Bu Sinta marah, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain bungkam. Tentu saja dalam hari tidak akan setuju jika anaknya kembali pada Mila. Sebuah kemalangan yang akan didapatkan Raka.“Mas, kamu harus tanggung jawab. Ingat, ini anakmu. Ibumu sudah melakukan kejahatan dengan memalsukan surat DNA ini. Aku bisa membawa masalah ini ke ranah hukum.”Raka menoleh pada Mila. Meskipun sekarang wanita itu sudah berubah, tapi perasaannya sudah hambar. Yang diinginkannya hanya Lusi, tapi itu sudah jadi mustahil untuk diraih.Jika dirinya pergi dari sini pun yang ada dia akan menjadi buronan. Sebab tahu kalau Mila sangat nekat untuk mendapatkannya.“Baiklah, aku akan bertanggung jawab atas anak itu.”Bu Sinta dan Mila tersentak bersamaan, tapi reaksi selanjutnya di luar dugaan. Sang wanita paruh baya menolak dengan keras, sementara Mila sangat senang.“Jangan gila kamu! Ibu tidak setuju dengan keputusan kamu. Dia ini bukan wanita baik-baik!”Mila mendelik pada sang wanita paruh baya, dia hendak
“Akhirnya, kita kembali menjadi suami istri lagi.”Mila bergelayut manja di lengan Raka sembari memegang surat pernyataan sudah rujuk. Sayangnya, Mila hanya dinikahi dengan siri.Kebetulan, Raka menjatuhkan talak saat tidak tahu jika Mila hamil. Jadi, sekarang mereka rujuk lagi. Tetapi, mereka berdua ingin mendapatkan surat pernyatan sudah menikah.“Sekarang, sebaiknya kita ke rumahku. Kamu akan tinggal denganku, kan?”“Iya,” jawab Raka datar.Hanya Mila yang merasa senang dengan status barunya. Tetapi, tidak dengan Raka. Ada raut terpaksa dan juga seolah enggan untuk tersenyum.Mereka berdua kembali ke rumah Mila. Reaksi Raka benar-benar tidak seperti biasanya, tetapi wanita hamil itu berpikir kalau sang pria sedang kesal pada Bu Sinta. Jadi, di biarkan saja.Di tempat Lusi, para tetangga sudah pulang, termasuk Bu Murni pun sudah pulang ke rumahnya. Sekarang sisa Adiba, Maura dan Alia. Tetapi, ternyata ada Arya dan Devan di sana.Melihat itu, Lusi tak mau ambil pusing. Dia butuh isti
“Syukurlah kalau begitu. Oh iya, kamu tidak datang lagi ke restoran?” tanya Arya, tiba-tiba saja mengubah topik pembicaraan.Adiba langsung menautkan kedua alisnya. Tampaknya memang pria ini mulai terpancing dengan rencananya waktu itu.“Ah, iya. Aku sibuk dan ada masalah Lusi juga yang membuatku belum sempat ke sana. Mungkin lain kali aku akan ke sana,” ujar Adiba, tentu saja kalimat terakhir hanya asal bicara.Adiba akan tarik uluh perasaan Arya, sampai benar-benar terjatuh pada perasaannya sendiri.“Ya, aku mengerti. Nanti kalau mau ke restoran, hubungi saja aku. Akan aku berikan menu terbaik di sana. Itu gratis untukmu.”Adiba kaget mendengarnya. Tetapi, gadis itu berusaha terlihat antusias. Tentu saja demi rencananya agar berjalan lancar.“Terima kasih banyak. Aku hargai itu. Em, tapi aku tidak bisa lama-lama, masih ada pekerjaan yang harus aku tangani.”Adiba hendak pamit, secara tidak langsung mengusir pria itu. Tetapi, tampaknya Arya benar-benar menggunakan kesempatan ini deng
Dengan langkah pasti Adiba berjalan ke tempat itu. Ini pertama kalinya sang gadis memasuki tempat seperti ini. Dia dimintai memperlihatkan KTP oleh penjaga itu, yang tentu saja membuat Adiba heran.Kalau ada pemeriksaan KTP, kenapa Maura bisa lolos? Begitu pikir Adiba. Tetapi, tentu saja dia menyimpan tanya itu. Memilih untuk segera mencari dua orang tersebut.Saat masuk, Adiba disambut dengan gemerlap lampu disko. Suara musik beradu dengan nada yang mengentak-entakkan jantung. Ini bukan hal yang biasa bagi sang gadis. Apalagi harus mencari dua sosok di antara banyak kerumunan.Sampai akhirnya mata Adiba bisa melihat dua orang itu tengah duduk di depab bar panjang bersama seorang pria berpakaian serba hitam. Pria itu adalah penjaga yang dulu menangani Devan kala sang pria hampir membuat ulah.Namun, di mata Adiba pria itu tidak baik. Sebab pasti yang sedang menawarkan hal tidak baik pula pada Arya dan Maura.Mereka bertiga tampak serius berbicara. Bahkan sesekali Arya mengusap punggun
Arya kalah cepat, Adiba sudah masuk ke taksi dan malah membuat sang pria merasa frustrasi. Dia sampai mengerang.“Gimana ini? Kunci mobil Adiba ada padaku.”Dia mulai bingung. Sampai akhirnya memilih untuk mengantarkan mobil Adiba dulu baru dia akan mengambil mobilnya.Namun, sayangnya Adiba tidak pergi ke rumah Lusi, melainkan ke taman kota. Sebab dirinya punya perkiraan, jika Arya akan mengantarkan mobil ke rumah Lusi.Dia memilih untuk duduk diam seperti ini. Memikirkan apa yang harus dilakukan ke depannya. Mungkin sebagian orang bertanya, kenapa dirinya sebegitu peduli pada Lusi. Jawabannya karena amanah ibunya Adiba.Dulu mereka bertetangga dan berteman sejak kecil. Ayahnya Lusi begitu baik pada semua orang, termasuk pada keluarga Adiba. Sering membantu mereka dalam hal apa pun.Saat video perselingkuhan Raka viral, ibunya Adiba sudah menyuruh sang gadis untuk menyusul Lusi. Sebab keluarga Adiba tahu, jika Lusi tinggal sendiri tanpa keluarga.Sebelumnya, ibunya Adiba menyuruh san
Adiba tengah berdiri di depan pintu kamar Lusi yang tertutup rapat sedari acara ijab kabul batal itu bubar. Dia berat mengatakan ini di saat Lusi tengah bersedih. Tetapi, Adiba tidak mau mengambil risiko dengan terus berada di sini. Sementara dia pasti akan bertemu lagi dengan Arya.Dengan helaan napas panjang, sang gadis pun mengetuk pintu kamar Lusi. “Lus, maaf ganggu. Tapi, aku perlu bicara penting.”Lusi yang sedari tadi hanya tiduran dan menangis pun langsung terduduk. Sebenarnya, dia tidak mau diganggu oleh siapa pun. Sampai Alia terpaksa ikut Bu Murni, sebab takut dirinya tidak fokus.Namun, Adiba tidak akan sampai berkata seperti itu kalau memang tidak ada hal yang penting. Akhirnya Lusi pun membuka kunci pintu dan mempersilakan temannya untuk masuk.Adiba terdiam melihat mata Lusi yang sembab. Dia sempat ingin mengurungkan niat bercerita pada Lusi, tapi bayangan saat Arya mengelus punggung Maura membuat dirinya memilih untuk bersikap tega.“Masuklah,” ucap Lusi.Adiba terseny
Devan termenung dengan perasaan tak karuan. Dia benar-benar merasa terpuruk mendengar perkataan Lusi saat melihat gagalnya prosesi ijab kabul wanita itu.Apalagi mendapat penolakan yang sangat nyata. Entah semua berawal dari mana, yang pasti Devan saat ini hanya bisa meratapi diri.Suara ketukan pintu berhasil mengalihkan perhatian Amanda. Sang pria menyuruh orang di balik pintu untuk masuk. Melihat kedatangan Amanda yang berjalan bak model membuat Devan kesal.Dia tahu, Amanda sedang mencari perhatian kepadanya. Devan terdiam dengan pemikiran lain. Ya, tentu saja. Semua ini berawal dari Amanda.Kesalah pahaman yang berujung pada kandasnya hubungan dengan Lusi. Pria itu jadi berpikir jauh, kalau saja Amanda tidak ada, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini.“Mas, aku sudah menyusun laporan ini. Maaf kalau ada banyak salah, itu karena aku baru.”Amanda menyimpan dokumen bemap biru di depan Devan. Dia menggulum bibir saat mendapati Devan menatapnya dengan begitu intens, berpikir kal
Maura terdiam saat mendengar kabar dari Arya. Wanita sangat berterima kasih pada sang pria dan meminta maaf sebab kejadian di club malam membuat Arya jauh dari Adiba.“Tidak apa-apa, aku akan mengatasi itu. Yang penting, kamu harus gunakan kesempatan ini untuk membuat menikahimu, apa pun yang terjadi.”“Aku akan usahakan.”Arya terdiam sejenak, tampaknya dia tahu apa yang harus dilakukan agar Adiba bisa paham dan menyelesaikan masalah di antara keduanya.“Maura, sekalian kamu ajak Lusi.”“Hah? Kenapa, Mas?”Devan menghela napas panjang, lupa kalau yang dihadapinya adalah seorang anak di bawah umur.“Devan itu sangat mencintai Lusi. Kalau Lusi tahu kelakuan Devan, otomatis dia akan sangat benci pada Devan.”Maura paham. Dia setuju dengan usulan Arya.Arya yakin, jika Lusi pergi maka ada Adiba di sana. Jadi, dia akan menjelaskan semuanya di sana, dan mau tidak mau Adiba akan mendengarkan semuanya.Setelah mengakhiri panggilan, sang wanita langsung menghampiri Lusi yang saat itu tengah d
Suara dering ponsel membuat Mila terkesiap dan kontan menghentikan tangisannya. Ternyata dari karyawannya. Tampaknya wanita itu harus segera kembali ke butik, sebab pasti kerjaannya semakin banyak.Dia tidak mungkin terus-terusan larut dalam kesedihan karena menangisi Raka, sementara ada usaha yang harus terus dijalankan. Kalau tidak, dirinya akan jatuh miskin dan benar-benar kehilangan Raka. Pria itu tidak mungkin mau hidup susah dengannya, jadi cara satu-satunya mempertahankan Raka yaitu dengan banyak uang. Miris, bukan? Harusnya di sini seorang pria yang melakukan ini semua, tetapi Mila mau tidak mau harus menghasilkan banyak uang demi mempertahankan Raka.Ya, demi agar anaknya bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah. Demi dirinya yang tidak lagi dijandakan oleh pria itu. Mila hanya bisa tersenyum miris, tetapi tak urung tetap kembali menjalankan mobilnya. Berusaha untuk tegar. Wanita hamil itu mengelus-elus perutnya yang mulai membesar. "Sabar ya, Nak. Ibu akan berusaha sebaik
"Kamu sudah gila, ya? Apa yang baru saja kamu katakan?!" tanya Bu Sinta, kali ini wanita paruh baya itu marah karena anaknya malah merahasiakan pernikahan dengan Winda. Harusnya biarkan saja diberi tahu semua orang, termasuk Mila. Agar ketahuan bagaimana reaksi wanita hamil itu, berharap kalau Mila mau tahu diri dan memilih untuk pergi dari kehidupan Raka. Tetapi tampaknya Raka sama sekali enggan untuk mempublikasikan hubungannya dengan Winda. "Aku tidak gila, Bu. Karena aku waras, makanya merahasiakan semua ini.""Lalu, bagaimana dengan perasaan Winda?" "Aku yakin, Winda juga pasti akan mengerti dengan situasi ini. Kami sudah saling sepakat. Jadi, aku harap Ibu tidak merecoki rencana kami.""Apa yang sedang kamu rencanakan sebenarnya, Raka? Ibu kasihan kalau Winda statusnya disembunyikan dari siapa pun." "Bu, aku melakukan ini demi kebaikan bersama. Bahkan Winda juga berkata, dia tidak akan ikut campur urusan aku dan juga Mila. Sebaliknya, Mila juga tidak boleh ikut campur urusan
"Itulah masalahnya, Bu. Mila tidak sebodoh yang kita kira. Dia bisa saja mengantisipasi untuk mendapatkan hak asuh anak dengan cara menahanku. Dia pasti sudah melakukan berbagai cara agar aku bisa berada di sisinya, termasuk anak itu." "Lalu, bagaimana? Kalau memang kamu tidak mau terikat dengan Mila, lepaskan anak itu. Kalau misalkan kamu ingin anak itu, cari cara menyingkirkan Mila. Mudah, kan?" "Tidak semudah itu, Bu. Aku tahu Ibu benci Mila, tapi tolong jangan benci anakku. Dia tidak tahu apa-apa. Bukankah bayi yang ada di dalam kandungan setiap Ibu hamil itu tidak berdosa? Kalau pun memang harus disalahkan, Mila sendiri dan aku. Jadi, kumohon kali ini saja Ibu mau menuruti permintaanku." Bu Sinta menghela napas kasar. Dalam hatinya tidak mau mengurusi cucunya itu. Lagi pula menurutnya cucu yang baik itu hanya Alia. Walaupun dia tidak tahu bagaimana nanti anak Mila, tapi wanita paruh baya sudah menafsirkan kalau sifat Mila pasti akan turun kepada anaknya sendiri. "Ya, terserah
"Bagus, bagus! Ibu setuju dengan keputusanmu. Kan sudah Ibu bilang, Winda itu adalah istri yang baik untuk kamu. Dibandingkan dengan Mila, Ibu lebih setuju dengan Winda. Dia itu baik hati, tidak perhitungan dan juga mengerti keadaan kamu dan Ibu. Jadi, menurut Ibu kamu itu memang harus memilih Winda. Bagus-bagus," papar Bu Sinta dengan semangat. Dia bahkan terus-terusan tersenyum sembari membereskan piring bekas makan Raka. Pria itu belum berani untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, kalau diam saja pun tidak akan mengubah situasi yang ada. Keadaan semakin kacau karena pasti Bu Sinta akan menyerang Mila atau malah melakukan sesuatu yang sangat membahayakan untuk rencana ke depannya."Iya, Bu. Tapi aku akan menjadikannya istri kedua."Bu Sinta hampir saja melepaskan piring yang ada di tangan saat Raka mengatakan hal tersebut. Wanita paruh baya itu langsung menyimpan piring kotor dan kembali ke hadapan anaknya dengan wajah kaget. "Apa kamu bilang tadi? Istri kedua? Maks
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay
Bu Sinta maupun Mila kaget mendengar suara Raka yang menggelegar, tampak sekali wajahnya memerah seperti menahan emosi karena sudah dari tadi kedua wanita berbeda usia ini terus saja bertengkar. "Apa kalian tidak bisa diam?! Jangan terus-terusan mengoceh dengan berbagai macam alasan! Aku punya keputusan sendiri," ucap Raka, membuat Bu Sinta dan Mila kaget bersamaan. Mereka takut jika Raka mengambil keputusan yang salah dan merugikan kedua belah pihak. Mila berharap kalau Raka tidak meninggalkannya, berbeda dengan Bu Sinta yang ingin anaknya kembali kepada Bu Sinta dan menceraikan Mila. Pria itu menoleh kepada Mila dengan tatapan sinis. Dia sudah jengah dengan semua perlakuan istrinya ini. Mila berbeda jauh dengan wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya. Apa mungkin memang sifat asli Mila seperti ini? Begitu pikir Raka atau hanya karena perubahan hormon Ibu hamil akhirnya Mila lebih protektif dan temperamental? Semua itu masih bergerilya di pikiran Raka, belum bisa menga
"Jangan percaya sama Ibu, Mas! Kamu tahu sendiri, kan? Gara-gara Ibu, kamu hampir kehilangan anak ini. Dia yang memalsukan tes DNA anak ini!" seru Mila tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan, membuat Bu Sinta terdiam dan wanita paruh baya itu benar-benar kaget kala Mila membahas lagi masalah yang sudah berlalu. Padahal sekarang permasalahan utamanya adalah Mila yang tidak pernah bisa membebaskan Raka, selalu saja mengekang dan harus berada di samping wanita itu. "Kenapa kamu malah ngomongin itu sekarang? Bukan waktunya kamu berbicara hal yang sudah berlalu.""Oh, kenapa tidak, Bu? Tentu saja aku harus bicara dengan Mas Raka, kalau Ibu itu tidak mau melihat anak ini lahir, kan?" Keadaan semakin genting saat ini. Kalau Mila mengatakan hal seperti itu, tentu saja Bu Sinta tidak mau kalah. Baginya pertarungan ini harus dimenangkan olehnya, karena ini adalah satu-satunya cara dan kesempatan yang langka untuk mendapatkan anaknya kembali. "Jaga bicaramu! Itu sudah berlalu, aku melakukan