"Permisi, apa Pak Debby ada di kantor?" Pagi itu, Wilona pergi ke kantor Debby, sesuai dengan nasihat yang diberikan oleh Furi, Furi pun juga sudah menyiapkan perencanaan yang matang pada proposal yang saat ini tengah dibawa oleh Wilona."Permisi, dengan Ibu siapa?" "Apa anda sudah membuat janji sebelumnya?" tanya karyawan yang ada di bagian depan."Saya Wilona, dan saya belum membuat janji," jawab Wilona."Mohon maaf Ibu, Pak Debby tidak bisa ditemui jika anda belum membuat janji sebelumnya," ucap karyawan berparas cantik tersebut dengan sopan."Apa bisa diinfokan saja jika saya kemari, saya yakin Pak Debby pasti mau menemui saya," ucap Wilona dengan sopan juga."Tidak bisa Ibu, Ibu harus membuat janji terlebih dahulu," ucap karyawan tersebut dengan senyum manisnya."Minta tolong Mbak sampaikan saja, saya akan menunggu di sini hingga pak Debby membalas pesan Mbak, saya janji tidak akan mengganggu pekerjaan Mbak," ucap Wilona sedikit mendesak.Tap.Tap.Dari arah dalam, nampak seora
"Sssst ...""Hais, lupa kalau aku tadi belum sarapan," ucap Wilona sembari berjalan keluar dari kantor Debby dan memijat tipis pelipisnya, karena merasa kepalanya mulai pusing.Wilona segera menghentikan langkahnya dan merogoh tas, serta mencari telepon genggamnya di sana.Tuut ...Tuut ..."Ck, kemana dia? Apa dia sedang sibuk?" gumam Wilona saat mencoba menghubungi Furi, tapi tidak mendapatkan jawaban."Aku tidak mungkin berkendara dalam keadaan pusing seperti ini," gumam Wilona lagi sembari berpikir.Wilona pun memainkan telepon genggamnya kembali dan menekan sebuah aplikasi.***Ting.15 menit kemudian, terdengar notifikasi pesan yang masuk di telepon genggam Wilona."Nah, sopir pengganti sudah sampai," gumam Wilona sembari membalas pesan dan memberi tahu letak mobilnya."Sopir pengganti," teriak Wilona saat sudah dekat dengan mobilnya yang terparkir di area parkiran tamu."Iya, saya di sini," teriak seorang pria setelah mendengar suara Wilona sembari melambaikan tangan."Ardi, da
Ceklek."Apa kamu mendapatkan pesan dari Wilona?" tanya Rosa pada Bramasta, dia baru saja membuka pintu ruangan suaminya tersebut."Iya, dia mengajak kita makan malam bersama," jawab Bramasta sembari menutup laptop dan menyambar jas yang ada di sandaran kursinya."Kira-kira ada apa ya Wilona tiba-tiba mengajak kita makan malam?" tanya Rosa."Entahlah, pasti ada yang ingin dia bicarakan, atau ..." Bramasta menghentikan ucapannya."Atau apa?" tanya Rosa dengan penasaran."Atau mungkin dia sedang merindukanku dan ingin membagi hari agar tetap adil, jadi aku 3 hari bersamanya, 3 hari bersamamu dan satu hari lagi, nanti aku akan coba cari wanita lain," terang Bramasta."Cih, kepedean banget," ejek Rosa."Asal kamu tahu, di mata Wilona sekarang sudah tidak ada lagi cinta buat kamu," ucap Rosa."Oh ya? Apa aku peduli? Ha ha ha ha." Bramasta berbicara dengan tertawa sembari menghampiri Rosa yang dari tadi berdiri di ambang pintu."Rosa, cinta itu tidak penting," ucap Bramasta sembari merangku
Tuut ...Tuut ..."Apa kamu sudah menyiapkan pesananku?" tanya Bramasta saat panggilan di telepon genggamnya sudah terhubung."Oke, aku juga sudah siapkan seperti biasanya, dan aku juga sudah ada di parkiran." Bramasta segera menutup panggilan teleponnya dan keluar dari mobil, sebelumnya dia sudah mengganti jasnya dengan jaket kulit warna hitam, serta memakai masker dan topi hitam. Bramasta juga menenteng tas warna hitam yang berukuran lumayan besar.Bramasta saat ini berada di daerah sepi dan lumayan kumuh, dia terus berjalan menyusuri lorong-lorong jalan yang penerangannya cukup redup.Hingga akhirnya, dia tiba di depan sebuah pintu yang bangunannya seperti sudah tidak berfungsi lagi, sisi-sisi pintu tersebut adalah tembok dari batu bata yang semennya bahkan sudah banyak yang retak."Oke, mari kita berpesta malam ini," ucap Bramasta yang kemudian dia mendekatkan retina matanya di satu titik yang ada di sela-sela batu bata dan semen tersebut. Data pun teridentifikasi dan pintu yang
Keesokan harinya."Apa ini?" tanya Wilona saat Furi meletakkan sebuah map diatas meja kerjanya."Ini adalah salah satu swalayan yang menunggak, apa kamu mau mengurusnya?" tanya Furi."Huft, kenapa bisa banyak sekali pekerjaan yang terbengkalai?" gerutu Wilona. Wilona pun segera membuka map tersebut dan membacanya satu per satu."Aku akan menyiapkan tim untuk menagih," ucap Furi."Tidak perlu, aku akan pergi kesana sendiri dan melihat pasar," sahut Wilona."Benarkah?" tanya Furi dengan terkejut."Iya,""Apa hari ini kamu banyak pekerjaan?" tanya Wilona."Tidak apa, aku akan menemanimu saja," jawan Furi."Pergilah untuk meninjau gedung kita," ucap Wilona."Jadi kamu akan melakukan penagihan sendiri?" tanya Furi."Iya," jawab Wilona singkat, kemudian dia segera beranjak dari duduknya serta membawa tas tentengnya."Kirimkan semua yang ada di map itu ke emailku, aku tidak mau mencolok dengan membawa berkas," suruh Wilona."Oke," ucap Furi yang dengan segera mengambil map di atas meja Wilon
Malam itu, setelah menghubungi Clara, Bramasta menunggu Bunga di sebuah gang kecil yang gelap, sembari memainkan jarinya di atas setir mobil.Tidak lama kemudian, Clara, Bunga dan 2 pengawal berbadan kekar berjalan ke arah mobil Bramasta.Bruk.Setelah mereka berada di depan mobil Bramasta, Bramasta segera melemparkan tas hitam berisi banyak uang tunai, setelah itu barulah Bunga di suruh masuk ke mobil Bramasta. "Pastikan kamu tidak membuat kekacauan,""Ingat, jika dia sudah keluar dari tempat kami, dia sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan kami," ucap Clara mengingatkan Bramasta."Aku paham," jawab Bramasta yang kemudian menyalakan mesin mobil."Pakai ini dan juga pakai sabuk pengaman, pastikan kamu selalu menunduk," suruh Bramasta pada Bunga sembari memberikan jaket hitam dan sebuah topi yang berwarna hitam juga.Tanpa banyak bertanya lagi, Bunga segera menuruti perintah Bramasta, saat ini yang ada di benak Bunga hanya dia bisa keluar dulu dari tempat Clara.Bramasta memukul
Keesokan harinya.Grep."Apa kamu akan berangkat kerja sekarang?" tanya Bramasta sembari menahan lengan Wilona yang hendak masuk ke mobil."Iya, ada apa?" tanya Wilona yang segera menyibakkan tangan Bramasta."Ayo kita sarapan dulu," ajak Bramasta."Aku tidak ada waktu," jawab Wilona."Aku ingin membuatkan sarapan untukmu seperti dulu, sesekali terlambat pergi ke kantor juga tidak ada masalah kan?" tanya Bramasta.Entah kenapa tatapan Bramasta disana seakan penuh dengan cinta, hingga membuat Wilona merasakan kehangatan. "Ayo kita sarapan bersama terlebih dahulu," ajak Bramasta memohon.Huft.Wilona hanya bisa menarik nafas dalam sembari masuk kembali ke dalam rumah, Bramasta yang masih mengenakan baju jogging juga segera mengekor di belakang Wilona.Wilona segera duduk di meja makan, sedangkan Bramasta segera pergi ke dapur untuk membuat roti panggang dan salad. Sarapan pagi yang sederhana, tapi hal itu sebenarnya yang membuat Wilona merindukan masa-masa bahagia dirinya bersama Bramas
3 bulan kemudian. "Tunggu dulu," ucap Rosa pada Rizal, orang kepercayaannya yang saat ini tengah duduk di kursi kemudi. "Ada apa Bu?" tanya Rizal yang seketika tidak jadi menyalakan mesin mobil. "Tunggu di sini," ucap Rosa yang kemudian turun dari mobil. "Sini, aku bantu bawa." Di seberang jalan, Rosa melihat seorang pria dan wanita sedang membawa banyak tas, sepertinya tas yang ditenteng mereka untuk hadiah. Rosa pun mengikuti langkah 2 orang tersebut hingga sampai di sebuah rumah. Ceklek. "Ayah, Ibu, kami pulang." Terdengar suara pria yang sangat gembira bertemu dengan orang tuanya. "Kenalkan ini Mita." "Paman, Bibi, apa kabar?" tanya sang wanita. "Kalian sudah sampai ya, ayo cepat masuk." Terdengar juga suara sang Ibu yang menyambut kedatangan putra beserta pasangannya tersebut dengan nada yang gembira. "Wah, kamu cantik sekali." Tidak lupa juga terdengar pujian dilontarkan oleh sang Ibu. Hingga akhirnya, pintu pun tertutup, sementara Rosa masih bersembunyi di balik t
"Permisi," ucap petugas kebersihan yang ada di perusahaan pink, saat ini dia tengah mencoba mengetuk pintu ruangan CCTV."Ada apa?" tanya seorang petugas yang baru saja membuka pintu."Ini, aku bawakan minuman untuk kalian, ada salah satu orang perusahaan yang bagi-bagi," jelas seorang paruh baya yang menjadi petugas kebersihan tersebut."Wah ... kebetulan sekali, kami sedang mengantuk, makasih ya Bu," ucap petugas CCTV tersebut dengan ramah sembari menerima 2 gelas es cappucino."Bekerjalah dengan baik, jangan sampai kamu ketiduran," ucap petugas kebersihan tersebut sembari mendorong trolinya dan pergi dari sana. 2 petugas CCTV pun segera menyeruput es cappucino tersebut hingga habis setengah gelas, sepertinya mereka benar-benar kehausan."Satu ... " "Dua ... ""Tiga ... "Sementara itu, Furi yang berada di balik tembok, dia terus menghitung dengan menggunakan jarinya, juga sembari memainkan kakinya."Lima puluh sembilan." Setelah menghitung hingga satu menit, Furi pun segera berjal
"Memangnya Wilona tahu dari mana kalau kita bisa melawan Rosa pakai daun kelor, dia aja gak pernah pergi ke dukun!" hardik Mama Risma. Pagi itu, Rani segera pergi ke kediaman Mama Risma untuk mengajaknya berbelanja bahan yang disuruh oleh Wilona ke pasar, sekalian juga memberi kabar Mama Risma, bahwa putrinya baik-baik saja."Ada Ma di buku catatannya Bu Rosa, lengkap dari ritual sampai pantangannya," jelas Rani."Oh, jadi selain bermain santet, dia juga bermain susuk. Apa lagi yang dia mainkan?" tanya Mama Risma dengan penasaran."Guna-guna," jawab Rani singkat."Guna-guna?" gumam Mama Risma."Ayo Ma kita segera ke pasar untuk beli semua bahan dan kita segera eksekusi dia, biar dia tahu rasanya senjata makan tuan," ajak Rani dengan geram."Memangnya kamu tahu bentuknya daun kelor? Mama aja baru denger namanya barusan dari kamu," ucap Mama Risma."Lah? Mama juga gak tau? Aku kira Mama tahu, makannya aku mau ngajak Mama," gerutu Rani.Mama Risma terdiam sejenak, beliau mengambil ponsel
Bunga sampai di depan mansion Melisa, ada perasaan gelisah dan berkecamuk di sana, terlebih saat dia melihat pengawal Melisa yang selalu sigap. Dengan perasaan yang masih ragu, Bunga pun turun dari mobil, setelah sebelumnya menarik nafas panjang dan mencoba menguasai pikirannya sendiri."Aku hanya akan mencari ponselku yang kemarin hilang," ucap Bunga pada salah satu pengawal Melisa."Di mana?" tanya pengawal tersebut."Ya mana aku tahu, namanya juga hilang. Seingatku semalam aku hanya mendatangi atap dan juga pantai, tidak banyak ruangan yang aku kunjungi di sini," jelas Bunga."Aku akan memeriksanya di atap," ucap pengawal tersebut."Oke kalau begitu, aku akan menyusuri pantai," ucap Bunga yang kemudian pergi ke pantai, pantai tersebut ada di depan mansion.Bunga berjalan pelan sembari melihat laut, sesekali juga dia melihat ke mansion. "Bu Wilona ada di kamar yang mana ya," gumam Bunga sembari mengingat kejadian tadi malam, saat Wilona baru dibawa keluar oleh dua pengawal dalam kea
Bramasta datang ke Mansion Melisa dengan perasaan berkecamuk. BRAAAK! Tentu saja tidak ada lagi yang menahannya saat masuk ke mansion tersebut, karena semua anak buah Melisa sudah tahu, bahwa Bramasta adalah salah satu partner kerja Melisa. Begh! "Kenapa kamu melakukan itu?" Saat baru saja masuk ke mansion, Bramasta mendapati Melisa berdiri di ruang kerjanya. Bramasta segera masuk dan mencekik leher Melisa menggunakan satu tangan hingga Melisa memundurkan langkahnya dan berhenti karena menabrak meja. Merasakan bahwa tangan Bramasta semakin erat dan membuatnya kesulitan bernafas, Melisa segera meraih pistol yang memang ada di atas meja. Setelah mendapatkan pistol tersebut dengan susah payah, Melisa pun segera menodongkan pistol itu ke pelipis Bramasta. Mereka berdua sempat bersitegang sebentar dengan saling menatap. "Oke." Tepat saat Melisa hendak menarik pelatuknya, Bramasta melepaskan tangannya yang mencengkeram leher Melisa. Melisa mengatur nafas sejenak, dia menoleh ke arah
BRUUAAAKKK!!Raka, Debby, Firman dan Furi segera menoleh ke arah sumber suara. "Tolong selamatkan dia dulu, nanti aku akan kembali," ucap Bunga sembari membopong Alex dan juga memberi sesuatu dari sakunya ke Raka.Bunga segera meninggalkan villa Debby, sementara Debby, Firman dan Furi masih terpaku sembari melihat seorang pria yang tengah duduk di lantai dengan darah bercucuran di lengannya."Bukankah tadi itu adalah sekretarisnya Pak Bram?" tanya Furi dengan keheranan."Apa???" pekik Firman dan Debby secara bersamaan.Grep.Begh.Debby segera berjalan ke arah Raka dan mencekik lehernya dengan satu tangan, hal itu membuat semua orang yang ada di sana terkejut. "Apa maksud kamu memberitahu villa ini pada sekretarisnya Bramasta?" tanya Debby dengan kesal."Atau kamu adalah pengkhianatnya sejak awal?" Debby tidak memberi celah untuk Raka menjelaskan."Lepaskan aku," ucap Raka dengan terbata dan mencari celah untuk bernafas."Lepaskan Debby." Firman segera beranjak dan mencoba menarik tan
Bramasta sampai di depan mansion, dia mengikuti arah yang diberikan oleh Melisa. Namun Bramasta terkejut, saat seseorang segera menodongkan senjata tepat ke mobil Bramasta, sehingga harus membuatnya mengangkat kedua tangan, untuk memberitahu, bahwa dia tengah bersih, tidak membawa senjata dan tidak mengancam.Bramasta menelan salivanya, dia melirik kesana dan kemari dengan keringat bercucuran yang sudah membasahi seluruh wajahnya."Apa benar alamat ini yang diberikan oleh Melisa? Atau ini jebakan?" monolog Bramasta dalam hati."Baik." Terdengar suara pria yang tadi menodongkan senjata sembari memegang telinganya yang tengah mengenakan earpiece dan terhubung dengan seseorang. Bramasta menggunakan kesempatan tersebut untuk melihat ke arah bawah jok mobil, memastikan bahwa dia saat ini juga membawa pistol."Maaf tuan." Tepat saat Bramasta hendak mengambil pistolnya, pria yang ada di hadapannya menurunkan senjata dan segera membuka pintu mobil Bramasta."Mari saya antar," ucap pria tersebu
Saat melirik ke sela pintu, Melisa mendapati Wilona tengah menatapnya ."Kamu sudah bangun?" tanya Melisa seraya membuka pintu. "Melisa ... " "Ada apa ini Mel? Kenapa kamu sampai mengotori tanganmu seperti ini?" tanya Wilona tanpa basa-basi. "Pasti kamu mencari benda ini kan?" tanya Melisa sembari melempar gelang milik Wilona, gelang tersebut sudah putus dan tentu saja Mati. "Aku tidak terkejut kamu menemukan gelang itu sebagai ancaman, karena kamu memang pintar," ucap Wilona. "Sekarang katakan, kenapa kamu harus menculikku seperti itu?" tanya Wilona dengan keadaan kedua tangan dan kaki yang masih terikat. Melisa yang sedari tadi masih berdiri di ambang pintu pun segera mendekati Wilona seraya mengeluarkan pisau kecil. "Hmm ... aku sebenarnya tidak punya alasan khusus untuk melakukan ini semua, aku hanya tidak suka saja melihatmu," jelas Melisa sembari memainkan pisau kecil tersebut di wajah Wilona. "Jangan main-main dengan benda itu Mel," ucap Wilona yang mulai tegang. "Apa
"HAI PACARNYA ROSA!" Pagi-pagi buta Wilona mencoba membuat keributan."PACARNYA ROSA, AKU HAUS NIH!" "APA KAMU TULI?"BRAAAK!"Apa sih? Pagi-pagi buta sudah berisik, bahkan matahari saja belum muncul!" gerutu Rama sembari membuka pintu dengan keras."Aku haus nih," keluh Wilona."Aku tidak boleh memberimu makan ataupun minum sama Rosa," ucap Rama."Bagaimana jika Rosa tidak segera kesini, lalu aku kehausan sampai dehidrasi dan meninggal?" "Kamu tidak mau berurusan dengan polisi kan?" "Kamu juga tahu aku mantan CEO kan? Tidak mungkin orang tidak mencariku jika aku tiba-tiba saja hilang." Wilona mencoba menyabotase pikiran Rama."Baiklah, baiklah, tapi kamu jangan kasih tahu Rosa kalau aku beri minum ya," ucap Rama."Tenang saja, aku pandai menyimpan rahasia," ucap Wilona dengan meyakinkan.Rama pun segera membuka satu botol air mineral yang masih tersegel."Nih," ucap Rama sembari menyodorkan botol air tersebut pada Wilona."Ayolah, tanganku sedang terikat ke belakang, bagaimana aku
Sayup-sayup Wilona mulai membuka matanya, dia merasa sangat pusing, serta pandangannya sedikit kabur, Wilona memperhatikan sekeliling, dia mendapati bahwa dirinya tengah berada di sebuah ruangan kumuh, kasur dari kapuk yang sudah berwarna kecoklatan, begitu juga dengan bantal dan guling."Arrgh ... " desis Wilona saat mendapati tangannya rupanya terikat ke belakang, saat ini dia dalam keadaan tidur menghadap ke samping."Biarkan saja dia di sini dulu." Mendengar ada suara, Wilona buru-buru menutup matanya kembali."Tapi pastikan ini akan baik-baik saja, aku tidak mau jika harus berurusan dengan polisi," ucap seorang pria."Tenang saja, semua yang aku lakukan tidak akan melibatkan polisi." "Rosa," monolog Wilona dalam hati, saat mendengar suara yang familiar di telinganya."Lalu siapa pria yang bersamanya? Kurasa itu bukan suara Bramasta," batin Wilona.Tit.Tit.Wilona segera menekan tombol yang ada di gelangnya, untuk memberikan sinyal pada Raka. Sejak banyak ancaman yang mengincar,