Share

2. Sah Menjadi Istri Keempat

Akhirnya, aku mendapatkan suami yang bisa menjamin kebutuhan hidup, sementara pria bernama Azka dan istrinya pun akan terhindar dari fitnah?" batinku yang lelah berperang akhirnya memilih berdamai.

"Saya terima nikah dan kawinnya, Elva Ivara binti Marwansyah dengan mas kawin seperangkat alat sholat ,10 gram logam mulia dan uang sebesar sepuluh juta rupiah, dibayar tunai."

"Bagaimana para saksi, sah?" tanya pak penghulu menoleh ke kanan dan kiri.

"Sah!"

"Sah!"

"Sah"

Aku terpejam menyimpan bulir bening dipelupuk mata, manakala seorang pria yang sudah beristri tiga baru saja menyebut namaku lengkap dengan waliku dengan satu tarikan napas, disusul gumaman para lelaki diluar sana mengucap rangkaian tiga kata keramat itu secara berurutan.

Pernikahanku telah sah dimata agama, lelaki tampan yang menjabat tangan ayahku sudah SAH menjadi suamiku.

ALHAMDULILLAHnya lagi, mulai hari ini aku resmi menjadi istri ke empat dari seorang pria muda dan tampan dengan bulu-bulu tipis di sekitar rahangnya.

Akupun menengadahkan tangan, disaat para tokoh agama dalam acara itu menyampaikan serangkaian doa untuk kami semua.

Ya... Nyatanya doa tersebut bukanlah ditujukan untukku dan Mas Azka saja sebagai mempelai, namun juga doa tersebut mencakup kemakmuran tiga istri Mas Azka sebelumnya yang kini duduk dibelakangku bersisian, dan dengan kompaknya mengenakan kebaya berwarna senada.

Agak lain memang, karena sejujurnya akupun merasa risih dengan pernikahan semacam ini, yang pastinya akan mendapat beragam komentar dari berbagai macam pola pikir.

Namun, apa boleh buat.

Demi ayahku, sekali lagi aku tekankan, pernikahan ini kulakukan demi ayahku. Andai saja tak beralasan, akupun tak mau berada di posisi menjadi istri ke empat, seakan stok lelaki perjaka didunia ini sudah sould out.

"Ini kamar kamu, untuk sementara!" ujar mbak Lena singkat, bos yang kini menjadi maduku itu berbaik hati mengantarkanku menuju kamar pengantin setelah acara selesai.

"Terimakasih!" kuucapkan dengan tulus kata tersebut karena memandang kebesaran hatinya.

Kulihat, mbak Lena hanya mendengkus dan berlalu begitu saja, wajahnya memang terlihat ketus tapi dia cukup baik jika diajak bicara. Untuk sekarang, hanya mbak Lena yang lumayan sering berinteraksi denganku.

Akupun memasuki kamar itu, wangi semerbak bunga yang menghiasi kamar membuat hatiku bergetar. Betapa tidak, wanginya sangatlah tajam dan begitu mengundang sesuatu, hatiku langsung bergelora ketika menyentuh wewangian itu.

Sambil berjalan sendu, akupun membayangkan bagaimana reaksi suamiku saat memasuki kamar ini, apakah ia juga akan langsung merasakan sensasi sama sepertiku?

Karena penat dengan pakaian pengantin serta riasan tebal yang jarang sekali kukenakan, akupun perlahan menanggalkannya satu persatu dari tubuh. Duduk sendiri di meja rias, dengan status sebagai istri, kini aku ratapi pantulan itu disana.

Ya sudahlah, untuk apalagi disesali, akan lebih baik jika aku berdamai saja dengan keadaan, toh suamiku bukanlah seorang juragan tua yang jelek dengan perut buncit yang menjijikan, seperti yang ada di cerita-cerita novel.

Meski telah memiliki tiga istri, suamiku itu masih tetap berpotensi menjadi incaran para pelakor. Tidak hanya karena ketampanannya, tapi juga dari segi material, dia cukup mapan untuk dikategorikan sebagai suami idaman.

Cekrek

"Astagfirullah!" aku terjengkit kaget dengan suara pintu kamar yang terbuka.

Dikala aku sedang duduk melamun dengan kedua tangan bekerja membenahi diri untuk kembali menjadi Elva yang sebenarnya.

Rupanya mas Azkalah yang baru saja masuk ke kamar kami, pria itu menutup kembali pintunya dari dalam dan menatapku dingin.

"Maaf mas!" ucapku tertunduk sambil memegangi dadaku yang jantungnya hampir lepas, jujur saja aku belum siap bertemu dengannya.

"Pintunya tidak dikunci!" ucapnya singkat seraya berjalan elegan kearahku, pakaian kami yang masih kompak membuat keindahan terbingkai di cermin.

Sudut bibirku tertarik kesamping saat melirik pantulan kami berdua.

"Tidak apa-apa mas!" sahutku pelan, tak berani mendongak.

Aku tidak yakin bisa berlama-lama melihat wajah dan ketampanan paripurna itu, sungguh suamiku ini membuat dadaku berdebar kencang sekali, bahkan jika menurut keegoisan hati, rasanya aku tidak rela membaginya dengan ketiga istri mas Azka yang lain.

Tapi bukankah aku tidak tahu diri jika memikirkan hal demikian?

Aku menghela napas lega ketika mas Azka berlalu dan pergi ke kamar mandi, karena tadinya aku sudah terlalu percaya diri jika pria itu akan mendekat dan membelai atau mencium keningku.

Tuiing

Maka, kudoronglah pelan sisi kepalaku sendiri atas pemikiran bodoh itu.

Akupun kembali melanjutkan kegiatan melepas riasan yang tadi sempat terjeda.

"Akkhh, susah sekali!" gumamku ketika kesulitan membuka resleting gaun pengantin berwarna putih yang kukenakan. Tubuhku melentik kebelakang saking inginya melepas gaun tersebut, walau tak terlalu mewah namun tetap saja aku tak terbiasa mengenakannya berlama-lama, karena jika malam tiba, maka piyama dan daster lah pakaian wajibku semenjak remaja.

"Jangan bergerak, rambutmu terlilit!" ujar si pria berwajah dingin itu menghampiriku dan berdiri tepat dibelakangku.

Aku sempat terbelalak mendengar suaranya yang entah sejak kapan ada dibelakangku, akupun langsung memejamkan mata karena malu, mengapa harus mas Azka yang melakukannya?

Selama itukah waktu yang kubutuhkan hanya untuk melepas gaun sederhana ini? sampai-sampai aku kalah cepat dengannya yang kini ia sudah tampan dan segar setelah mandi.

"Tuhan, jangan sampai di momen malam pertama ini bau tubuhku sampai merusak suasana." hatiku bergumam sementara kedua mataku terpejam merasakan gelitikan tangan tegas mas Azka yang bergerilya dibelakang tubuh.

Setelah ia menurunkan kembali rambut panjangku yang tadi menganggu, iapun memutar tubuhku untuk menghadapnya.

"Lain kali, buka resletingnya dulu baru lepas ikatan rambut, daripada nyusahin dan buang-buang waktu!" omelnya didepan wajahku setelah repot membenarkan rambutku yang terlilit.

Pria berwajah datar itupun berlalu setelahnya, tanpa peduli dengan perasaanku.

Akupun memicing sambil mencebik dalam hati. Demi apa, baru hitungan menit berada satu ruangan namun ia sudah berkali-kali membuat jantungku hampir lepas.

"Tidak bisakah dia berkata lebih lembut lagi?"

"Elva!"

"Elva!" panggilnya lagi menyentak lumunan, karena hingga panggilan yang kedua kali aku masih tak menyahut.

"Eh, iya Mas!" sahutku ikut tersentak.

"Nama kamu Elva, kan?" ulangnya mengerutkan kening.

"Terserah mas saja, enaknya dipanggil apa!" aku menjawab seraya melirik keatas ragu-ragu.

"Saya bertanya, bukan meminta pendapat!" ujarnya ketus.

"Aisshhh, salah lagi!" gumamku mendesah lelah sambil memperhatikan pria itu berjalan mengambil setelan piyamanya.

"Malah melamun, kamu belum sholat kan?" tanya mas Azka mengingatkan.

"I-iya mas belum!" jawabku bergegas berbalik dan melangkah ke kamar mandi.

"Cepat, saya tunggu!" teriak mas Azka yang sukses membuat langkahku terhenti.

"Apa tadi? Tu-tunggu!" akupun membeo seperti orang bego.

Meski masih bingung dan bertanya-tanya, namun aku tidak ingin mengecewakan mas Azka kali ini.

Dia sudah menjadi suamiku sekarang dan kata-katanya adalah perintah untukku, selagi itu baik maka tak ada alasan untukku menolaknya.

Setelah bergegas membersihkan diri di kamar mandi, akupun keluar dari sana dengan takut-takut.

Jleb

Mas Azka tiba-tiba berdiri didepanku sambil melipat kedua tangan didada.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
orang mah mlm pengantin tuh dibikin deg degan m sikap suami lah c elva di buat degdegan krn gara2 diomelin bnr2 kau azka pelan dikit bisa g jg ngegas mulu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status