"Triing!" suara ponselku berdering nyaring saat panggilan yang berasal dari Tini baru saja kuabaikan. "Elvaaaa... angkat tuh telponnya, berisik!" teriak mbak Damai pagi ini saat aku tengah sibuk didapur membantu Laila menyiapkan menu sarapan. Sebenarnya ponselku sudah kusimpan didalam kamar, namun aku lupa mengecilkan volume dering saat tak sengaja mengaturnya full. "Iya mbak, sebentar lagi!" sahutku bergegas mengaduk segelas susu yang sengaja kubuat untuk Chandra. Setibanya mbak Sonia, Damai dan Lena di meja makan, aku bergegas meletakkan semua menu yang sudah disiapkan Laila ke hadapan mereka. Setelahnya, akupun pergi ke kamar demi melihat ponselku yang memang berisik sekali. "Duh siapa sih!" gumamku yang merutuk ponsel tersebut sembari menghempas tubuh diatas tempat tidur. Kulihat, sebuah panggilan masuk itu berasal dari nomer yang tidak tersimpan di kontak. Sembari mengernyit heran dan ragu-ragu untuk menerimanya. Jadi sebelum aku memutuskan mengangkat atau tidak, a
"Oh iya kak, boleh ditunggu sebentar! Silakan duduk dulu!" Tini sedang melayani salah satu pelanggan yang datang dan meminta barangnya kembali, karena memang sudah tertera di kertas nota jika pakaian yang ia serahkan tempo hari akan selesai hari ini."El, tolong ambilin punya kak Putri donk!" pinta wanita itu dari luar seraya meneriakiku yang masih sibuk dengan setrikaan di bilik lain."Iya bentar ih, nunggu mbak Riri kelar deh." balasku lagi, ikut berteriak karena menyetrika sebenarnya adalah pekerjaan karyawan baru itu. Berhubung ia tadi sakit perut, akupun inisiatif menggantikan tugasnya sementara ini.By the way semenjak aku yang sempat tidak pulang kerumah gara-gara kesorean dihari kerja, mbak Lena tiba-tiba saja menambah lowongan untuk sepuluh orang karyawan baru, juga menambah beberapa unit mesin cuci kualitas tinggi dan alat-alat keperluan lainnya dengan alasan agar usaha laundry ini semakin berkembang.Namun, aku sempat curiga jika perluasan jangkauan usaha kami ini ada campu
"Udah lama Mas?" tanyaku sembari mengatur napas yang ngosngosan setelah berhasil menemukan suamiku yang menunggu di salah satu sudut restoran. Pria itu langsung berdiri begitu melihatku dan menarik kursi lalu memintaku segera duduk. "Kamu kenapa lari-lari?" tanyanya panik seraya memegang tanganku. "Gapapa mas, cuma tadi pas ganti baju mau kesini, ada mbak Lena!" jawabku pelan dan ragu. "Oh!" Pria dingin itu hanya ber-oh ria sembari menduduki kursinya yang berhadapan denganku. "Kenapa gak telpon Septo aja!" ucapnya lagi menyebut nama si supir pribadi yang kemarin. "Takut yang lain makin curiga mas!" jawabku sekenanya, ponsel yang tadi kupegang untuk mencari lokasi kini kuletakkan sembarang diatas meja. "Yang lain, siapa?" tanyanya menaikkan sebelah alis. "Kamu takut dilihat laki-laki yang diceritakan bapak kemarin?" selidiknya, yang mungkin tertuju pada Kak Abizar. "Bukan mas ..." Aku menjeda kalimat itu cepat, karena seketika aku terpikir jika terus meladeni kec
"Kalau kamu yang marah, itu lucu! harusnya saya yang marah!" sentak mas Azka dingin, ia tiba-tiba menghempas lamunanku yang dibarengi rasa ngantuk."Marah, memangnya siapa yang marah?" tanyaku menegakkan kepala yang tadinya bersandar pasrah."Kamu kan?" tuduhnya ketus."Enggak, adek gak marah loh!" tolakku meyakinkan."Trus kenapa bibirmu maju?" tanya mas Azka tanpa menoleh namun anehnya ia bisa tahu aku yang sedang cemberut disisinya."Gada apa-apa mas?" sahutku canggung, seraya memutar pandangan kesamping demi melihat wajah datar suamiku yang sedang mengemudi mobil.Ia menghela napas panjang mendengar jawabanku yang tidak memuaskan, lalu kembali diam tanpa suara yang membuatku serba salah.Kujatuhkan kedua bahu ini lagi dengan lemas, sesungguhnya aku sangat menyayangkan keromantisan kami yang baru dimulai namun semuanya terpaksa hancur karena kelalaianku menaruh ponsel."Masih belum mau menjawab?" tanyanya lagi menoleh sekali lalu kembali fokus kedepan."Jawab apa?" tanyaku balas."
"Isshh, kamutu malu maluin banget sih El, gak mikir apa resikonya buat gerai, mana udah habis modal banyak, malah kamu mau seenaknya ngancurin nama besar laundry!" gerutu mbak Lena sepanjang jalan menarikku untuk segera pergi ke kamar dan berganti pakaian."Maaf mbak, maaf !" seruku dengan wajah menyesal sebab baru saja membenarkan tuduhan wanita itu.Ya... aku terpaksa melakukannya karena tak ingin mereka tahu jika aku baru saja selesai makan malam berdua dengan Mas Azka."Pokoknya kamu harus cuci lagi baju itu dan kembalikan ketempatnya semula, ingat jangan sampai ada yang lecet dan rusak, itu baju harganya mahal!" peringatnya lagi seraya menghempas tubuh didepan meja makan."Apasih, berisik!" mbak Damai menyela."Itu mbak si Elva, ketahuan pinjem baju mahal punya pelanggan di gerai, katanya biar hedon pas datang ke ulangtahun teman SMA." jawab mbak Lena . Meski bergeleng kepala karena jawabannya yang berlebihan, Namun aku tidak berniat membela diri atau menyangkalnya karena menur
Mas Azka terlihat melirikku saat terpaksa menuruti keinginan anak itu.Akupun mengangguk pelan sembari berisyarat padanya memberi kerelaan, karena malam ini ia harus tidur di kamar mbak Sonia.Memangnya apa hakku untuk melarang, bukankah mbak Sonia adalah istri pertama mas Azka.Entah mengapa, mas Azka terlihat berat melakukannya, namun mengingat janjinya padaku yang akan bersikap baik pada Chandra, pria itupun tak kuasa mengelak.Mbak Sonia pun tadinya hampir tak percaya jika mas Azka akan mau mengikuti keinginan putranya. Wanita itu sempat memastikan beberapa kali jawaban mas Azka saat menerima permintaan Chandra. Betapa tidak, selama ini mas Azka yang selalu bersikap dingin dan cuek pada anak itu tiba-tiba saja berubah ramah dan sopan. Apalagi, ia tak marah sedikitpun ketika sang bocah sangat rewel dan merengek menyebalkan, sampai membuat ruang kerja mas Azka berantakan."Kalau papamu gak mau, ya gak usah dipaksa Can!" ucap mbak Sonia menasihati putranya saat masih menarik-narik b
"Ayo berangkat!" ajak mas Azka tiba-tiba menarik tanganku yang baru selesai sarapan pagi ini."Mas!" aku terpekik seraya meneguk saliva kelat, menyadari sikap suamiku yang kembali dingin.Sejak semalam, saat aku tak sengaja hampir membalas pesan kak Abizar, pria itu seketika berubah menjadi begitu kasar. Aku bahkan tak diberi kesempatan untuk menjelaskan duduk perkaranya. Ia yang datang setelah menidurkan Chandra tiba-tiba menutup pintu kamar dan memaksaku melayaninya.Memang, memang aku sempat mulai cemburu dan tidak tenang mengetahui mas Azka yang terpaksa tinggal dikamar mbak Sonia. Tapi, aku sama sekali tidak berniat untuk membalas dendam ataupun melampiaskan perasaan ini pada orang lain. Apalagi harus melampiaskannya pada Kak Abizar. Tidak, tidak pernah terpikir sedikitpun olehku untuk menjadikan pria itu sebagai pelarian. Namun, sejak mas Azka mendapati pesan tersebut, iapun sangat murka, bahkan ikut terbawa emosi disaat melampiaskan hasratnya kepadaku tadi malam."Ke kemana M
"Mbak Lena, sejak kapan ada disini?" akupun menoleh pada wanita itu dengan tanya tergagap. Mengabaikan pertanyaannya yang lebih dulu. "Tempat ini milik saya ya, penting banget jawab pertanyaan kamu!" sahutnya bersedekap acuh. "Enggak maksud saya...!" "Siapa tadi yang ada main sama sugerdaddy?" tegasnya lagi mengulang pertanyaan yang terlewat. Kedua matanya melirik bergantian kepadaku dan Tini. Tapi selain itu, tingkah mbak Lena pun terlihat jauh lebih aneh, melalui matanya yang juga melirik kesana kemari, ia bahkan lebih gelisah dari kami berdua. "Nggak ada mbak, tadi saya cuma bercanda." Tini pun lekas menyanggahnya. Tatapan curiga sang owner itu kemudian beralih padaku, lalu mendesah panjang karena tak mungkin ia menuduhku tanpa ada bukti. "Trus ngapain kamu masih disini?" tanyanya lagi. Sementara Tini merasa bingung dengan pertanyaan mbak Lena. "Masih mau ketemuan sama si cemong itu?" lanjutnya menunjuk dengan lirikan ke arah bengkel yang tepat berada di seberang tempa
"Sebenarnya ada apa antara kalian berdua, hemm??" Suamiku bergeleng kepala tak terima dengan permintaanku."Enggak ada mas." jawabku meyakinkan."Tidak mungkin hubungan kalian hanya sebatas teman jika tatapannya saja seperti itu!" mas Azka mengemukakan keresahan hatinya."Serius mas nggak ada, baiklah jika mas masih melarang, itu artinya mas meragukan kesetiaan El." ucapku pasrah.Mas Azka terlihat mengepalkan kedua tangan dan menatapku geram."Semuanya terserah mas, El akan patuh sekalipun mas tetap melarang. Tapi sebuah hubungan tidak akan berjalan baik jika ada ketidakpercayaan didalamnya. Dan dari situ El bisa tahu perasaan mas yang sesungguhnya sama El, apakah cinta yang tulus atau hanya sebuah obsesi." ucapanku sukses membuat mas Azka makin mematung.Bukan maksudku ingin menceramahinya, seolah akulah istri yang sempurna, tapi aku hanya ingin membuka pikirannya. Bahkan karena itu aku sudah menurunkan ego yang sangat ingin tahu tentang hubungan mas Azka dengan istri lainnya."Apa
Huachhiimmm"Ini yang terakhir, sekali lagi kamu berurusan dengannya, maka bengkel itu akan saya ratakan dengan tanah!" peringat mas Azka tegas sambil memberikan selembar cek kosong yang sudah ditandatangani kepadaku.Bahkan saking kesalnya, ia terus memarahiku dan tak peduli padaku yang sejak tadi bersin-bersin karena sakit setelah ikut mandi berendam bersamanya.Huachiiim"Iya mas, iya ... tapi ini apa?" tanyaku kebingungan menerima cek kosong tersebut.HikAku mencoba meluruskan pandangan ke arah mas Azka meskipun rasanya berat sekali. Bukannya apa-apa, kondisi saluran pernapasanku sedang tidak baik-baik saja, karena itulah aku mengalami hidung tersumbat dan bersin tak henti-henti, apalagi sekarang ini aku tak bisa jauh-jauh dari kotak tisyu, cairan bening yang keluar dari dua lubang udara itu semakin membuatku tak karuan."Bayaran untuknya karena sudah jagain bapak, dia bisa mengisi dengan jumlah berapapun." kata mas Azka berpaling dingin."Lihat saja, dari situ kamu pasti tahu,
"Kenapa harus dia sih, El?" mas Azka berdecak marah sambil menyeret koper dan memasuki lift menuju kamar kami. "Mas, jangan salah paham, memang dari dulu cuma kak Abi yang kenal baik sama bapak!" terangku menjelaskan. "Kamu bilang kalian cuma kenal di tempat kerja, lalu kenapa bisa sampai sedekat itu!" mas Azka mulai terang memancarkan aura kecemburuan. "Iya awalnya kita memang baru kenal ditempat kerja, tapi pas pertama kali ka Abi main kerumah dia langsung akrab sama bapak." jelasku tanpa ada kebohongan. "Kalian pacaran?" sarkas mas Azka. "Enggak, mas." Aku langsung bergeleng kepala mengelak. "Ngapain mampir-mampir?" tanyanya kesal. Ting Pintu lift terbuka, mas Azka menoleh dan terdiam sejenak, ekspresi yang tadinya galak coba ia normalkan, tak ingin memperlihatkan perdebatan pada penghuni hotel lain yang ingin menggunakan lift setelah kami. Suamikupun melangkah keluar dari lift dengan cepat, meninggalkan aku yang tergopoh menyetarai langkah lebarnya. "Kak Abi mam
Hiks...Kedua mataku terpejam dengan sekujur tubuh yang menegang ketika pesawat yang sedang kutumpangi tiba-tiba bergetar dan mengeluarkan bunyi nyaring.Sisa sisa kesedihan karena informasi dari mas Azka akhirnya tak bisa kusembunyikan lagi. Akupun menangis mengiringi rasa ketakutan yang kian menjadi, seperti pesawat terbang meninggalkan daratan menuju angkasa.Mendengar isak tangis, rupanya mas Azka pun memusatkan perhatian padaku. Tanpa diminta, pria itu tiba-tiba menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku seperti mengikat sebuah janji.Aku yang tadinya gemetar pun segera membolakan mata, terkejut dengan perlakuan itu. Bagaimana tidak, masalahnya tadi saat mas Azka mengatakan akan membawaku ke Australia, ekspresiku hanya diam lalu tertunduk sedih. Karena itu mungkin mas Azka mengira aku tidak senang berlibur dengannya, hingga ia kecewa dan kembali mendengkus lalu mendiamkanku lagi.Padahal aslinya aku hanya menghawatirkan bapak, karena kupikir bapak benar-benar sakit. M
"Ibu Elva Ivara?" Seorang pria berseragam warna putih tiba-tiba menghampiri dan memastikan identitasku saat berada di ruang tunggu sebelum masuk ke pesawat. "Iya saya!" sahutku mengangguk canggung dengan wajah yang nampak bingung, sambil menoleh ke arah Septo yang tadi menjemput dan membawaku ketempat ini. "Mari bu, ikut saya!" kemudian seorang pramugari ikut menghampiri dengan senyum menawan, mengarahkanku menuju kursi penumpang yang sudah dipesan mas Azka, tempat dimana ia sudah menunggu. Akupun mengangguk dan mengikuti wanita itu memasuki badan pesawat dengan kaki yang gemetar pelan. Karena sebenarnya, ini kali pertamaku naik pesawat, maka dari itu, aku mengalami keringat dingin dan mendadak tremor takut-takut. "Silakan bu, disini!" wanita itu berbalik dan mempersilakan aku untuk duduk dibangku yang sudah disiapkan. Sampai disini, aku masih kebingungan dan mengangguki wanita itu seraya menuruti perintahnya. Kupikir, mas Azka sudah berada disana, namun hingga detik i
"Mbak El!" Keesokan harinya, Laila tiba-tiba memanggil lalu segera menghampiriku tergopoh-gopoh. Aku yang baru selesai sholat subuh dan pergi ke dapur ingin membantu menyiapkan sarapan segera memusatkan perhatian pada wanita itu. "Ada apa?" tanyaku penasaran. Tanpa berkata-kata, Laila langsung memutar tubuhku sambil memindainya dari atas hingga kebawah. "Ada apa sih?" tanyaku makin kebingungan. "Mbak El gak diapa-apain sama Tuan Azka, kan?" tanya wanita itu cemas. "Diapa-apain, maksudnya?" akupun reflek membeo seraya terkekeh dengan alis bertaut dalam. "Anu ... itu loh, kemarin kan kalian bertengkar, takutnya mbak El...?" Laila terdengar kebingungan ingin mendeskripsikan kekhawatirannya. Namun aku segera paham dan berusaha meyakinkan. "Gak marah kok, cuma salah paham aja!" akupun tersenyum seraya memegang kedua bahu wanita itu meyakinkannya. "Syukurlah!" ucapnya menghela napas lega dan percaya. Rupanya, selain mbak Damai yang tercengang melihat kemarahan mas Azka
"El, kemana saja kamu? Kok gak jagain Chan-" Mbak Damai seketika terdiam dan berhenti mengomel disaat mas Azka ikut masuk kerumah menyusulku yang baru saja pulang bersama pria itu. Akupun mengabaikan ucapan wanita yang menyambangku dengan pertanyaan didepan pintu, aku melengos begitu saja langsung masuk ke kamar dengan mas Azka yang juga terus mengekor dibelakangku. Pria itu juga melangkah cepat mengabaikan mbak Damai yang masih mematung menatap gelagat kami berdua, seperti sedang kejar-kejaran. Braak Kututup pintu kamar dengan kasar, namun tetap di dobrak mas Azka yang ikut masuk lalu menutupnya lagi tak kalah kasar. "Kenapa malah kamu yang marah?" tanyanya terdengar emosi. Mas Azka tak suka pada sikapku yang balas mendiamkannya, bahkan aku menolak saat suamiku ingin menciumku saat dimobil tadi. Tak heran jika mas Azka marah padaku karena merasa dikhianati. Tapi aku juga berhak untuk berontak pada sikapnya yang kasar dan posesif itu. "Gimana El gak marah, sikap ma
"Gapapa nih, telur gulungnya buat Elva?" tanyaku pada kak Abizar yang kini malah duduk bersama denganku sambil minum es kelapa muda."Ambil aja El, habisin!" serunya tersenyum lalu kembali sibuk mendulang daging kelapa muda yang tenggelam didasar gelasnya."Makasih!" seruku bersemangat mengambil sisa telur kesukaan kami berdua.Mulanya, aku memang berniat menghindari kang bengkel itu. Namun, aku tiba-tiba berubah pikiran saat menyadari ada hal yang harus aku tuntaskan dengannya.Berhubung telur gulung yang kuinginkan telah diborong habis oleh Kak Abi. Iapun menawariku telur pesanan terakhir itu untuk dimakan berdua, jadilah kini kami kembali nongkrong bersama setelah sekian lama tak bertemu.Karena momen di tempat nongkrong ini cukup istimewa dan menjadi salah satu kegiatan favoritku, akupun menunda sejenak penjelasan yang ingin kusampaikan, dan memilih menikmati hidangan terlebih dahulu karena tak ingin merusak suasana.Meski begitu, jangan khawatir sebab pasti aku akan memberitahun
"Papa Can udah berangkat?" tanyaku pada Chandra yang sedang bermain kelinci dihalaman belakang.Aku bertanya, karena aku baru kembali setelah meninggalkannya pergi ke toilet.Aku menurunkan kedua bahu, karena tidak mendapatkan jawaban dari bocah itu. Maklum saja, aku memang tidak bisa berharap banyak pada jawabannya, anak itu labil dan ia akan menjawab jika ia mau.Menyadari keadaan rumah yang kembali lengang, sudah pasti para maduku telah berangkat ke tempat kerja mereka. Pun dengan mbak Damai yang juga memilih minggat entah kemana bahkan sebelum yang lainnya berangkat.Sedangkan aku yang masih berharap kehadiran mas Azka segera berjalan menuju ruang kerjanya."Titip cacan sebentar ya!" ucapku lagi pada Laila yang sedang beberes didapur untuk mengawasi anak itu. Tak perlu ditemani karena ia terlihat sedang seru sendiri dengan kelincinya.Memastikan kesediaan Laila, aku berjalan memeriksa ruangan suamiku."Mas ... !" panggilku pelan-pelan sambil terus melangkah.Tidak ada sahutan dar