Maura terdiam saat mendengar kabar dari Arya. Wanita sangat berterima kasih pada sang pria dan meminta maaf sebab kejadian di club malam membuat Arya jauh dari Adiba.“Tidak apa-apa, aku akan mengatasi itu. Yang penting, kamu harus gunakan kesempatan ini untuk membuat menikahimu, apa pun yang terjadi.”“Aku akan usahakan.”Arya terdiam sejenak, tampaknya dia tahu apa yang harus dilakukan agar Adiba bisa paham dan menyelesaikan masalah di antara keduanya.“Maura, sekalian kamu ajak Lusi.”“Hah? Kenapa, Mas?”Devan menghela napas panjang, lupa kalau yang dihadapinya adalah seorang anak di bawah umur.“Devan itu sangat mencintai Lusi. Kalau Lusi tahu kelakuan Devan, otomatis dia akan sangat benci pada Devan.”Maura paham. Dia setuju dengan usulan Arya.Arya yakin, jika Lusi pergi maka ada Adiba di sana. Jadi, dia akan menjelaskan semuanya di sana, dan mau tidak mau Adiba akan mendengarkan semuanya.Setelah mengakhiri panggilan, sang wanita langsung menghampiri Lusi yang saat itu tengah d
“Ayo, jawab! Jangan diam saja, Pak. Kalau saudara tidak kooferatif, itu artinya tuduhan ini benar.”Devan sudah mulai gusar. Dia menoleh pada Arya untuk meminta bantuan, tapi yang di dapat sungguh di luar dugaan.“Aku justru ingin mendengar dari mulutmu sendiri, apa kamu yang melakukan hal sekeji itu pada anak di bawah umur?”Devan membulatkan mata tak percaya dengan ucapan Arya. Dia harus membuat alasan tepat agar bebas dari hukum.Di saat seperti ini, datanglah Lusi dan Maura. Wanita beranak satu itu kaget melihat Devan diborgol dan duduk di depan penyidik.Langkah yang semula semangat dan rasa penasaran itu langsung terhenti. Pikiran Lusi tiba-tiba saja kosong.Melihat kedatangan Maura, penyidik itu langsung berseru.“Nah, itu korbannya datang. Ayo sini, Nak! Kamu harus bersaksi.”Lusi seperti orang linglung saat mendengar nama Maura disebut sebagai korban. Devan dan Arya pun menoleh.Devan terkejut dan langsung berdiri melihat sosok Lusi yang datang. Sudah, hidup Devan memang tida
Hening. Di ruang keluarga ada Maura dan Adiba, begitu juga dengan Lusi. Setelah pulang dari kantor polisi, ternyata Adiba sudah pulang.Ternyata, Adiba pergi untuk mengurus perpindahannya. Dia kaget melihat keadaan yang tegang. Lusi langsung menceritakan semua.Adiba terntu saja kaget. Pantas saja sikap Maura agak berubah selama 2 hari ini. Ternyata ada kejadian yang tak terduga.Sekarang, Lusi akan menginterogasi Maura. Dia kecewa dan marah pada Maura. Padahal sudah dijelaskan dari awal, kalau wanita itu cukup belajar yang baik dan menjadi wanita baik pula. Tetapi, belum juga berbulan-bulan, Maura sudah membuat masalah besar.Apalagi, Lusi belum membuka identitas dirinya sebagai seorang Kakak. Sekarang, Lusi sudah punya keputusan bulat. Mungkin benar, dirinya harus hijrah dari tempat ini.“Aku kecewa padamu, Maura.”Maura tersentak. Dia menunduk malu. Sementara Adiba hanya diam. Dia akan bersuara jika dibutuhkan.Lusi masih berdiri, tapi sekarang menghadap pada Maura yang masih menun
Lusi terdiam melihat ke luar jendela. Gelapnya malam sama dengan gelap hidupnya yang banyak sekali masalah dan pelik. Sang wanita sampai menitikan air mata, mengingat keterangan dari penyidik di kantor polisi tadi.Sungguh dia tidak menyangka jika Devan bisa melakukan hal seperti itu. Di luar dugaan sekali. Lebih mengecewakan saat Maura lah yang menjadi korban.Bukan apa-apa, bagaimanapun Maura adalah adiknya. Ada rasa tidak ikhlas saat tahu adiknya juga rusak sama seperti Mil.Tak ada alasan untuk dia tetap di sini. Wanita itu sudah berpikir matang untuk hijrah dari tempat ini. Untuk masalah Maura, dia akan melepasnya.Lagi pula, sampai sekarang, adiknya tidak tahu siapa Lusi sebenarnya. Mungkin jika Devan menikasi Maura, maka dia akan sedikit tenang. Setidaknya ada yang bertanggung jawab atas kehidupan Maura.Suara ketukan pintu berhasil mengalihkan perhatian sang wanita. Dia harus pastikan dulu kalau di sana bukan Maura.“Siapa?”“Aku, Adiba. Bisakah aku masuk?”Sebenarnya, Maura m
Devan tampak pucat, bahkan dia sampai meneguk saliva dengan susah payah melihat pria besar itu.“Kenapa diam saja? Apa kamu tuli? Atau bisu?”Bukannya menjawab, Devan masih saja diam. Sekarang keringat dingin mulai bercucuran. Dia benar-benar takut.Dalam keadaan seperti ini, sang pria teringat kalau dalam penjara, seorang napi baru akan diospek terlebih dahulu. Mereka akan disambut dengan bogem mentah kala hari pertama masuk ke sel. Semuanya sama, kecuali jika berkaian dengan kehormatan wanita.Para napi lain akan memberikan salam perkenalan dengan sangat menyakitkan pada pelaku kejahatan kelamin. Devan terus mengingat tentang itu, jadi dia akan diam kalau ditanya perihal alasannya masuk ke sel.“Kenapa kamu diam saja? Katakan! Apa kamu tuli?!”Pria besar itu meninggikan suara, membuat Devan ciut. Posisinya yang memang salah, sudah membuat sang pria ketakutan. Berbeda cerita kalau dirinya tidak bersalah.Karena kesal, pria besar itu akhirnya menghajar Devan hingga tersungkur ke lanta
Pagi telah tiba, Lusi sudah siap dengan baju kerjanya. Adiba yang melihat itu pun kaget. Dia pikir sang wanita akan istirahat di rumah mengingat kemarin ada kejadian yang menyakitkan untuk Lusi.“Lus, kamu mau berangkat?” tanya Adiba saat dia baru saja selesai mandi dan hendak membuat makanan. Tetapi, ternyata Lusi sudah terlebih dahulu masak.Lusi menatap Adiba dengan senyuman kecil. Adiba tahu, senyuman itu berbalut luka. Tetapi, Lusi berusaha sebaik mungkin untuk tegar.Hanya saja Adiba merasa sangat kasihan kepada temannya. Tetapi, lagi-lagi dia tidak bisa berbuat apa-apa.“Aku mau meeting dengan seluruh karyawanku. Aku akan menunjuk salah satu di antara mereka untuk menjadi wakilku di sini.”Adiba membulatkan mata. Dia mendekat pada sang wanita.“Apa maksudmu? Kamu mau menyerahkan usahamu pada orang lain?”Lusi menggelengkan kepala, merasa lucu melihat reaksi Adiba yang khawatir seperti itu.“Tidak, aku hanya akan memantaunya dari jauh.”“Maksudnya?” Adiba semakin kebingungan den
Adiba mengeluarkan barang bawaan Maura, lalu terakhir mendorong wanita itu keluar dari rumah Lusi. Maura sempat menolak, tapi tenaga Adiba lebih besar. Hingga akhirnya Maura bisa dikeluarkan dari rumah itu.“Keluar kamu! Aku sudah bilang secara baik-baik. Tetapi, kamu malah mengusikku. Jadi, jangan pernah berlagak tersakiti. Di sini, kamulah penjahatnya.”Kalimat terakhir yang diucapkan Adiba membuat Maura terdiam. Dia merasa tersinggung dengan perkataan itu. Secara diam-diam mengakui semuanya dalam hati.Memang dari awal bertemu dengan Devan, dia sudah menaruh hati dan berencana merebutnya. Sekarang semua itu sudah terlaksana. Harusnya Maura senang dan bangga, tapi yang dialaminya malah seperti ini. Dia diusir dengan tidak hormat.Sekarang, entah ke mana dia harus pergi, sementara tak ada orang yang dia kenal, kecuali ....Wanita itu jadi terpikirkan akan seseorang. Dia menatap Adiba dengan kesal. Lalu, tanpa mengatakan apa-apa lagi sang wanita pun pergi dari hadapan Adiba.Dia tidak
Arya menatap datar sang wanita yang saat ini duduk di depannya. Pria itu bahkan melirik pada koper yang dibawa oleh Maura.Sang pria lalu menatap wanita itu dengan tanya. “Jangan bilang kamu mau mengungsi ke sini? Restoran ini tidak ada tempat tidurnya.”“Aku tak punya pilihan, Mas. Mas Devan tidak mau menerimaku dan memilih babak belur di penjara.”Arya langsung terduduk tegak. “Benarkah? Kamu sudah melihat Devan?”Maura mengangguk. “Aku kira bisa tinggal di rumahnya dan mungkin saja Mas Devan berubah pikiran setelah dipenjara seharian. Tapi, pria itu tetap tidak mau menyerah. Aku melihat wajahnya babak belur, sampai hampir saja tidak mengenalinya.”Dalam hati Arya merasa sangat senang. Mungkin tidak ada salahnya kalau Devan dipenjara. Hitung-hitung rasa kesalnya tersalurkan oleh para napi lain yang membuat sang pria babak belur.“Ya sudahlah, aku tahu semua ini akan terjadi. Kamu bisa tinggal di restoran ini. Pakailah kamar belakang. Tapi, hanya ada tikar, bukan kasur.”“Tidak apa,