Yah... udah denger duluan Anaya. merestui nggak nih?
“Halo, Naya.” Sapaan hangat Andre mengabaikan keterkejutan anak berumur sembilan tahun itu. Tidak membalas sapaan Andre, anaya turun ke lantai bawah dan berdiri di depanku. Dia mengulangi pertanyaan yang berlum terjawab. Sulit untuk menyimpulkan apa yang Anaya rasakan. Sepasang mata lebar itu ingin sebuah kepastian. “Bunda mau menikah sama Om Andre?” Sekali lagi dia bertanya. Tanganku mendarat lembut di bahu Anaya. “Belum. Mungkin nanti.” “Kenapa nanti? Kenapa nggak sekarang?” Nada bingung meluncur dari bibir kecilnya. “Lho! Kenapa harus sekarang?” Sambutanku lebih bingung lagi “Supaya Bunda nggak pergi lagi. Kalau ada Om Andre di rumah kita, Bunda nggak perlu kerja juga, kan?” Aku menatap Andre dan tersenyum bersamaan. Sesederhana itulah harapan seorang Anaya. Anak yang besar dari keluarga yang bercerai. Tidak akan mudah baginya membingkai sebuah dampak dari pernikahan. Mungkin yang ada di benak Anaya hanyalah keinginan untuk tetap bersamaku. Bagaimana pun, aku adalah tempat
“Setelah beberapa bulan, orang ini kembali mengirim pesan. Siapa dia?” Pesan-pesan yang berwujud ancaman itu telah bertahun-tahun aku terima. Aku memang mengabaikan begitu saja. Selama ini tidak ada yang terjadi, bagiku itu menjadi tidak terlau penting. Sekarang pesan ini kembali bersamaan dengan kondisi kami yang mengkhawatirkan. Satu per satu aku mulai menggulung benang kusut. Apakah ini ada kaitannya dengan berbagai peristiwa yang aku alami. Terlebih apa yang saat ini sedang Tara hadapi. Dalam tiga tahun, duniaku seolah terjungkir balik dengan alasan yang tidak jelas. Bukan hanya secara materi dan bisnis tapi juga mental. Ada seseorang yang sedang mengincarku untuk menjatuhkan. “Din… Dina.” Suara Andre menghempaskan pikiranku kembali. Aku meletakkan ponsel di atas meha nakas dan bergegas membuka pintu. “Ya, Ndre? Kalian sudah selesai makan?” “Kami sudah selesai. Tadinya aku mau berpamitan pulang, tapi Anaya memintaku untuk menemaninya nonton.” Sekilas aku melirik jam di dindi
“Tadi Nyonya Kalila tiba-tiba datang ke sekolah dan menemui Non Anaya. Katanya pengen ikut ke rumah. Saya nggak berani nolak, Nyonya.” Mata Mbak Pia bahkan tidak berani menatap ke arahku. Dengan karakter yang Kalila miliki, sekalipun Mbak Pia menolak, aku yakin dia akan memaksa untuk ikut. Bisa jadi dia akan mengancam Mbak Pia. Kalila adalah karakter orang yang selalu ingin dituruti semua keinginannya. Tidak mengherankan, karakter yang dia pelajari dengan baik dari Zahra. “Ya udah, saya temui dia. Mbak Pia bawa Anaya untuk ganti baju, makan dan istirahat, ya.” “Baik, Nyonya.” Mbak Pia terlihat lega karena aku tidak marah padanya. Ya, dalam hal ini memang aku tidak perlu marah. Bukankah segala sesuatu yang berhubungan dengan Kalila selalu di luar prediksi? “Naya, istirahat dulu, ya. Bunda ketemu Kak Kalila dulu.” “Siap, Bun. Oh ya? Om Andre kapan datang lagi?” Apakah bumi sedang berputar pada poros yang benar? Kenapa Anaya seperti memiliki ikatan dengan Andre. Pertanyaan yang tida
“Tentu. Apa pun syarat yang Tante ajukan. Aku akan setuju. Aku sangat membutuhkan uang itu.” Kalila terlihat lega. Kesulitan hidupnya tampaknya telah memaksa Kalila berdiri di sudut ruangan dan menerima apa pun untuk mendapatkan uang yang dia inginkan. Ini sangat menyedihkan. Jika dia adalah gadis kecilku. Sayangnya, hari ini dia adalah wanita yang sedang membayar karma atas apa yang pernah dia lakukan. Mungkin bukan hanya padaku, tapi juga pada orang lain. Dia bukan gadis manis di masa itu. “Tinggalkan kota ini. Aku tidak ingin melihatmu lagi.” “Apa?! Maksudku, apa-apaan ini, Tante?! Bagaimana bisa Tante mengusirku dari Jakarta?” “Karena kau adalah orang yang tidak bisa kupercaya. Jika kau tidak pergi dari kota ini. Aku yakin kau akan selalu kembali untuk mengusik kehidupanku.” “Ya, Tuhan! Tante, ini hanya tentang beberapa juta. Aku tidak meminta banyak. Tante bisa menghitungnya dan aku akan mengembalikan segera saat aku sudah memiliki uang.” Kalila berbicara dengan ekspresi ber
“Din, kita akan menikah. Apakah untuk bertemu harus ada alasan yang penting?” Andre terdengar putus asa. Ah, benar juga. Untuk bertemu dengan Andre, dan tujuannya adalah untuk menjalin hubungan baik dengan Anaya, kenapa aku harus mendapatkan alasan. Kadang aku merasa pagar yang kubangun terlalu tinggi. Butuh loncatan besar bagi seorang pria untuk bisa melewatinya. Haruskah aku menurunkan sesuatu yang membuatku merasa aman? Atau sebenarnya seorang pria yang perlu memberikan lebih banyak kemampuan? Di dalam hatiku terucap mantra, bahwa apa yang harusnya dipertemukan, akhirnya akan selalu dipertemukan bahkan tanpa alasan. Karena beberapa hal, aku dan Anaya agak terlambat. Ditambah lagi dengan jalanan yang macet. Kami sudah terlambat lebih dari setengah jam. Andre menghubungiku di telepon. “Din, kita jadi ketemu kan?” “Iya, jadi. Aku sudah di jalan sama Anaya. Jalanan agak macet.” “Ini sudah sangat terlambat, Din. Kau membuatku menunggu terlalu lama.” “Maaf ya, tadi aku dan Anaya me
“Aku pasti akan mempertemukan kalian.” “Kapan? Dengar Ndre, aku tidak memikirkan duri-duri kecil yang harus kita lewati dalam hubungan ini. Itu bukan masalah setelah kita berhasil melewati rintangan yang sebenarnya.” Itu sebuah desakan. Walau terdengar tidak menyenangkan, namun hal inilah yang aku pikirkan. Aku tidak ingin galau sendiri. Maka Andre adalah tempat yang paling tepat untuk berbagi. “Maksudmu Mami?” “Ya, tentu saja. Ini tentang penyatuan dua keluarga. Ibumu adalah orang terpenting bagimu kan?” “Apa kau sedang memintaku memilih antara aku dan ibuku?” Pertanyaan sejuta dolar yang aku tunggu dari Andre. Tentu saja aku tidak memintanya untuk memilih. Aku toh tahu bagaimana posisi anak laki-laki untuk ibunya. Sebelum atau sesudah dia menikah. Dan pertanyaan ini justru menjadi konfirmasi bahwa aku memang di sana. Di tengah antara Andre dan ibunya. “Jangan konyol, Ndre. Aku sedang berbicara tentang menjadi dewasa. Di usia kita, segalanya harus lebih pasti. Aku tidak ingin me
“Dia bilangnya di depan banyak orang, Nyoya. Lalu mereka jadi bertanya banyak sama saya.” Mbak Pia terlihat gugup menyampaikan apa yang tadi dia alami. “Lalu kamu jawab apa, Mbak?” “Ya, saya jawab aja, Nyonya memang tidak punya suami. Tapi, bukan istri kedua.” “Kan memang begitu. Lalu apa yang bikin kamu nangis?” “Mereka tidak percaya. Mereka bilang saya bohong dan menutupi semuanya.” Tangis Mbak Pia kembali pecah. Bersamaan dengan kekesalan yang aku rasakan. Bagaimana kami yang pendatang baru, bahkan belum mengenal semua orang tiba-tiba disudutkan. Hampir bisa kupastikan pelakunya pasti Meylani. Dia adalah orang yang selalu memata-matai kegiatan di rumah kami. Entah apa tujuannya melakukan itu. Jika semula alasannya adalah tentang Yohan, sekarang semua justru terlihat konyol. Dia seolah ingin tahu semua hal tentangku. Itu menjengkelkan. “Saya sedih, Nyonya dan Non Anaya beberapa tahun terakhir hidupnya sulit. Kenapa saat kita berusaha hidup nyaman di tempat baru, kita justru be
“Aku hanya nolongin aja, kok Mey. Kebetulan mereka sedang ada masalah tadi di jalan.” Jawaban Yohan terdengar diplomatis dan template. Aku nyaris bisa mendengar ketakutan di dalam penjelasannya. “Nanti kita bicara lagi ya,” tutupnya dan langsung mematikan sambungan telepon. Mungkin dia tidak ingin berdebat panjang dengan Meylani di depan kami. Atau juga, karena kami memang sudah tiba di depan sekolah Anaya. “Terima kasih ya, Yo. Untuk tumpangannya. Alhamdulila, Anaya nggak jadi terlambat.” “Sama-sama, Din. Lho, kamu ikut masuk ke sekolah, ya?” “Ah, nggak. Aku antar sampai gerbang aja. Habis itu aku tinggal.” “Kamu mau kemana. Kan nggak ada mobil. Aku bisa antar kamu.” “Ehh… nggak perlu. Aku mau ke beberapa tempat. Mungkin juga ambil mobilku. Tadi orang bengkel bilang sudah datang ke lokasi.” Yohanes terlihat kecewa. Tapi, dia menyembunyikan dengan senyuman. “Ok deh, terserah kamu aja.” Lalu Yohanes pun mengusap kepala Anaya. “Terima kasih ya, Om. Naya sekolah dulu.” “Bye Nay