"Ayo berangkat!" ajak mas Azka tiba-tiba menarik tanganku yang baru selesai sarapan pagi ini."Mas!" aku terpekik seraya meneguk saliva kelat, menyadari sikap suamiku yang kembali dingin.Sejak semalam, saat aku tak sengaja hampir membalas pesan kak Abizar, pria itu seketika berubah menjadi begitu kasar. Aku bahkan tak diberi kesempatan untuk menjelaskan duduk perkaranya. Ia yang datang setelah menidurkan Chandra tiba-tiba menutup pintu kamar dan memaksaku melayaninya.Memang, memang aku sempat mulai cemburu dan tidak tenang mengetahui mas Azka yang terpaksa tinggal dikamar mbak Sonia. Tapi, aku sama sekali tidak berniat untuk membalas dendam ataupun melampiaskan perasaan ini pada orang lain. Apalagi harus melampiaskannya pada Kak Abizar. Tidak, tidak pernah terpikir sedikitpun olehku untuk menjadikan pria itu sebagai pelarian. Namun, sejak mas Azka mendapati pesan tersebut, iapun sangat murka, bahkan ikut terbawa emosi disaat melampiaskan hasratnya kepadaku tadi malam."Ke kemana M
"Mbak Lena, sejak kapan ada disini?" akupun menoleh pada wanita itu dengan tanya tergagap. Mengabaikan pertanyaannya yang lebih dulu. "Tempat ini milik saya ya, penting banget jawab pertanyaan kamu!" sahutnya bersedekap acuh. "Enggak maksud saya...!" "Siapa tadi yang ada main sama sugerdaddy?" tegasnya lagi mengulang pertanyaan yang terlewat. Kedua matanya melirik bergantian kepadaku dan Tini. Tapi selain itu, tingkah mbak Lena pun terlihat jauh lebih aneh, melalui matanya yang juga melirik kesana kemari, ia bahkan lebih gelisah dari kami berdua. "Nggak ada mbak, tadi saya cuma bercanda." Tini pun lekas menyanggahnya. Tatapan curiga sang owner itu kemudian beralih padaku, lalu mendesah panjang karena tak mungkin ia menuduhku tanpa ada bukti. "Trus ngapain kamu masih disini?" tanyanya lagi. Sementara Tini merasa bingung dengan pertanyaan mbak Lena. "Masih mau ketemuan sama si cemong itu?" lanjutnya menunjuk dengan lirikan ke arah bengkel yang tepat berada di seberang tempa
Aku meniup bagian ujung hijab dikepala seraya mendengkus kasar saat mendengar panggilan dari kak Abizar yang kini heboh menyambut kedatanganku. Mampus!! Padahal aku sudah mencoba secepat mungkin meninggalkan tempat itu tanpa sepengetahuannya. Tak kusangka rupanya Kak Abizar tidak seceroboh yang aku kira. Ia telah jeli menemukan keberadaanku bersamaan dengan mas Azka yang sengaja mengajaknya bicara tapi memantauku dari kejauhan. "Ayo sini El, duduk dulu!" ucap kak Abi ingin meraih tanganku dan mengajak duduk. Akan tetapi, aku berhasil menebak pergerakannya, dan bisa menghindari genggaman pria itu. "Enggak usah kak, aku cuma kebetulan lewat." ucapku berkelit panik. Akupun terpaksa ikut masuk dua langkah menghargainya. "Owh, emangnya kamu dari mana?" tanya kak Abi tanpa melunturkan senyuman. Pria itu menarik kursi plastik dan duduk sambil memeluk sandaran kursinya yang sengaja diposisikan terbalik, Iapun sedikit mendongak memandangiku tak berkedip menunggu jawaban. "El barus
Lelaki itu terlihat kikuk saat aku memandangnya curiga. Iapun langsung pamit dan melengos pergi meninggalkan rumah ini tanpa berbasa-basi.Sedangkan mbak Damai yang tadinya juga salah tingkah kini berusaha menegakkan kepala seolah tak terjadi apa-apa."Gausah heran, itu kakak saya!" jelasnya sebelum aku bertanya. Meski menganggukkan kepala pelan, namun aku tak bisa menutupi ketidakpercayaanku dan raut itu terlihat jelas dari keningku yang masih menukik kedalam."Dia kesini cuma numpang mandi!" ungkapnya lagi tanpa diminta.Akh... bukannya menuduh, tapi entah mengapa aku sama sekali tak percaya, jika mereka adalah kakak adik mengapa tatapannya seperti itu dan tautan tangannya sangatlah mesra. Lagi, aku tidak tuli dan tadi aku mendengar jelas panggilan yang disematkan mbak Damai, tidak mungkin rasanya seorang adik memanggil kakak lelaki dengan sebutan my honey, apa tidak risih? Aku sering mendengar panggilan mesra dari mereka yang bersaudara, untuk menunjukkan rasa sayangnya biasanya
"Makanya mas, kalau gak biasa gausah deh sok sokan jadi anak muda." omelku pada mas Azka yang saat ini minta kulit tubuhnya ditaburi bedak anti jamur. Tak kusangka, pria itu bergegas menanggalkan seluruh pakaian, terutama jaket kulit yang membuatnya nampak lebih muda dan lebih manly itu, karena bahannya yang tidak bersahabat untuk kulitnya. Rupanya, mas Azka sangat tidak cocok menggunakan model pakaian semacam itu, gara-gara tubuhnya akan mengeluarkan cairan berlebih dan langsung menumbuhkan biang keringat. Tidak terbayang bagaimana perasaannya seharian ini demi menunggu mobil bermasalah yang harus diperbaiki oleh kak Abizar. Ya... nyatanya mas Azka tidak bekerja hari ini dan memilih seharian penuh berada di bengkel. Entah seberapa banyak informasi yang berhasil ia dapatkan disana. Ingatkan aku untuk bertanya, sebenarnya mobil rusak milik siapa?. "Ini semua gara-gara kamu!" sahutnya memutar kepala sedikit, demi melihatku yang berada dibelakang sedang menggosok punggungnya
"Jadi ini yang kalian lakukan pada Laila?" Mas Azka mengintrogasi ketiga istrinya yang kedapatan saling berebut untuk dilayani oleh seorang asisten rumah tangga.Sementara itu, kini para istri hanya tertunduk diam tak berani menyahut suaranya yang menggelegar."Begini mas, kita tuh seb-" mbak Damai ingin angkat bicara, tapi ia langsung terdiam saat mas Azka mengacung kelima jari, tak menerima alasan apapun."Apa kamu tidak bisa membantu Laila sedikit saja, bukannya kamu seharian dirumah?" tanyanya menuntut.Mbak Damai pun membisu ditempat karena tak punya jawaban. Kemudian tatapan mas Azka beralih pada mbak Sonia."Sekarang saya tanya sama kamu, dari pagi sampai sore, siapa yang mengurus Chandra?" tanya mas Azka serius."Laila!" sahut mbak Sonia santai, seraya memutar mata malas."Apa kamu juga seorang bayi, atau kamu seorang yang istimewa sepertinya sampai kamu yang sedewasa ini masih meminta diurus oleh Laila. Apa dia juga babysittermu?" cecar mas Azka, tak peduli pada tatapan sini
GlekAku hanya bisa menelan ludah mengingat tamparan keras yang mengenai pipi mbak Damai.Seketika wanita itu dipaksa masuk dan kembali kemarnya meninggalkan sisa gula dari dalam toples yang berhamburan karena sengaja dijatuhkannya kelantai karena tak terima."Maaf saya terpaksa melakukan itu didepan kamu!" ucap mbak Sonia tertunduk sungkan dan merasa bersalah setelah membahas kembali tamparannya pagi tadi kepada mbak Damai. Demi memberi penjelasan tentang apa yang kudengar, mbak Sonia kini mengajakku bicara berdua direstoran dekat kantor megah tempatnya bekerja."Saya juga minta maaf mbak, sumpah! Saya tidak bermaksud mengadu domba atau menjelekkan kalian didepan mas Azka." akupun turut meminta maaf dengan sungguh-sungguh, apalagi mbak Sonia juga terkena dampak dari upayaku memperjuangkan hak Laila. Haah seperti penjilat saja, harusnya aku sadar diri sebagai orang baru aku tidak perlu sok jadi pahlawan kesiangan.Karena kejadian itu, membuatku cukup jera terlalu ikut campur, sedan
"Jadi ini dikasi Sonia lagi?" mas Azka merebut kapsul itu dariku."El gak tau mas, kenapa malah El yang diminta hamil!" akupun meluapkan emosi yang menyesakkan ini."Yasudah, buang lagi!" dengkus mas Azka."Kenapa kalian berdua melibatkan El dalam masalah ini?" tanyaku tertahan."Gak papa." mas Azka menjawab dengan santai. Jauh sekali dengan harapanku yang butuh penjelasan.Jika sedikit banyak aku sudah tahu alasan mbak Sonia, kali ini aku ingin tahu alasan Mas Azka yang malah bertolak belakang."Jadi, mas memang cuma ingin anak dari mbak Sonia?" tanyaku pada akhirnya, aku tahu ini lancang namun aku pun tidak bisa terus seperti ini.Seperti pergi sulit, bertahanpun sakit."Bisa tidak, jangan bahas perkara itu, saya pusing Elva!" mas Azka kembali mengalihkan pembicaraan, ia bahkan sudah terang menyatakan tidak ingin memberitahuku, padahal aku berhak mengetahui alasannya.Oke... jika mas Azka tidak mau mengatakannya, maka akupun juga tidak mau melayaninya. Anggap saja aku benar-benar s
"Kamu kalau tidak tahu apa-apa, gausah ikut campur!" tegas mas Azka dengan angkuh."Kalau aku tidak tahu tentang kalian, tidak kubiarkan Elva menangisi bajingan sepertimu!" balas kak Abi menyindir.Suasana semakin memanas ketika mas Azka beralih menatapku, entah apa yang ada didalam benaknya."Jadi si tukang bengkel ini tahu semua tentang kita?" lirihnya menanyaiku seperti tak terima."Elva, kamu membeberkan keadaan rumah tangga kita pada orang lain?" tanya mas Azka lagi, sebab tak kunjung mendapat jawaban dariku.Karena bingung harus menjawab apa, akupun hanya diam mematung sambil melirik pada kak Abizar seolah meminta dukungan darinya.Jujur saja, aku masih sangat kesal pada sikap suamiku."Jawab Elva!" kesabaran mas Azka sudah berada pada puncaknya, karena itulah dia makin menuntut dengan nada suara lebih tinggi."Setidaknya, kak Abi bisa memberikan bahunya untuk dijadikan sandaran disaat suamiku sendiri memilih menyingkirkan aku!" sahutku reflek, didasari kekecewaan akhirnya aku
"Please Elva, jujur sama saya!" desak kak Abi saat kami berjalan keluar dari kantor polisi menuju parkiran."Jujur apa lagi sih kak?" tegasku sembari terus menghindari tatapan matanya yang penuh tanda tanya."Kamu jangan bohongin saya, mana mungkin kamu mau menikah dengan pria yang sudah beristri lebih dari satu!" Rupanya kak Abi masih belum memercayai keteranganku dan bapak saat didalam tadi."Untuk apa El sama bapak bohongin kakak, untungnya apa?" terangku lagi."El!"Langkahku terhenti saat kak Abi mencekal lenganku, ia muak dan malas bermain kejarmungkin-kejaran denganku."Jadi selama ini, kamu menjalani rumah tangga secara poligami? dan dua wanita yang mau kamu temui kemarin adalah istri-istri tua suamimu?" tuntutnya lagi, ia sangat tidak berharap aku mengiyakan dugaan itu. Tapi, mau bagaimana lagi, yang dia katakan adalah kenyataan sebenarnya."Iya kak!" jawabku pasrah dan lemah.Kak Abi langsung menjatuhkan kedua bahunya lelah, seperti menolak percaya, kecewa, dan prihatin ter
Salahkan jika aku merindukan suamiku, salahkah jika aku menginginkan kehangatan pelukannya.Rasanya kacau sekali setelah mengetahui mereka telah serumah tanpa memberitahuku."Sadar Elva, sadar!""Yang mbak Sonia lakukan sama halnya seperti yang kau lakukan sendiri bersama Azka di Australia kemarin!" batinku terus memperingati kegundahan hati yang terus mengaduk perasaanku."Aku sendiri juga pernah berduaan dengan suaminya, kan?" kembali, aku berusaha menguatkan diri ini dan terus menyeka air mata yang tak telah menjebol bendungannya."Astagfirullah, apa yang terjadi padaku?"Hampir semalaman aku malah menangisi mas Azka, bukankah harusnya aku lebih memikirkan ayahku yang tengah kedinginan didalam jeruji besi daripada si pembohong itu.Meskipun tubuhku sangat lemas, namun aku berusaha untuk bangkit, selain bangkit dari keterpakuan diatas sofa hampir semalaman, aku juga harus bangkit dari keterpurukan dan rasa cemburu, jangan sampai perasaanku pada mas Azka berhasil menumbangkan pertaha
"Kamu kenapa sih El, emang suami kamu gak bisa ditelpon?" Kak Abi langsung menodongku dengan pertanyaan saat aku baru saja membuka mata dan tersadar, Meskipun nadanya ketus tapi aku tahu dia peduli."Minta minum kak!" ucapku lebih dulu menjeda dengan suara serak yang hampir tak terdengar.Sambil bersabar menunggu jawabanku, kang bengkel itu segera membangunkan tubuhku yang masih lemas untuk bersandar di sandaran sofa lalu diberikan segelas air.Tercium bau menyengat khas minyak kayu putih dari sekeliling tempatku berbaring setelah aku mengembalikan gelas kosong itu padanya."Ukkhh, kalau bisa dihubungi, untuk apa aku menunggu semalaman, El sampai gak bisa tidur kak!" keluhku pada akhirnya penuh kepasrahan.Aku bersandar dikursi dengan kaki yang diluruskan, jujur saja kepala ini masih pusing dan terasa berputar-putar. Hingga kemudian kak Abi menunjukkan keningku yang agak merah dan benjol.Aku baru sadar jika kepalaku juga sakit dan berdenyut, entah apa yang terjadi tadi pagi setelah
"Sudahlah Elva, ayo kita pulang!" tak henti-henti kak Abi dan bapak mengatakan kalimat memuakkan itu.Bukankah sudah kukatakan, aku ingin bermalam disini menemaninya."El, kamu gak bisa disini, ini bukan tempatmu!" kak Abizar kembali membujukku, begitu pula dengan beberapa petugas disana."Aku tahu ini bukan tempatku, dan seharusnya ini juga bukan tempat yang pantas untuk bapak!" Kutepis semua nasihat itu, karena yang kukatakan adalah kebenaran, aku harus berjuang untuk itu."Kita selesaikan ini besok, El!" Astaga, kak Abizar tak bosan-bosan mengajakku untuk pulang.Tentu saja, itu membuatku mengeratkan pelukan pada bapak, sekalipun sudah terbatas oleh besi."Kamu istirahat dirumah ya nak, datanglah besok, bapak gak mau kamu tinggal disini." sejak tadi setelah makan dengan lauk tumis kangkung buatannya, dengan penuh kelembutan dan kesabaran bapak memang terus mengatakan hal yang sama, yaitu menyuruhku segera pulang. Tapi bukankah itu sangat kejam? Sebagai anak, aku tidak mungkin be
"Pak, tolong jangan bawa orangtua saya, dia tidak bersalah!" mohonku segera berlutut menarik kaki seorang Polisi yang sudah memegang kedua tangan orang yang aku sayangi."Ini perintah, mbak tidak boleh menghalang-halangi kami!" dengan tegas, pak polisi berkumis tebal itu menjawabku. Ia juga memperlihatkan surat itu lagi, surat yang tadi kuabaikan karena merasa ketentuannya tidaklah adil dan mendasar."Mana mungkin bapak saya mencelakai orang, dia sudah berhenti bekerja sebagai supir truck sejak empat bulan yang lalu." Sebagai bukti, akupun menunjukkan kebun sayuran organik yang dikelola bapak dibelakang rumah, pun dengan menunjukkan tidak adanya mobil truck yang terparkir didepan rumah. Hanya saja, untuk sementara ini aku memang tidak bisa memperlihatkan surat pemberhentian kontrak atas pekerjaan bapak, karena ia memang hanya sebagai sopir lepas. Entahlah... setahuku bapak memang tidak menerima jaminan apa-apa di perusahaan tempatnya bekerja, sekalipun pekerjaan itu cukup beresiko.
Belum tuntas rasa penasaranku tentang skandal yang disembunyikan mas Azka dan mbak Sonia akhir-akhir ini, tapi sekarang pria itu membuat perkara baru, yakni tak membiarkan aku bertemu muka dengan para istri-istrinya, ada apa sebenarnya?Padahal, baru saja aku ingin membuka komunikasi lagi dengan mereka termasuk pula Chandra, karena harus kuakui aku mulai menerima mereka semua, yang kini telah kuanggap adalah bagian dari diriku. Sekalipun tidak serta-merta kami semua akan selalu berbahagia dan saling menghormati, dan tak ada jaminan jika kami akan terus selalu akur, tapi aku yang menginginkan kerukunan terus terjaga tentu akan berusaha berbuat yang semestinya. Namun, belum apa-apa semangatku sudah terpatahkan oleh sikap mas Azka yang tidak jelas."Apa mas? Kamu kembalikan aku ke bapak, apa itu artinya kamu benar-benar ingin melepaskan aku?" tentu saja, dengan cepat kuajukan pertanyaan itu, mempertanyakan maksudnya, aku butuh kejelasan, aku butuh konfirmasi tentang sikapnya.Sekalipun
"Hueeekkk..." Terjadi lagi, dihari ketigaku dirumah bapak, aku mengalami mual-mual yang cukup parah, entah apa sebabnya setiap bangun tidur aku merasa kepala ini berputar-putar sampai-sampai aku tak kuasa untuk bangun walau hanya sekedar melaksanakan sholat subuh yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit.Alhasil, selama dua hari ini aku selalu sholat dalam keadaan tak menentu, kemarin aku bisa sholat berdiri meski tak mampu lama dan itu bisa kuatasi dengan menambahkan surah pendek saja, akan tetapi hari ini aku tak bisa bangun sama sekali, dan hasilnya aku baru bisa bangun jam setengah sebelas pagi.Anehnya lagi, setelah pagi hari berakhir dan matahari mulai meninggi aku kembali segar seolah tak terjadi apa-apa. Dan masa segarku itu kumanfaatkan dengan memakan makanan beragam yang dibawa bapak sepulang dari pasar.Seperti pagi ini misalnya, setelah mual-mualku berhenti, akupun dengan lahap memakan buah pisang segar yang baru dipetik dari pohon. Rasa buahnya terasa sangat nikmat u
Dak dek dak dek, dalam suasana seperti ini, malah pura-pura mesra.. gak ngaruh!Aku langsung saja tersenyum kecut setelah membaca pesan mas Azka. Bagaimana mungkin ia bisa bersikap seolah tak terjadi apa-apa setelah mengabaikanku begitu saja. Aku sangat tidak mengerti dengan jalan pikirannya.Pesan mas Azka tak kugubris sama sekali, jangankan untuk membalasnya, menyentuh ponselnya pun aku sangat malas. Karena diri ini sudah mulai lelah, bergegas kuambil handuk dan menuju kamar mandi. Hari masih pagi dan udara sekitar pun masih segar dan dingin, Dihalaman belakang, kulihat bapak yang mulai memanen pakcoy yang siap dipilah pilih sebelum akhirnya diedarkan kepada para langganan. Halaman belakang rumah kami memang memiliki luas yang tidak seberapa, akan tetapi dengan lahan itu cukup membuat bapak kewalahan merawatnya, apalagi beliau belum memiliki anakbuah yang membantu pekerjaannya, semuanya dilakukan sendiri, untungnya lagi sayuran organik tidak terlalu sulit dibudidayakan."Ngapain l