“Mas, cinta pertama seorang perempuan adalah ayahnya. Tetapi, kamu sudah menkhianatinya dengan sangat apik. Apa kamu tidak berpikir, bagaimana kehidupan Alia ke depannya?”Tiga orang yang ada di sana terdiam. Terutama Raka. Dia seolah terus dihujami dengan hukuman yang membuat sisi lelakinya terus jatuh.“Apa kamu tidak berpikir kalau nanti Alia tidak mau menikah karena takut nasibnya sepertiku, atau mendapatkan suami seperti ayahnya yang seorang pengkhianat. Apa kamu tidak berpikir sejuah itu saat selingkuh dulu?”Kali ini, sang pria merasa dikuliti habis. Dia malu sekaligus merasa bersalah pada Alia. Tentu saja semua yang dikatakan Lusi ada benarnya juga. Tetapi, semua sudah terjadi. Apa mungkin bisa diperbaiki?“Lus, untuk masalah itu aku memang salah. Aku mencoba menebusnya dengan kembali rujuk denganmu. Tapi, kamu menolaknya, kan?”“Jangan mencari alasan. Kamu kembali kepada kami, itu tidak akan sama lagi. Aku dan Alia berusaha untuk bangkit dan bertahan setelah kekacauan yang ka
Raka membanting pintu rumah Mila saat mereka sudah sampai. Sang wanita hamil sampai menutup telinganya saat melihat perlakuan sang suami. Mila sangat ketakutan melihat reaksi dari Raka.“Memalukan! Kamu membuatku malu di depan orang-orang. Apa yang kamu pikirkan, hah?!”Raka sampai berteriak mengatkan itu semua. Wajahnya memerah, sudah dipastikan emosinya membuncah.Mila ketakutan, tapi dia harus membela diri. Dia punya alasan atas tindakannya itu.“Aku mencarimu ke sana! Kalau saja kamu mengangkat teleponku, pasti tidak akan seperti ini kejadiannya.”“Perkara tidak angkat telepon saja kamu seperti ini? Bagaimana kalau ada kejadian lainnya? Jangan kekanak-kanakan, Mila!”Bahu Mila naik turun. Dia tidak akan terima dengan semua perkataan suaminya. Hal lumrah jika seorang wanita mencari suminya, apalagi ada riwayat selingkuh.“Wajar, Mas! Semua istri akan melakukan hal itu, apalagi kamu pernah selingkuh.”Raka menoleh. Dia berusaha menahan diri untuk tidak menyakiti fisik Mila, bagaiman
Amanda melihat kedatangan Maura dari arah belakang. Wanita itu bahkan memakai pakaian santai, seperti sedang di rumah sendiri.“Heh, bocah! Apa yang kamu lakukan di sini? Harusnya kamu ke sekolah, bukan malah di tempat ini!”Maura tertegun sesaat, memikirkan perihal sekolah. Ya, sudah 2 hari dia tidak sekolah. Itu juga tidak mungkin dilakukan, sebab dirinya malu.Meskipun tidak ada yang tahu perihal kejadian itu, tetapi penangkapan Devan dan sepinya restoran pasti akan diketahui dengan cepat.Dia tidak mau sampai orang di sekolah tahu, apalagi jika geng pembullynya mengetahui pasti akan runyam.“Kenapa diam saja? Kamu pasti sengaja bolos, kan? Aku akan melaporkan pada pihak sekolah kalau kamu bolos.”“Aku tidak takut! Lagian, sebentar lagi aku akan menikah dengan Mas Devan, harusnya kamu yang pergi dari sini. Orang yang tidak diundang dan tidak ada keperluan dilarang masuk ke tempat ini!”Arya dan beberapa karyawan di sana kaget, memandangi Maura dengan tatapan bingung. Wanita itu ber
“Kenapa kamu mengatakan itu, Mas? Kamu merendahkanku?”Devan menyender pada punggung kursi sembari melipat tangan di depan dada.“Tidak, aku hanya mengatakan secara tidak langsung kalau kamu bukan tipeku. Jadi, jangan berharap banyak atau berusaha terlalu keras. Sebab, itu akan percuma.”Amanda terdiam dengan wajah memerah. Ada amarah dan juga kesedihan yang terpancar jelas.“Aku datang ke sini secara baik-baik. Tadinya, berniat untuk membantumu, Mas. Tapi, kamu malah seperti ini.”Devan tertegun mendengar itu. Kata bantuan yang ditawarkan oleh Amanda seperti sebuah secercah harapan yang muncul setelah dia seperti kehilangan arah. Tidak ada yang mau membantunya sampai saat ini.Wajah yang semula jutek langsung berubah melembut, Amanda melihat jelas perubahan itu.“Me-membantuku?”Amanda menganggukkan kepala dengan mantap dan yakin. “Ya, aku akan membantumu keluar dari sini. Tapi, dengan satu syarat.”“Apa?” tanya Devan mulai beratensi.Amanda tersenyum penuh arti. Dia sampai memangku
Bu Sinta memutar otak. Walaupun ada kesedihan dan kegundahan, tapi dia harus tenang menghadapi situasi saat ini. Sebab, kalau Raka benar-benar meninggalkannya, bagaimana dengan kehidupan Bu Sinta nanti? Wanita paruh baya itu duduk dengan perasaan campur aduk. Sampai saat ini, pikiran masih buntu. Belum menemukan jalan keluar yang bisa membuatnya bisa menemukan keberadaan Raka. “Tidak, aku tidak bisa diam saja. Bagaimanapun aku harus menemukan Raka. Dia tidak boleh membiarkan aku sendiri seperti ini.” Bu Sinta bermonolog sendiri. dia seperti orang yang bertekad yang berusaha mencari jalan keluar di tempat buntu. Hingga satu pikiran pun terlintas di benak. Dia malah teringat tentang Winda. Dari semua wanita yang mengejar Raka, hanya Winda yang bisa dimanfaatkan. “Benar, hanya wanita itu yang bisa dimanfaatkan.” Dia mengusap jejak udara mata sambil berdiri. Dengan keyakin penuh pergi untuk bertemu dengan Winda. Biarlah, dia mengemis untuk meminta bantuan agar bisa mencari Raka. Tin
Sesaat Winda hampir saja terhasut. Meskipun hatinya mulai luluh. Tetapi, dia akan pastikan dulu jika wanita paruh baya ini tidak sedang memanfaatkannya."Tante, ngomong kaya gini biar bisa manfaatin aku lagi, kan?"Bu Sinta tersentak, tetapi dengan cepat bisa menguasai diri. Dalam hati bertanya-tanya. Kenapa Winda sekarang malah sulit dipengaruhi. Padahal, dirinya sudah berakting sedih sebaik mungkin.Namun, sang wanita paruh baya hanya diam. Sekali lagi, dia tidak bisa menyerah begitu saja."Kalau aku manfaatin kamu, aku tidak akan memohon seperti ini, Winda. Gini deh, aku ke sini mau kita kerja sama."Winda menautkan kedua alisnya, tak paham. "Maksud, Tante?""Aku tidak mau Raka dengan Mila. Walaupun dia sudah kaya, tapi aku yakin Mila bukan wanita baik untuk Raka. Lalu, kamu mau kehilangan Raka begitu saja?"Wajah Winda langsung berubah. Tentu saja dia tidak mau. Tetapi, kalau calon mertuanya seperti Bu Sinta, pasti dia akan menderita."Tidak, Tante.""Kalau begitu, ayo kita kerja
Dengan cepat sang wanita mengambil jaket itu. Dia meraba-raba seluruh bagian jaket, hingga terlihat sebuah tanda merah di kerak jaket. Mata Mila membulat sempurna. Tangannya bergetar hebat, dia lalu berinisiatif menghidu aroma jaket itu. Wangi parfum feminim.Kali ini hati Mila yang memanas. Ada gejolak cemburu yang memburu di hati. Bahkan, tangannya semakin bergetar hebat. Ini benar-benar bukan lagi salah paham. Pasti sudah terjadi sesuatu.Mila uring-uringan. Dia mondar-mandir di depan kamar mandi, menunggu suaminya keluar."Kenapa dia lama sekali, sih?"Mila tak sabar menunggu Raka selesai, hingga sang wanita hamil menggedor pintu kamar mandi itu.Raka yang sedang khusyuk membersihkan diri pun terkesiap. Dia memandangi pintu kamar mandi yang terus saja digedor."Mas, ayo cepat mandinya!"Raka menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Mau apalagi dia?" gerutu Raka."Ayo, Mas! Buka pintunya!" Mila masih menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan keras. Raka tak punya pilihan lain,
"Oke, oke. Aku minta maaf. Aku salah."Pada akhirnya, wanita hamil itu mengalah. Walaupun dalam hati masih merasa belum puas dengan pengakuan sang pria, tapi dia tidak mau ambil risiko. Kalau Raka benar-benar tidak betah di rumah ini, dia akan terancam ditinggalkan oleh Raka.Raka pun akhirnya kembali ke kamar. Dia terduduk di pertengahan kasur dan memainkan ponsel. Dalam benaknya, tetap memikirkan Bu Sinta. Entah bagaimana keadaan ibunya itu, berharap semua akan baik-baik saja.Melihat sang pria yang malah memainkan ponsel, Mila pun mencari inisiatif lain. Dia harus bisa mengambil hari Raka kembali."Mas, besok kamu ke kantor, kan?""Hmm." Raka hanya menjawab itu sembari melihat SW. Mungkin saja Lusi memosting sesuatu atau siapa saja yang memosting keadaan ibunya saat ini."Kalau gitu, kita berangkatnya bareng.""Hmmm."Mila menautkan kedua alis, heran dan juga penasaran dengan apa yang sedang Raka lakukan."Kamu lagi ngapain sih, Mas? Aku lagi ngomong, bisakah kamu melihatku jika k
"Karena Mila itu beda dengan Lusi. Mau seperti apa pun aku berusaha menyamakan Mila dan Lusi atau mengubahnya, itu mustahil, Bu. Mila ya Mila. Lusi ya Lusi, tidak bisa disamakan," ungkap Raka. Dia tidak suka kalau misalkan ada yang membanding-bandingkan dan menyuruh Mila sesuai dengan Lusi, karena mantan istrinya itu tidak ada duanya. Tak bisa ada yang menyamai sifat Lusi yang begitu baik hati."Kalau begitu untuk apa kamu melanjutkan hubungan dengan Mila? Kalau kamu alasannya anak, percaya pada Ibu, hati kamu tidak akan pernah bisa tenang dan anakmu juga akan punya trauma karena kalian menikah dengan terpaksa.""Bu.""Raka, dengarkan Ibu. Ibu tahu kamu tidak percaya kepada Ibu karena kejadian-kejadian kemarin, tapi kali ini Ibu benar-benar melakukan semua ini karena kebaikanmu. Ibu yakin, Mila itu bukan wanita yang baik. Coba kamu pikirkan ulang perkataan Ibu, jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari." Raka tidak mau menanggapi perkataan Bu Sinta dan memilih untuk mengeluarkan
Seketika Raka terdiam. Dia melihat ibunya dengan tatapan bingung, tapi Bu Sinta saat ini begitu serius memandangi Raka dan berusaha untuk meyakinkan anaknya agar meninggalkan Mila."Apa maksudnya, Ibu? Aku meninggalkan Mila dan calon anakku?" tanya Raka, wajahnya berubah menjadi serius. "Iya, kamu benar.""Tidak bisa, Bu. Di dalam kandungan Mila itu ada anakku. Bukankah tes DNA sudah membuktikan kalau dia itu adalah anakku? Aku tidak bisa meninggalkan anakku, tidak bisa." Sesuai dengan perkiraan Bu Sinta, kalau pria ini tidak akan pernah tega meninggalkan anaknya. Sisi lain dari Raka itu sangat menyayangi darah dagingnya sendiri, meskipun Mila adalah wanita yang benar-benar memuakkan. "Ya, Ibu tahu kamu sangat menyayangi anakmu, tapi juga pikirkan ke depannya. Kamu akan terus-terusan dikekang oleh Mila. Kamu tidak akan betah kalau terus-terusan begini. Percaya pada Ibu. Mila itu bukan wanita yang baik untuk dijadikan seorang istri," ucap Bu Sinta mengatakan ini dengan sepenuh hati,
Raka menundukkan kepala dengan menutupi wajahnya. Terdengar suara sesenggukan begitu menyakitkan. Tiba-tiba saja Bu Sinta merasa kalau dirinya saat ini benar-benar melihat anaknya yang masih kecil. Raka yang begitu polos dan memohon agar apa yang diinginkannya dikabulkan.Sudah cukup lama dia tidak melihat sisi rapuh anaknya sendiri."Aku bingung, Bu. Aku harus bagaimana? Semua orang menghimpitku, menyalahkanku seolah-olah aku ini adalah orang yang paling berdosa di sini. Aku tidak ingin hal yang lebih, Bu. Aku ingin kembali kepada Lusi dan hidup seperti dulu bersama anakku. Tapi, itu juga tidak bisa. Sekarang yang aku inginkan adalah bertemu dengan Alia. Dia anakku, dia adalah hidupku. Jika aku sekarang hancur karena perbuatanku dulu, setidaknya ada anakku yang bisa menguatkanku untuk tetap bertahan dan melanjutkan hidup," ungkap Raka, kembali sesenggukan. "Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak bisa mengerti dengan keadaanku saat ini? Aku menghukum Ibu karena memang Ibu sudah sangat keterlal
Bu Sinta kembali pura-pura menangis, karena dia akan benar-benar membuat anaknya merasa bersalah sebab sudah meninggalkannya. "Jadi, karena itu kamu berani mengusir Ibu? Kamu meninggalkan Ibu karena wanita itu?" tanya Bu Sinta dengan mata berkaca-kaca.Raka langsung menggelengkan kepala, menghela napas berkali-kali dan berusaha untuk tenang. Di hadapannya ini adalah ibunya sendiri. Dia harus membuat Bu Sinta mengerti, kalau dirinya punya tujuan tertentu dan tidak sembarangan melakukan hal-hal itu. "Bu, Kalau boleh jujur. Dari dulu saat aku bersama Lusi sudah berkali-kali aku ingatkan, Ibu tolong jaga sikap. Jangan terlalu banyak meminta uang kepada Lusi dan apa pun yang membuat Lusi mungkin merasa terbebani, tapi apa? Jawaban Ibu selalu saja memaksakan kehendak. Itu pun aku tetap diam, karena memang Lusi tidak mempermasalahkan itu. Tapi kemarin, aku hampir saja benar-benar kehilangan Lusi karena ide Ibu, kan? Apa Ibu tidak merasa bersalah kepadaku?" Sekarang giliran Raka mengungkap
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah