Nadine kenapa? Atau dia pergi?
“Apakah Nadine lupa menyalakan lampu sebelum dia pergi kerja?” tanyaku melihat ke arah rumah besar itu. “Tidak mungkin. Bukankah Nadine selalu berangkat kerja malam hari?” Andre melepaskan sitbelt dan mematikan mesin mobil. Wajahnya tegang. Bukan hanya dia tapi juga aku. Kami merasakan sesuatu yang ganjil. Ini bahkan lebih sepi dari biasanya. “Tetap di belakangku. Aku akan memeriksa ke dalam rumah. Terdengar suara tv menyala. Apakah Nadine ada di dalam rumah?” Andre menepiskan tangan memberiku kode agar berjalan di belakangnya. “Gelap-gelapan?” aku meragukan pertanyaan Andre. Perlahan Andre mendekati pintu rumah Nadine dan mendorong kenop pintu. Tidak terkunci! Lalu membukanya perlahan. Suara televisi semakin jelas terdengar. Cahaya dari layar perlahan menyambut bayangan kami yang mulai melangkah ke dalam rumah. Mata Andre menyipit dan meminta ke seluruh ruangan. Dia mencoba untuk menemukan sesuatu. Sampai kemudian matanya berhenti pada sebuah sofa yang menghaap televisi. Dari
“Salah? Di mana salahnya? Apakah kau tidak ingin memiliki anak lagi?” “Ini adalah tujuan yang salah dalam memulai sebuah hubungan. Anak adalah sisi lain anugrah Tuhan yang bisa saja kita dapatkan atau tidak. Jika tujuan suatu pernikahan semata karena keturunan, maka ketika itu tidak tercapai, kita berdua akan sakit.” Andre terdiam. Wajahnya menunjukkan sesuatu yang dia tidak setuju. Ketika dia bersiap membuka mulut untuk melakukan penyanggahan, pintu ruang UGD terbuka. Dia terpaksa menelan lagi kata-kata yang sudah berada di ujung lidahnya. Tampaknya kami perlu berbicara banyak tentang hal ini nanti. Seorang pria paruh baya muncul di ambang pintu. Dia menggunakan jas putih dan sebuah masker. Seorang wanita dengan baju putih dan sebuah papan berisi dokumen di tangannya, mengikuti Sang dokter. Mereka berdiri dan melihat beberapa orang yang kebetulan ada di sekitar kami. Lalu matanya berhenti ketika menemukan aku dan Andre. “Apa kalian berdua keluarga pasien atas nama Nadine?” tanya
“Hey! Nadine, jangan menangis. Kenapa?” tanyaku melangkah bergegas. Bagaimana senyum dalam tangisan muncul di wajah Nadine ketika dia terbaring lemah di atas tempat tidur berwarna putih. Tembok yang mengelilingi berwarna senada. Lalu selang yang terhubung ke tubuhnya dan itu dua. Aroma obat khas rumah sakit yang selalu berhasil membangkitkan ketegangan. Entah untuk siapa dan untuk menutupi apa senyum itu Nadine sajikan. Aku yakin, dia tahu bahwa kami sudah tahu. Setelah sekian purnama, akhirnya kenyataan tidak pernah berhasil untuk disembunyikan. Ini menjengkelkan, ini menyebalkan dan ini menyedihkan. Langkahku semakin dekat. Andre berdiri dan berhenti. Dia tidak mengikutiku ke dalam ruangan. “Sebaiknya aku tinggalkan kalian berdua untuk berbincang. Aku ada di luar ruangan jika kau membutuhkanku.” Aku melampai tanpa menoleh. Mataku sibuk memindai wajah Nadine. Berharap senyum di wajahnya adalah kejujuran. Lalu terdengar suara pintu di tutup. Setelah menggeser kursi agar lebih deka
“Dia yang selalu ada dan setia. Dia orang yang bisa menerima semua keadaanku.” Sorot mata Nadine memperlihatkan rasa bangga. Juga bahagia. “Tanpa syarat?” “Tanpa Syarat. Darinya aku belajar tentang cinta. Dan… rasa sakit untuk setia.” “Omong kosong!” Kali ini aku marah. Entah bagaimana gadis modern dengan logo kebebasan yang ada di depanku ini berubah menjadi gadis bodoh yang tidak memiliki akal sehat. Sejak kapan setia menimbulkan rasa sakit? Aku pernah melewatinya. Ketika setia menjadi rasa sakit, maka itu adalah tentang kesalahan dirimu sendiri. Wujud nyata dan manifestasi dari sebuah setia harusnya adalah bahagia. Jika kemudian yang didapati adalah luka, mungkinkah itu salah dalam membingkai kata? Nadine mulai terlihat konyol. Selama ini dia adalah wanita paling realistis yang kukenal. Dia menjadi sangat tidak masuk akal dengan ucapannya. Tampaknya rasa bahagia yang memenuhi Nadine ketika mengingat sosok itu, membuatnya luput melihat kemarahanku. Dia tersenyum dan melanjutkan
“Kau tahu bahwa aku bisa menerima hal paling logis sekali pun.” Nadine semakin penasaran. Aku harus mengatakan ini. Hal yang paling mungkin terjadi. Setelah semua cerita yang Nadine gulirkan, Rubben menjadi pria yang paling tidak masuk akal. “Katakan,” Nadine semakin tidak sabar. “Hmm… kenapa Rubben mau bersamamu ya… menurutku, karena Rubben yang membawa penyakit itu padamu. Dia tahu bahwa kau sakit karenanya.” “Teori dari mana? Kau hanya mengatakan sesuatu yang tidak mendasar.” “Memang begitu kan? Jika kau memiliki virus itu, maka pasangan yang bersamamu pasti memiliki virus yang sama. Jika dia adalah kekasihmu, mungkin saja memang dia yang memberikanmu.” Kenapa sih, nadine tidak mau realistis. Fakta bahwa Rubben menyakitinya secara fisik, melukai hatinya dan mengurung pikirannya, tidak membuat Nadine berhenti untuk mencintainya. Dia menanggung banyak rasa sakit dan itu karena orang yang tidak layak! Dia diam. Aku yakin Nadine sedang merunut kembali awal semuanya terjadi. Wajah
“Setelah sekian lama. Dan semuanya. Inikah yang kau katakan padaku?!” Terdengar suara Nadine dari dalam ruang depan. Tidak menunggu lama ku pun bergegas ke arah asal suara. Jantungku berdebar kencang seiring dengan kekhawatiran yang memburuku. Ini bukan pertama kali hal-hal buruk terjadi pada Nadine. Akhir-akhir ini bahkan terasa lebih buruk lagi. Tidak ingin bernadai-andai, aku berjalan lebih cepat lagi. Pemandangan yang kulihat di ruang tengah membuat darahku berhenti mengalir. Dadaku terasa panas dan mataku sesaat berkunang. Walau semua sudah kuperkirakan bahwa kekasih Nadine yang ada di sana, namun ketika melihat langsung semuanya, tak ayal aku pun terbawa emosi. Entah pria macam apa yang sedang berdiri di depan Nadine saat ini. Sementara Nadine, duduk teronggok di lantai dengan rambut berantakan. Wajahnya frustasi, menahan sakit dan kesedihan. Dia terlalu lemah untuk melawan atau bahkan berargumentasi. “Nad!” Spontan aku berteriak dan mendekat. Nadine mendonggakkan kepala. So
“Hey, Adina. Aku senang melihat perempuan sepertimu. Kau cerdas.” Nadine membelalakkan mata. Meski tersirat, dia tahu bahwa apa yang aku katakan telah di konfirmasi oleh Rubben. Bara api menyala dalam diriku. Aku terbakar! Ini sebuah kejahatan besar. Seseorang menggunakan kata cinta untuk membodohi dan memanfaatkan seorang wanita. Bagaimana Nadine selalu percaya bahwa apa yang ditunjukkan rubben adalah cinta. Kebenarannya, pria ini hanyalah predator yang sedang mencari mangsa. Dia hanya sedang memanfaatkan sisi lemah Nadine. Bodohnya, Nadine begitu saja percaya. Reflek aku mengibaskan tangan Nadine yang ada di lenganku. Lalu sekuat tenaga, tangan itu terayun dan mendarat di pipi Rubben. Suara keras kulit kami bertemu menciptakan keheningan seketika. Kami membeku. Sampai kemudian aku hampir melayangkan tangan itu untuk kedua kalinya ketiak Rubben menangkap pergelangan tanganku dengan kasar. “Kau benar-benar wanita yang menantang. Berani, tegas dan pandai. Aku suka wanita seperti itu
“Tapi, Ndre. A-” Kerutan dalamku pasti terlihat jelas. Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Andre memberikan pandangan yang lebih realistis. Aku hanya berpikir bahwa aku harus bersama Nadine saat dia membutuhkanku. Seperti juga Nadine yang selalu menerimaku saat aku membutuhkannya. “Adina, aku mengerti persahabatan kalian. Aku juga mengerti bahwa wanita selalu menggunakan perasaan yang terdalam untuk mengambil keputusan. Tapi, ini bukan tentang sehari dua hari. Kau tidak tahu sampai kapan ini harus dilakukan.” Penyataan Andre menghempaskanku ke lubang dalam. Dokter Rudi mengangguk setuju. Perlahan namun jelas menyiratkan persetujuan. Dia mengerti kondisi yang kami hadapi bukanlah hal mudah. Walau aku berusaha menjadi sahabat terbaik bagi Nadine, nyatanya memang tidak mungkin untuk mengurus seseorang seumur hidup. “Aku punya usul lain jika kalian setuju.” Dokter Rudi berusaha memecah kebuntuan. “Kami akan mencoba untuk setuju, Dok.” Andre menjawab. “Tempat rehabilitasi. Aku tahu