Katakan! Pernyataanmu akan menentukan, Ndre!
“Jika aku mengatakan mencintaimu karena kamu cantik, itu pasti terdengar menggelikan. Ya, kan?” “Dan itu terdengar bohong.” Aku berusaha menahan tawa. Inilah yang kusukai dari Andre. Dia selalu tahu bagaimana mengubah suatu keadaan. Dari sebuah ketegangan yang menyiksa, menjadi sesuatu yang lucu dan ringan. Hal seperti itu memang tidak perlu diragukan karena Andre adalah seorang pemimpin dan pemilik hotel bintang lima. Kemampuannya untuk memanipulasi dan mengatur emosi pasti sudah di level yang sulit dielakkan. “Ada banyak mimpi dalam hidup yang belum aku wujudkan.” Matanya ikut berbicara. “Tentang keturunan?” “Salah satunya. Melihat Anaya di video call. Lalu ceritamu tentangnya, itu membuatku merasa memiliki Anaya. Aku juga ingin Anaya lain di antara kita tentu saja.” “Tidak ada yang istimewa. Kau bisa mendapatkan anak dari wanita yang mana saja. Bahkan Nauri sudah bersedia hamil untukmu.” “Ya, memang. Semua wanita bisa melahirkan anak. Tapi, apakah semua wanita bisa menjadi i
“Tunggu, Ndre. Ini… ini terlalu cepat.” “Din, aku memang tidak ingin berjalan lambat. Lihat saja, sejak pertemuan pertama kita, lebih dari setahun lalu, kita masih bergerak di tempat yang sama. Sikap lambatku justru membuat semuanya kian terlambat.” “Kita baru membicarakan semuanya. Memberi kesempatan. Tapi, kita belum memperbaiki apa pun.” “Jika maksudmu tentang ibuku, aku akan membawamu padanya. Beri aku sedikit waktu untuk memberinya penjelasan sebelum kalian bertemu.” Andre terdengar meyakinkan dan tidak ingin sebuah penawaran. Jauh di dalam hatiku ada sesuatu yang masih belum bisa kuterima. Lalu kemudian sisi yang lain mengatakan ‘sekarang’ atau ‘tidak sama sekali’. Ketika Andre meraih tanganku dengan lembut dan mendorong benda kecil itu untuk melingkar di sana, aku berhenti dengan penolakanku. Senyum bahagianya merekah melihat tanganku dengan cincin miliknya. Sebuah tanda ikatan dan kepemilikan. Aku membeku, mungkin juga menjadi batu. Entah ekspresi seperti apa yang harusny
“Kamu siapa?! Jangan ikut campur ya!” Mey justru meninggikan suara. Aku sedikit terkejut dengan sikap Mey yang temperamen. Suasana hatiku semakin memanas. Saat kami berdua saja, mungkin itu memang tentang kekhawatiran. Hal yang berbeda ketika yang ada orang lain dan itu adalah Andre. Ini berarti sebuah harga diri. “Maaf ya, Mbak. Saya hanya ingin tahu apakah ada masalah di sini yang bisa saya bantu.” Andre merendahkan suara walau kekesalan jelas terdengar di sana. “Dia ini janda penggoda suami orang. Saya benar-benar khawatir dengan keberadaannya di sekitar rumah kami.” Aku yang semula masih berusaha menahan amarah tak pelak lagi meledak. Sebutan dan hinaan itu tidak layak untuk kuterima. Bukan hanya karena aku memang tidak melakukan, tapi itu lebih berbentuk seperti tuduhan. Di sini, di depan Andre. Orang yang sedang berusaha menapaki masa depan bersamaku. “Mey! Jaga mulutmu. Sudah kubilang, aku dan Yohan hanya saling menyapa karena kami saling kenal saat SMP dulu. Itu hal wajar
“Halo, Naya.” Sapaan hangat Andre mengabaikan keterkejutan anak berumur sembilan tahun itu. Tidak membalas sapaan Andre, anaya turun ke lantai bawah dan berdiri di depanku. Dia mengulangi pertanyaan yang berlum terjawab. Sulit untuk menyimpulkan apa yang Anaya rasakan. Sepasang mata lebar itu ingin sebuah kepastian. “Bunda mau menikah sama Om Andre?” Sekali lagi dia bertanya. Tanganku mendarat lembut di bahu Anaya. “Belum. Mungkin nanti.” “Kenapa nanti? Kenapa nggak sekarang?” Nada bingung meluncur dari bibir kecilnya. “Lho! Kenapa harus sekarang?” Sambutanku lebih bingung lagi “Supaya Bunda nggak pergi lagi. Kalau ada Om Andre di rumah kita, Bunda nggak perlu kerja juga, kan?” Aku menatap Andre dan tersenyum bersamaan. Sesederhana itulah harapan seorang Anaya. Anak yang besar dari keluarga yang bercerai. Tidak akan mudah baginya membingkai sebuah dampak dari pernikahan. Mungkin yang ada di benak Anaya hanyalah keinginan untuk tetap bersamaku. Bagaimana pun, aku adalah tempat
“Setelah beberapa bulan, orang ini kembali mengirim pesan. Siapa dia?” Pesan-pesan yang berwujud ancaman itu telah bertahun-tahun aku terima. Aku memang mengabaikan begitu saja. Selama ini tidak ada yang terjadi, bagiku itu menjadi tidak terlau penting. Sekarang pesan ini kembali bersamaan dengan kondisi kami yang mengkhawatirkan. Satu per satu aku mulai menggulung benang kusut. Apakah ini ada kaitannya dengan berbagai peristiwa yang aku alami. Terlebih apa yang saat ini sedang Tara hadapi. Dalam tiga tahun, duniaku seolah terjungkir balik dengan alasan yang tidak jelas. Bukan hanya secara materi dan bisnis tapi juga mental. Ada seseorang yang sedang mengincarku untuk menjatuhkan. “Din… Dina.” Suara Andre menghempaskan pikiranku kembali. Aku meletakkan ponsel di atas meha nakas dan bergegas membuka pintu. “Ya, Ndre? Kalian sudah selesai makan?” “Kami sudah selesai. Tadinya aku mau berpamitan pulang, tapi Anaya memintaku untuk menemaninya nonton.” Sekilas aku melirik jam di dindi
“Tadi Nyonya Kalila tiba-tiba datang ke sekolah dan menemui Non Anaya. Katanya pengen ikut ke rumah. Saya nggak berani nolak, Nyonya.” Mata Mbak Pia bahkan tidak berani menatap ke arahku. Dengan karakter yang Kalila miliki, sekalipun Mbak Pia menolak, aku yakin dia akan memaksa untuk ikut. Bisa jadi dia akan mengancam Mbak Pia. Kalila adalah karakter orang yang selalu ingin dituruti semua keinginannya. Tidak mengherankan, karakter yang dia pelajari dengan baik dari Zahra. “Ya udah, saya temui dia. Mbak Pia bawa Anaya untuk ganti baju, makan dan istirahat, ya.” “Baik, Nyonya.” Mbak Pia terlihat lega karena aku tidak marah padanya. Ya, dalam hal ini memang aku tidak perlu marah. Bukankah segala sesuatu yang berhubungan dengan Kalila selalu di luar prediksi? “Naya, istirahat dulu, ya. Bunda ketemu Kak Kalila dulu.” “Siap, Bun. Oh ya? Om Andre kapan datang lagi?” Apakah bumi sedang berputar pada poros yang benar? Kenapa Anaya seperti memiliki ikatan dengan Andre. Pertanyaan yang tida
“Tentu. Apa pun syarat yang Tante ajukan. Aku akan setuju. Aku sangat membutuhkan uang itu.” Kalila terlihat lega. Kesulitan hidupnya tampaknya telah memaksa Kalila berdiri di sudut ruangan dan menerima apa pun untuk mendapatkan uang yang dia inginkan. Ini sangat menyedihkan. Jika dia adalah gadis kecilku. Sayangnya, hari ini dia adalah wanita yang sedang membayar karma atas apa yang pernah dia lakukan. Mungkin bukan hanya padaku, tapi juga pada orang lain. Dia bukan gadis manis di masa itu. “Tinggalkan kota ini. Aku tidak ingin melihatmu lagi.” “Apa?! Maksudku, apa-apaan ini, Tante?! Bagaimana bisa Tante mengusirku dari Jakarta?” “Karena kau adalah orang yang tidak bisa kupercaya. Jika kau tidak pergi dari kota ini. Aku yakin kau akan selalu kembali untuk mengusik kehidupanku.” “Ya, Tuhan! Tante, ini hanya tentang beberapa juta. Aku tidak meminta banyak. Tante bisa menghitungnya dan aku akan mengembalikan segera saat aku sudah memiliki uang.” Kalila berbicara dengan ekspresi ber
“Din, kita akan menikah. Apakah untuk bertemu harus ada alasan yang penting?” Andre terdengar putus asa. Ah, benar juga. Untuk bertemu dengan Andre, dan tujuannya adalah untuk menjalin hubungan baik dengan Anaya, kenapa aku harus mendapatkan alasan. Kadang aku merasa pagar yang kubangun terlalu tinggi. Butuh loncatan besar bagi seorang pria untuk bisa melewatinya. Haruskah aku menurunkan sesuatu yang membuatku merasa aman? Atau sebenarnya seorang pria yang perlu memberikan lebih banyak kemampuan? Di dalam hatiku terucap mantra, bahwa apa yang harusnya dipertemukan, akhirnya akan selalu dipertemukan bahkan tanpa alasan. Karena beberapa hal, aku dan Anaya agak terlambat. Ditambah lagi dengan jalanan yang macet. Kami sudah terlambat lebih dari setengah jam. Andre menghubungiku di telepon. “Din, kita jadi ketemu kan?” “Iya, jadi. Aku sudah di jalan sama Anaya. Jalanan agak macet.” “Ini sudah sangat terlambat, Din. Kau membuatku menunggu terlalu lama.” “Maaf ya, tadi aku dan Anaya me