Setelah Magrib, Lusi baru pulang. Kala itu Adiba, Maura dan Alia sedang makan malam. Wanita itu tampak tergesa datang. Dia langsung mencium pipi Alia dan mengatakan maaf karena baru pulang.“Makan malamnya tungguin aku, ya. Aku mau mandi dulu,” ucap Lusi langsung pergi ke kamar, semtara ketiga perempuan itu malah saling diam dan kebingungan.Di saat seperti ini, Alia tiba-tiba saja bersuara dengan wajah murung.“Tante, kalau Ibu sama Ayah balikan lagi, aku mau tinggal sama Tante saja, ya?”Adiba terkesiap, begitu juga dengan Maura. Wanita itu memang sedang kacau balau, tapi dia juga tertarik dengan perkataan Alia barusan.Adiba langsung menghampiri Alia dan berjongkok di depan gadis kecil itu yang terduduk di kursi.“Kenapa begitu? Bukankah Alia senang kalau Ayah sama Ibu balikan?”“Tunggu, maksudnya mereka balikan, gimana, ya, Mbak?” tanya Maura mulai penasaran dengan maksud dari pembicaraan mereka.Sebab, sudah 2 hari Maura hanya murung dan memikirkan kejadian di rumah Devan tempo h
Keesokan paginya, pagi-pagi sekali isi rumah Lusi sudah sibuk. Meskipun hanya ijab kabul, tapi Lusi sampai memesan catering untuk tetangga yang mungkin saja datang. Maura yang ditugaskan untuk mengatur itu semua. Sementara Adiba mendampingi Lusi.Wanita itu bahkan dirias dan akan memakai kebaya. Benar-benar seperti seorang pengantin baru. Wajah Lusi terlihat sembirangah, tapi tidak dengan Adiba. Wanita itu harus mencoba memberikan air ajian pada sang wanita, mumpung belum ada yang datang.“Diba, apakah aku cantik?” tanya Lusi sembari menatap pantulan diri di cermin.“Iya, kamu cantik.”Adiba mengatakan itu sembari tersenyum kaku. Jantungnya berdegup kencang saat dia mengeluarkan air dari botol yang diberikan oleh Mila.“Oh iya, Lus. Sebelum ijab kabul, kamu minum dulu deh. Biar gak tegang dan gugup,” ucap Adiba memberikan alasan.Lusi menoleh pada Adiba, menatap gadis itu cukup lama dan malah membuat Adiba khawatir jika aksinya akan ketahuan oleh sang teman.“Ah, kamu bener banget! Ak
“Ibu benar-benar tidak menyangka kalau Raka bisa melakukan hal seperti ini,” ujar Bu Murni.Adiba menganggukkan kepala. “Iya, Bu. Aku juga berpikir seperti itu. Awalnya memang tidak percaya, tapi buktinya sudah ada.”Adiba menoleh pada Lusi yang masih diam dengan ekpresi marah. Masih ada setengah jam lagi sebelum ijab kabul dimulai. Adiba harus memastikan dulu kalau Lusi akan mengambil tindakan.“Lus, batalkan acara ini. Kamu sudah tahu semuanya, kan?”Lusi masih terdiam, cukup lama. Adiba dan Bu Murni pun menunggu reaksi dari wanita itu. Hingga 5 menit kemudian, Lusi memberi jawabannya.“Aku akan membatalkan ijab kabul ini. Tapi bukan sekarang.”Adiba terperangah. “Maksud kamu, tetap mau rujuk?”“Tentu tidak, Diba. Aku tidak sudi melakukan itu semua. Aku akan memberikan pelajaran padanya.”Adiba terdiam. Setiap Lusi mengatakan perihal pelajaran yang dimaksud, kemungkinannya ada 2. Dia akan mengambil alur hukum atau membuat pria itu viral. Adiba tidak tahu, mana yang akan diambil oleh
“Aku tidak bisa, Lus. Utang itu terlalu banyak nominalnya.”Bu Sinta yang kaget mendengar itu pun langsung menoleh pada Lusi. “Utang? Utang apa?”Raka mengaduh pelan. Dia lupa kalau ibunya tidak tahu perihal ini. Saat membebaskan Bu Sinta dulu, dia sempat bilang kalau uang itu dari Lusi, tapi sang wanita paruh baya tidak percaya. Mungkin Bu Sinta lupa akan hal itu.Lusi terkejut sembari tersenyum, dia menoleh pada Raka. “Wah, Mas. Kamu tidak memberitahu ibumu kalau uang itu dariku?” tany Lusi, sarkas. Membuat Raka menunduk malu, apalagi banyak orang di sana.Bu Sinta semakin bingung. Dia mencengkeram pundak Raka untuk meminta penjelasan. Tak punya pilihan lain, sang pria harus membuka semuanya.“Maaf, Bu. Aku memakai uang Lusi untuk membebaskan Ibu. Aku kerja pada Lusi pun untuk melunasi utang itu dengan potongan dari gajinya.”Seketika suara gaduh terdengar. Maura menatap pria itu muak, ternyata memang parasit. Sementara Adiba hanya menggelengkan kepala.Raka memejamkan mata sembari
“Kenapa reaksi kalian seperti itu?” tanya Mila dengan santai dan sedikit mengejek, membuat Bu Sinta dan Raka sama-sama terkesiap.Wanita hamil itu membiarkan mereka berdua dengan kertekejutannya. Sekarang, dia menghadapi Lusi terlebih dahulu dengan tatapan santai dan berani.Sementara Lusi hanya bersikap sinis, tak mau untuk berkata apa pun. Meskipun tahu jika Mila sudah menolongnya, tapi wanita hamil itu memanfaatkan Lusi demi kepentingannya sendiri.“Apa kamu tidak mau mengatakan sesuatu kepadaku, yang telah menolongmu?”Lusi menatap malas pada mantan sahabatnya itu. “Kamu mengharapkanku berterima kasih karena sudah menolongku, kan? Sayangnya, itu hanya harapanmu saja. Sebab, aku tahu, kamu melakukan ini karena tujuan tertentu. Jadi, silakan segera lunasi utang mereka.”Lusi dengan berani dan tegas mengatakan itu semua. Mereka berdua saat ini menjadi tontonan yang menegangkan. Setelah sekian lama tidak bertemu, mantan sahabatan itu dipertemukan oleh sebuah kejadian, karena ulah Raka
Raka dengan tergesa memasukkan semua pakaiannya ke koper. Bu Sinta yang menyusul pakai taksi lain pun, berlari tergopoh-gopoh mencari anaknya.Dia sangat terkejut mendapati anaknya sedang beres-beres. “Loh, kamu mau ke mana, Raka?”“Pergi.”“Pergi ke mana?!” tanya Bu Sinta agak bingung.Raka tak menjawab, memilih untuk menyelesaikan aktivitasnya dan pergi jauh dari rumah ini.Melihat diamnya sang anak, Bu Sinta pun terus memanggil nama Raka dengan nada tinggi.“Kamu tidak boleh pergi. Kamu mau jadi anak durhaka?!”Kalimat terakhir yang dikatakan oleh Bu Sinta berhasil menghentikan sang pria. Dia menoleh pada ibunya dengan raut wajah tak karuan, tampak ada emosi yang tertahan.“Apakah aku akan durhaka jika sudah dimanfaatkan oleh Ibu? Ibu sampai berbohong soal anak yang ada dalam kandungan Mila.”“Ibu melakukan itu demi kebaikan kamu, Raka. Kamu tidak boleh bersatu dengan wanita sundal seperti si Mila!”“Lalu, menjadikan aku Ayah yang jahat untuk anaknya? Tidak, Bu. Aku tetap bisa bert
Bu Sinta marah, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain bungkam. Tentu saja dalam hari tidak akan setuju jika anaknya kembali pada Mila. Sebuah kemalangan yang akan didapatkan Raka.“Mas, kamu harus tanggung jawab. Ingat, ini anakmu. Ibumu sudah melakukan kejahatan dengan memalsukan surat DNA ini. Aku bisa membawa masalah ini ke ranah hukum.”Raka menoleh pada Mila. Meskipun sekarang wanita itu sudah berubah, tapi perasaannya sudah hambar. Yang diinginkannya hanya Lusi, tapi itu sudah jadi mustahil untuk diraih.Jika dirinya pergi dari sini pun yang ada dia akan menjadi buronan. Sebab tahu kalau Mila sangat nekat untuk mendapatkannya.“Baiklah, aku akan bertanggung jawab atas anak itu.”Bu Sinta dan Mila tersentak bersamaan, tapi reaksi selanjutnya di luar dugaan. Sang wanita paruh baya menolak dengan keras, sementara Mila sangat senang.“Jangan gila kamu! Ibu tidak setuju dengan keputusan kamu. Dia ini bukan wanita baik-baik!”Mila mendelik pada sang wanita paruh baya, dia hendak
“Akhirnya, kita kembali menjadi suami istri lagi.”Mila bergelayut manja di lengan Raka sembari memegang surat pernyataan sudah rujuk. Sayangnya, Mila hanya dinikahi dengan siri.Kebetulan, Raka menjatuhkan talak saat tidak tahu jika Mila hamil. Jadi, sekarang mereka rujuk lagi. Tetapi, mereka berdua ingin mendapatkan surat pernyatan sudah menikah.“Sekarang, sebaiknya kita ke rumahku. Kamu akan tinggal denganku, kan?”“Iya,” jawab Raka datar.Hanya Mila yang merasa senang dengan status barunya. Tetapi, tidak dengan Raka. Ada raut terpaksa dan juga seolah enggan untuk tersenyum.Mereka berdua kembali ke rumah Mila. Reaksi Raka benar-benar tidak seperti biasanya, tetapi wanita hamil itu berpikir kalau sang pria sedang kesal pada Bu Sinta. Jadi, di biarkan saja.Di tempat Lusi, para tetangga sudah pulang, termasuk Bu Murni pun sudah pulang ke rumahnya. Sekarang sisa Adiba, Maura dan Alia. Tetapi, ternyata ada Arya dan Devan di sana.Melihat itu, Lusi tak mau ambil pusing. Dia butuh isti
"Apa di otakmu itu hanya terpikirkan kalau aku ini berkhianat dan kejelekanku saja, Mila?" tanya Raka.Akhirnya Raka bersuara, sudah tidak kuasa. Tetapi dia berusaha untuk tetap mendam emosinya dengan berkata tanpa menaikkan nada bicara. "Bagaimana aku tidak curiga, Mas? Dan bagaimana aku tidak berpikir tentang kejelekanmu? Kamu tidak pamit kepadaku dan aku juga tidak tahu kamu pergi ke mana, ditambah kamu tidak menerima teleponku. Bagaimana aku bisa berpikiran positif kepadamu? Coba saja! Semua wanita dan istri di seluruh dunia akan berpikiran macam-macam kalau kamu melakukan hal itu, Mas!"Mila berucap dengan bahu naik turun, menandakan kalau wanita ini sedang benar-benar emosi. Raka memejamkan mata, berusaha untuk tetap tenang dan menahan emosinya agar tidak meledak. Bagaimanapun wanita ini sedang mengandung anaknya. Dia tidak boleh membuat Mila stress dan akan berakibat fatal kepada anaknya itu. "Dengar, Mila. Aku sudah bilang kemarin, kan? Aku ke rumah Ibu." "Oh, ya? Mana buk
"Aaah, sial!"Mila berteriak sembari membanting semua barang-barang yang ada di kamarnya. Ini sudah jam 08.00 pagi, tapi dia belum mandi dan sarapan. Perutnya yang terasa lapar pun tak dipedulikan, dari tadi sudah termakan emosi. Padahal berkali-kali dia menghubungi Raka, tapi tak ada sahutan. Ditambah Maura juga tidak ada di sini.Kecurigaan menyeruak dalam dada, mungkin saja kedua orang itu kabur darinya dan meninggalkan Mila sendirian bersama anak yang ada dalam kandungan. Membayangkannya saja yang membuat dia merasa terbakar. Ingin sekali memaki atau menyakiti dua orang itu. "Kenapa tidak ada satu pun orang yang mengerti posisiku di sini?! Aku sedang hamil, tapi tak ada yang mau berusaha untuk mengikuti semua kemauanku!" seru Mila dengan berteriak.Dia mengacak rambutnya dan menangis. Ini benar-benar memuakkan untuknya. Harusnya Raka itu mengangkat telepon dan memberi kabar di mana sang pria berada. Tak masalah kalau misalkan pria itu pergi ke tempat lain, asalkan Raka memberi k
"Karena Mila itu beda dengan Lusi. Mau seperti apa pun aku berusaha menyamakan Mila dan Lusi atau mengubahnya, itu mustahil, Bu. Mila ya Mila. Lusi ya Lusi, tidak bisa disamakan," ungkap Raka. Dia tidak suka kalau misalkan ada yang membanding-bandingkan dan menyuruh Mila sesuai dengan Lusi, karena mantan istrinya itu tidak ada duanya. Tak bisa ada yang menyamai sifat Lusi yang begitu baik hati."Kalau begitu untuk apa kamu melanjutkan hubungan dengan Mila? Kalau kamu alasannya anak, percaya pada Ibu, hati kamu tidak akan pernah bisa tenang dan anakmu juga akan punya trauma karena kalian menikah dengan terpaksa.""Bu.""Raka, dengarkan Ibu. Ibu tahu kamu tidak percaya kepada Ibu karena kejadian-kejadian kemarin, tapi kali ini Ibu benar-benar melakukan semua ini karena kebaikanmu. Ibu yakin, Mila itu bukan wanita yang baik. Coba kamu pikirkan ulang perkataan Ibu, jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari." Raka tidak mau menanggapi perkataan Bu Sinta dan memilih untuk mengeluarkan
Seketika Raka terdiam. Dia melihat ibunya dengan tatapan bingung, tapi Bu Sinta saat ini begitu serius memandangi Raka dan berusaha untuk meyakinkan anaknya agar meninggalkan Mila."Apa maksudnya, Ibu? Aku meninggalkan Mila dan calon anakku?" tanya Raka, wajahnya berubah menjadi serius. "Iya, kamu benar.""Tidak bisa, Bu. Di dalam kandungan Mila itu ada anakku. Bukankah tes DNA sudah membuktikan kalau dia itu adalah anakku? Aku tidak bisa meninggalkan anakku, tidak bisa." Sesuai dengan perkiraan Bu Sinta, kalau pria ini tidak akan pernah tega meninggalkan anaknya. Sisi lain dari Raka itu sangat menyayangi darah dagingnya sendiri, meskipun Mila adalah wanita yang benar-benar memuakkan. "Ya, Ibu tahu kamu sangat menyayangi anakmu, tapi juga pikirkan ke depannya. Kamu akan terus-terusan dikekang oleh Mila. Kamu tidak akan betah kalau terus-terusan begini. Percaya pada Ibu. Mila itu bukan wanita yang baik untuk dijadikan seorang istri," ucap Bu Sinta mengatakan ini dengan sepenuh hati,
Raka menundukkan kepala dengan menutupi wajahnya. Terdengar suara sesenggukan begitu menyakitkan. Tiba-tiba saja Bu Sinta merasa kalau dirinya saat ini benar-benar melihat anaknya yang masih kecil. Raka yang begitu polos dan memohon agar apa yang diinginkannya dikabulkan.Sudah cukup lama dia tidak melihat sisi rapuh anaknya sendiri."Aku bingung, Bu. Aku harus bagaimana? Semua orang menghimpitku, menyalahkanku seolah-olah aku ini adalah orang yang paling berdosa di sini. Aku tidak ingin hal yang lebih, Bu. Aku ingin kembali kepada Lusi dan hidup seperti dulu bersama anakku. Tapi, itu juga tidak bisa. Sekarang yang aku inginkan adalah bertemu dengan Alia. Dia anakku, dia adalah hidupku. Jika aku sekarang hancur karena perbuatanku dulu, setidaknya ada anakku yang bisa menguatkanku untuk tetap bertahan dan melanjutkan hidup," ungkap Raka, kembali sesenggukan. "Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak bisa mengerti dengan keadaanku saat ini? Aku menghukum Ibu karena memang Ibu sudah sangat keterlal
Bu Sinta kembali pura-pura menangis, karena dia akan benar-benar membuat anaknya merasa bersalah sebab sudah meninggalkannya. "Jadi, karena itu kamu berani mengusir Ibu? Kamu meninggalkan Ibu karena wanita itu?" tanya Bu Sinta dengan mata berkaca-kaca.Raka langsung menggelengkan kepala, menghela napas berkali-kali dan berusaha untuk tenang. Di hadapannya ini adalah ibunya sendiri. Dia harus membuat Bu Sinta mengerti, kalau dirinya punya tujuan tertentu dan tidak sembarangan melakukan hal-hal itu. "Bu, Kalau boleh jujur. Dari dulu saat aku bersama Lusi sudah berkali-kali aku ingatkan, Ibu tolong jaga sikap. Jangan terlalu banyak meminta uang kepada Lusi dan apa pun yang membuat Lusi mungkin merasa terbebani, tapi apa? Jawaban Ibu selalu saja memaksakan kehendak. Itu pun aku tetap diam, karena memang Lusi tidak mempermasalahkan itu. Tapi kemarin, aku hampir saja benar-benar kehilangan Lusi karena ide Ibu, kan? Apa Ibu tidak merasa bersalah kepadaku?" Sekarang giliran Raka mengungkap
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan