Share

4. Bohong

Tiba-tiba saja maduku mbak Damai bertanya demikian, dengan wajah datar sambil menyuap sarapannya, seolah yang dibicarakan bukanlah suaminya sendiri. Aku tak habis pikir. Bisa bisanya ia bertanya seperti itu.

Aku yang sempat tersedak lalu meneggak segelas air kemudian mengangguk malu-malu memberi jawaban jujur pada wanita itu.

"Trus kamu berhasil dapat apa, Ruko, Mobil, atau Rumah?" tanya Lena menambahkan.

Ekspresi wanita itupun sama, yaitu biasa saja. Padahal kemarin-kemarin mbak Lena mengaku sangat mencintai mas Azka, sebagai istri ke-2 cinta seperti apa yang dimaksud, jika responnya sebiasa itu saat tahu sang suami baru saja menikmati malam pengantin dengan wanita lain?

Akupun menggelengkan kepala,

"Saya tidak minta apa-apa sama Mas Azka!" jawab ku kemudian.

Sonia yang merupakan istri pertama tiba-tiba menghentikan makannya lalu menyipitkan mata kepadaku.

"Kamu ini bodoh atau apa, masa iya seorang gadis menyerahkan keperawanannya tanpa minta imbalan!" tanya Sonia tak percaya.

"Me-memangnya saya harus minta sesuatu? dia kan suami saya!" tanyaku heran.

"Tentu saja, jangan terlalu murah, tunjukkin kalau kamu punya harga, jangan mau rugi hanya gara-gara dia menarik dimatamu!" Mbak Sonia berpesan.

"Tapi mbak, entah kenapa aku merasa jika bersikap seperti itu malah kesannya aku seperti ..." aku yang tak setuju pun mencoba menjelaskan.

"Len, kamu gak kasi tau kalau mas Azka itu pelit?" Sonia beralih bertanya pada mbak Lena.

"Mungkin lupa dia!" sambar Mbak Damai seolah mewakili jawaban Lena.

Terlihat Mbak Damai dan Lena saling adu lirikan sinis.

"Trus obatnya gimana, lupa juga?" tanya Sonia lagi, masih pada Mbak Lena.

"Obatnya sudah kutaruh kok, iya kan El?" Mbak Lena mulai meminta dukunganku.

Untungnya aku segera paham, karena mungkin saja obat yang dimaksud adalah botol berisi kapsul yang tadi pagi ditunjuk Mas Azka.

"Iya, ada mbak!" sahutku lekas.

"Sudah kamu minum, kan?" tanya Sonia lagi dengan tatapan selidiknya.

"Su-sudah" sahutku berbohong.

Kali ini, aku tidak ingin memperpanjang perkara dan terpaksa kuiyakan saja daripada aku diultimatum lagi.

Masa bodo kedepannya, lagipun aku belum tahu obat itu untuk apa, tak mau juga aku terlalu patuh jika akan berakibat malapetaka.

Terlihat wanita itu diam duduk tenang kembali setelah mendengar jawabanku yang sudah menjalankan rencananya.

"Elva, khusus hari ini kamu saya kasi libur. Tapi ingat, besok kamu harus tetap masuk kerja seperti biasa!" beritahu Lena sebelum bangkit dari duduknya memecah keheningan.

"Iya mbak!" akupun kembali mengangguk patuh.

Mau bagaimana lagi, aku memang masih bekerja ditempatnya karena biarpun aku sudah menikah dan sekalipun kebutuhanku akan dicukupi Mas Azka, namun belum ada keterangan siapa yang akan menanggung kelangsungan bapakku nantinya, apalagi beliau kini tinggal sendirian.

Dan bukankah tadi katanya Mas Azka itu aslinya pelit?

Mengetahui hal itu, sudah pasti ku tak bisa mengharap uluran tangan dari suami, aku harus tetap bekerja, setidaknya aku bisa menyisihkan gaji hasil keringat sendiri itu untuk orangtuaku.

"Yasudah saya permisi, kerjaan di gerai menumpuk gara-gara kamu libur." ucap sang owner laundry yang akhirnya berlalu menyisakan aku dan kedua maduku.

Krieet

Decitan kursi yang didorong mundur oleh Mbak Sonia pun mengalihkan perhatianku, wanita itu sepertinya juga akan meninggalkan kursi yang ditempati.

"Mbak Sonia juga mau berangkat ke kantor?" tanyaku sopan pada istri pertama suamiku yang paling cantik.

"Hemm, jadwal saya bertemu klien sangat padat, jadi tolong jaga rumah!" jawab sang wanita karier itu dengan elegan, terlihat wajahnya pun mulai mencoba berdamai.

Karena ia masih mau menjawab pertanyaanku dengan baik, maka akupun inisiatif memberikan perhatian padanya demi keakuran kami kedepan.

"Oh gitu, sini mbak saya benerin dulu syalnya! Ada kotoran juga!" ucapku menghampiri sang istri pertama. Iapun terlihat pasrah dan menerima bantuanku.

"Cari muka!" gumam mbak Damai menyindir perhatianku yang tulus.

Mbak Sonia dan aku hanya melihatnya sambil bergeleng kepala.

Terlihat istri ketiga yang usianya paling tua diantara kami itu belum selesai makan padahal ia sudah sarapan lebih dulu daripada aku.

Selain itu, hal yang membuatku heran adalah caranya duduk dimeja makan, serampangan karena sebelah kakinya sudah naik ke atas kursi demi menghabiskan makanan.

Setelah syal dilehernya aku rapikan, Mbak Sonia terlihat mendengkus meraih tas mahalnya, iapun berlalu tanpa banyak bicara karena sepertinya ia kesal melihat kelakuan Mbak Damai.

"Huaaah, habis ini kamu cuci piring dan cuci pakaian, soalnya pembantu disini sedang cuti!" ucap Mbak Damai meninggalkanku tiba-tiba, lalu kembali mengunci pintu kamarnya.

Dengan pergerakan yang masih tak normal akibat ulah Mas Azka semalam, aku tetap melaksanakan tugas dari maduku dengan suka rela.

"Gak ditempat kerja, dirumah suami, kerjaanku tak jauh jauh dari sabun dan mesin cuci, ih bosannya!" walau nyatanya akupun tetap menggerutu juga.

Praang

Aku terjengkit kaget saat sibuk berkutat dengan cucian lalu terdengar suara sebuah benda yang jatuh menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Aku yang penasaran akhirnya melangkah menuju dapur bersih tempat kami sarapan tadi, dari kejauhan kulihat kulkas mewah disana sudah terbuka dan disekitarnya berserakan serpihan gelas kaca yang pecah ditimpali susu segar yang tumpah.

Akupun perlahan mendekat untuk melihat siapakah pemilik kaki mungil yang sedang berjongkok dibalik pintu kulkas yang sudah terbuka.

"Mommy!" teriak seorang anak lelaki, dengan mulutnya yang cemong, ia bangkit menghadapku sehingga aku kembali terjengkit.

"Astagfirullah!" ucapku memegang dada.

"Mommy, yapay!" ucapnya dengan pelafalan yang tak sempurna, sambil menjilat-jilat selai kacang yang berasal dari kulkas dengan rakus.

"Mom onya!" ucap si anak lelaki itu lagi, dengan tampilan yang berbeda dari anak-anak lain pada umumnya.

Setelah ku teliti, bocah dengan perkiraan usia lima tahunan itu ternyata adalah anak yang istimewa, menurutku dia adalah anak berkebutuhan khusus setelah mendengar caranya berbicara dan dari tatapan polos dimatanya saat mengajakku berinteraksi.

"Mom!" aku reflek mengikuti ucapannya sambil mengedarkan pandangan di sekitar.

Apakah disini ada orang selain aku, yang dia panggil mom?

"Mana Mom ... Mom Onya mana Mom!" ucapnya lagi heboh, melihatku yang asing, bocah itu seperti merasa terancam.

"Shhuut ... jangan berteriak!" pintaku hati-hati.

Walau anak itu terlihat waspada dan menjaga jarak, tapi ia cukup patuh pada peringatanku dan mulai tenang.

"Boleh aku tahu, siapa Mom onya?" tanyaku mencoba berinteraksi, sebab disini tak ada siapa-siapa.

"Huaaammm, mom?" rengeknya ketakutan.

"Kau tidak boleh menangis, aku akan membawamu pada Mom Onya, tapi beritahu aku dulu, siapa dia?" pelan-pelan kucoba kembali menyelidik sembari mendekati perlahan, karena aku mulai khawatir pada langkahnya yang terus mundur sementara ada beling dilantai.

"Apa Mommy mu tinggal disini?"

"Heemm!" bocah lelaki itu tiba-tiba mengangguk membenarkan.

"Loh, katanya ketiga istri mas Azka belum ada yang bisa hamil, lalu ini?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
anaknya othor percaya deh ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status