Jangan-jangan....
“Din, kita akan menikah. Apakah untuk bertemu harus ada alasan yang penting?” Andre terdengar putus asa. Ah, benar juga. Untuk bertemu dengan Andre, dan tujuannya adalah untuk menjalin hubungan baik dengan Anaya, kenapa aku harus mendapatkan alasan. Kadang aku merasa pagar yang kubangun terlalu tinggi. Butuh loncatan besar bagi seorang pria untuk bisa melewatinya. Haruskah aku menurunkan sesuatu yang membuatku merasa aman? Atau sebenarnya seorang pria yang perlu memberikan lebih banyak kemampuan? Di dalam hatiku terucap mantra, bahwa apa yang harusnya dipertemukan, akhirnya akan selalu dipertemukan bahkan tanpa alasan. Karena beberapa hal, aku dan Anaya agak terlambat. Ditambah lagi dengan jalanan yang macet. Kami sudah terlambat lebih dari setengah jam. Andre menghubungiku di telepon. “Din, kita jadi ketemu kan?” “Iya, jadi. Aku sudah di jalan sama Anaya. Jalanan agak macet.” “Ini sudah sangat terlambat, Din. Kau membuatku menunggu terlalu lama.” “Maaf ya, tadi aku dan Anaya me
“Aku pasti akan mempertemukan kalian.” “Kapan? Dengar Ndre, aku tidak memikirkan duri-duri kecil yang harus kita lewati dalam hubungan ini. Itu bukan masalah setelah kita berhasil melewati rintangan yang sebenarnya.” Itu sebuah desakan. Walau terdengar tidak menyenangkan, namun hal inilah yang aku pikirkan. Aku tidak ingin galau sendiri. Maka Andre adalah tempat yang paling tepat untuk berbagi. “Maksudmu Mami?” “Ya, tentu saja. Ini tentang penyatuan dua keluarga. Ibumu adalah orang terpenting bagimu kan?” “Apa kau sedang memintaku memilih antara aku dan ibuku?” Pertanyaan sejuta dolar yang aku tunggu dari Andre. Tentu saja aku tidak memintanya untuk memilih. Aku toh tahu bagaimana posisi anak laki-laki untuk ibunya. Sebelum atau sesudah dia menikah. Dan pertanyaan ini justru menjadi konfirmasi bahwa aku memang di sana. Di tengah antara Andre dan ibunya. “Jangan konyol, Ndre. Aku sedang berbicara tentang menjadi dewasa. Di usia kita, segalanya harus lebih pasti. Aku tidak ingin me
“Dia bilangnya di depan banyak orang, Nyoya. Lalu mereka jadi bertanya banyak sama saya.” Mbak Pia terlihat gugup menyampaikan apa yang tadi dia alami. “Lalu kamu jawab apa, Mbak?” “Ya, saya jawab aja, Nyonya memang tidak punya suami. Tapi, bukan istri kedua.” “Kan memang begitu. Lalu apa yang bikin kamu nangis?” “Mereka tidak percaya. Mereka bilang saya bohong dan menutupi semuanya.” Tangis Mbak Pia kembali pecah. Bersamaan dengan kekesalan yang aku rasakan. Bagaimana kami yang pendatang baru, bahkan belum mengenal semua orang tiba-tiba disudutkan. Hampir bisa kupastikan pelakunya pasti Meylani. Dia adalah orang yang selalu memata-matai kegiatan di rumah kami. Entah apa tujuannya melakukan itu. Jika semula alasannya adalah tentang Yohan, sekarang semua justru terlihat konyol. Dia seolah ingin tahu semua hal tentangku. Itu menjengkelkan. “Saya sedih, Nyonya dan Non Anaya beberapa tahun terakhir hidupnya sulit. Kenapa saat kita berusaha hidup nyaman di tempat baru, kita justru be
“Aku hanya nolongin aja, kok Mey. Kebetulan mereka sedang ada masalah tadi di jalan.” Jawaban Yohan terdengar diplomatis dan template. Aku nyaris bisa mendengar ketakutan di dalam penjelasannya. “Nanti kita bicara lagi ya,” tutupnya dan langsung mematikan sambungan telepon. Mungkin dia tidak ingin berdebat panjang dengan Meylani di depan kami. Atau juga, karena kami memang sudah tiba di depan sekolah Anaya. “Terima kasih ya, Yo. Untuk tumpangannya. Alhamdulila, Anaya nggak jadi terlambat.” “Sama-sama, Din. Lho, kamu ikut masuk ke sekolah, ya?” “Ah, nggak. Aku antar sampai gerbang aja. Habis itu aku tinggal.” “Kamu mau kemana. Kan nggak ada mobil. Aku bisa antar kamu.” “Ehh… nggak perlu. Aku mau ke beberapa tempat. Mungkin juga ambil mobilku. Tadi orang bengkel bilang sudah datang ke lokasi.” Yohanes terlihat kecewa. Tapi, dia menyembunyikan dengan senyuman. “Ok deh, terserah kamu aja.” Lalu Yohanes pun mengusap kepala Anaya. “Terima kasih ya, Om. Naya sekolah dulu.” “Bye Nay
“Mey! Lepaskan! Apa-apaan ini!” Aku benar-benar terkejut. Tanganku berusaha melepaskan tangan Mei yang mencengkeram hijabku tanpa ampun. Beberapa helai rambut di kepalaku ikut tertarik. Hijabku bergeser dari tempat yang seharusnya. Bersamaan dengan seringai kesakitan. Bukan hanya sakit yang aku rasakan tapi juga rasa malu. Sembari melakukan aksinya Mey terus berteriak melemparkan kata-kata kotor dan tuduhan. “Dasar janda gatel! Sok suci kamu! Gayamu aja pakai hijab, padahal kerjamu menggoda suami orang!” Mey menarik semakin kuat hijabku dengan kedua tangannya. Aku mati-matian berusaha mempertahankan agar hijab itu tidak lepas dari kepalaku. “Mey! Apa maksudmu?! Kenapa kau menyerangku!” Kebingungan masih menyelimuti pikiranku. Apa salahku hingga aku mendapatkan perlakuan seburuk ini. Beberapa menit adegan tarik menarik antara aku dan Mey semakin liar. Mey mengganas, berbagai umpatan keluar dari mulutnya. Kami bahkan tidak berhenti ketika Mbak Pia dan Anaya keluar dari dalam rumah.
“Apa itu urusanmu?” tanyaku sengit ketika Yohanes berdiri di samping Meylani. Wanita bertubuh gempal yang tadi berusaha membela Meylani mengambil beberapa langkah ke belakang untuk memberi yang pada Yohanes. Mendengar pertanyaan suaminya, mata Meylani semakin memancarkan kebencian. Kali ini dia tujukan pada Yohanes. Suaminya itu secara terang-terangan bertanya di depan semua orang untuk mencari tahu sesuatu yang sama sekali bukan urusannya. “Apa itu penting untukmu?” Aku melihat Yohanes dan Meylani bergantian. Kali ini aku sudah kembali ke posisiku yang tenang. Dengan tangan terlipat di dada, aku menunjukkan keangkuhan. Bukan hanya pada Yohanes dan Meylani, tapi juga pada semua yang berdiri di sana. “Tidak. Kami bahkan tidak peduli. Ini hanyalah sebuah peringatan agar kau tidak mencemari lingkungan kami dengan perbuatan asusila. Jika kau memang seorang janda maka sebaiknya kau tidak menerima tamu pria di rumahmu. Apalagi pada malam hari. Wajar jika kau akhrinya menjadi sasaran go
‘Mau apalagi dia datang? Kalau hanya sekedar permohonan maaf, maka itu tidak akan diperlukan.’ Aku menimbang ragu. Bukankah semuanya berubah dalam seratus delapan puluh derajat sejak tadi pagi. Sikap Yohanes saat berdiri untuk membela Meylani sangat berbeda dengan apa yang pernah kuingat tentangnya. “Buka aja, Mbak. Saya nggak mau Yohanes berdiri lama di depan pintu dan menjadi masalah lain nantinya.” Aku berdiri dari sofaku yang nyaman. Melihat pada Anaya untuk memastikan gadis kecil itu tidak terpengaruh oleh kekesalanku. Anaya tampak masih asyik menulis di sebuah buku. Dia tidak tahu kejadian menyesakkan tadi sore. Sehingga kedatangan Yohanes yang didengarnya menjadi hal biasa bagi Anaya. Dia sama sekali tidak peduli pada pembicaraanku dan Mbak Pia. “Baik, Nyonya.” Mbak Pia bergegas keluar. Aku mengikuti dari belakang. Yohanes tidak perlu masuk ke rumahku atau bahkan ke halaman. Sekedar ingin tahu apa maksud kedatangannya kali ini. Mbak Pia bersamaku untuk memastikan semua aman
“Aku akan turun untuk melihatnya.” Mataku masih terasa sepat karena belum waktunya untuk bangun. Sambil berjalan menyusuri tangga, aku melirik jam di dinding. Ah, pantas saja, masih jam tiga pagi. Kenapa ada suara tangis bayi yang kecang di jam begini? Ketika kakiku melangkah dari anak tangga terakhir dan menapak di lantai, mataku enggan percaya. Seorang bayi menangis sambil merangkak di dekat sofa rumahku. Aku mencoba mengenali siapa bayi itu. Ingatanku berputar untuk mencari tahu, tapi gagal. Mataku memindai sekeliling untuk menemukan siapa pun yang bisa memberiku penjelasan. Pintu rumah dalam keadaan terbuka. Semilir angin malam menjelang pagi masuk ke ruangan. Semua terlihat sepi. Sementara bayi itu terus menangis. Melihat dari tampilannya, bayi itu sepertinya berusia dua tahun. Seorang anak laki-laki dengan wajah menggemaskan dan rambut ikal serupa milik Anaya. “Nyonya!” Mbak Pia muncul di ambang pintu. Nafasnya tersengal, wajahnya panik. Terlihat bintik-bintik keringat di d