Sesaat Winda hampir saja terhasut. Meskipun hatinya mulai luluh. Tetapi, dia akan pastikan dulu jika wanita paruh baya ini tidak sedang memanfaatkannya."Tante, ngomong kaya gini biar bisa manfaatin aku lagi, kan?"Bu Sinta tersentak, tetapi dengan cepat bisa menguasai diri. Dalam hati bertanya-tanya. Kenapa Winda sekarang malah sulit dipengaruhi. Padahal, dirinya sudah berakting sedih sebaik mungkin.Namun, sang wanita paruh baya hanya diam. Sekali lagi, dia tidak bisa menyerah begitu saja."Kalau aku manfaatin kamu, aku tidak akan memohon seperti ini, Winda. Gini deh, aku ke sini mau kita kerja sama."Winda menautkan kedua alisnya, tak paham. "Maksud, Tante?""Aku tidak mau Raka dengan Mila. Walaupun dia sudah kaya, tapi aku yakin Mila bukan wanita baik untuk Raka. Lalu, kamu mau kehilangan Raka begitu saja?"Wajah Winda langsung berubah. Tentu saja dia tidak mau. Tetapi, kalau calon mertuanya seperti Bu Sinta, pasti dia akan menderita."Tidak, Tante.""Kalau begitu, ayo kita kerja
Dengan cepat sang wanita mengambil jaket itu. Dia meraba-raba seluruh bagian jaket, hingga terlihat sebuah tanda merah di kerak jaket. Mata Mila membulat sempurna. Tangannya bergetar hebat, dia lalu berinisiatif menghidu aroma jaket itu. Wangi parfum feminim.Kali ini hati Mila yang memanas. Ada gejolak cemburu yang memburu di hati. Bahkan, tangannya semakin bergetar hebat. Ini benar-benar bukan lagi salah paham. Pasti sudah terjadi sesuatu.Mila uring-uringan. Dia mondar-mandir di depan kamar mandi, menunggu suaminya keluar."Kenapa dia lama sekali, sih?"Mila tak sabar menunggu Raka selesai, hingga sang wanita hamil menggedor pintu kamar mandi itu.Raka yang sedang khusyuk membersihkan diri pun terkesiap. Dia memandangi pintu kamar mandi yang terus saja digedor."Mas, ayo cepat mandinya!"Raka menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Mau apalagi dia?" gerutu Raka."Ayo, Mas! Buka pintunya!" Mila masih menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan keras. Raka tak punya pilihan lain,
"Oke, oke. Aku minta maaf. Aku salah."Pada akhirnya, wanita hamil itu mengalah. Walaupun dalam hati masih merasa belum puas dengan pengakuan sang pria, tapi dia tidak mau ambil risiko. Kalau Raka benar-benar tidak betah di rumah ini, dia akan terancam ditinggalkan oleh Raka.Raka pun akhirnya kembali ke kamar. Dia terduduk di pertengahan kasur dan memainkan ponsel. Dalam benaknya, tetap memikirkan Bu Sinta. Entah bagaimana keadaan ibunya itu, berharap semua akan baik-baik saja.Melihat sang pria yang malah memainkan ponsel, Mila pun mencari inisiatif lain. Dia harus bisa mengambil hari Raka kembali."Mas, besok kamu ke kantor, kan?""Hmm." Raka hanya menjawab itu sembari melihat SW. Mungkin saja Lusi memosting sesuatu atau siapa saja yang memosting keadaan ibunya saat ini."Kalau gitu, kita berangkatnya bareng.""Hmmm."Mila menautkan kedua alis, heran dan juga penasaran dengan apa yang sedang Raka lakukan."Kamu lagi ngapain sih, Mas? Aku lagi ngomong, bisakah kamu melihatku jika k
Raka masih bermuka masam. Dia pun memilih untuk tidur, menghadap tembok. Raka juga sedang berusaha untuk meluluhkan hati Mila, bagaimanapun caranya.Sang pria pikir, setelah dia bercerita tadi, Mila langsung luluh. Ternyata tidak semudah itu. Jadi, dia akan bersikap ketus sebelum sang wanita mengabulkan keinginannya. Sementara Mila, hanya melihat reaksi sang suami. Dia gundah, takut jika Raka marah.Namun, dirinya juga tidak bisa menyerahkan usahanya pada Raka begitu saja.Mila masih duduk di kasur dengan perasaan campur aduk. Dia malah diam dengan segala pemikirannya. Lalu, tak lama kemudian, perut Mila bersuara.Raka sempat mendengar itu, tetapi memilih diam saja. Mila belum makan, sebab menunggu kedatangan Raka. Tetapi, ternyata suaminya itu malah sudah makan. Mila sangat lapar, bayinya juga sudah meminta jatah. Tetapi, rasanya dirinya tak berselera jika makan sendirian.Hingga, sesuatu terlintas di benaknya. Wanita itu langsung mengguncang tubuh Raka."Mas, Mas. Bagun!"Raka yang
"Kan, enak kalau makan di tempat?" ucap Lusi, saat mereka duduk di tempat yang sudah disediakan.Alia tampak lahap memakan kebab. Sementara, Lusi ada 3 makanan yang sudah tersaji di depan mata. Di sisi lain, Adiba hanya pesan bakso malang. Gadis itu hanya berdecak sembari menggelengkan kepala melihat tingkah temannya. Sama seperti anak kecil yang baru keluar dari rumah setelah sekian lama tak keluar.Lusi tampak senang dan antusias, itu juga yang membuat Adiba hanya tersenyum senang. Benar, mungkin memang seharusnya seperti ini. Meninggalkan jejak mengesankan, sebelum keluar dari kota ini.Sang gadis itu pun hendak menyuapkan bakso miliknya, sampai tiba-tiba seseorang duduk di antara mereka bertiga, kontan membuat Adiba, Alia dan Lusi menghentikan aktivitasnya. Semua mata tertuju pada orang tersebut.Seketika Adiba membulatkan mata, sementara Lusi hampir saja tersedak melihat siapa orang itu."Om ini siapa, Bu?" tanya Alia, menelisik sebab tak kenal.Lusi buru-buru menelan makanan da
"Loh, mereka ke mana?"Adiba kaget saat kembali dari toilet, tak mendapati Lusi dan Alia. Yang tersisa malahan Arya saja.Arya yang membelakangi Adiba pun langsung berdiri dan berhadapan dengan sang gadis."Mereka sudah pulang.""Hah?!"Adiba syok. Merasa aneh, bisa-bisanya Lusi dan Alia meninggalkannya. Padahal, harusnya sang teman menghubungi Adiba dulu.Merasa keheranan dan tak percaya begitu saja, Adiba menelepon Lusi. Tersambung, tapi tidak diangkat. Gadis itu bahkan sudah 3 kali menelepon. Tetapi, tak juga diangkat oleh Lusi.Hingga decakan pun keluar dari gadis itu. Antara kesal dan gusar, sebab dia malah bersama Arya."Ya elah, tahu gini tadi aku juga sekalian pulang," gumam gadis itu.Adiba pun berbalik, tak memedulikan kehadiran Arya. Sebab, baginya cerita dan rencana sebelumnya sudah buyar.Namun, sikap cuek Adiba sama sekali tidak menggoyahkan keteguhan Arya.Pria itu malah mengikuti langkah Adiba tanpa mengatakan apa pun.Awalnya gadis itu tak menyadarinya, mengingat seda
Adiba terdiam dan memilih untuk menoleh ke jendela mobil. Entah mimpi apa kemarin malam, sampai dia bisa semobil dengan Arya, berdua pula.Sementara itu, sang pria terus mencuri pandang. Walaupun sedang menyetir, tapi dia sempatkan untuk melihat Adiba.Siapa sangka? Pria yang anti terhadap wanita itu, kini malah mengejar-ngejar gadis cuek dan juga tak tertarik dengan sebuah hubungan.Namun, Arya tentu saja akan berusaha sekuat tenaga untuk meraih Adiba. Sebab, rasa penasarannya belum tuntas kalau tak bisa mendapatkan gadis itu."Apa kamu mau pergi ke suatu tempat dulu?""Tidak."Adiba menjawab dengan singkat, bahkan sama sekali tidak menoleh pada pria itu. Arya tak sakit hati, malah semakin tertantang untuk memburu Adiba."Ingat, aku punya black card yang bisa digunakan kapan saja."Adiba menoleh pada pria itu dengan sinis. "Terus, aku harus gimana? Gak ada urusan."Arya menaikkan sebelah alisnya. "Yakin? Jarang loh ada pria yang bisa punya kartu ini."Awalnya, Adiba tidak peduli. Tet
Adiba meneguk saliva dengan susah payah. Dia benar-benar mulai buntu untuk berpikir. Ingin keluar dari mobil ini pun pintunya dikunci."Ayo, jawab. Jangan membuatku berpikiran buruk dan malah semakin mengejarmu."Adiba memejamkan mata sejenak, lalu menatap pria itu dengan jantung yang berdetak sangat kencang. Semua karena takut."Dengar, Arya. Aku mengetahui semua yang kamu rencanakan selama ini."Pria ini terdiam. Wajah yang semula serius, berubah menjadi pasi."M-maksud kamu?""Aku tidak bisa menjelaskan apa pun lagi. Tapi, aku benar-benar tidak bisa berhubungan denganmu, Arya. Tolong, jangan ganggu hidupku. Aku hanya ingin tenang. Kalau kamu seperti ini, aku semakin yakin dengan pemikiranku saat ini."Arya menatap Adiba dengan wajah memohon, seolah mengatakan kalau dirinya harus menjelaskan semua itu.Sayangnya, Adiba tidak mau terlibat dengan apa pun."Tolong, biarkan aku pergi, Arya. Setidaknya, buat aku punya sedikit saja kesan baik darimu."Seolah terhipnotis oleh perkataan san