"Jadi ini dikasi Sonia lagi?" mas Azka merebut kapsul itu dariku."El gak tau mas, kenapa malah El yang diminta hamil!" akupun meluapkan emosi yang menyesakkan ini."Yasudah, buang lagi!" dengkus mas Azka."Kenapa kalian berdua melibatkan El dalam masalah ini?" tanyaku tertahan."Gak papa." mas Azka menjawab dengan santai. Jauh sekali dengan harapanku yang butuh penjelasan.Jika sedikit banyak aku sudah tahu alasan mbak Sonia, kali ini aku ingin tahu alasan Mas Azka yang malah bertolak belakang."Jadi, mas memang cuma ingin anak dari mbak Sonia?" tanyaku pada akhirnya, aku tahu ini lancang namun aku pun tidak bisa terus seperti ini.Seperti pergi sulit, bertahanpun sakit."Bisa tidak, jangan bahas perkara itu, saya pusing Elva!" mas Azka kembali mengalihkan pembicaraan, ia bahkan sudah terang menyatakan tidak ingin memberitahuku, padahal aku berhak mengetahui alasannya.Oke... jika mas Azka tidak mau mengatakannya, maka akupun juga tidak mau melayaninya. Anggap saja aku benar-benar s
Sekalipun aku telah diperingati Laila untuk tidak percaya, toh nyatanya keterangan tadi membuatku tidak bisa tenang. Tidak akan ada asap jika tidak ada api, bukan?Dan aku yakin, Laila tidak mungkin bicara asal jika ia tidak tahu hal sebenarnya.Akan tetapi, bersitegang atau kukuh membahasnya pada Laila pun rasanya percuma. Sebab ia tentu sudah tahu batasan dan tak mungkin kembali membeberkan semuanya.Kuputuskan untuk mengangguk dan mengiyakan saja sanggahan Laila tadi, sekarang akulah yang harus mencaritahu sendiri.Satu jam kemudian, suasana sepi perlahan berganti, satu-persatu istri mas Azka sudah bangun dan tentunya suamikupun juga bangun lebih dulu karena tadi sempat terlihat melaksanakan sholat subuh.Beres dengan menu sarapan, aku dan Laila pun memanggil mereka semua untuk makan bersama sebelum menjalani kegiatan masing-masing."Mau panggil siapa?" tanyaku pada Laila melihatnya melangkah keluar."Mau panggil Tuan sama Cacan mba El!" sahutnya sedikit memutar tubuh."Biar saya s
"Papa Can udah berangkat?" tanyaku pada Chandra yang sedang bermain kelinci dihalaman belakang.Aku bertanya, karena aku baru kembali setelah meninggalkannya pergi ke toilet.Aku menurunkan kedua bahu, karena tidak mendapatkan jawaban dari bocah itu. Maklum saja, aku memang tidak bisa berharap banyak pada jawabannya, anak itu labil dan ia akan menjawab jika ia mau.Menyadari keadaan rumah yang kembali lengang, sudah pasti para maduku telah berangkat ke tempat kerja mereka. Pun dengan mbak Damai yang juga memilih minggat entah kemana bahkan sebelum yang lainnya berangkat.Sedangkan aku yang masih berharap kehadiran mas Azka segera berjalan menuju ruang kerjanya."Titip cacan sebentar ya!" ucapku lagi pada Laila yang sedang beberes didapur untuk mengawasi anak itu. Tak perlu ditemani karena ia terlihat sedang seru sendiri dengan kelincinya.Memastikan kesediaan Laila, aku berjalan memeriksa ruangan suamiku."Mas ... !" panggilku pelan-pelan sambil terus melangkah.Tidak ada sahutan dar
"Gapapa nih, telur gulungnya buat Elva?" tanyaku pada kak Abizar yang kini malah duduk bersama denganku sambil minum es kelapa muda."Ambil aja El, habisin!" serunya tersenyum lalu kembali sibuk mendulang daging kelapa muda yang tenggelam didasar gelasnya."Makasih!" seruku bersemangat mengambil sisa telur kesukaan kami berdua.Mulanya, aku memang berniat menghindari kang bengkel itu. Namun, aku tiba-tiba berubah pikiran saat menyadari ada hal yang harus aku tuntaskan dengannya.Berhubung telur gulung yang kuinginkan telah diborong habis oleh Kak Abi. Iapun menawariku telur pesanan terakhir itu untuk dimakan berdua, jadilah kini kami kembali nongkrong bersama setelah sekian lama tak bertemu.Karena momen di tempat nongkrong ini cukup istimewa dan menjadi salah satu kegiatan favoritku, akupun menunda sejenak penjelasan yang ingin kusampaikan, dan memilih menikmati hidangan terlebih dahulu karena tak ingin merusak suasana.Meski begitu, jangan khawatir sebab pasti aku akan memberitahun
"El, kemana saja kamu? Kok gak jagain Chan-" Mbak Damai seketika terdiam dan berhenti mengomel disaat mas Azka ikut masuk kerumah menyusulku yang baru saja pulang bersama pria itu. Akupun mengabaikan ucapan wanita yang menyambangku dengan pertanyaan didepan pintu, aku melengos begitu saja langsung masuk ke kamar dengan mas Azka yang juga terus mengekor dibelakangku. Pria itu juga melangkah cepat mengabaikan mbak Damai yang masih mematung menatap gelagat kami berdua, seperti sedang kejar-kejaran. Braak Kututup pintu kamar dengan kasar, namun tetap di dobrak mas Azka yang ikut masuk lalu menutupnya lagi tak kalah kasar. "Kenapa malah kamu yang marah?" tanyanya terdengar emosi. Mas Azka tak suka pada sikapku yang balas mendiamkannya, bahkan aku menolak saat suamiku ingin menciumku saat dimobil tadi. Tak heran jika mas Azka marah padaku karena merasa dikhianati. Tapi aku juga berhak untuk berontak pada sikapnya yang kasar dan posesif itu. "Gimana El gak marah, sikap ma
"Mbak El!" Keesokan harinya, Laila tiba-tiba memanggil lalu segera menghampiriku tergopoh-gopoh. Aku yang baru selesai sholat subuh dan pergi ke dapur ingin membantu menyiapkan sarapan segera memusatkan perhatian pada wanita itu. "Ada apa?" tanyaku penasaran. Tanpa berkata-kata, Laila langsung memutar tubuhku sambil memindainya dari atas hingga kebawah. "Ada apa sih?" tanyaku makin kebingungan. "Mbak El gak diapa-apain sama Tuan Azka, kan?" tanya wanita itu cemas. "Diapa-apain, maksudnya?" akupun reflek membeo seraya terkekeh dengan alis bertaut dalam. "Anu ... itu loh, kemarin kan kalian bertengkar, takutnya mbak El...?" Laila terdengar kebingungan ingin mendeskripsikan kekhawatirannya. Namun aku segera paham dan berusaha meyakinkan. "Gak marah kok, cuma salah paham aja!" akupun tersenyum seraya memegang kedua bahu wanita itu meyakinkannya. "Syukurlah!" ucapnya menghela napas lega dan percaya. Rupanya, selain mbak Damai yang tercengang melihat kemarahan mas Azka
"Ibu Elva Ivara?" Seorang pria berseragam warna putih tiba-tiba menghampiri dan memastikan identitasku saat berada di ruang tunggu sebelum masuk ke pesawat. "Iya saya!" sahutku mengangguk canggung dengan wajah yang nampak bingung, sambil menoleh ke arah Septo yang tadi menjemput dan membawaku ketempat ini. "Mari bu, ikut saya!" kemudian seorang pramugari ikut menghampiri dengan senyum menawan, mengarahkanku menuju kursi penumpang yang sudah dipesan mas Azka, tempat dimana ia sudah menunggu. Akupun mengangguk dan mengikuti wanita itu memasuki badan pesawat dengan kaki yang gemetar pelan. Karena sebenarnya, ini kali pertamaku naik pesawat, maka dari itu, aku mengalami keringat dingin dan mendadak tremor takut-takut. "Silakan bu, disini!" wanita itu berbalik dan mempersilakan aku untuk duduk dibangku yang sudah disiapkan. Sampai disini, aku masih kebingungan dan mengangguki wanita itu seraya menuruti perintahnya. Kupikir, mas Azka sudah berada disana, namun hingga detik i
Hiks...Kedua mataku terpejam dengan sekujur tubuh yang menegang ketika pesawat yang sedang kutumpangi tiba-tiba bergetar dan mengeluarkan bunyi nyaring.Sisa sisa kesedihan karena informasi dari mas Azka akhirnya tak bisa kusembunyikan lagi. Akupun menangis mengiringi rasa ketakutan yang kian menjadi, seperti pesawat terbang meninggalkan daratan menuju angkasa.Mendengar isak tangis, rupanya mas Azka pun memusatkan perhatian padaku. Tanpa diminta, pria itu tiba-tiba menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku seperti mengikat sebuah janji.Aku yang tadinya gemetar pun segera membolakan mata, terkejut dengan perlakuan itu. Bagaimana tidak, masalahnya tadi saat mas Azka mengatakan akan membawaku ke Australia, ekspresiku hanya diam lalu tertunduk sedih. Karena itu mungkin mas Azka mengira aku tidak senang berlibur dengannya, hingga ia kecewa dan kembali mendengkus lalu mendiamkanku lagi.Padahal aslinya aku hanya menghawatirkan bapak, karena kupikir bapak benar-benar sakit. M
"Sebenarnya ada apa antara kalian berdua, hemm??" Suamiku bergeleng kepala tak terima dengan permintaanku."Enggak ada mas." jawabku meyakinkan."Tidak mungkin hubungan kalian hanya sebatas teman jika tatapannya saja seperti itu!" mas Azka mengemukakan keresahan hatinya."Serius mas nggak ada, baiklah jika mas masih melarang, itu artinya mas meragukan kesetiaan El." ucapku pasrah.Mas Azka terlihat mengepalkan kedua tangan dan menatapku geram."Semuanya terserah mas, El akan patuh sekalipun mas tetap melarang. Tapi sebuah hubungan tidak akan berjalan baik jika ada ketidakpercayaan didalamnya. Dan dari situ El bisa tahu perasaan mas yang sesungguhnya sama El, apakah cinta yang tulus atau hanya sebuah obsesi." ucapanku sukses membuat mas Azka makin mematung.Bukan maksudku ingin menceramahinya, seolah akulah istri yang sempurna, tapi aku hanya ingin membuka pikirannya. Bahkan karena itu aku sudah menurunkan ego yang sangat ingin tahu tentang hubungan mas Azka dengan istri lainnya."Apa
Huachhiimmm"Ini yang terakhir, sekali lagi kamu berurusan dengannya, maka bengkel itu akan saya ratakan dengan tanah!" peringat mas Azka tegas sambil memberikan selembar cek kosong yang sudah ditandatangani kepadaku.Bahkan saking kesalnya, ia terus memarahiku dan tak peduli padaku yang sejak tadi bersin-bersin karena sakit setelah ikut mandi berendam bersamanya.Huachiiim"Iya mas, iya ... tapi ini apa?" tanyaku kebingungan menerima cek kosong tersebut.HikAku mencoba meluruskan pandangan ke arah mas Azka meskipun rasanya berat sekali. Bukannya apa-apa, kondisi saluran pernapasanku sedang tidak baik-baik saja, karena itulah aku mengalami hidung tersumbat dan bersin tak henti-henti, apalagi sekarang ini aku tak bisa jauh-jauh dari kotak tisyu, cairan bening yang keluar dari dua lubang udara itu semakin membuatku tak karuan."Bayaran untuknya karena sudah jagain bapak, dia bisa mengisi dengan jumlah berapapun." kata mas Azka berpaling dingin."Lihat saja, dari situ kamu pasti tahu,
"Kenapa harus dia sih, El?" mas Azka berdecak marah sambil menyeret koper dan memasuki lift menuju kamar kami. "Mas, jangan salah paham, memang dari dulu cuma kak Abi yang kenal baik sama bapak!" terangku menjelaskan. "Kamu bilang kalian cuma kenal di tempat kerja, lalu kenapa bisa sampai sedekat itu!" mas Azka mulai terang memancarkan aura kecemburuan. "Iya awalnya kita memang baru kenal ditempat kerja, tapi pas pertama kali ka Abi main kerumah dia langsung akrab sama bapak." jelasku tanpa ada kebohongan. "Kalian pacaran?" sarkas mas Azka. "Enggak, mas." Aku langsung bergeleng kepala mengelak. "Ngapain mampir-mampir?" tanyanya kesal. Ting Pintu lift terbuka, mas Azka menoleh dan terdiam sejenak, ekspresi yang tadinya galak coba ia normalkan, tak ingin memperlihatkan perdebatan pada penghuni hotel lain yang ingin menggunakan lift setelah kami. Suamikupun melangkah keluar dari lift dengan cepat, meninggalkan aku yang tergopoh menyetarai langkah lebarnya. "Kak Abi mam
Hiks...Kedua mataku terpejam dengan sekujur tubuh yang menegang ketika pesawat yang sedang kutumpangi tiba-tiba bergetar dan mengeluarkan bunyi nyaring.Sisa sisa kesedihan karena informasi dari mas Azka akhirnya tak bisa kusembunyikan lagi. Akupun menangis mengiringi rasa ketakutan yang kian menjadi, seperti pesawat terbang meninggalkan daratan menuju angkasa.Mendengar isak tangis, rupanya mas Azka pun memusatkan perhatian padaku. Tanpa diminta, pria itu tiba-tiba menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku seperti mengikat sebuah janji.Aku yang tadinya gemetar pun segera membolakan mata, terkejut dengan perlakuan itu. Bagaimana tidak, masalahnya tadi saat mas Azka mengatakan akan membawaku ke Australia, ekspresiku hanya diam lalu tertunduk sedih. Karena itu mungkin mas Azka mengira aku tidak senang berlibur dengannya, hingga ia kecewa dan kembali mendengkus lalu mendiamkanku lagi.Padahal aslinya aku hanya menghawatirkan bapak, karena kupikir bapak benar-benar sakit. M
"Ibu Elva Ivara?" Seorang pria berseragam warna putih tiba-tiba menghampiri dan memastikan identitasku saat berada di ruang tunggu sebelum masuk ke pesawat. "Iya saya!" sahutku mengangguk canggung dengan wajah yang nampak bingung, sambil menoleh ke arah Septo yang tadi menjemput dan membawaku ketempat ini. "Mari bu, ikut saya!" kemudian seorang pramugari ikut menghampiri dengan senyum menawan, mengarahkanku menuju kursi penumpang yang sudah dipesan mas Azka, tempat dimana ia sudah menunggu. Akupun mengangguk dan mengikuti wanita itu memasuki badan pesawat dengan kaki yang gemetar pelan. Karena sebenarnya, ini kali pertamaku naik pesawat, maka dari itu, aku mengalami keringat dingin dan mendadak tremor takut-takut. "Silakan bu, disini!" wanita itu berbalik dan mempersilakan aku untuk duduk dibangku yang sudah disiapkan. Sampai disini, aku masih kebingungan dan mengangguki wanita itu seraya menuruti perintahnya. Kupikir, mas Azka sudah berada disana, namun hingga detik i
"Mbak El!" Keesokan harinya, Laila tiba-tiba memanggil lalu segera menghampiriku tergopoh-gopoh. Aku yang baru selesai sholat subuh dan pergi ke dapur ingin membantu menyiapkan sarapan segera memusatkan perhatian pada wanita itu. "Ada apa?" tanyaku penasaran. Tanpa berkata-kata, Laila langsung memutar tubuhku sambil memindainya dari atas hingga kebawah. "Ada apa sih?" tanyaku makin kebingungan. "Mbak El gak diapa-apain sama Tuan Azka, kan?" tanya wanita itu cemas. "Diapa-apain, maksudnya?" akupun reflek membeo seraya terkekeh dengan alis bertaut dalam. "Anu ... itu loh, kemarin kan kalian bertengkar, takutnya mbak El...?" Laila terdengar kebingungan ingin mendeskripsikan kekhawatirannya. Namun aku segera paham dan berusaha meyakinkan. "Gak marah kok, cuma salah paham aja!" akupun tersenyum seraya memegang kedua bahu wanita itu meyakinkannya. "Syukurlah!" ucapnya menghela napas lega dan percaya. Rupanya, selain mbak Damai yang tercengang melihat kemarahan mas Azka
"El, kemana saja kamu? Kok gak jagain Chan-" Mbak Damai seketika terdiam dan berhenti mengomel disaat mas Azka ikut masuk kerumah menyusulku yang baru saja pulang bersama pria itu. Akupun mengabaikan ucapan wanita yang menyambangku dengan pertanyaan didepan pintu, aku melengos begitu saja langsung masuk ke kamar dengan mas Azka yang juga terus mengekor dibelakangku. Pria itu juga melangkah cepat mengabaikan mbak Damai yang masih mematung menatap gelagat kami berdua, seperti sedang kejar-kejaran. Braak Kututup pintu kamar dengan kasar, namun tetap di dobrak mas Azka yang ikut masuk lalu menutupnya lagi tak kalah kasar. "Kenapa malah kamu yang marah?" tanyanya terdengar emosi. Mas Azka tak suka pada sikapku yang balas mendiamkannya, bahkan aku menolak saat suamiku ingin menciumku saat dimobil tadi. Tak heran jika mas Azka marah padaku karena merasa dikhianati. Tapi aku juga berhak untuk berontak pada sikapnya yang kasar dan posesif itu. "Gimana El gak marah, sikap ma
"Gapapa nih, telur gulungnya buat Elva?" tanyaku pada kak Abizar yang kini malah duduk bersama denganku sambil minum es kelapa muda."Ambil aja El, habisin!" serunya tersenyum lalu kembali sibuk mendulang daging kelapa muda yang tenggelam didasar gelasnya."Makasih!" seruku bersemangat mengambil sisa telur kesukaan kami berdua.Mulanya, aku memang berniat menghindari kang bengkel itu. Namun, aku tiba-tiba berubah pikiran saat menyadari ada hal yang harus aku tuntaskan dengannya.Berhubung telur gulung yang kuinginkan telah diborong habis oleh Kak Abi. Iapun menawariku telur pesanan terakhir itu untuk dimakan berdua, jadilah kini kami kembali nongkrong bersama setelah sekian lama tak bertemu.Karena momen di tempat nongkrong ini cukup istimewa dan menjadi salah satu kegiatan favoritku, akupun menunda sejenak penjelasan yang ingin kusampaikan, dan memilih menikmati hidangan terlebih dahulu karena tak ingin merusak suasana.Meski begitu, jangan khawatir sebab pasti aku akan memberitahun
"Papa Can udah berangkat?" tanyaku pada Chandra yang sedang bermain kelinci dihalaman belakang.Aku bertanya, karena aku baru kembali setelah meninggalkannya pergi ke toilet.Aku menurunkan kedua bahu, karena tidak mendapatkan jawaban dari bocah itu. Maklum saja, aku memang tidak bisa berharap banyak pada jawabannya, anak itu labil dan ia akan menjawab jika ia mau.Menyadari keadaan rumah yang kembali lengang, sudah pasti para maduku telah berangkat ke tempat kerja mereka. Pun dengan mbak Damai yang juga memilih minggat entah kemana bahkan sebelum yang lainnya berangkat.Sedangkan aku yang masih berharap kehadiran mas Azka segera berjalan menuju ruang kerjanya."Titip cacan sebentar ya!" ucapku lagi pada Laila yang sedang beberes didapur untuk mengawasi anak itu. Tak perlu ditemani karena ia terlihat sedang seru sendiri dengan kelincinya.Memastikan kesediaan Laila, aku berjalan memeriksa ruangan suamiku."Mas ... !" panggilku pelan-pelan sambil terus melangkah.Tidak ada sahutan dar