Good Reader... terima kasih untuk tetap mengikuti kisah ini. komentar-komentar baik Good reader telah menjadi semangat author untuk terus membawa kisah Adina menuju kehidupan yang lebih baik lagi. Menjadikan tokoh Adina mengalami banyak peristiwa yang semakin menguatkan dirinya mencapai tujuan akhir yang dia inginkan.
“Tapi, Ndre. A-” Kerutan dalamku pasti terlihat jelas. Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Andre memberikan pandangan yang lebih realistis. Aku hanya berpikir bahwa aku harus bersama Nadine saat dia membutuhkanku. Seperti juga Nadine yang selalu menerimaku saat aku membutuhkannya. “Adina, aku mengerti persahabatan kalian. Aku juga mengerti bahwa wanita selalu menggunakan perasaan yang terdalam untuk mengambil keputusan. Tapi, ini bukan tentang sehari dua hari. Kau tidak tahu sampai kapan ini harus dilakukan.” Penyataan Andre menghempaskanku ke lubang dalam. Dokter Rudi mengangguk setuju. Perlahan namun jelas menyiratkan persetujuan. Dia mengerti kondisi yang kami hadapi bukanlah hal mudah. Walau aku berusaha menjadi sahabat terbaik bagi Nadine, nyatanya memang tidak mungkin untuk mengurus seseorang seumur hidup. “Aku punya usul lain jika kalian setuju.” Dokter Rudi berusaha memecah kebuntuan. “Kami akan mencoba untuk setuju, Dok.” Andre menjawab. “Tempat rehabilitasi. Aku tahu
“Apakah ini rumah Nadine?” seorang pria Eropa dengan bahasa inggris yang kental berdiri di depan pintu. Semula aku membuka pintu sedikit saja karena membayangkan berbagai kemungkinan yang berdiri di baliknya. Demi melihat pria dengan usia paruh baya, hmm… sekitar lima puluh tahun itu, aku beranikan diri membuka pintu lebih lebar. Pria itu memakai celana jeans biru, kemeja coklat dan sebuah troli di samping berdirinya. Tampaknya dia baru saja mendarat dari pesawat. Itu terlihat dari tag yang ada di tas trolinya. Wajahnya tampak lelah namun bahagia. Aku baru saja hendak bertanya apa maksud kedatangannya, ketika Nadine muncul dari dalam rumah. Dengan celana pendek dan wajah pucat, Nadine tersenyum pada pria itu. Mereka tidak mengatakan apa pun. Mata keduanya berkaca-kaca dan tanpa aba-aba keduanya saling mendekat dan berpelukan. Aku hanya bisa diam menyaksikan adegan di depanku. Tanpa kusadari, air mataku pun turut menetes. Tidak ada alasan yang pasti kenapa aku ikut menangis. Sampai k
“Sebenarnya, Steve datang untuk menjemputku. Aku akan ikut dengannya ke Belanda.” “Apa?!” Kali ini aku yang berteriak terkejut. Aku benar-benar terkejut dengan keputusan Nadine. Beberapa menit lalu semua memang terihat membaik antara Nadine dan Steve. Meski begitu, aku toh tahu tahun-tahun penuh kesedihan yang Nadine alami. Dia selalu menganggap Steve sebagai peran utama yang menghancurkan hidupnya. Seorang ayah yang memberikan luka batin begitu dalam. Meski kami kemudian berpisah untuk waktu lama, namun setahun lalu ketika aku pertama kali datang ke Bali untuk memulihkan lukaku sendiri, semua tetap sama. Aku mendengar banyak kebencian Nadine pada ayahnya. Dia juga mengabaikan fakta bahwa ayahnya telah memberikan banyak aset dan bisnis padanya sebelum kembali ke negaranya di Belanda. Sekarang, Nadine mengatakan inginb bersama Steve ke Belanda. Tentu saja ini sangat mengejutkan. “Din! Jangan melotot begitu.” Nadine menepuk tanganku. “Ah, iya. Kamu yakin mau ikut Steve ke Belanda?”
“Bisa. Ayo kita putuskan sekarang,” ujarku. “Benarkah? Apa kau setuju untuk….” “Iya, aku setuju! Ayo, kita harus makan siang. Kau tahu, sudah berhari-hari aku tidak menikmati makanan enak.” “Ha… ha… ha! Kau membuatku nyaris merayakan kebahagiaan.” “Apa maksudmu? Apa kau tidak bahagia makan siang bersamaku?” Wajahku merajuk. Saat ini aku benar-benar lapar. Rasa yang hampir kulupakan sejak kejadian demi kejadian terus menunggu di depan mata untuk diselesaikan. Aku hampir lupa bagaimana cara menikmati hidup. Alih-alih mengembalikan kewarasan dengan berad di Bali, nyatanya aku justru harus menyelesaikan berbagai tantangan. Ketika satu masalah berlalu, masalah lainnya bahkan sudah menunggu. Ketegangan demi ketegangan membuatku lupa tentang menginginkan sebuah makanan sekedar untuk memanjakan diriku sendiri. Setelah melihat Nadine pergi dengan Steve dalam keadaan bahagia, tiba-tiba aku terserang rasa lapar. Andre baru saja akan memulai pembicaraan tegang lainnya ketika aku mengalihkan
“Wah, kebetulan sekali aku bisa bertemu denganmu di tempat ini. Tadinya aku mau menemuimu dia Summer Hotel.” Spontan aku menarik tanganku dari genggaman Andre. Tatapan sinis langsung kudapatkan ketika wanita dengan tubuh seksi dan baju mini itu melihat gerakan kami. Tanpa dipersilahkan, dia duduk di sebelah Andre. Tangannya dengan mesra langsung mendarat di bahu lebar yang ada di sampingnya. Aku mengalihkan pandangan. Tidak ingin melihat intensitas kedekatan mereka. Entah kenapa perasaan yang datang justru seolah akulah orang ketiga di antara mereka. Karena bagaimana pun keadaannya, Andre dan Nauri masih sepasang suami istri. Senyum Nauri merekah mewah saat melihat ke arah Andre. Lalu beralih padaku dengan sedikit lirikan tajam. Itu sepertinya adalah sebuah ancaman. Aku diam dan mencoba untuk mengabaikan. “Mami mengundangku makan malam di Summer Hotel malam ini,” ujarnya bangga. “Mami? Di Bali? Dia tidak mengatakan padaku bahwa dia akan datang.” Andre terlihat terkejut dengan beri
“Andre!” Di belakangku terdengar suara Nauri. Itu artinya Andre memilih mengikutiku, dan Nauri mencoba menahannya. Sayangnya dia tidak berhasil. Aku bergegas menghentikan taksi dan meninggalkan restaurant itu. Apa yang sedang kurasakan tidak bisa kumengerti. Saat kami mulai meninggalkan bandara untuk mengantar Nadine dan Steve, semua terasa baik-baik saja. Kami semakin dekat dan ceria. Menikmati makanan bersama. Lalu tiba-tiba semua seperti kembali ke alam nyata. Di mana Andre adalah suami Nauri. Pintu yang semula siap kubuka di dalam hatiku, mendadak kembali kukunci rapat. Jika kosekuensi untuk mencintai Andre sebesar ini, aku tidak akan melakukannya. Lebih baik apa yang sedang mulai tumbuh itu segera kucabut sampai mati. Baru sepuluh menit aku masuk ke dalam pavilyun, kudengar pintu diketuk. Aku hampir bisa memastikan siapa yang ada di baliknya. “Adina, keluarlah. Kita bicara dulu.” Walau enggan, aku tetap membuka pintu. Setelah menghapus kering butiran yang ada di sudut mata.
“Ide gila. Bagaimana aku datang ke sebuah makan malam tanpa diundang.” “Aku yang mengundangmu. Tentu saja ak berhak. Aku adalah pemilik Summer Hotel.” “Tapi, makan malam itu adalah ide mamimu untuk Nauri. Dia akan langsung menendangku keluar.” Andre terkekeh mendengar ucapan putus asaku. Itu adalah ucapan paling jujur. Aku memang berpikir bahwa Mami Andre akan menendangku keluar jika aku tetap datang. Tampaknya makan malam itu bukan makan malam biasa. Itu adalah makan malam yang disetting untuk Andre dan Nauri. Mami Andre mempunyai keinginan untuk menyatukan keduanya lagi. Nauri adalah sosok wanita yang memikat. Dia cantik, langsing, modern dan model terkenal. Memiliki menantu seperti itu pastilah sebuah kebanggaan. Apalagi Andre tidak pernah menceritakan tentang keburukan Nauri pada orang tuanya. Sehingga dia nyaris tanpa cela. Bagaimana mami andre akan menerima dengan baik jika tiba-tiba aku muncul sebagai kekasih Andre. Kejutan yang tidak diharapkan tentunya. Jika Nauri adalah
“Ini terdengar mengkhawatirkan. Tampaknya aku harus kembali ke Jakarta untuk melihat langsung semuanya.” Aku bergumam pada diriku sendiri. Memikirkan tentang Anaya dan segala kemungkinan di sekitarnya, jujur membuatku khawatir dan gugup. Suka tidak suka, Anaya ada di antara mereka. Sesuatu yang terjadi pada Fattan dan Kalila akan berimbas pada putriku itu. Aku tidak akan membiarkan Anaya tersakiti dan kecewa dengan alasan apa pun. Malam hari, sesuai dengan yang dijanjikan oleh Andre, dia menjemputku untuk makan malam bersama maminya di Summer Hotel. Ini adalah hotel milik Andre, tanpa pemesanan khusus, mereka mendapatkan sebuah ruangan VIP. Sepanjang perjalanan menuju ke hotel, aku tidak bisa tenang. Beberapa hal membuatku tiba-tiba cemas berlebihan. Pertanyaan demi pertanyaan membanjiri kepalaku. “Din, berhenti meremas-remas tanganmu seperti itu.” Andre yang duduk di belakang kemudia mulai gemas dengan apa yang aku lakukan. “Aku gugup. Hmm… maksudku, khawatir.” “Nggak akan terja
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil