"Kan, enak kalau makan di tempat?" ucap Lusi, saat mereka duduk di tempat yang sudah disediakan.Alia tampak lahap memakan kebab. Sementara, Lusi ada 3 makanan yang sudah tersaji di depan mata. Di sisi lain, Adiba hanya pesan bakso malang. Gadis itu hanya berdecak sembari menggelengkan kepala melihat tingkah temannya. Sama seperti anak kecil yang baru keluar dari rumah setelah sekian lama tak keluar.Lusi tampak senang dan antusias, itu juga yang membuat Adiba hanya tersenyum senang. Benar, mungkin memang seharusnya seperti ini. Meninggalkan jejak mengesankan, sebelum keluar dari kota ini.Sang gadis itu pun hendak menyuapkan bakso miliknya, sampai tiba-tiba seseorang duduk di antara mereka bertiga, kontan membuat Adiba, Alia dan Lusi menghentikan aktivitasnya. Semua mata tertuju pada orang tersebut.Seketika Adiba membulatkan mata, sementara Lusi hampir saja tersedak melihat siapa orang itu."Om ini siapa, Bu?" tanya Alia, menelisik sebab tak kenal.Lusi buru-buru menelan makanan da
"Loh, mereka ke mana?"Adiba kaget saat kembali dari toilet, tak mendapati Lusi dan Alia. Yang tersisa malahan Arya saja.Arya yang membelakangi Adiba pun langsung berdiri dan berhadapan dengan sang gadis."Mereka sudah pulang.""Hah?!"Adiba syok. Merasa aneh, bisa-bisanya Lusi dan Alia meninggalkannya. Padahal, harusnya sang teman menghubungi Adiba dulu.Merasa keheranan dan tak percaya begitu saja, Adiba menelepon Lusi. Tersambung, tapi tidak diangkat. Gadis itu bahkan sudah 3 kali menelepon. Tetapi, tak juga diangkat oleh Lusi.Hingga decakan pun keluar dari gadis itu. Antara kesal dan gusar, sebab dia malah bersama Arya."Ya elah, tahu gini tadi aku juga sekalian pulang," gumam gadis itu.Adiba pun berbalik, tak memedulikan kehadiran Arya. Sebab, baginya cerita dan rencana sebelumnya sudah buyar.Namun, sikap cuek Adiba sama sekali tidak menggoyahkan keteguhan Arya.Pria itu malah mengikuti langkah Adiba tanpa mengatakan apa pun.Awalnya gadis itu tak menyadarinya, mengingat seda
Adiba terdiam dan memilih untuk menoleh ke jendela mobil. Entah mimpi apa kemarin malam, sampai dia bisa semobil dengan Arya, berdua pula.Sementara itu, sang pria terus mencuri pandang. Walaupun sedang menyetir, tapi dia sempatkan untuk melihat Adiba.Siapa sangka? Pria yang anti terhadap wanita itu, kini malah mengejar-ngejar gadis cuek dan juga tak tertarik dengan sebuah hubungan.Namun, Arya tentu saja akan berusaha sekuat tenaga untuk meraih Adiba. Sebab, rasa penasarannya belum tuntas kalau tak bisa mendapatkan gadis itu."Apa kamu mau pergi ke suatu tempat dulu?""Tidak."Adiba menjawab dengan singkat, bahkan sama sekali tidak menoleh pada pria itu. Arya tak sakit hati, malah semakin tertantang untuk memburu Adiba."Ingat, aku punya black card yang bisa digunakan kapan saja."Adiba menoleh pada pria itu dengan sinis. "Terus, aku harus gimana? Gak ada urusan."Arya menaikkan sebelah alisnya. "Yakin? Jarang loh ada pria yang bisa punya kartu ini."Awalnya, Adiba tidak peduli. Tet
Adiba meneguk saliva dengan susah payah. Dia benar-benar mulai buntu untuk berpikir. Ingin keluar dari mobil ini pun pintunya dikunci."Ayo, jawab. Jangan membuatku berpikiran buruk dan malah semakin mengejarmu."Adiba memejamkan mata sejenak, lalu menatap pria itu dengan jantung yang berdetak sangat kencang. Semua karena takut."Dengar, Arya. Aku mengetahui semua yang kamu rencanakan selama ini."Pria ini terdiam. Wajah yang semula serius, berubah menjadi pasi."M-maksud kamu?""Aku tidak bisa menjelaskan apa pun lagi. Tapi, aku benar-benar tidak bisa berhubungan denganmu, Arya. Tolong, jangan ganggu hidupku. Aku hanya ingin tenang. Kalau kamu seperti ini, aku semakin yakin dengan pemikiranku saat ini."Arya menatap Adiba dengan wajah memohon, seolah mengatakan kalau dirinya harus menjelaskan semua itu.Sayangnya, Adiba tidak mau terlibat dengan apa pun."Tolong, biarkan aku pergi, Arya. Setidaknya, buat aku punya sedikit saja kesan baik darimu."Seolah terhipnotis oleh perkataan san
Wajah Adiba menjadi pucat bercampur memerah. Dia malu dan juga merasa tersinggung dengan kalimat yang dikatakan oleh Arya. Tatapannya nanar, seolah meminta penjelasan dari semua perkataannya."Aku ingin tahu, kamu membenciku, salah paham atau menyukaiku tapi sengaja dipendam."Tatapan Adiba berubah menyala. Dia seolah menyimpan api yang tersulut karena perkataan pria ini."Kamu sengaja melakukan itu?"Tanpa wajah bersalah, Arya tersenyum. Tetapi, itu sebuah kesalahan besar yang sudah sang pria lakukan."Jadi, kamu tidak perlu menghindar lagi. Jangan marah-marah terus. Ada baiknya kita saling mengenal dan bisa memulai hubungan. Bagaimana?"Adiba berubah, menatap nyalang pada pria itu. Tanpa diduga melayangkan tamparan di wajah sang pria.Senyuman yang semula tersungging langsung berubah menjadi kekagetan. Pria itu bahkan memegangi pipinya yang terasa sakit."Apa yang kamu lakukan?!""Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Apa yang kamu lakukan?!"Adiba berteriak, kali ini air matanya
Adiba pun memilih untuk membalikan badan dan pergi ke rumah, tetapi lagi-lagi Arya mencegatnya. Dia memegangi lengan Adiba dengan sangat kencang, berharap kalau gadis itu mau memaafkannya. Arya hanya ingin membuktikan kalau Adiba punya perasaan kepadanya, dengan begitu dia juga akan semakin semangat untuk meraih sang gadis. Namun, ternyata ini di luar dugaan. Perlakuannya tadi membuat Adiba merasa tersinggung, seolah harga dirinya jatuh begitu saja sebab Arya tak meminta izin terlebih dahulu, apalagi mereka tidak punya hubungan khusus apa pun. "Tunggu dulu, Adiba! Dengerin penjelasanku dulu, oke? Aku salah, tapi aku punya alasan yang begitu kuat melakukan itu tadi."Adib menatap nyalang kepada sang pria. "Alasan apalagi? Tidak ada alasan yang lebih masuk akal selain kamu ingin merendahkanku, kan? Kamu balas dendam kepadaku seperti itu. Sebab, aku selama ini cuek kepadamu dan tidak lagi menganggapmu, begitu?" Arya mengacak-acak rambutnya hingga berantakan. Pemikiran-pemikiran buruk
"Kenapa, Bu?" tanya Alia kaheranan, karena ibunya malah diam saja. Padahal tadi sempat ingin berbicara panjang lebar. Lusi terkesiap dan langsung menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Nak. Ibu hanya ingat saja kalau dulu ini juga tempat kita pernah makan-makan.""Iya, kah? Apa waktu kita sama Ayah?" tanya Alia.Nadanya terdengar biasa saja. Tetapi entah kenapa itu begitu menyakitkan di hati Lusi, sebab pada nyatanya Alia harus kehilangan kasih sayang Ayah sebab perlakuan Raka sendiri.Dengan senyuman getirnya sang wanita pun menganggukkan kepala. "Alia, kamu di sini, Nak?" ucap seseorang yang langsung membuat Lusi dan Alia menoleh.Lusi tampak tegang dan juga kaget mendapati Raka ada di sana. Pria itu menenteng sebuah plastik dan dia yakini kalau itu adalah pecel yang sudah dibungkus. "Ayah, ada di sini?" tanya Alia, ekspresinya biasa saja, tak begitu antusias melihat adanya Raka."Iya, boleh Ayah duduk di sini?" tanya Raka.Alia hanya tersenyum, sementara Lusi membuang muka. Dia
Raka terdiam dan kaget mendengar jawaban dari Lusi, tapi dia kembali bersikap seperti sediakala. Sebab tahu kalau Lusi seperti ini karena kejadian beberapa hari yang lalu. Mungkin saat ini juga dirinya harus menjelaskan lebih terperinci apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Tidak mau sampai ada pertengkaran yang lebih lama lagi, mengingat kalau mereka punya anak dan harus diperhatikan bersama-sama. Raka menundukkan kepala sebentar sembari menghela napas sangat pelan. Dia berusaha menenangkan hati dan pikirannya agar bisa menjelaskan semua yang terjadi kepada Lusi, tanpa harus bertengkar kembali. Apalagi di sini ada Alia. Setelah tenang, sang pria pun menoleh kepada Lusi yang saat ini berusaha untuk menghindar dari tatapannya. Ini sangat menyakitkan untuknya, tapi Raka tahu itu juga sangat menyakitkan untuk Lusi. Terlebih sang wanita merasa dibohongi atas apa yang sudah dilakukan oleh Raka dan juga Bu Sinta. "Lus, sebelumnya aku benar-benar minta maaf jika harus mengatakan ini. Tapi
Awalnya Maura takut saat kakaknya tiba-tiba bertanya seperti itu, tetapi karena kelicikan yang sudah terlatih membuat dia berpikir lebih baik mempermainkan perasaan kakaknya itu, akan sangat menghancurkan Siapa tahu dengan tidak sengaja bisa berakibat fatal kepada anak yang ada dalam kandungan. Jadi, dia tidak perlu susah-susah menggugurkan kandungan Mila. Tinggal buat saja mental ibunya down, pasti anaknya ada dalam kandungan pun ikut terkena dampaknya. "Oh, Kakak mau tahu kenapa aku sampai yakin sekali kalau Mas Raka itu pasti membelaku? Sebab Mas Raka lebih percaya sama aku ketimbang sama istrinya. Kakak nggak sadar, ya? Kalau selama ini Mas Raka itu sudah lelah sekali berhubungan dengan Kak Mila, tetapi karena anak yang ada dalam kandungan itulah Mas Raka akhirnya bertahan. Dia sebenarnya berharap Kak Mila bisa berubah lebih baik, tidak terus mengekang dan cemburu buta. Tapi, sayangnya itu tidak terjadi juga. Aku yakin, memang itu ada sifat asli Kak Mila, kan? Pencemburu dan mend
Maura istirahat sejenak di sebuah masjid, tapi dia sama sekali tidak salat. Hanya berteduh. Sebelumnya wanita itu pergi ke kantin rumah sakit untuk makan. Sebab dia tidak mungkin menunggu terus Mila, sementara kakaknya itu menyebalkan. Ada saja kata-kata yang membuat dirinya semakin kesal.Wanita itu makan sambil melamun, banyak pikiran yang terus bergerilya di benak. Apa yang harus dia lakukan saat ini? Sementara Raka sama sekali tidak bisa dihubungi. Kalau misalkan dirinya pulang dengan Mila, apakah semua akan baik-baik saja dan rencananya untuk mengerjai kakaknya itu akan berhasil? Pertanyaan itu juga semakin menjadi-jadi di benaknya. Dia tak tahu harus melakukan apa. "Ah, capeknya! Aku harus benar-benar menerima semua ini. Lagi pula nggak ada salahnya, kan? Aku sudah menolongnya juga. Aku akan memulai aksiku nanti kalau sudah sampai rumah," gumam wanita itu langsung menghabiskan makanan.Dia memilih untuk kembali ke kamar kakaknya dan melihat kalau Mila sedang terduduk sembari he
"Sekarang masih diam lagi, kan? Berarti itu Kakak mengaku kalau selama ini aku belajar cara kejam dari Kakak. Aku tidak mungkin belajar dari orang lain. Pasti dari orang terdekat dulu. Coba saja dari awal saat aku datang ke sini untuk menjenguk Kakak di penjara, mungkin kejadiannya akan beda kalau Kakak bersikap baik saat itu. Ini pun aku pasti akan melupakan semua dendam dan kesakitan yang sudah Kakak beri. Sayangnya sampai detik terakhir, Kakak bersikap seperti ini. Jadi, untuk apa aku lembut dan tetap diam saja? Tidak, aku tidak mau bodoh dan menderita kedua kalinya. Sekarang terserah. Kalau misalkan aku harus keluar rumah, tanggung akibatnya. Kalau tidak mau, lakukan sesuai dengan keinginanku," ujar Maura. Setelah itu dia pergi dari hadapannya, membuat wanita hamil itu mengerang dengan hati yang dipenuhi amarah. "Maura, kurang ajar kamu! Awas! Aku akan buat perhitungan padamu!" seru Mila dengan suara parau. Maura memilih untuk keluar dan menenangkan diri terlebih dahulu. Tidak
Mila sampai tidak bisa berkata-kata mendengar semua perkataan adiknya. Jadi, selama ini Maura itu menyimpan dendam begitu banyak. Dia kira wanita itu tidak akan melakukan hal seperti ini, sebab tahu kalau dirinya adalah keluarga satu-satunya di sini. Melihat diamnya Mila, Maura tersenyum sinis sembari melipat tangan di depan dada."Kakak tahu? Ini adalah curahan hatiku selama ini. Inginnya aku memakai-maki Kakak sebisaku, tetapi sayang ini rumah sakit. Aku tidak bisa begitu saja mengeluarkan unek-unek. Tetapi satu hal yang pasti, Kakak jangan mengharapkan apa-apa dariku. Kecuali kalau bisa membayarku dengan uang yang mahal," ucap Maura menantang. Mila hanya diam saja memandangi adiknya yang dulu polos dan penurut, setelah masuk ke dunia luar dan tinggal di kota sifatnya berubah drastis seperti ini. Entah siapa yang sudah meracuni Maura, tetapi Mila yakin wanita ini tidak tiba-tiba seperti ini. Padahal belum lama di Jakarta, tapi sudah berubah drastis. Diyakini ada yang meracuni piki
"Dari dulu aku ingin tahu, bagaimana rasanya menyiksa Kakak seperti ini? Memang Tuhan itu Maha Adil. DIA akan memberikan balasan yang setimpal untuk orang-orang yang jahat seperti Kakak. sSekarang Kakak sendiri yang merasakan bagaimana sendiri tanpa bantuan siapapun. Harusnya dari dulu Kakak itu tahu kalau Kakak tidak bisa apa-apa sendiri tanpa bantuan orang lain, tapi sayangnya Kakak meremehkanku. Coba Kakak akan dibantu siapa kalau keadaan seperti ini?" papar Maura sepertinya masih belum puas mengeluarkan unek-uneknya kepada wanita hamil itu. Di saat seperti ini Mila bisa saja mengamuk. Tetapi dia tidak berdaya dengan keadaannya. Jadi, wanita itu pun memilih untuk tenang. Menghela nafas berkali-kali dan berusaha untuk menetralkan emosi yang tiba-tiba saja naik karena perkataan adiknya.Mila tahu, Maura pasti akan memancing emosi dan berusaha untuk membuatnya menderita. Tetapi Mila tidak mau disetel oleh anak ini. Dia harus memenangkan semua peperangan antara dirinya dan Maura. Ter
Entah sudah berapa lama Mila tak sadarkan diri, sampai akhirnya wanita itu pun membuka mata. Hal pertama yang membuatnya tersadar adalah aroma ruangan dan bau obat yang menyengat. Apalagi Mila dalam keadaan hamil. Indra penciumannya pasti terasa sensitif. Wanita itu pun sontak penutup hidungnya dengan tangan yang lemas. Dia melihat ke sekeliling dan mendapati kalau ada adiknya sedang tidur di sofa. Sudah dipastikan dia ada di rumah sakit. Sebelumnya, saat sudah melewati masa kritis, Mila pun dibawa ke ruang rawat untuk melakukan observasi apakah wanita itu masih harus dirawat atau diperbolehkan untuk pulang.Suara erangan saat kepalanya terasa berdenyut nyeri membuat Maura terkesiap. Dia melihat kalau kakaknya sudah tersadar. Wanita-wanita itu pun langsung terduduk. Dia hendak berdiri dan menghampiri Mila, tetapi langsung ke tempat semula. Baginya bukan hal yang harus dilakukan jika memerhatikan kakaknya. Dia sudah terlanjur sakit hati dengan wanita ini. Jadi, untuk apa Maura berbai
Setelah menunggu beberapa saat, keluarlah dokter dan suster yang sedang menangani Mila. Dengan cepat Maura menghampiri dan bertanya bagaimana keadaan kakaknya itu. "Kalau boleh tahu, Mbak ini siapanya pasien?" tanya dokter. Saat ini Maura tidak mau mengakui kalau Mila adalah kakaknya, lebih baik seperti ini dibandingkan nanti dirinya yang akan repot harus mengurus semuanya demi wanita hamil itu. "Kebetulan saya tetangganya, Dok. Tadi lihat dia kecelakaan di jalan. Jadi saya yang bawa ke sini," ujar Maura, memilih untuk menjawab secara demokratis. Kalau dia mengatakan hanya orang asing, pasti disuruh pergi dan menelepon keluarganya. Artinya dia harus menelepon kedua orang tua mereka, mengingat itu Maura langsung menggelengkan kepala. Mana sudi dia bertemu dengan kedua orang tuanya lagi, terutama ayah tiri yang membuatnya menderita sampai saat ini." Oh, kalau begitu bisakah Mbak menelepon keluarganya?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari dokter, tetapi setidaknya Maura sud
Maura saat ini sedang ada di rumah sakit. Dia tampak gelisah, sesekali duduk lalu berjalan mondar-mandir menunggu di depan ruang ICU. Saat melihat keadaan kakaknya, wanita itu benar-benar syok. Kepala Mila terbentur. Ada bagian depan mobil yang sudah rusak. Saat ini Maura dihantui ketakutan. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba saja bersarang di benak, salah satunya bagaimana kalau misalkan kakaknya meninggal? Apa yang akan dia jelaskan kepada kedua orang tuanya jika tahu Mila kecelakaan dan saat itu dialah yang ada di rumah sakit ini? Namun, kalau Maura diam saja akan terjadi sesuatu yang buruk kepada kakaknya. Setelah hampir 18 tahun hidup mengenal Mila, pertama kalinya wanita itu merasa khawatir yang teramat sangat dibandingkan dulu saat tahu Mila masuk penjara karena viral. Kali ini ada rasa takut yang benar-benar mengukung, sampai Maura bingung harus melakukan apa. Wanita itu berusaha untuk menelepon Raka, tapi lagi-lagi sang pria tidak bisa dihubungi. Dia jadi bingung
Mila sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang diikuti. Mungkin pikirannya sudah lelah karena perutnya juga lapar dan tidak fokus, hingga dia pun berhenti di sebuah kedai bakso. Saat ini tampaknya sang anak yang ada dalam kandungan ingin mencicipi bakso yang agak jauh. Maura menghentikan taksi itu dan memantau kalau kakaknya masuk ke kedai bakso tersebut. "Lah, kok dia malah berhenti di situ? Atau jangan-jangan Kak Mila memang keluar untuk beli makanan?" gumam wanita itu. Dia keheranan. Kalau terus lama-lama di sini yang ada harga argonya akan terus berjalan dan mungkin dia harus mengeluarkan banyak uang, jadi wanita itu pun terpaksa turun dari taksi dan memantau dari kejauhan saja. "Duh, sial banget! Masa aku harus berdiri di sini memantau dari kejauhan? Mana panas pula," gerutu Maura.Dia mencoba melihat ke sekitar dan mencari tempat yang nyaman, kira-kira bisa duduk menunggu Mila. Inginnya wanita itu pun masuk ke sana dan ikut makan, tetapi pasti Mila akan mengetahui keb