Duh, siapa itu?!
“Kalila! Apa yang terjadi?!” Keadaan Kalila bahkan jauh lebih menyedihkan. Dia duduk di sudut kasur dengan kedua lutut tertekuk ke atas. Kedua tangannya menutupi telinga. Wajahnya pucat pasi dan sebagian tertutupi rambutnya yang kusut masai. “Kalila….” Aku mendekati perlahan. Tanganku memberi isyarat agar Anaya dan Mbak Pia berhenti di pintu. Mereka sebaiknya tetap menjaga jarak aman untuk tidak masuk ke dalam kamar tidur Kalila. Beberapa pecahan keramik berserak di lantai. Ini lebih buruk yang dari kuperkirakan. “Kalila….” Perlahan Kalila menurunkan tangannya dan melihat ke arahku. Dia hancur! Dia bukanlah Kalila yang pernah menjadi duri dalam pernikahanku. Ini adalah kalila kecil yang pernah kusayangi bagai putriku sendiri. “Tante….” Kalila menyerbu ke dalam pelukanku dan menangis. Kehilangan arah dan kata untuk menunjukkan apa yang dia rasakan. Tuhan! Kenapa dunia menjadi berputar seperti ini. Dia yang pernah memberiku luka abadi, bolehkah kali ini aku menolaknya? Saat dia le
“Kemana kita, Bun?” Anaya duduk di samping tempatku mengemudi sambil menikmati sepotong coklat yang tadi kami beli di swalayan. “Ke rumah yang Om Tara kasih.” “Kita pindah rumah terus,” ujarnya dengan mulut penuh karena baru saja memasukkan sepotong cokat ke dalam mulut. “Memang Naya mau kalau kita kembali ke apartement?” “Nggak ah, Anaya mau rumah yang ada tukang jualan. Punya teman buat diajak main.” “Hmm… rasanya sulit untuk punya teman seperti itu. Semoga rumah yang Om Tara berikan cukup nyaman untuk kita berdua.” Mobil yang kami naiki mulai memasuki sebuah kawasan perumahan. Bukan perumahan elit. Cukup bersih dengan taman-taman yang tertata rapi. Cukup mengejutkan karena ini bukan selera Tara yang biasa. Mungkin Tara tau bahwa ada beberapa hal yang perlu diubah dalam hidupku. Pergulatan dengan bisnis dan kehidupan papan atas membuatku merasa lelah. Sulit menemukan hal-hal baik dan tulus di lingkungan seperti itu. Satu-satu yang bisa dilakukan dalam menghadapi berbagai jebak
“Kenapa kau bertanya itu?” Kenapa aku bertanya untuk sebuah pertanyaan? Sebenarnya aku hanya mengulur waktu saja. Pertanyaan ini mudah saja untuk dijawab. Hal yang aku pikirkan adalah efek dari pertanyaan ini di masa mendatang. Mey mengerutkan kening. Dia yang semula sudah hendak kembali ke rumahnya, berbalik dan berjalan mendekat ke arahaku. Sejujurnya aku agak gugup, walau itu sama sekali tidak kuperlihatkan. “Kayanya itu pertanyaan wajar kan? Sebuah keluarga kan pasti ada istri, anak, suami, pembantu. Karena tadi aku nggak lihat suamimu, makanya aku tanya. Mungkin dia masih di kantor dan akan datang nanti sore. Atau dia sedang tugas di luar kota atau di luar negeri?” Aku menguatkan hati. Kuangkat sedikit wajahku untuk menghilangkan kesan ketakutan. Ok! Tidak ada yang salah dengan statusku. Dan tidak ada masalah jika aku tidak punya suami. Ini mungkin hanya ketakutanku sendiri. Setelah banyak masalah dan penghakiman yang kuterima, mungkin status ini meninggalkan sedikit jejak ket
“Selamat pagi.” Sapaan hangat mengalir di antara udara pagi yang masih sejuk. Tidak lupa dengan seulas senyum tipis yang merekah untuk mengubah menjadi ramah. Aku mengangguk kaku. Sesaat berhenti untuk kemudian melangkah. Sesungguhnya, aku tidak benar-benar melangkah. Selama perjalanan keluar cluster, pikiranku bekerja keras untuk menarik waktu tetang siapa pria itu. Seraut wajah yang rasanya pernah kukenali di masa lalu. Ah… kenapa dunia terasa begitu sempit. Dari sekian banyak permukaan bumi, pria itu tinggal di depan rumah baruku. Jika aku tidak salah mengenali, itu adalah rumah Mey. Mungkin pria itu suaminya. Mereka jelas dari ras yang sama yaitu Tionghoa. Aku nyaris tidak punya relasi dengan ras ini. Bukan… bukan karena sebuah antipati, hanya memang tidak ada sesuatu yang membuatku terhubung dengan mereka. “Silahkan Mbak, mau beli apa?” tanya abang tukang sayur yang mangkal tepat di depan pintu komplek. Sapaan ramah khas pedagang untuk menarik pembeli, membawaku mendarat ke a
“Kaya pernah ketemu, di mana ya?” sapa sebuah sura dari belakangku. Ketika aku tiba di depan rumah, entah dari mana dan sejak kapan, sosok pria yang tadi berboncengan dengan Mey muncul di belakangku. Sapaannya ramah tapi membuatku sangat terkejut. Itu karena aku memang sedang memikirkannya. Aku masih mengingat apakah wajah yang aku lihat di motor tadi, sama degan wajah yang aku lihat beberapa tahun lalu. Sosok dengan kacamata tebal dan baju putih biru. Karena terkejut, sebuat kantung belanja terlepas dari tanganku. Isinya berhampuran di atas jalan yang hampir menuju ke rumahku. Aku baru saja akan membuka pagar yang setinggi pinggang orang dewasa. “Maaf… maaf… aduh ngagetin ya?” Pria itu merasa bersalah dan bergegas ikut memungut berbagai jenis sayuran yang sebagian keluar dari kantung kresek berwarna merah. “Nggak, nggak apa. Aku cuma kaget aja karena kamu tiba-tiba muncul.” “Iya… aku sengaja nungguin kamu. Kayanya pernah lihat atau pernah kenal. Tapi, di mana ya?” Dia melihat d
“Apa?! Adina janda? Mey, jangan sembarangan mengatakan hal seperti itu.” Sebenarnya Yohanes berkata pelan. Sepelannya, cukup terdengar olehku karena jarak antara aku dan Yohanes lebih dekat jika dibandingkan jarak Yohanes ke Mey. Dengan langkah cepat Meylani menuju ke arah kami berdiri. Ah… keadaan ini sungguh canggung. Merasa ada yang salah dengan pembicaraan yang tidak seberapa. Bahkan pembicaraan yang sebenarnya tidak ada artinya. Ketika akhirnya Meylani berhenti di dekat kami. “Kalian saling kenal? Kok tadi pas ketemu diam-diam saja? Jadi, kamu juga tahu donk, kalau Adina janda? Kalian masih sering komunikasi?” pertanyaan yang entah ditujukan untuk siapa, keluar memberondong dari mulut Meylani. “Aku baru bertanya pada Adina. Tadi sedang ingat-ingat wajahnya kaya kenal, di mana. Ternyata bener, lho Mey, Adina ini teman SMP-ku dulu. Ah, sudah lama sekali sejak terakhir kali kami bertemu.” Wajah Yohan berseri-seri. Dia pasti tidak mengerti bahwa wajah istrinya sangat kelabu denga
“Kenapa kamu mendadak pergi? Saat aku sampai di rumah, aku pikir kamu sudah tidur, jadi aku tidak membangunkanmu. Lalu saat aku mau ke kantor, pavilyunmu tertutup rapat. Sampai hari ini pavilyun itu tidak pernah terbuka.” Andre pasti sedang membicarakan hari di mana aku pergi dari Bali. Hari di malam sebelumnya ketika kata yang sama membuat Ibunya mengtur jarak untuk kami berdua. Keramahan yang semula tersirat mendadak hilang setelah Nauri mengucapkan kata yang sama. Statusku sebagai janda, lalu dipertanyakan. Kata-kata ibu Andre masih jelas terekam dalam ingatanku. Tidak membuatku sakit hati karena itu memang keyataannya. Itu cukup untuk membuatku mengerti, seberapa besar seseorang ingin dihargai dan menghargai. Suara berikutnya membawaku kembali bahwa itu adalah tentang harapan untuk bersama. “Din… aku perlu bertemu denganmu. Untuk menjelaskan semuanya.” Aku menarik nafas, berharap oksigen bisa menenangkan ‘pesawatku’ yang sedang terguncang. “Ndre, tidak ada yang perlu dijelask
“Nggak kenal saya, Bu. Cantik sih… tapi kaya udah agak sepuh.” Setelah menyelesaikan kalimatnya, Mbak Pia pun beranjak keluar dari kamarku. Hmm… ini memang bukan urusanku lagi. Semua hal tentang Fattan dan Kalila sejatinya bukan urusanku lagi. Setelah kembaliku dari Bali, segala hal tentang mereka justru satu per satu muncul ke permukaan. Ada yang belum selesai tentang masa lalu yang telah aku tuntaskan. Dalam pemaafanku, ada sesuatu yang masih menunggu, sebuah pembalasan! Apakah semesta sedang berjalan bergandengan di sampingku. Saat keinginan terbesar adalah bahagia dan cinta, di saat yang sama karma sedang bekerja. Berusaha menepis semua yang berkelebat dalam ingatan, aku kembali sibuk dengan krim dan make up tipis harianku. Sehari setelahnya. Ini adalah café tempatku bertemu dengan Andre. Tempat yang kami sepakati. Agak jauh dari tempat tinggalku. Itu aman karena untuk sementara ini, aku belum ingin terlihat oleh siapa pun. “Mbak, mau pesan makanan sekarang?” tanya seorang wai
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil