatakan kalimat memuakkan itu.Bukankah sudah kukatakan, aku ingin bermalam disini menemaninya."El, kamu gak bisa disini, ini bukan tempatmu!" kak Abizar kembali membujukku, begitu pula dengan beberapa petugas disana."Aku tahu ini bukan tempatku, dan seharusnya ini juga bukan tempat yang pantas untuk bapak!" Kutepis semua nasihat itu, karena yang kukatakan adalah kebenaran, aku harus berjuang untuk itu."Kita selesaikan ini besok, El!" Astaga, kak Abizar tak bosan-bosan mengajakku untuk pulang.Tentu saja, itu membuatku mengeratkan pelukan pada bapak, sekalipun sudah terbatas oleh besi."Kamu istirahat dirumah ya nak, datanglah besok, bapak gak mau kamu tinggal disini." sejak tadi setelah makan dengan lauk tumis kangkung buatannya, dengan penuh kelembutan dan kesabaran bapak memang terus mengatakan hal yang sama, yaitu menyuruhku segera pulang. Tapi bukankah itu sangat kejam? Sebagai anak, aku tidak mungkin be
"Pak, tolong jangan bawa orangtua saya, dia tidak bersalah!" mohonku segera berlutut menarik kaki seorang Polisi yang sudah memegang kedua tangan orang yang aku sayangi."Ini perintah, mbak tidak boleh menghalang-halangi kami!" dengan tegas, pak polisi berkumis tebal itu menjawabku. Ia juga memperlihatkan surat itu lagi, surat yang tadi kuabaikan karena merasa ketentuannya tidaklah adil dan mendasar."Mana mungkin bapak saya mencelakai orang, dia sudah berhenti bekerja sebagai supir truck sejak empat bulan yang lalu." Sebagai bukti, akupun menunjukkan kebun sayuran organik yang dikelola bapak dibelakang rumah, pun dengan menunjukkan tidak adanya mobil truck yang terparkir didepan rumah. Hanya saja, untuk sementara ini aku memang tidak bisa memperlihatkan surat pemberhentian kontrak atas pekerjaan bapak, karena ia memang hanya sebagai sopir lepas. Entahlah... setahuku bapak memang tidak menerima jaminan apa-apa di perusahaan tempatnya bekerja, sekalipun pekerjaan itu cukup beresiko.
Belum tuntas rasa penasaranku tentang skandal yang disembunyikan mas Azka dan mbak Sonia akhir-akhir ini, tapi sekarang pria itu membuat perkara baru, yakni tak membiarkan aku bertemu muka dengan para istri-istrinya, ada apa sebenarnya?Padahal, baru saja aku ingin membuka komunikasi lagi dengan mereka termasuk pula Chandra, karena harus kuakui aku mulai menerima mereka semua, yang kini telah kuanggap adalah bagian dari diriku. Sekalipun tidak serta-merta kami semua akan selalu berbahagia dan saling menghormati, dan tak ada jaminan jika kami akan terus selalu akur, tapi aku yang menginginkan kerukunan terus terjaga tentu akan berusaha berbuat yang semestinya. Namun, belum apa-apa semangatku sudah terpatahkan oleh sikap mas Azka yang tidak jelas."Apa mas? Kamu kembalikan aku ke bapak, apa itu artinya kamu benar-benar ingin melepaskan aku?" tentu saja, dengan cepat kuajukan pertanyaan itu, mempertanyakan maksudnya, aku butuh kejelasan, aku butuh konfirmasi tentang sikapnya.Sekalipun
"Hueeekkk..." Terjadi lagi, dihari ketigaku dirumah bapak, aku mengalami mual-mual yang cukup parah, entah apa sebabnya setiap bangun tidur aku merasa kepala ini berputar-putar sampai-sampai aku tak kuasa untuk bangun walau hanya sekedar melaksanakan sholat subuh yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit.Alhasil, selama dua hari ini aku selalu sholat dalam keadaan tak menentu, kemarin aku bisa sholat berdiri meski tak mampu lama dan itu bisa kuatasi dengan menambahkan surah pendek saja, akan tetapi hari ini aku tak bisa bangun sama sekali, dan hasilnya aku baru bisa bangun jam setengah sebelas pagi.Anehnya lagi, setelah pagi hari berakhir dan matahari mulai meninggi aku kembali segar seolah tak terjadi apa-apa. Dan masa segarku itu kumanfaatkan dengan memakan makanan beragam yang dibawa bapak sepulang dari pasar.Seperti pagi ini misalnya, setelah mual-mualku berhenti, akupun dengan lahap memakan buah pisang segar yang baru dipetik dari pohon. Rasa buahnya terasa sangat nikmat u
Dak dek dak dek, dalam suasana seperti ini, malah pura-pura mesra.. gak ngaruh!Aku langsung saja tersenyum kecut setelah membaca pesan mas Azka. Bagaimana mungkin ia bisa bersikap seolah tak terjadi apa-apa setelah mengabaikanku begitu saja. Aku sangat tidak mengerti dengan jalan pikirannya.Pesan mas Azka tak kugubris sama sekali, jangankan untuk membalasnya, menyentuh ponselnya pun aku sangat malas. Karena diri ini sudah mulai lelah, bergegas kuambil handuk dan menuju kamar mandi. Hari masih pagi dan udara sekitar pun masih segar dan dingin, Dihalaman belakang, kulihat bapak yang mulai memanen pakcoy yang siap dipilah pilih sebelum akhirnya diedarkan kepada para langganan. Halaman belakang rumah kami memang memiliki luas yang tidak seberapa, akan tetapi dengan lahan itu cukup membuat bapak kewalahan merawatnya, apalagi beliau belum memiliki anakbuah yang membantu pekerjaannya, semuanya dilakukan sendiri, untungnya lagi sayuran organik tidak terlalu sulit dibudidayakan."Ngapain l