Adiba terkesiap, sampai wajahnya memerah karena Lusi tetiba saja bertanya seperti itu.“Ma-maksud kamu apa?”Sebab setahu Adiba, sang wanita tidak tahu perihal rencananya dengan Arya.Lusi menggulum senyum. Melihat Adiba yang bereaksi seperti itu membuat sang wanita penasaran, bagaimana sikap Adiba jika dekat dengan pria.“Ah, jangan menyembunyikan apa-apa dariku. Kemarin, Bu Murni sempat cerita kalau beberapa hari yang lalu ada seorang pria yang datang ke rumah ini, terlihat memohon maaf pada Adiba. Saat aku tanya siapa namanya, kata Bu Murni namanya Arya. Kalau bukan dia, Arya mana lagi. Iya, kan?”Lusi menatap jahil temannya sembari menaik-turunkan kedua alis. Pipi Adiba terasa terbakar. Ini sebuah kejadian yang tak diduga. Ternyata, ada orang yang mendengar saat itu. Betapa malunya Adiba.“Apaan, sih, Lus?! Kamu tidak tahu saja ada kejadian apa yang membuatku kesal padanya.”“Iya, terlepas dari itu. Arya benar-benar berusaha menjelaskan semuanya padamu. Itu pria baik, kan?”Adiba
Sore hari, Adiba kembali ke kantor. Ada berkas penting yang harus dia bawa saat nanti pindahan. Setelahnya, sang gadis pergi ke mini market. Berhubung dia akan pergi lusa nanti, jadi sore ini dia akan kuliner ke berbagai tempat.Gadis itu begitu riang jalan-jalan sendiri, tidak memikirkan apa pun yang bisa memberatkannya. Masalah Lusi pun telah selesai. Maura juga tidak ada di rumah, jadi dia benar-benar merasa bebas.Sang gadis sengaja membeli mi instan dan dimakan di mini market tersebut. Dia menikati kesendiriannya dengan perasaan senang.“Ah, memang paling benar sendiri. Bebas, bisa melakukan apa saja tanpa ada yang melarang dan menambah masalah,” gumam gadis itu sembari menghidu aroma mie yang mengguar.Adiba sangat khusyuk memakannya, tanpa sadar ada seseorang yang duduk dan juga memakan mie yang sama.Gadis itu begitu menikmatinya, sampai tidak peka akan sekitar kalau sedari tadi orang di sebelahnya tengah memandangi sedemikian rupa.“Memang enak, ya.”Tubuh Adiba menegang mend
“Ada lagi yang mau dibeli, Mas?”Arya menoleh pada Adiba yang masih tampak syok, pikirannya dipenuhi banyak tanya.“Gimana, Sayang. Ada lagi yang mau dibeli?”Adiba terkesiap dan langsung menggelengkan kepala. Dia harus tersadar dengan situasi ini.“Tidak ada! Mbak, ini. Pakai uang saya saja.”Kasih itu tampak bingung. Adiba yang melihatnya jadi greget sendiri. Dia mengambil black card itu dan menyerahkannya langsung ke tangan Arya. Lalu, menyerahkan uangnya langsung pada sang kasir.“Ini, pakai uang saya saja. Kembaliannya ambil saja. Saya masih sanggup bayar sendiri!”Kalimat terakhir itu langsung ditujukan pada Arya. Adiba sampai menyerukan langsung pada sang pria.Setelah membayar, Adiba hendak pergi dari sana. Tetapi sebelumnya, sang gadis mengeluarkan uneg-unegnya di depan Arya langsung.“Mau kamu punya 10 black card, itu tidak berpengaruh. Penilaianku sama kamu gak akan berubah. Jadi, simpan semua ini. Aku tidak tertarik dengan uangmu!”Arya dan sang kasir terdiam mendengar per
Adiba baru saja datang dengan mulut yang terus menggerutu. Kebetulan saat itu Lusi sedang ada di dapur, bersiap untuk masak makan malam.Adiba ke dapur dan duduk dengan kasar, membuat Lusi kaget. Sang gadis meraih gelas, menuangkan air dan meneguknya sampai tandas.Lusi terperangah sembari mengerjapkan mata berkali-kali, bingung dengan gelagat Adiba.“Dasar gila! Dia pikir aku perempuan apaan?! Tiba-tiba nyodorin black card. Dikira semua perempuan itu mata duitan? Aku masih bisa cari uang!”“Kamu kenapa, sih? Datang-datang malah marah-marah. Siapa yang kamu maksud?”Adiba berdecak, lalu menyendarkan punggung sembari melihpat tangan di depan dada.“Aku sedang membicarakan si Arya itu.”Lusi membulatkan mata mendengar nama Arya disebutkan.“Hah?! Apa kamu janjian keluar? Atau sengaja nge-date?”“What?!”Adiba sampai menaikkan nada bicaranya, tidak lupa mata juga yang melotot.“Aku nge-date sama dia? Itu hal yang mustahil!”Lusi meggulum senyum melihat reaksi Adiba yang marah, tapi itu m
“Untuk apa aku bohong? Aku tidak berminat menampung pria sampah sepertinya.”Perkataan Lusi begitu menyinggung Mila, seolah dirinya yang menampung sampah.“Kurang ajar! Jangan banyak bicara, kalau kamu tidak memberitahu di mana Mas Raka, aku akan menggeledah rumahmu!”Lusi membulatkan mata. Wanita hamil ini sudah keterlaluan. Dia tidak akan diam begitu saja.“Serius? Kalau begitu bersiaplah kembali ke penjara. Aku sudah bilang, di sini tidak ada Mas Raka. Susah banget sih dibilangin!”Mila tidak mau mendengarkan perkataan Lusi, dia benar-benar hendak menerobos rumah Lusi. Tetapi, digagalkan oleh Adiba.Gadis itu memegangi lengan Mila dengan sangat kencang, sampai sang wanita mundur beberapa langkah.“Heh, gundik sialan! Apa kamu tidak punya telinga? Lusi sudah bilang, suami brengsekmu itu tidak ada di sini!”Adiba berteriak dengan nyaring sampai Lusi dan Mila terdiam. Mereka sama-sama kaget mendengar suara Adiba yang menggelegar, bahkan ada tetangga yang ikut datang.“Lepas!” Mila tam
“M-Mas Raka.”Mila bergumam dengan suara pelan. Wajah yang semula marah tiba-tiba saja berubah pucat. Dia melihat ada kilat amarah di mata sang suami.Sungguh, Mila pikir Raka ada di rumah Lusi. Sebab, kalau bukan karena wanita ini, Raka tidak akan bersikap cuek kepadanya.Raka berjalan pasti, berhenti di depan Mila dengan emosi yang tertahan. Kalau tidak, dia mungkin akan memaki wanita hamil itu sedari tadi.“Apa yang kamu lakukan di sini?!” tanya Raka, suaranya berat. Mila sampai merinding mendengarnya.“Aku ... aku ....”Mila tidak bisa berkata-kata. Dia melihat ke sekeliling. Ada Lusi dan Adiba yang menatapnya sinis dan penuh kebancian.“Heh, Raka! Urus gundik sialanmu ini! Gara-gara dia menerobos rumah ini, kami jadi tontonan dan bahan gunjingan. Lagian, sudah dikasih tahu kalau di sini tidak ada kamu, dia ngeyel dan malah membuat keributan. Wanita tidak tahu diri!”Mila menoleh pada Adiba, sangat kesal dan tak terima dengan semua perkataan gadis itu. Bahkan hampir saja kembali m
“Mas, cinta pertama seorang perempuan adalah ayahnya. Tetapi, kamu sudah menkhianatinya dengan sangat apik. Apa kamu tidak berpikir, bagaimana kehidupan Alia ke depannya?”Tiga orang yang ada di sana terdiam. Terutama Raka. Dia seolah terus dihujami dengan hukuman yang membuat sisi lelakinya terus jatuh.“Apa kamu tidak berpikir kalau nanti Alia tidak mau menikah karena takut nasibnya sepertiku, atau mendapatkan suami seperti ayahnya yang seorang pengkhianat. Apa kamu tidak berpikir sejuah itu saat selingkuh dulu?”Kali ini, sang pria merasa dikuliti habis. Dia malu sekaligus merasa bersalah pada Alia. Tentu saja semua yang dikatakan Lusi ada benarnya juga. Tetapi, semua sudah terjadi. Apa mungkin bisa diperbaiki?“Lus, untuk masalah itu aku memang salah. Aku mencoba menebusnya dengan kembali rujuk denganmu. Tapi, kamu menolaknya, kan?”“Jangan mencari alasan. Kamu kembali kepada kami, itu tidak akan sama lagi. Aku dan Alia berusaha untuk bangkit dan bertahan setelah kekacauan yang ka
Raka membanting pintu rumah Mila saat mereka sudah sampai. Sang wanita hamil sampai menutup telinganya saat melihat perlakuan sang suami. Mila sangat ketakutan melihat reaksi dari Raka.“Memalukan! Kamu membuatku malu di depan orang-orang. Apa yang kamu pikirkan, hah?!”Raka sampai berteriak mengatkan itu semua. Wajahnya memerah, sudah dipastikan emosinya membuncah.Mila ketakutan, tapi dia harus membela diri. Dia punya alasan atas tindakannya itu.“Aku mencarimu ke sana! Kalau saja kamu mengangkat teleponku, pasti tidak akan seperti ini kejadiannya.”“Perkara tidak angkat telepon saja kamu seperti ini? Bagaimana kalau ada kejadian lainnya? Jangan kekanak-kanakan, Mila!”Bahu Mila naik turun. Dia tidak akan terima dengan semua perkataan suaminya. Hal lumrah jika seorang wanita mencari suminya, apalagi ada riwayat selingkuh.“Wajar, Mas! Semua istri akan melakukan hal itu, apalagi kamu pernah selingkuh.”Raka menoleh. Dia berusaha menahan diri untuk tidak menyakiti fisik Mila, bagaiman
"Apa di otakmu itu hanya terpikirkan kalau aku ini berkhianat dan kejelekanku saja, Mila?" tanya Raka.Akhirnya Raka bersuara, sudah tidak kuasa. Tetapi dia berusaha untuk tetap mendam emosinya dengan berkata tanpa menaikkan nada bicara. "Bagaimana aku tidak curiga, Mas? Dan bagaimana aku tidak berpikir tentang kejelekanmu? Kamu tidak pamit kepadaku dan aku juga tidak tahu kamu pergi ke mana, ditambah kamu tidak menerima teleponku. Bagaimana aku bisa berpikiran positif kepadamu? Coba saja! Semua wanita dan istri di seluruh dunia akan berpikiran macam-macam kalau kamu melakukan hal itu, Mas!"Mila berucap dengan bahu naik turun, menandakan kalau wanita ini sedang benar-benar emosi. Raka memejamkan mata, berusaha untuk tetap tenang dan menahan emosinya agar tidak meledak. Bagaimanapun wanita ini sedang mengandung anaknya. Dia tidak boleh membuat Mila stress dan akan berakibat fatal kepada anaknya itu. "Dengar, Mila. Aku sudah bilang kemarin, kan? Aku ke rumah Ibu." "Oh, ya? Mana buk
"Aaah, sial!"Mila berteriak sembari membanting semua barang-barang yang ada di kamarnya. Ini sudah jam 08.00 pagi, tapi dia belum mandi dan sarapan. Perutnya yang terasa lapar pun tak dipedulikan, dari tadi sudah termakan emosi. Padahal berkali-kali dia menghubungi Raka, tapi tak ada sahutan. Ditambah Maura juga tidak ada di sini.Kecurigaan menyeruak dalam dada, mungkin saja kedua orang itu kabur darinya dan meninggalkan Mila sendirian bersama anak yang ada dalam kandungan. Membayangkannya saja yang membuat dia merasa terbakar. Ingin sekali memaki atau menyakiti dua orang itu. "Kenapa tidak ada satu pun orang yang mengerti posisiku di sini?! Aku sedang hamil, tapi tak ada yang mau berusaha untuk mengikuti semua kemauanku!" seru Mila dengan berteriak.Dia mengacak rambutnya dan menangis. Ini benar-benar memuakkan untuknya. Harusnya Raka itu mengangkat telepon dan memberi kabar di mana sang pria berada. Tak masalah kalau misalkan pria itu pergi ke tempat lain, asalkan Raka memberi k
"Karena Mila itu beda dengan Lusi. Mau seperti apa pun aku berusaha menyamakan Mila dan Lusi atau mengubahnya, itu mustahil, Bu. Mila ya Mila. Lusi ya Lusi, tidak bisa disamakan," ungkap Raka. Dia tidak suka kalau misalkan ada yang membanding-bandingkan dan menyuruh Mila sesuai dengan Lusi, karena mantan istrinya itu tidak ada duanya. Tak bisa ada yang menyamai sifat Lusi yang begitu baik hati."Kalau begitu untuk apa kamu melanjutkan hubungan dengan Mila? Kalau kamu alasannya anak, percaya pada Ibu, hati kamu tidak akan pernah bisa tenang dan anakmu juga akan punya trauma karena kalian menikah dengan terpaksa.""Bu.""Raka, dengarkan Ibu. Ibu tahu kamu tidak percaya kepada Ibu karena kejadian-kejadian kemarin, tapi kali ini Ibu benar-benar melakukan semua ini karena kebaikanmu. Ibu yakin, Mila itu bukan wanita yang baik. Coba kamu pikirkan ulang perkataan Ibu, jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari." Raka tidak mau menanggapi perkataan Bu Sinta dan memilih untuk mengeluarkan
Seketika Raka terdiam. Dia melihat ibunya dengan tatapan bingung, tapi Bu Sinta saat ini begitu serius memandangi Raka dan berusaha untuk meyakinkan anaknya agar meninggalkan Mila."Apa maksudnya, Ibu? Aku meninggalkan Mila dan calon anakku?" tanya Raka, wajahnya berubah menjadi serius. "Iya, kamu benar.""Tidak bisa, Bu. Di dalam kandungan Mila itu ada anakku. Bukankah tes DNA sudah membuktikan kalau dia itu adalah anakku? Aku tidak bisa meninggalkan anakku, tidak bisa." Sesuai dengan perkiraan Bu Sinta, kalau pria ini tidak akan pernah tega meninggalkan anaknya. Sisi lain dari Raka itu sangat menyayangi darah dagingnya sendiri, meskipun Mila adalah wanita yang benar-benar memuakkan. "Ya, Ibu tahu kamu sangat menyayangi anakmu, tapi juga pikirkan ke depannya. Kamu akan terus-terusan dikekang oleh Mila. Kamu tidak akan betah kalau terus-terusan begini. Percaya pada Ibu. Mila itu bukan wanita yang baik untuk dijadikan seorang istri," ucap Bu Sinta mengatakan ini dengan sepenuh hati,
Raka menundukkan kepala dengan menutupi wajahnya. Terdengar suara sesenggukan begitu menyakitkan. Tiba-tiba saja Bu Sinta merasa kalau dirinya saat ini benar-benar melihat anaknya yang masih kecil. Raka yang begitu polos dan memohon agar apa yang diinginkannya dikabulkan.Sudah cukup lama dia tidak melihat sisi rapuh anaknya sendiri."Aku bingung, Bu. Aku harus bagaimana? Semua orang menghimpitku, menyalahkanku seolah-olah aku ini adalah orang yang paling berdosa di sini. Aku tidak ingin hal yang lebih, Bu. Aku ingin kembali kepada Lusi dan hidup seperti dulu bersama anakku. Tapi, itu juga tidak bisa. Sekarang yang aku inginkan adalah bertemu dengan Alia. Dia anakku, dia adalah hidupku. Jika aku sekarang hancur karena perbuatanku dulu, setidaknya ada anakku yang bisa menguatkanku untuk tetap bertahan dan melanjutkan hidup," ungkap Raka, kembali sesenggukan. "Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak bisa mengerti dengan keadaanku saat ini? Aku menghukum Ibu karena memang Ibu sudah sangat keterlal
Bu Sinta kembali pura-pura menangis, karena dia akan benar-benar membuat anaknya merasa bersalah sebab sudah meninggalkannya. "Jadi, karena itu kamu berani mengusir Ibu? Kamu meninggalkan Ibu karena wanita itu?" tanya Bu Sinta dengan mata berkaca-kaca.Raka langsung menggelengkan kepala, menghela napas berkali-kali dan berusaha untuk tenang. Di hadapannya ini adalah ibunya sendiri. Dia harus membuat Bu Sinta mengerti, kalau dirinya punya tujuan tertentu dan tidak sembarangan melakukan hal-hal itu. "Bu, Kalau boleh jujur. Dari dulu saat aku bersama Lusi sudah berkali-kali aku ingatkan, Ibu tolong jaga sikap. Jangan terlalu banyak meminta uang kepada Lusi dan apa pun yang membuat Lusi mungkin merasa terbebani, tapi apa? Jawaban Ibu selalu saja memaksakan kehendak. Itu pun aku tetap diam, karena memang Lusi tidak mempermasalahkan itu. Tapi kemarin, aku hampir saja benar-benar kehilangan Lusi karena ide Ibu, kan? Apa Ibu tidak merasa bersalah kepadaku?" Sekarang giliran Raka mengungkap
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan