"Saya akan bebaskan Pak Marwan dari penjara, asal kamu mau menikah dengan suami saya!" tawar mbak Lena tiba-tiba menghampiriku seraya bersedekap.
Aku yang sedang bekerja didepan mesin cuci seketika terdiam mendengarnya, padahal niatku hanya minta kasbon sembari menceritakan musibah yang menimpa orangtuaku satu-satunya itu. Dan demi dapat mengantarkan makanan kesukaan bapak, aku rela meminta gajiku diturunkan lebih awal kepada mbak Lena, selaku pemilik usaha laundry di tempatku bekerja. Akan tetapi, wanita itu justru menawarkan hal yang aneh sekali. "Maksud mbak Lena ...?" tanyaku dengan kalimat menggantung, sebab aku tak sanggup melanjutkannya. Sebagaimana seorang perempuan, tentu saja aku merasa heran dengan penawarannya, apa aku tidak salah dengar? "Kamu sudah kenal Mas Azka, kan?" tanya bosku itu lagi tak sabar, karena aku malah mematung ditempat. Akupun reflek mengangguk sambil teringat jika suaminya yang pernah datang sekali itu ternyata adalah kakak kelasku semasa SMA. Namun, aku hanya sekedar tahu namanya saja, karena dulu Azka adalah siswa populer dan idola pada masanya, hanya itu. Aku bahkan tak pernah sekalipun bertegur sapa dengannya. "Jadi, kamu mau atau tidak? Asalkan kamu mau menikah dan segera hamil, saya jamin bapakmu akan bebas!" tanya mbak Lena lagi dengan mudahnya, ia menuntut jawabanku segera. "Hah!" Apalagi ini, pasangan macam apa mereka? ... kenapa malah meminta anak dariku? Aku tahu mbak Lena memang belum memiliki anak, tapi... Aku hanya bisa mengerjap heran dengan mulut yang terbuka seraya memandang wanita itu. Tahu aku sedang membatin mencerna kalimatnya dengan penuh tanda tanya, mbak Lena mendengkus panjang lalu menghubungi seseorang. Karyawan lain pun diminta menggantikan tugasku, tanpa bertanya lebih dulu, wanita itu langsung mengajakku pergi ke sebuah restoran. "Ini mbak Sonia, istri pertama Mas Azka!" Degh Seruan mbak Lena kembali membuatku takjub tak habis pikir. "Ini yang namanya Elva, mbak?" beritahu Lena pada Sonia seraya menyenggol lenganku, berisyarat agar aku segera mengulurkan tangan untuk menyalami wanita elegant berwajah cantik dengan tampilan ala-ala wanita karier tersebut. "I-istri pertama ...!" beoku kemudian, dengan kening berkerut dalam. "Saya istri pertama Azka Fadillah!" sambungnya menegaskan informasi tersebut. Akupun melirik mbak Lena bingung, sembari otakku otomatis bekerja. Jika wanita ini adalah istri pertama, maka mbak Lena adalah istri kedua, lalu jika aku menjadi istrinya ... berarti aku adalah urutan berikutnya? Tuhan, seplayboy itukah? Sementara itu, mbak Lena masih sibuk memintaku untuk meraih tangan wanita berkelas dihadapanku. Dengan ragu, mau tak mau aku segera mengulurkan tangan sambil memperkenalkan diri, senyumku yang dipaksakan pun mungkin telah terbaca oleh mereka berdua. Untung saja, mbak Sonia tidak banyak berkomentar, ia menyambutku dengan ramah lalu mempersilakan kami duduk. "Poin pertama, kamu harus bersedia menikahi mas Azka. Poin keduanya, kurang dari dua tahun kamu harus bisa melahirkan anak untuknya!" ucap mbak Sonia begitu lugas tanpa berbasa-basi. Gleg Kupikir setelah bertemu wanita anggun ini, rasa penasaranku akan terjawab. Tapi nyatanya, ia malah menodongku dengan pertanyaan yang sama, bahkan lebih rinci dan gamblang dari sebelumnya. Sementara aku masih menautkan kening, tak percaya dengan drama mereka. Apa ini hanya jebakan? "Say-saya ... !" "Saya jamin, besok lusa bapak kamu sudah bebas, jika kamu bersedia!" Belum sempat aku menyelesaikan ucapan, mbak Sonia segera menyela dan terus mengimingiku dengan penawaran yang menggiurkan. Seolah tak ingin mendengar alasanku apalagi penolakan, wanita itupun menjelaskan tentang apa dan mengapa ia sampai merencanakan pernikahan suaminya. Lagi, ia juga memberikan penjabaran tentang keuntungan yang akan aku dapatkan jika mau bekerjasama dengannya. Tak kalah penting dan tak kalah mengejutkan, Kedua wanita itu akhirnya memberitahuku jika selain mereka berdua rupanya lelaki bernama Azka itu juga telah mempunyai istri yang lain. Meski tidak hadir pada pertemuan ini, namun Lena dan Sonia berani menjamin jika istri ketiga itu tidak akan keberatan dengan keputusan mereka. Aneh sekali bukan? "Maaf sebelumnya, bukan maksud saya menyinggung perasaan kalian, ta-tap .. tapi, apa kalian sadar dengan yang kalian lakukan?" tanyaku berhati-hati, pada dua wanita itu melihatnya bergantian. "Dan saya yakin, mbak Sonia juga tidak akan bertindak sembarangan!" tambahku lagi melirik wanita pintar diseberangku. Sonia tidak langsung menjawab, ia menghela napas dalam-dalam lalu menghembusnya kasar sebelum buka suara. "Saya rasa, kamu juga cukup bijak dalam menentukan pilihan, anak dan orangtua adalah dua hal yang sama penting, bukankah ini sudah setimpal!" sahut mbak Sonia tajam. Dan akupun langsung terdiam kembali. Sejujurnya, aku butuh bicara berdua dengan pemilik nama yang sejak tadi kami bicarakan, namun ketika mengingat sosoknya sembari memejamkan mata, entah kenapa berkali-kali ucapanku seolah tertahan di tenggorokan. "Saya beri kamu waktu satu hari untuk berpikir!" putus Sonia, sebab belum mendapatkan kepastian dariku. Wanita itu melihat ke arah jarum jam dipergelangan tangan sebelum beranjak meninggalkan aku bersama Mbak Lena dengan kebimbangan luar biasa. *** Kuhempas tubuh yang lelah ini diatas tempat tidur, pandangan ku lurus keatas menatap langit-langit sembari menyelami kembali kalimat-kalimat ajaib yang terlontar dari dua wanita yang kutemui tadi siang. Kuakui, aku cukup tergoda dengan penawaran itu karena membebaskan bapak dari jeruji besi adalah hal yang sedang aku perjuangkan saat ini. Akan tetapi, mengingat kesepakatan yang tidak biasa dan lumayan berat itu, akupun harus mempertimbangkannya ratusan kali. Ayolah ... Ini perkara anak, bagaimana caranya agar aku bisa segera hamil sementara cinta saja kami tidak punya? Belum lagi, seorang anak tidak selayaknya dijadikan bahan mainan, perjanjian atau alat pembayaran dan sebagainya. Apakah mereka tidak mengerti, seandainya aku menikah dan memiliki anak bersama lelaki itu, artinya aku dan Mas Azka akan semakin memiliki ikatan erat. Bahkan, sekalipun kami telah menyadari tidak adanya cinta selama pernikahan, kami tidak bisa dengan mudahnya memilih berpisah, sebab kami memiliki tanggung jawab untuk masa depan anak itu. "Kamu tidak perlu khawatir, tidak ada tuntutan perceraian setelah kamu melahirkan, dan kamu juga memiliki hak selayaknya istri-istri yang lain." salah satu ucapan mbak Sonia yang mungkin bisa kupegang kuat untuk menyetujui kesepakatan ini. "Apakah aku harus mengiyakannya?" gumamku dalam hati. Mungkin dengan pernikahanku, setidaknya bapak tidak akan lagi membanting tulang dan menjadi supir truk yang mengantuk diperjalanan, dan akupun tak perlu khawatir dengan insiden kecelakaan yang memakan korban jiwa itu terulang kembali. Melihat bapak yang tersenyum damai padaku setiap hari, adalah impianku. "Apa ini yang dinamakan Win win solution?Akhirnya, aku mendapatkan suami yang bisa menjamin kebutuhan hidup, sementara pria bernama Azka dan istrinya pun akan terhindar dari fitnah?" batinku yang lelah berperang akhirnya memilih berdamai. "Saya terima nikah dan kawinnya, Elva Ivara binti Marwansyah dengan mas kawin seperangkat alat sholat ,10 gram logam mulia dan uang sebesar sepuluh juta rupiah, dibayar tunai." "Bagaimana para saksi, sah?" tanya pak penghulu menoleh ke kanan dan kiri. "Sah!" "Sah!" "Sah" Aku terpejam menyimpan bulir bening dipelupuk mata, manakala seorang pria yang sudah beristri tiga baru saja menyebut namaku lengkap dengan waliku dengan satu tarikan napas, disusul gumaman para lelaki diluar sana mengucap rangkaian tiga kata keramat itu secara berurutan. Pernikahanku telah sah dimata agama, lelaki tampan yang menjabat tangan ayahku sudah SAH menjadi suamiku. ALHAMDULILLAHnya lagi, mulai hari ini aku resmi menjadi istri ke empat dari seorang pria muda dan tampan dengan bulu-bulu tipis
"Masih belum?" tanyanya sambil mengernyit heran. "Sudah Mas!" aku menjawab sekenanya. Walau aku masih ragu sebenarnya pria itu mau menanyakan tentang apa. "Kalau sudah mandi, kenapa masih pakai baju itu?" tanyanya memindai sekujur penampilanku. Akupun tersenyum palsu, untuk menutupi rasa canggung bercampur rasa takut pada komentarnya lagi. "Elva belum punya baju ganti, mas!" akupun memberitahu dengan ragu-ragu. Dalam diam, Mas Azka menganggukkan kepalanya mengerti. "Ok, mau saya pinjamkan baju sama Sonia, Lena, atau Damai?" tanyanya memberi pilihan. "Ti-tidak usah mas!" selaku cepat. Jujur, aku sedikit kecewa karena mas Azka hafal betul urutan nama istri-istrinya. Tapi bukankah itu memang harus, tak mungkin juga mas Azka hanya mengingat satu nama istri saja, dan bukankah itu bentuk jika dirinya memang mampu memiliki istri empat? Mas Azka kemudian berlalu tanpa banyak bicara lagi, dan akupun gegas mengenakan mukena terbaru pemberiannya. Kupikir pria itu ak
Tiba-tiba saja maduku mbak Damai bertanya demikian, dengan wajah datar sambil menyuap sarapannya, seolah yang dibicarakan bukanlah suaminya sendiri. Aku tak habis pikir. Bisa bisanya ia bertanya seperti itu. Aku yang sempat tersedak lalu meneggak segelas air kemudian mengangguk malu-malu memberi jawaban jujur pada wanita itu. "Trus kamu berhasil dapat apa, Ruko, Mobil, atau Rumah?" tanya Lena menambahkan. Ekspresi wanita itupun sama, yaitu biasa saja. Padahal kemarin-kemarin mbak Lena mengaku sangat mencintai mas Azka, sebagai istri ke-2 cinta seperti apa yang dimaksud, jika responnya sebiasa itu saat tahu sang suami baru saja menikmati malam pengantin dengan wanita lain? Akupun menggelengkan kepala, "Saya tidak minta apa-apa sama Mas Azka!" jawab ku kemudian. Sonia yang merupakan istri pertama tiba-tiba menghentikan makannya lalu menyipitkan mata kepadaku. "Kamu ini bodoh atau apa, masa iya seorang gadis menyerahkan keperawanannya tanpa minta imbalan!" tanya Son
"Enak makanannya?" tanyaku kepada bocah lelaki dihadapanku yang kelihatannya lapar sekali. Iapun menjawabku sambil mengangguk girang tak berhenti mengunyah. Usut punya usut bocah yang lumayan mudah diajak berinteraksi itu bernama Chandra dan dia juga mengakui bahwa Mas Azka adalah papanya setelah aku menunjukkan foto suamiku yang tersimpan di galeri ponsel. Betapa kecewanya hati ini, setelah drama tentang mencoba mengikhlaskan berbagi suami belumlah usai, kini akupun harus menerima sebuah kebohongan yang baru terungkap. Ternyata anak yang sedang lahap menyantap telor ceplok buatanku adalah anak sambungku sendiri. Teganya mereka semua, ini lebih menyedihkan dari menikahi seorang duda berbuntut tiga. Parah, kebohongan Mas Azka dan tiga istrinya sangat-sangat membuatku kecewa. Akupun segera berlalu setelah berhasil menenangkan anak lelaki itu kembali ke kamarnya. Sumpah ... Belum genap sehari aku tinggal disini, tapi mereka sudah berkali-kali membuatku kecewa. Entah kebo
"Pak!" panggilku cepat pada sosok lelaki paruh baya yang baru tiba dengan tas besarnya.Kebetulan, aku baru saja selesai menjemur pakaian disamping rumah yang masih bisa melihat ke arah sana."Elva!" balasnya seraya tersenyum menyambut kedatanganku yang segera menghampiri.Setelah aku menyalaminya, beliau sekilas memindai sekujur tubuhku yang masih mengenakan kemeja kebasaran milik suamiku, untungnya sekarang aku sudah memakai legging daleman gaunku kemarin, jadi aku tak terlalu terlihat mengenaskan didepan orangtuaku."Maaf, kemarin tas kamu malah kebawa bapak lagi !" ucapnya seraya meninggikan tas besar tersebut didepanku."Gapapa pak, yuk masuk!" segera kuseka keringat, sambil menggiring beliau masuk ke rumah bersama yang kutempati bersama tiga istri mas Azka lainnya.Seraya melangkahkan kaki, terdengar helaan napas bapak sedang mengedarkan pandangannya pada keadaan rumah suamiku yang cukup besar ini."Rumah kamu nyaman ya?" komentarnya reflek penuh syukur. Untuk kesan pertama ku
"Mas!"Aku kembali terpekik melihat suamiku yang baru pulang itu, wajahnya yang lelah membuatku bangkit menghampiri untuk membantunya membuka pakaian."Sini tasnya mas!" ucapku menyambut tas kerja yang ia bawa. Pria itu memberikannya tanpa banyak drama. Sebagai istri yang baik, aku berlanjut membantu mas Azka melepaskan jas dan kemejanya satu persatu.Bekerja seharian dan harus pergi keluar kota demi menghidupi empat istri dan satu anak tentunya sangat melelahkan bukan? Dari itu, aku mencoba mengerti kondisi suamiku, dengan tidak langsung bertanya. Walaupun sebenarya isi kepalaku sudah hampir meledak ingin menuntut penjelasan tentang keberadaan Chandra.Setelah pakaian formal itu terlepas menyisakan celana panjang saja, ia berlalu menuju kamar mandi tanpa menoleh padaku sedikitpun.Sedangkan aku hanya bisa mendesah melihatnya, sungguh aku merasa hanya menjadi penambah bebannya saja, dan pernikahanku ini entah akan kemana tujuannya."Kamu sudah makan?" tanya mas Azka muncul mengagetk
"Ap apa mas?" tanyaku serak, sebab pertanyaan suamiku kurang jelas terdengar. "Apa kamu sudah minum obat dari Lena?" mas Azka mengulang. "I-itu, saya lupa mas!" akuku dengan jujur. Sebab, aku tak pandai berbohong apalagi didepan mas Azka dalam keadaan seperti ini. Lenguhan saja kusuarakan dengan lantang, walau otak ini melarangnya, tapi bahasa tubuhku memang kelewat jujur dan susah diajak bekerjasama. "Serius kamu lupa meminumnya?" tanya mas Azka memastikan. Akupun terpaksa mengangguk lemah, diri ini pasrah dan sudah siap mendapat makian darinya. Terserah lah, kedepannya mas Azka mau marah sebab ini sudah kedua kalinya kami berhubungan tanpa bantuan obat penyubur itu, sedangkan yang kutahu tujuannya menikahiku pun dengan alasan ingin memiliki anak kandung. "Bagus!" serunya tiba-tiba mengecup bibirku lembut, namun sama sekali tak memberikan penjelasan apa-apa padaku yang terkesiap dengan mata membulat sempurna.Masih dalam posisi yang sama, ia melanjutkan kegiatan pa
Terpaksa kulontarkan kalimat tak pantas itu pada suamiku, sebab emosiku mulai memuncak dan gemas padanya.Pria itu cukup terkejut mendengarnya karena mungkin ia tidak menyangka jika aku bisa menuduhnya seperti itu.Memangnya aku harus bagaimana lagi?Mas Azka terlihat menghentikan langkahnya, ia menoleh padaku lagi dengan tatapan yang sulit kuartikan."Kamu menganggapku seperti itu?" Mas Azka malah balas bertanya, ia menatapku tajam seolah menanti jawaban dariku.Namun, kesempatan menjawab itu tak aku manfaatkan dengan baik, bertemu dengan tatapan matanya seperti membuatku bungkam tak bersuara. Pria itu mendengkus kasar dan lanjut berlalu mengetahui aku yang tak punya jawaban pasti. Sepertinya ia paham betul jika yang terlontar dari mulutku hanyalah sebuah luapan emosi."Baiklah! Elva minta maaf karena sudah lancang!" batinku seraya menunduk merelakan mas Azka keluar dari kamar ini.Ya ... mungkin akulah yang terlalu sensitif, mungkin aku yang terlalu berburuk sangka, mungkin aku y
Belum tuntas rasa penasaranku tentang skandal yang disembunyikan mas Azka dan mbak Sonia akhir-akhir ini, tapi sekarang pria itu membuat perkara baru, yakni tak membiarkan aku bertemu muka dengan para istri-istrinya, ada apa sebenarnya?Padahal, baru saja aku ingin membuka komunikasi lagi dengan mereka termasuk pula Chandra, karena harus kuakui aku mulai menerima mereka semua, yang kini telah kuanggap adalah bagian dari diriku. Sekalipun tidak serta-merta kami semua akan selalu berbahagia dan saling menghormati, dan tak ada jaminan jika kami akan terus selalu akur, tapi aku yang menginginkan kerukunan terus terjaga tentu akan berusaha berbuat yang semestinya. Namun, belum apa-apa semangatku sudah terpatahkan oleh sikap mas Azka yang tidak jelas."Apa mas? Kamu kembalikan aku ke bapak, apa itu artinya kamu benar-benar ingin melepaskan aku?" tentu saja, dengan cepat kuajukan pertanyaan itu, mempertanyakan maksudnya, aku butuh kejelasan, aku butuh konfirmasi tentang sikapnya.Sekalipun
"Hueeekkk..." Terjadi lagi, dihari ketigaku dirumah bapak, aku mengalami mual-mual yang cukup parah, entah apa sebabnya setiap bangun tidur aku merasa kepala ini berputar-putar sampai-sampai aku tak kuasa untuk bangun walau hanya sekedar melaksanakan sholat subuh yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit.Alhasil, selama dua hari ini aku selalu sholat dalam keadaan tak menentu, kemarin aku bisa sholat berdiri meski tak mampu lama dan itu bisa kuatasi dengan menambahkan surah pendek saja, akan tetapi hari ini aku tak bisa bangun sama sekali, dan hasilnya aku baru bisa bangun jam setengah sebelas pagi.Anehnya lagi, setelah pagi hari berakhir dan matahari mulai meninggi aku kembali segar seolah tak terjadi apa-apa. Dan masa segarku itu kumanfaatkan dengan memakan makanan beragam yang dibawa bapak sepulang dari pasar.Seperti pagi ini misalnya, setelah mual-mualku berhenti, akupun dengan lahap memakan buah pisang segar yang baru dipetik dari pohon. Rasa buahnya terasa sangat nikmat u
Dak dek dak dek, dalam suasana seperti ini, malah pura-pura mesra.. gak ngaruh!Aku langsung saja tersenyum kecut setelah membaca pesan mas Azka. Bagaimana mungkin ia bisa bersikap seolah tak terjadi apa-apa setelah mengabaikanku begitu saja. Aku sangat tidak mengerti dengan jalan pikirannya.Pesan mas Azka tak kugubris sama sekali, jangankan untuk membalasnya, menyentuh ponselnya pun aku sangat malas. Karena diri ini sudah mulai lelah, bergegas kuambil handuk dan menuju kamar mandi. Hari masih pagi dan udara sekitar pun masih segar dan dingin, Dihalaman belakang, kulihat bapak yang mulai memanen pakcoy yang siap dipilah pilih sebelum akhirnya diedarkan kepada para langganan. Halaman belakang rumah kami memang memiliki luas yang tidak seberapa, akan tetapi dengan lahan itu cukup membuat bapak kewalahan merawatnya, apalagi beliau belum memiliki anakbuah yang membantu pekerjaannya, semuanya dilakukan sendiri, untungnya lagi sayuran organik tidak terlalu sulit dibudidayakan."Ngapain l
"Hahahaaa, kamu lebay nak." Gelak tawa bapak yang menggema diruang utama kediaman kami segera membuatku mendesah berat. Setelah mendengar ceritaku tentang mas Azka yang tiba-tiba membawaku ke Australia, lalu tiba-tiba mengajak pulang padahal belum sempat kami menikmati waktu berdua, kemudian aku yang istri sah mendadak diminta untuk bersandiwara menjadi asisten, seolah tidak ada hubungan apa-apa selain karena pekerjaan. Tak membuat pria yang telah merawatku sejak kecil itu emosi.Lantas ia malah menertawakan cerita itu, memangnya ada yang lucu?Lebay??? ada yang bisa menjelaskan, dimana lebaynya.Tak habis pikir dengan tanggapannya, hingga bibirku sudah maju seperti bebek. Apalagi sejak memulai cerita, aku sudah sesegukan merasa yang kualami ini teramat pahit. Anehnya, bukannya membelaku bapak malah tertawa gelak, ia gemas padaku dan mencubit pipiku. "Kok bapak malah ketawa sih?" kulontarkan pertanyaan itu dengan nada kecewa, apakah bapak tidak kasihan pada anaknya ini? harusnya b
ByurTanpa mau mendengar ucapan mas Azka, wanita itu tiba-tiba saja mendekat lalu menyiram kepalaku dengan segelas air. Air minum yang baru saja kupesan untuk makan malam dengan suamiku. Seketika aku menggigil kedinginan, bukan hanya karena air yang baru dibawa pelayan itu adalah air es, namun juga bercampur dengan perasaan sakit serta kecewa hati yang tak terbendung, ditambah lagi mas Azka tak melakukan pembelaan sedikitpun setelah melihat kejadian itu."Irmaaa!" teriaknya mungkin cukup menggema namun tubuhnya mematung kaku seperti robot yang nonaktif.Sekalipun bola matanya melotot, dia tak membentak, menampar atau menyiram balik tubuh wanita itu dengan segelas air minum yang tersisa, melainkan ia menarik tangan wanita itu untuk menjauh dari hadapanku, membiarkan aku sendirian memeluk tubuh diselimuti tatapan miring orang-orang sekitar termasuk para karyawan restoran.Jujur aku kecewa, mengapa disaat seperti ini sikap mas Azka malah tidak tegas, sebagai perempuan yang menyandang s
KletakKletakJari jariku secara berurutan mengetuk permukaan meja hingga berbunyi. Sedangkan sebelah tangan menopang dagu dengan siku yang bertumpu pada meja itu pula.Aku mendesah malas seorang diri, semangatku dan rasa laparku yang tadi kubawa ke tempat ini akhirnya tak terasa lagi. Semuanya berganti dengan rasa bosan yang mendera.Setelah membalas pesanku dan memberi jawaban bersedia, mas Azka kembali membuatku kesal karena aku harus menunggunya seorang diri. Walaupun menyetujui ajakan itu, nyatanya aku masih merasa tak diinginkan mengingat pertemuan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, aku tidak tahu seluas apa pengaruh keluarga mbak Sonia di Sukabumi, sampai-sampai suaminya yang cukup memiliki power pun tak bisa leluasa."Mas!" seruku terjengkit saat seseorang tiba-tiba menepuk bahuku, akupun reflek menyebut sosok yang sedang aku tunggu-tunggu."Sudah lama?" tanyanya tanpa basa-basi mengambil posisi duduk didepanku, tempat duduk yang memang tersedia untuknya."Enggak kok!" j
Aku melirik mas Azka yang lebih dulu keluar dari mobil. Sementara aku diminta membawa berkas-berkasnya.Layaknya seorang asisten, akupun menyusul dengan kehebohan dari beberapa barang bawaan, sedang mas Azka kini berjalan mendahuluiku menemui kliennya.Jam menunjukkan pukul empat sore. Tak tahu berapa lama kami diperjalanan dari Australia hingga akhirnya sampai ke Sukabumi, tapi yang kurasakan disini adalah rasa lelah yang luar biasa, rasanya aku tak kuat untuk sekedar mengangkat ujung kaki, apalagi harus mengangkat seluruh tubuh apalagi medan yang harus kami lalui ternyata adalah perbukitan yang dikelilingi perkebunan teh. Ingin sekali aku berhenti dan menjatuhkan diri saat melihat bentangan vertikal alam yang menghijau, karena dari sudut pandangku yang lelah ini, semuanya bagai kasur empuk yang melambai dan minta ditiduri. "Akhh... jatuh diatas daun teh yang merapat ini sakit tidak ya?" tanyaku pada diri sendiri, sekedar untuk memberi semangat agar aku bisa melanjutkan perjalanan
"Mas kenapa gak ngajak mbak Sonia?" tanyaku berbarengan menghempas tubuh diatas kursi kabin pesawat."Maksud kamu apa?" bukannya menjawab, mas Azka malah balik bertanya.Sesak didada membuatku menghela napas panjang sebelum memberikan jawaban yang diinginkan."Mas tahu aku tidak bisa apa-apa, lantas kenapa malah mengajakku untuk terlibat dengan pekerjaan ini, bukannya mbak Sonia yang lebih berpotensi menjadi seorang asisten." jelasku pada akhirnya.Mas Azka langsung menghentikan gerakannya saat mengetik sesuatu pada laptop. Bahkan untuk fokus menjawab pertanyaanku, ia langsung mematikan benda pipih itu lalu menyimpannya."Mas pergi ke Australi bukan karena ingin bulan madu, kan?" tebakku disaat mas Azka baru saja membuka mulut. Namun saking tak sabarnya aku sampai tidak memberinya kesempatan untuk mulai bicara."El, sudah ya. Keberangkatan ini memang sekaligus untuk urusan pekerjaan. Tapi kita juga masih bisa memanfaatkan sisa waktunya berdua, Apa itu yang kamu permasalahkan? bukankah
KlentingKlentingBunyi halus suara dentingan sendok yang diaduk didalam cangkir berisi teh hangat menemani suasana pagiku dan suami didalam hotel. Entah siapa yang memesannya, namun tiba-tiba saja seorang pramusaji mengetuk kamar kami lalu memberikan dua gelas teh madu beserta kue manis yang aku tidak tahu namanya. Maklum saja, aku hanya gadis biasa yang belum pernah bepergian jauh. Maka tak heran jika makanan manis itu tak kutemukan di daerahku dan lantas aku tak tahu sebutan untuk mekanan asing itu.Setelah mengaduk dan menambahkan madu sesuai selera, akupun membawa teh tersebut ke arah balkon, demi menikmati keindahan suasana pagi di negara orang ini. Walau suasana hatiku sendiri tak seceran dan seceria suasana yang ada.Kuhirup udara perkotaan yang begitu sejuk dengan tingkat kebersihan udaranya yang seperti pedesaan, sangat nyaman, dadaku terasa lega dan hidup saat aku menghirup udara pagi berembun.Puas memandangi orang-orang dibawah sana yang akan memulai aktivitas mereka se