Devan tampak pucat, bahkan dia sampai meneguk saliva dengan susah payah melihat pria besar itu.“Kenapa diam saja? Apa kamu tuli? Atau bisu?”Bukannya menjawab, Devan masih saja diam. Sekarang keringat dingin mulai bercucuran. Dia benar-benar takut.Dalam keadaan seperti ini, sang pria teringat kalau dalam penjara, seorang napi baru akan diospek terlebih dahulu. Mereka akan disambut dengan bogem mentah kala hari pertama masuk ke sel. Semuanya sama, kecuali jika berkaian dengan kehormatan wanita.Para napi lain akan memberikan salam perkenalan dengan sangat menyakitkan pada pelaku kejahatan kelamin. Devan terus mengingat tentang itu, jadi dia akan diam kalau ditanya perihal alasannya masuk ke sel.“Kenapa kamu diam saja? Katakan! Apa kamu tuli?!”Pria besar itu meninggikan suara, membuat Devan ciut. Posisinya yang memang salah, sudah membuat sang pria ketakutan. Berbeda cerita kalau dirinya tidak bersalah.Karena kesal, pria besar itu akhirnya menghajar Devan hingga tersungkur ke lanta
Pagi telah tiba, Lusi sudah siap dengan baju kerjanya. Adiba yang melihat itu pun kaget. Dia pikir sang wanita akan istirahat di rumah mengingat kemarin ada kejadian yang menyakitkan untuk Lusi.“Lus, kamu mau berangkat?” tanya Adiba saat dia baru saja selesai mandi dan hendak membuat makanan. Tetapi, ternyata Lusi sudah terlebih dahulu masak.Lusi menatap Adiba dengan senyuman kecil. Adiba tahu, senyuman itu berbalut luka. Tetapi, Lusi berusaha sebaik mungkin untuk tegar.Hanya saja Adiba merasa sangat kasihan kepada temannya. Tetapi, lagi-lagi dia tidak bisa berbuat apa-apa.“Aku mau meeting dengan seluruh karyawanku. Aku akan menunjuk salah satu di antara mereka untuk menjadi wakilku di sini.”Adiba membulatkan mata. Dia mendekat pada sang wanita.“Apa maksudmu? Kamu mau menyerahkan usahamu pada orang lain?”Lusi menggelengkan kepala, merasa lucu melihat reaksi Adiba yang khawatir seperti itu.“Tidak, aku hanya akan memantaunya dari jauh.”“Maksudnya?” Adiba semakin kebingungan den
Adiba mengeluarkan barang bawaan Maura, lalu terakhir mendorong wanita itu keluar dari rumah Lusi. Maura sempat menolak, tapi tenaga Adiba lebih besar. Hingga akhirnya Maura bisa dikeluarkan dari rumah itu.“Keluar kamu! Aku sudah bilang secara baik-baik. Tetapi, kamu malah mengusikku. Jadi, jangan pernah berlagak tersakiti. Di sini, kamulah penjahatnya.”Kalimat terakhir yang diucapkan Adiba membuat Maura terdiam. Dia merasa tersinggung dengan perkataan itu. Secara diam-diam mengakui semuanya dalam hati.Memang dari awal bertemu dengan Devan, dia sudah menaruh hati dan berencana merebutnya. Sekarang semua itu sudah terlaksana. Harusnya Maura senang dan bangga, tapi yang dialaminya malah seperti ini. Dia diusir dengan tidak hormat.Sekarang, entah ke mana dia harus pergi, sementara tak ada orang yang dia kenal, kecuali ....Wanita itu jadi terpikirkan akan seseorang. Dia menatap Adiba dengan kesal. Lalu, tanpa mengatakan apa-apa lagi sang wanita pun pergi dari hadapan Adiba.Dia tidak
Arya menatap datar sang wanita yang saat ini duduk di depannya. Pria itu bahkan melirik pada koper yang dibawa oleh Maura.Sang pria lalu menatap wanita itu dengan tanya. “Jangan bilang kamu mau mengungsi ke sini? Restoran ini tidak ada tempat tidurnya.”“Aku tak punya pilihan, Mas. Mas Devan tidak mau menerimaku dan memilih babak belur di penjara.”Arya langsung terduduk tegak. “Benarkah? Kamu sudah melihat Devan?”Maura mengangguk. “Aku kira bisa tinggal di rumahnya dan mungkin saja Mas Devan berubah pikiran setelah dipenjara seharian. Tapi, pria itu tetap tidak mau menyerah. Aku melihat wajahnya babak belur, sampai hampir saja tidak mengenalinya.”Dalam hati Arya merasa sangat senang. Mungkin tidak ada salahnya kalau Devan dipenjara. Hitung-hitung rasa kesalnya tersalurkan oleh para napi lain yang membuat sang pria babak belur.“Ya sudahlah, aku tahu semua ini akan terjadi. Kamu bisa tinggal di restoran ini. Pakailah kamar belakang. Tapi, hanya ada tikar, bukan kasur.”“Tidak apa,
Raka tersenyum puas saat keinginannya terpenuhi. Sekarang, dia tahu bagaimana memanfaatkan Mila.“Sudahkan, Sayang? Jadi, mari kita mulai mengenali produk apa saja yang ada di sini.”Mila mengajak Raka untuk mempelajari apa saja yang ada di butik ini. Termasuk toko online milik Mila yang ada di toko orange dan hitam.Raka terkejut melihatnya. Ternyata nama toko Mila, adalah toko online yang terkenal itu. Tidak menyangka saja jika itu punya Mila.“Ini toko milikmu? Kenapa berbeda dengan nama butikmu?”“Oh, untuk masalah itu. Kalau toko online bukan hanya barang branded, tapi barang yang ekonomis juga. Lagian, kalau ada yang tahu itu aku, mereka pasti akan berpikir dua kali untuk membelinya.”Raka mengernyitkan dahi, tidak paham dengan maksud penjelasan Mila. “Maksudmu?”Mila menghela napas panjang. Dia sebenarnya malas menceritakan ini semua, tapi kini Raka jadi suaminya. Segala apa pun memang harus dibicarakan.“Mas, kita terkenal sebab video viral itu. Kamu sulit mendapatkan kerjaan,
“Iya, kamu benar. Aku tidak boleh membiarkan orang-orang meremehkanku. Tapi, tidak semudah itu aku bisa mengendalikan Mila.”“Bisa, kamu tinggal buat dia tunduk padamu. Lagian Mila yang tergila-gila padamu, kan?”Raka terdiam. Memang benar itu semua, tapi tidak mungkin dia bertindak buru-buru. Akan lebih berbahaya kalau Mila curiga terlebih dahulu.“Aku punya rencana sendiri. Akan ada waktunya aku menghancurkan Mila, sama seperti dirinya yang menghancurkan hubunganku dengan Lusi.”Arya hanya bisa menggelengkan kepala melihat tabiat Raka. Pria ini mulai serakah. Mereka pun melanjutkan obrolan lain.Namun, ada seseorang yang sedari tadi tengah mematung, mendengarkan percakapan mereka sedari tadi. Itu adalah Maura.Awalnya sang wanita hendak ke mini market untuk membeli peralatan mandi, tapi langkahnya tertahan mendengar percakapan mereka.Kedua orang itu belum tahu kalau dirinya adalah Adik kandung Mila. Hanya Devan dan Adiba yang mengetahui itu semua. Sebab, Lusi yang menceritakannya.
Adiba terkesiap, sampai wajahnya memerah karena Lusi tetiba saja bertanya seperti itu.“Ma-maksud kamu apa?”Sebab setahu Adiba, sang wanita tidak tahu perihal rencananya dengan Arya.Lusi menggulum senyum. Melihat Adiba yang bereaksi seperti itu membuat sang wanita penasaran, bagaimana sikap Adiba jika dekat dengan pria.“Ah, jangan menyembunyikan apa-apa dariku. Kemarin, Bu Murni sempat cerita kalau beberapa hari yang lalu ada seorang pria yang datang ke rumah ini, terlihat memohon maaf pada Adiba. Saat aku tanya siapa namanya, kata Bu Murni namanya Arya. Kalau bukan dia, Arya mana lagi. Iya, kan?”Lusi menatap jahil temannya sembari menaik-turunkan kedua alis. Pipi Adiba terasa terbakar. Ini sebuah kejadian yang tak diduga. Ternyata, ada orang yang mendengar saat itu. Betapa malunya Adiba.“Apaan, sih, Lus?! Kamu tidak tahu saja ada kejadian apa yang membuatku kesal padanya.”“Iya, terlepas dari itu. Arya benar-benar berusaha menjelaskan semuanya padamu. Itu pria baik, kan?”Adiba
Sore hari, Adiba kembali ke kantor. Ada berkas penting yang harus dia bawa saat nanti pindahan. Setelahnya, sang gadis pergi ke mini market. Berhubung dia akan pergi lusa nanti, jadi sore ini dia akan kuliner ke berbagai tempat.Gadis itu begitu riang jalan-jalan sendiri, tidak memikirkan apa pun yang bisa memberatkannya. Masalah Lusi pun telah selesai. Maura juga tidak ada di rumah, jadi dia benar-benar merasa bebas.Sang gadis sengaja membeli mi instan dan dimakan di mini market tersebut. Dia menikati kesendiriannya dengan perasaan senang.“Ah, memang paling benar sendiri. Bebas, bisa melakukan apa saja tanpa ada yang melarang dan menambah masalah,” gumam gadis itu sembari menghidu aroma mie yang mengguar.Adiba sangat khusyuk memakannya, tanpa sadar ada seseorang yang duduk dan juga memakan mie yang sama.Gadis itu begitu menikmatinya, sampai tidak peka akan sekitar kalau sedari tadi orang di sebelahnya tengah memandangi sedemikian rupa.“Memang enak, ya.”Tubuh Adiba menegang mend
Suara dering ponsel membuat Mila terkesiap dan kontan menghentikan tangisannya. Ternyata dari karyawannya. Tampaknya wanita itu harus segera kembali ke butik, sebab pasti kerjaannya semakin banyak.Dia tidak mungkin terus-terusan larut dalam kesedihan karena menangisi Raka, sementara ada usaha yang harus terus dijalankan. Kalau tidak, dirinya akan jatuh miskin dan benar-benar kehilangan Raka. Pria itu tidak mungkin mau hidup susah dengannya, jadi cara satu-satunya mempertahankan Raka yaitu dengan banyak uang. Miris, bukan? Harusnya di sini seorang pria yang melakukan ini semua, tetapi Mila mau tidak mau harus menghasilkan banyak uang demi mempertahankan Raka.Ya, demi agar anaknya bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah. Demi dirinya yang tidak lagi dijandakan oleh pria itu. Mila hanya bisa tersenyum miris, tetapi tak urung tetap kembali menjalankan mobilnya. Berusaha untuk tegar. Wanita hamil itu mengelus-elus perutnya yang mulai membesar. "Sabar ya, Nak. Ibu akan berusaha sebaik
"Kamu sudah gila, ya? Apa yang baru saja kamu katakan?!" tanya Bu Sinta, kali ini wanita paruh baya itu marah karena anaknya malah merahasiakan pernikahan dengan Winda. Harusnya biarkan saja diberi tahu semua orang, termasuk Mila. Agar ketahuan bagaimana reaksi wanita hamil itu, berharap kalau Mila mau tahu diri dan memilih untuk pergi dari kehidupan Raka. Tetapi tampaknya Raka sama sekali enggan untuk mempublikasikan hubungannya dengan Winda. "Aku tidak gila, Bu. Karena aku waras, makanya merahasiakan semua ini.""Lalu, bagaimana dengan perasaan Winda?" "Aku yakin, Winda juga pasti akan mengerti dengan situasi ini. Kami sudah saling sepakat. Jadi, aku harap Ibu tidak merecoki rencana kami.""Apa yang sedang kamu rencanakan sebenarnya, Raka? Ibu kasihan kalau Winda statusnya disembunyikan dari siapa pun." "Bu, aku melakukan ini demi kebaikan bersama. Bahkan Winda juga berkata, dia tidak akan ikut campur urusan aku dan juga Mila. Sebaliknya, Mila juga tidak boleh ikut campur urusan
"Itulah masalahnya, Bu. Mila tidak sebodoh yang kita kira. Dia bisa saja mengantisipasi untuk mendapatkan hak asuh anak dengan cara menahanku. Dia pasti sudah melakukan berbagai cara agar aku bisa berada di sisinya, termasuk anak itu." "Lalu, bagaimana? Kalau memang kamu tidak mau terikat dengan Mila, lepaskan anak itu. Kalau misalkan kamu ingin anak itu, cari cara menyingkirkan Mila. Mudah, kan?" "Tidak semudah itu, Bu. Aku tahu Ibu benci Mila, tapi tolong jangan benci anakku. Dia tidak tahu apa-apa. Bukankah bayi yang ada di dalam kandungan setiap Ibu hamil itu tidak berdosa? Kalau pun memang harus disalahkan, Mila sendiri dan aku. Jadi, kumohon kali ini saja Ibu mau menuruti permintaanku." Bu Sinta menghela napas kasar. Dalam hatinya tidak mau mengurusi cucunya itu. Lagi pula menurutnya cucu yang baik itu hanya Alia. Walaupun dia tidak tahu bagaimana nanti anak Mila, tapi wanita paruh baya sudah menafsirkan kalau sifat Mila pasti akan turun kepada anaknya sendiri. "Ya, terserah
"Bagus, bagus! Ibu setuju dengan keputusanmu. Kan sudah Ibu bilang, Winda itu adalah istri yang baik untuk kamu. Dibandingkan dengan Mila, Ibu lebih setuju dengan Winda. Dia itu baik hati, tidak perhitungan dan juga mengerti keadaan kamu dan Ibu. Jadi, menurut Ibu kamu itu memang harus memilih Winda. Bagus-bagus," papar Bu Sinta dengan semangat. Dia bahkan terus-terusan tersenyum sembari membereskan piring bekas makan Raka. Pria itu belum berani untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, kalau diam saja pun tidak akan mengubah situasi yang ada. Keadaan semakin kacau karena pasti Bu Sinta akan menyerang Mila atau malah melakukan sesuatu yang sangat membahayakan untuk rencana ke depannya."Iya, Bu. Tapi aku akan menjadikannya istri kedua."Bu Sinta hampir saja melepaskan piring yang ada di tangan saat Raka mengatakan hal tersebut. Wanita paruh baya itu langsung menyimpan piring kotor dan kembali ke hadapan anaknya dengan wajah kaget. "Apa kamu bilang tadi? Istri kedua? Maks
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay
Bu Sinta maupun Mila kaget mendengar suara Raka yang menggelegar, tampak sekali wajahnya memerah seperti menahan emosi karena sudah dari tadi kedua wanita berbeda usia ini terus saja bertengkar. "Apa kalian tidak bisa diam?! Jangan terus-terusan mengoceh dengan berbagai macam alasan! Aku punya keputusan sendiri," ucap Raka, membuat Bu Sinta dan Mila kaget bersamaan. Mereka takut jika Raka mengambil keputusan yang salah dan merugikan kedua belah pihak. Mila berharap kalau Raka tidak meninggalkannya, berbeda dengan Bu Sinta yang ingin anaknya kembali kepada Bu Sinta dan menceraikan Mila. Pria itu menoleh kepada Mila dengan tatapan sinis. Dia sudah jengah dengan semua perlakuan istrinya ini. Mila berbeda jauh dengan wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya. Apa mungkin memang sifat asli Mila seperti ini? Begitu pikir Raka atau hanya karena perubahan hormon Ibu hamil akhirnya Mila lebih protektif dan temperamental? Semua itu masih bergerilya di pikiran Raka, belum bisa menga
"Jangan percaya sama Ibu, Mas! Kamu tahu sendiri, kan? Gara-gara Ibu, kamu hampir kehilangan anak ini. Dia yang memalsukan tes DNA anak ini!" seru Mila tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan, membuat Bu Sinta terdiam dan wanita paruh baya itu benar-benar kaget kala Mila membahas lagi masalah yang sudah berlalu. Padahal sekarang permasalahan utamanya adalah Mila yang tidak pernah bisa membebaskan Raka, selalu saja mengekang dan harus berada di samping wanita itu. "Kenapa kamu malah ngomongin itu sekarang? Bukan waktunya kamu berbicara hal yang sudah berlalu.""Oh, kenapa tidak, Bu? Tentu saja aku harus bicara dengan Mas Raka, kalau Ibu itu tidak mau melihat anak ini lahir, kan?" Keadaan semakin genting saat ini. Kalau Mila mengatakan hal seperti itu, tentu saja Bu Sinta tidak mau kalah. Baginya pertarungan ini harus dimenangkan olehnya, karena ini adalah satu-satunya cara dan kesempatan yang langka untuk mendapatkan anaknya kembali. "Jaga bicaramu! Itu sudah berlalu, aku melakukan