Hadeh... sopo meneh ini?!
“Wah, kebetulan sekali aku bisa bertemu denganmu di tempat ini. Tadinya aku mau menemuimu dia Summer Hotel.” Spontan aku menarik tanganku dari genggaman Andre. Tatapan sinis langsung kudapatkan ketika wanita dengan tubuh seksi dan baju mini itu melihat gerakan kami. Tanpa dipersilahkan, dia duduk di sebelah Andre. Tangannya dengan mesra langsung mendarat di bahu lebar yang ada di sampingnya. Aku mengalihkan pandangan. Tidak ingin melihat intensitas kedekatan mereka. Entah kenapa perasaan yang datang justru seolah akulah orang ketiga di antara mereka. Karena bagaimana pun keadaannya, Andre dan Nauri masih sepasang suami istri. Senyum Nauri merekah mewah saat melihat ke arah Andre. Lalu beralih padaku dengan sedikit lirikan tajam. Itu sepertinya adalah sebuah ancaman. Aku diam dan mencoba untuk mengabaikan. “Mami mengundangku makan malam di Summer Hotel malam ini,” ujarnya bangga. “Mami? Di Bali? Dia tidak mengatakan padaku bahwa dia akan datang.” Andre terlihat terkejut dengan beri
“Andre!” Di belakangku terdengar suara Nauri. Itu artinya Andre memilih mengikutiku, dan Nauri mencoba menahannya. Sayangnya dia tidak berhasil. Aku bergegas menghentikan taksi dan meninggalkan restaurant itu. Apa yang sedang kurasakan tidak bisa kumengerti. Saat kami mulai meninggalkan bandara untuk mengantar Nadine dan Steve, semua terasa baik-baik saja. Kami semakin dekat dan ceria. Menikmati makanan bersama. Lalu tiba-tiba semua seperti kembali ke alam nyata. Di mana Andre adalah suami Nauri. Pintu yang semula siap kubuka di dalam hatiku, mendadak kembali kukunci rapat. Jika kosekuensi untuk mencintai Andre sebesar ini, aku tidak akan melakukannya. Lebih baik apa yang sedang mulai tumbuh itu segera kucabut sampai mati. Baru sepuluh menit aku masuk ke dalam pavilyun, kudengar pintu diketuk. Aku hampir bisa memastikan siapa yang ada di baliknya. “Adina, keluarlah. Kita bicara dulu.” Walau enggan, aku tetap membuka pintu. Setelah menghapus kering butiran yang ada di sudut mata.
“Ide gila. Bagaimana aku datang ke sebuah makan malam tanpa diundang.” “Aku yang mengundangmu. Tentu saja ak berhak. Aku adalah pemilik Summer Hotel.” “Tapi, makan malam itu adalah ide mamimu untuk Nauri. Dia akan langsung menendangku keluar.” Andre terkekeh mendengar ucapan putus asaku. Itu adalah ucapan paling jujur. Aku memang berpikir bahwa Mami Andre akan menendangku keluar jika aku tetap datang. Tampaknya makan malam itu bukan makan malam biasa. Itu adalah makan malam yang disetting untuk Andre dan Nauri. Mami Andre mempunyai keinginan untuk menyatukan keduanya lagi. Nauri adalah sosok wanita yang memikat. Dia cantik, langsing, modern dan model terkenal. Memiliki menantu seperti itu pastilah sebuah kebanggaan. Apalagi Andre tidak pernah menceritakan tentang keburukan Nauri pada orang tuanya. Sehingga dia nyaris tanpa cela. Bagaimana mami andre akan menerima dengan baik jika tiba-tiba aku muncul sebagai kekasih Andre. Kejutan yang tidak diharapkan tentunya. Jika Nauri adalah
“Ini terdengar mengkhawatirkan. Tampaknya aku harus kembali ke Jakarta untuk melihat langsung semuanya.” Aku bergumam pada diriku sendiri. Memikirkan tentang Anaya dan segala kemungkinan di sekitarnya, jujur membuatku khawatir dan gugup. Suka tidak suka, Anaya ada di antara mereka. Sesuatu yang terjadi pada Fattan dan Kalila akan berimbas pada putriku itu. Aku tidak akan membiarkan Anaya tersakiti dan kecewa dengan alasan apa pun. Malam hari, sesuai dengan yang dijanjikan oleh Andre, dia menjemputku untuk makan malam bersama maminya di Summer Hotel. Ini adalah hotel milik Andre, tanpa pemesanan khusus, mereka mendapatkan sebuah ruangan VIP. Sepanjang perjalanan menuju ke hotel, aku tidak bisa tenang. Beberapa hal membuatku tiba-tiba cemas berlebihan. Pertanyaan demi pertanyaan membanjiri kepalaku. “Din, berhenti meremas-remas tanganmu seperti itu.” Andre yang duduk di belakang kemudia mulai gemas dengan apa yang aku lakukan. “Aku gugup. Hmm… maksudku, khawatir.” “Nggak akan terja
“Tante mengerti, Nauri. Tapi, Adina sudah di sini dan kita tidak mungkin menyuruhnya pergi. Kita bisa menajdi Tuan Rumah yang baik, bukan?” Wajah Nauri seketika memerah. Kata-kata Tante Alice di luar harapannya Apa yang Nauri rencanakan untuk pertemuan ini tampaknya berantakan. Dia begitu gusar dan melirik ke arahku. Siap untuk menelanku tanpa sisa. “Kenapa kau datang? Bukankah kau tahu bahwa pertemuan ini adalah pertemuan keluarga. Aku ingin membicarakan hal-hal pribadi dengan Andre dan Tante Alice.” Mengabaikan apa yang Tante Alice katakan. Nauri justru menegurku secara langsung. Aku baru saja hendak membuka mulut ketika justru Andre yang menyahut. “Aku yang mengajaknya ke sini. Tampaknya Mami tidak keberatan, jadi tidak ada masalah. Adina boleh tahu apa pun yang akan kita bicarakan.” “Ya, nggak bisa gitu, donk, Ndre! Aku dan Mami mau bicara tentang rencana agar kita rujuk lagi. Aku ingin memperbaiki semuanya dan Mami sudah setuju.” Nauri semakin gusar. “Persetujuan Mami bukan
“Jadilah wanita yang punya harga diri. Itu akan baik untukmu, Nauri.” Andre bahkan tidak melihat ke arah Nauri. Dia megambil sebuah pisau makan dan memotong dengan kasar daging yang ada di atas piringnya. Ingin menunjukkan sesuatu dengan gerakan itu? Mungkin saja. Terlihat jelas bahwa Nauri bahkan merendahkan dirinya lebih dari apa pun untuk mendapatkan Andre. Melihat penolakan dan nyaris tanpa dukungna dari Andre dan ibunya, Nauri semakin terbakar kekesalan. Lalu pandangannya yang tajam beralih padaku. Aku tahu, tapi aku memilih diam. Bagiku cukup untuk meliaht sikap Andre yang kukuh pada keputusannya untuk tidak kembali pada Nauri. Ketegasan adalah sesuatu yang dibutuhkan seorang pria sebelum memulai hubungan. Ibu Andre mencoba memecah kabut kemarahan yang memenuhi ruangan. Dia mulai menikmati makannnya dan mempersilahkan kami untuk makan juga. “Sebaiknya, kita hentikan pembicaraan ini. Biar saja nanti waktu yang akan membawa jalan pada masing-masing kalian. Nauri, Adina, ayo mak
“Apa?! Adina seorang janda?” Ibu Andre terkejut. Aku juga sama terkejutnya. Bukan hanya karena statusku dan Nauri yang hampir sama, tapi karena ternyata Andre memang belum menginformasikan apa pun tentangku pada ibunya. Termasuk statusku. Bagi beberapa orang status bukan hal penting, namun bagi sebagian lainnya, itu tentang harga diri. Nauri yang sudah berada di ambang pintu, sesaat berhenti. Dia menoleh dan melayangkan pandangan penuh kemenangan. Sementara mata Ibu Andre melekat erat di wajahku. Tidak percaya sekaligus meminta penjelasan. Ketika aku berharap sebuah pembelaan dari Andre antara aku dan ibunya, ternyata Andre justru tidak kalah gugup. Dia beberapa kali menelan ludah untuk mengatur ketenangannya sendiri. “Kenapa diam? Kenapa kalia berdua tidak menjawab Mami?” tanya Ibu Andre. Perlahan dia kembali duduk di kursinya. Setelah ketegangan yang terjadi, aku pikir semua selesai dengan kepergian Nauri. Sial! Kami justru masuk ke ketegangan berikutnya. “Andre!” sekali lagi I
“Sesuatu yang serius pasti sedang terjadi.” Itu saja yang bisa kupikirkan. Aku mengenal Anaya dengan baik. Begitu besar kepercayaanku padanya termasuk dalam hal menangani emosinya sendiri. Di usianya yang ke sembilan tahun, dia bahkan lebih memahami bagaimana menjadi tenang. Perpisahanku dengan Fattan tiga tahun lalu, telah membawa Anaya pada tahapan hidup yang lebih tinggi. Memaksanya untuk menjadi dewasa di waktu yang belum ditentukan. Jika kali ini dia melakukan sebuah tindakan, itu menjadi peringatan. Ada sesuatu yang serius telah terjadi. Tanpa membuang waktu, dari bandara aku langsung menuju ke rumah Kalila. Sosok Mbak Pia menjadi yang muncul pertama di depan pintu. “Nyonya Adina!” Mbak Pia sontak memelukku. Erat, takut dan bingung. Aku pun tidak kalau terkejut. Air mataku spontan berjatuhan. Air mata untuk apa, aku juga tidak mengerti. Merasakan gunacangan di bahu Mbak Pia sudah cukup menjadi alasan untuk rasa kesakitan. “Ada apa? Mana Anaya?” “Nyonya Kalila dan Tuan Fat