Setelah dipikir-pikir, sang pria memilih untuk tidak menghampiri Maura. Yang ada bisa menjadi masalah baru unruknya. Dia pun memilih untuk menunggu. Entah sampai kapan, tapi yang jadi harapan terkahir bagi Devan adalah Adiba.Entah berapa lama sang pria menunggu di mobil, sampai dia ketiduran. Hingga akhirnya yang ditunggu pun datang. Di saat jam makan siang, Adiba datang dengan mobilnya. Dia bersama Alia.Tanpa menunggu lama, Devan langsung berlari untuk menghampiri Adiba, sebelum sang gadis masuk ke rumah. Bisa-bisa sang pria bertemu dengan Maura dan berabe semuanya.“Adiba, tunggu!”Sang gadis yang baru saja beberapa langkah dari mobilnya pun menoleh, kaget mendapati ada Devan di sini.“Loh, kamu ngapain ke sini?” tanya Adiba, benar-benar merasa aneh.Devan menelisik ke sekitar, takut jika ada Maura yang melihat keberadaannya.“Bisakah kita bicara di luar gerbang? Ada hal yang harus aku katakan. Ini pernting dan urgent.”Adiba menautkan kedua alisnya. Dia menoleh pada Alia yang sud
“Gila kamu! Itu tidak akan berpengaruh padaku. Aku gak kena guna-guna, yang akan ngefek itu kalau si peminumnya kena ilmu sihir.”Adiba diam, memandangi wajah Mila yang serius. Mungkin kali ini wanita hamil itu jujur. Sang gadis menarik kembali tangannya sembari menghela napas kasar.“Baiklah. Aku juga tidak punya pilihan lain. Jadi, apakah kamu akan ke rumah Lusi besok?”“Tentu saja. Hubungi aku jika acara akan dimulai. Kalau air ajian itu sudah bereaksi, Lusi pasti kaget jika ternyata dirinya mau kembali pada Mas Raka.”Adiba menganggukkan kepala. “Kalau aku kasihnya malam, gimana?”“Ya, itu malah lebih bagus lagi. Dengan begitu, Lusi akan langsung membatalkan rencana ijab kabul mereka.”Adiba mengangguk paham. Setelah itu, sang gadis pun memilih untuk pergi dari sana. Dia akan mencoba untuk menyadarkan Lusi.Sepeninggalnya Adiba, wanita hamil itu terdiam dengan perasaan campur aduk. Uangnya terkuras habis demi membuktikan kalau anak dalam kandungannya adalah darah daging Raka. Teta
Setelah Magrib, Lusi baru pulang. Kala itu Adiba, Maura dan Alia sedang makan malam. Wanita itu tampak tergesa datang. Dia langsung mencium pipi Alia dan mengatakan maaf karena baru pulang.“Makan malamnya tungguin aku, ya. Aku mau mandi dulu,” ucap Lusi langsung pergi ke kamar, semtara ketiga perempuan itu malah saling diam dan kebingungan.Di saat seperti ini, Alia tiba-tiba saja bersuara dengan wajah murung.“Tante, kalau Ibu sama Ayah balikan lagi, aku mau tinggal sama Tante saja, ya?”Adiba terkesiap, begitu juga dengan Maura. Wanita itu memang sedang kacau balau, tapi dia juga tertarik dengan perkataan Alia barusan.Adiba langsung menghampiri Alia dan berjongkok di depan gadis kecil itu yang terduduk di kursi.“Kenapa begitu? Bukankah Alia senang kalau Ayah sama Ibu balikan?”“Tunggu, maksudnya mereka balikan, gimana, ya, Mbak?” tanya Maura mulai penasaran dengan maksud dari pembicaraan mereka.Sebab, sudah 2 hari Maura hanya murung dan memikirkan kejadian di rumah Devan tempo h
Keesokan paginya, pagi-pagi sekali isi rumah Lusi sudah sibuk. Meskipun hanya ijab kabul, tapi Lusi sampai memesan catering untuk tetangga yang mungkin saja datang. Maura yang ditugaskan untuk mengatur itu semua. Sementara Adiba mendampingi Lusi.Wanita itu bahkan dirias dan akan memakai kebaya. Benar-benar seperti seorang pengantin baru. Wajah Lusi terlihat sembirangah, tapi tidak dengan Adiba. Wanita itu harus mencoba memberikan air ajian pada sang wanita, mumpung belum ada yang datang.“Diba, apakah aku cantik?” tanya Lusi sembari menatap pantulan diri di cermin.“Iya, kamu cantik.”Adiba mengatakan itu sembari tersenyum kaku. Jantungnya berdegup kencang saat dia mengeluarkan air dari botol yang diberikan oleh Mila.“Oh iya, Lus. Sebelum ijab kabul, kamu minum dulu deh. Biar gak tegang dan gugup,” ucap Adiba memberikan alasan.Lusi menoleh pada Adiba, menatap gadis itu cukup lama dan malah membuat Adiba khawatir jika aksinya akan ketahuan oleh sang teman.“Ah, kamu bener banget! Ak
“Ibu benar-benar tidak menyangka kalau Raka bisa melakukan hal seperti ini,” ujar Bu Murni.Adiba menganggukkan kepala. “Iya, Bu. Aku juga berpikir seperti itu. Awalnya memang tidak percaya, tapi buktinya sudah ada.”Adiba menoleh pada Lusi yang masih diam dengan ekpresi marah. Masih ada setengah jam lagi sebelum ijab kabul dimulai. Adiba harus memastikan dulu kalau Lusi akan mengambil tindakan.“Lus, batalkan acara ini. Kamu sudah tahu semuanya, kan?”Lusi masih terdiam, cukup lama. Adiba dan Bu Murni pun menunggu reaksi dari wanita itu. Hingga 5 menit kemudian, Lusi memberi jawabannya.“Aku akan membatalkan ijab kabul ini. Tapi bukan sekarang.”Adiba terperangah. “Maksud kamu, tetap mau rujuk?”“Tentu tidak, Diba. Aku tidak sudi melakukan itu semua. Aku akan memberikan pelajaran padanya.”Adiba terdiam. Setiap Lusi mengatakan perihal pelajaran yang dimaksud, kemungkinannya ada 2. Dia akan mengambil alur hukum atau membuat pria itu viral. Adiba tidak tahu, mana yang akan diambil oleh
“Aku tidak bisa, Lus. Utang itu terlalu banyak nominalnya.”Bu Sinta yang kaget mendengar itu pun langsung menoleh pada Lusi. “Utang? Utang apa?”Raka mengaduh pelan. Dia lupa kalau ibunya tidak tahu perihal ini. Saat membebaskan Bu Sinta dulu, dia sempat bilang kalau uang itu dari Lusi, tapi sang wanita paruh baya tidak percaya. Mungkin Bu Sinta lupa akan hal itu.Lusi terkejut sembari tersenyum, dia menoleh pada Raka. “Wah, Mas. Kamu tidak memberitahu ibumu kalau uang itu dariku?” tany Lusi, sarkas. Membuat Raka menunduk malu, apalagi banyak orang di sana.Bu Sinta semakin bingung. Dia mencengkeram pundak Raka untuk meminta penjelasan. Tak punya pilihan lain, sang pria harus membuka semuanya.“Maaf, Bu. Aku memakai uang Lusi untuk membebaskan Ibu. Aku kerja pada Lusi pun untuk melunasi utang itu dengan potongan dari gajinya.”Seketika suara gaduh terdengar. Maura menatap pria itu muak, ternyata memang parasit. Sementara Adiba hanya menggelengkan kepala.Raka memejamkan mata sembari
“Kenapa reaksi kalian seperti itu?” tanya Mila dengan santai dan sedikit mengejek, membuat Bu Sinta dan Raka sama-sama terkesiap.Wanita hamil itu membiarkan mereka berdua dengan kertekejutannya. Sekarang, dia menghadapi Lusi terlebih dahulu dengan tatapan santai dan berani.Sementara Lusi hanya bersikap sinis, tak mau untuk berkata apa pun. Meskipun tahu jika Mila sudah menolongnya, tapi wanita hamil itu memanfaatkan Lusi demi kepentingannya sendiri.“Apa kamu tidak mau mengatakan sesuatu kepadaku, yang telah menolongmu?”Lusi menatap malas pada mantan sahabatnya itu. “Kamu mengharapkanku berterima kasih karena sudah menolongku, kan? Sayangnya, itu hanya harapanmu saja. Sebab, aku tahu, kamu melakukan ini karena tujuan tertentu. Jadi, silakan segera lunasi utang mereka.”Lusi dengan berani dan tegas mengatakan itu semua. Mereka berdua saat ini menjadi tontonan yang menegangkan. Setelah sekian lama tidak bertemu, mantan sahabatan itu dipertemukan oleh sebuah kejadian, karena ulah Raka
Raka dengan tergesa memasukkan semua pakaiannya ke koper. Bu Sinta yang menyusul pakai taksi lain pun, berlari tergopoh-gopoh mencari anaknya.Dia sangat terkejut mendapati anaknya sedang beres-beres. “Loh, kamu mau ke mana, Raka?”“Pergi.”“Pergi ke mana?!” tanya Bu Sinta agak bingung.Raka tak menjawab, memilih untuk menyelesaikan aktivitasnya dan pergi jauh dari rumah ini.Melihat diamnya sang anak, Bu Sinta pun terus memanggil nama Raka dengan nada tinggi.“Kamu tidak boleh pergi. Kamu mau jadi anak durhaka?!”Kalimat terakhir yang dikatakan oleh Bu Sinta berhasil menghentikan sang pria. Dia menoleh pada ibunya dengan raut wajah tak karuan, tampak ada emosi yang tertahan.“Apakah aku akan durhaka jika sudah dimanfaatkan oleh Ibu? Ibu sampai berbohong soal anak yang ada dalam kandungan Mila.”“Ibu melakukan itu demi kebaikan kamu, Raka. Kamu tidak boleh bersatu dengan wanita sundal seperti si Mila!”“Lalu, menjadikan aku Ayah yang jahat untuk anaknya? Tidak, Bu. Aku tetap bisa bert
Suara dering ponsel membuat Mila terkesiap dan kontan menghentikan tangisannya. Ternyata dari karyawannya. Tampaknya wanita itu harus segera kembali ke butik, sebab pasti kerjaannya semakin banyak.Dia tidak mungkin terus-terusan larut dalam kesedihan karena menangisi Raka, sementara ada usaha yang harus terus dijalankan. Kalau tidak, dirinya akan jatuh miskin dan benar-benar kehilangan Raka. Pria itu tidak mungkin mau hidup susah dengannya, jadi cara satu-satunya mempertahankan Raka yaitu dengan banyak uang. Miris, bukan? Harusnya di sini seorang pria yang melakukan ini semua, tetapi Mila mau tidak mau harus menghasilkan banyak uang demi mempertahankan Raka.Ya, demi agar anaknya bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah. Demi dirinya yang tidak lagi dijandakan oleh pria itu. Mila hanya bisa tersenyum miris, tetapi tak urung tetap kembali menjalankan mobilnya. Berusaha untuk tegar. Wanita hamil itu mengelus-elus perutnya yang mulai membesar. "Sabar ya, Nak. Ibu akan berusaha sebaik
"Kamu sudah gila, ya? Apa yang baru saja kamu katakan?!" tanya Bu Sinta, kali ini wanita paruh baya itu marah karena anaknya malah merahasiakan pernikahan dengan Winda. Harusnya biarkan saja diberi tahu semua orang, termasuk Mila. Agar ketahuan bagaimana reaksi wanita hamil itu, berharap kalau Mila mau tahu diri dan memilih untuk pergi dari kehidupan Raka. Tetapi tampaknya Raka sama sekali enggan untuk mempublikasikan hubungannya dengan Winda. "Aku tidak gila, Bu. Karena aku waras, makanya merahasiakan semua ini.""Lalu, bagaimana dengan perasaan Winda?" "Aku yakin, Winda juga pasti akan mengerti dengan situasi ini. Kami sudah saling sepakat. Jadi, aku harap Ibu tidak merecoki rencana kami.""Apa yang sedang kamu rencanakan sebenarnya, Raka? Ibu kasihan kalau Winda statusnya disembunyikan dari siapa pun." "Bu, aku melakukan ini demi kebaikan bersama. Bahkan Winda juga berkata, dia tidak akan ikut campur urusan aku dan juga Mila. Sebaliknya, Mila juga tidak boleh ikut campur urusan
"Itulah masalahnya, Bu. Mila tidak sebodoh yang kita kira. Dia bisa saja mengantisipasi untuk mendapatkan hak asuh anak dengan cara menahanku. Dia pasti sudah melakukan berbagai cara agar aku bisa berada di sisinya, termasuk anak itu." "Lalu, bagaimana? Kalau memang kamu tidak mau terikat dengan Mila, lepaskan anak itu. Kalau misalkan kamu ingin anak itu, cari cara menyingkirkan Mila. Mudah, kan?" "Tidak semudah itu, Bu. Aku tahu Ibu benci Mila, tapi tolong jangan benci anakku. Dia tidak tahu apa-apa. Bukankah bayi yang ada di dalam kandungan setiap Ibu hamil itu tidak berdosa? Kalau pun memang harus disalahkan, Mila sendiri dan aku. Jadi, kumohon kali ini saja Ibu mau menuruti permintaanku." Bu Sinta menghela napas kasar. Dalam hatinya tidak mau mengurusi cucunya itu. Lagi pula menurutnya cucu yang baik itu hanya Alia. Walaupun dia tidak tahu bagaimana nanti anak Mila, tapi wanita paruh baya sudah menafsirkan kalau sifat Mila pasti akan turun kepada anaknya sendiri. "Ya, terserah
"Bagus, bagus! Ibu setuju dengan keputusanmu. Kan sudah Ibu bilang, Winda itu adalah istri yang baik untuk kamu. Dibandingkan dengan Mila, Ibu lebih setuju dengan Winda. Dia itu baik hati, tidak perhitungan dan juga mengerti keadaan kamu dan Ibu. Jadi, menurut Ibu kamu itu memang harus memilih Winda. Bagus-bagus," papar Bu Sinta dengan semangat. Dia bahkan terus-terusan tersenyum sembari membereskan piring bekas makan Raka. Pria itu belum berani untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, kalau diam saja pun tidak akan mengubah situasi yang ada. Keadaan semakin kacau karena pasti Bu Sinta akan menyerang Mila atau malah melakukan sesuatu yang sangat membahayakan untuk rencana ke depannya."Iya, Bu. Tapi aku akan menjadikannya istri kedua."Bu Sinta hampir saja melepaskan piring yang ada di tangan saat Raka mengatakan hal tersebut. Wanita paruh baya itu langsung menyimpan piring kotor dan kembali ke hadapan anaknya dengan wajah kaget. "Apa kamu bilang tadi? Istri kedua? Maks
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay
Bu Sinta maupun Mila kaget mendengar suara Raka yang menggelegar, tampak sekali wajahnya memerah seperti menahan emosi karena sudah dari tadi kedua wanita berbeda usia ini terus saja bertengkar. "Apa kalian tidak bisa diam?! Jangan terus-terusan mengoceh dengan berbagai macam alasan! Aku punya keputusan sendiri," ucap Raka, membuat Bu Sinta dan Mila kaget bersamaan. Mereka takut jika Raka mengambil keputusan yang salah dan merugikan kedua belah pihak. Mila berharap kalau Raka tidak meninggalkannya, berbeda dengan Bu Sinta yang ingin anaknya kembali kepada Bu Sinta dan menceraikan Mila. Pria itu menoleh kepada Mila dengan tatapan sinis. Dia sudah jengah dengan semua perlakuan istrinya ini. Mila berbeda jauh dengan wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya. Apa mungkin memang sifat asli Mila seperti ini? Begitu pikir Raka atau hanya karena perubahan hormon Ibu hamil akhirnya Mila lebih protektif dan temperamental? Semua itu masih bergerilya di pikiran Raka, belum bisa menga
"Jangan percaya sama Ibu, Mas! Kamu tahu sendiri, kan? Gara-gara Ibu, kamu hampir kehilangan anak ini. Dia yang memalsukan tes DNA anak ini!" seru Mila tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan, membuat Bu Sinta terdiam dan wanita paruh baya itu benar-benar kaget kala Mila membahas lagi masalah yang sudah berlalu. Padahal sekarang permasalahan utamanya adalah Mila yang tidak pernah bisa membebaskan Raka, selalu saja mengekang dan harus berada di samping wanita itu. "Kenapa kamu malah ngomongin itu sekarang? Bukan waktunya kamu berbicara hal yang sudah berlalu.""Oh, kenapa tidak, Bu? Tentu saja aku harus bicara dengan Mas Raka, kalau Ibu itu tidak mau melihat anak ini lahir, kan?" Keadaan semakin genting saat ini. Kalau Mila mengatakan hal seperti itu, tentu saja Bu Sinta tidak mau kalah. Baginya pertarungan ini harus dimenangkan olehnya, karena ini adalah satu-satunya cara dan kesempatan yang langka untuk mendapatkan anaknya kembali. "Jaga bicaramu! Itu sudah berlalu, aku melakukan