Ya... mulut tetangga ye, emang deh.
“Kenapa kau bertanya itu?” Kenapa aku bertanya untuk sebuah pertanyaan? Sebenarnya aku hanya mengulur waktu saja. Pertanyaan ini mudah saja untuk dijawab. Hal yang aku pikirkan adalah efek dari pertanyaan ini di masa mendatang. Mey mengerutkan kening. Dia yang semula sudah hendak kembali ke rumahnya, berbalik dan berjalan mendekat ke arahaku. Sejujurnya aku agak gugup, walau itu sama sekali tidak kuperlihatkan. “Kayanya itu pertanyaan wajar kan? Sebuah keluarga kan pasti ada istri, anak, suami, pembantu. Karena tadi aku nggak lihat suamimu, makanya aku tanya. Mungkin dia masih di kantor dan akan datang nanti sore. Atau dia sedang tugas di luar kota atau di luar negeri?” Aku menguatkan hati. Kuangkat sedikit wajahku untuk menghilangkan kesan ketakutan. Ok! Tidak ada yang salah dengan statusku. Dan tidak ada masalah jika aku tidak punya suami. Ini mungkin hanya ketakutanku sendiri. Setelah banyak masalah dan penghakiman yang kuterima, mungkin status ini meninggalkan sedikit jejak ket
“Selamat pagi.” Sapaan hangat mengalir di antara udara pagi yang masih sejuk. Tidak lupa dengan seulas senyum tipis yang merekah untuk mengubah menjadi ramah. Aku mengangguk kaku. Sesaat berhenti untuk kemudian melangkah. Sesungguhnya, aku tidak benar-benar melangkah. Selama perjalanan keluar cluster, pikiranku bekerja keras untuk menarik waktu tetang siapa pria itu. Seraut wajah yang rasanya pernah kukenali di masa lalu. Ah… kenapa dunia terasa begitu sempit. Dari sekian banyak permukaan bumi, pria itu tinggal di depan rumah baruku. Jika aku tidak salah mengenali, itu adalah rumah Mey. Mungkin pria itu suaminya. Mereka jelas dari ras yang sama yaitu Tionghoa. Aku nyaris tidak punya relasi dengan ras ini. Bukan… bukan karena sebuah antipati, hanya memang tidak ada sesuatu yang membuatku terhubung dengan mereka. “Silahkan Mbak, mau beli apa?” tanya abang tukang sayur yang mangkal tepat di depan pintu komplek. Sapaan ramah khas pedagang untuk menarik pembeli, membawaku mendarat ke a
“Kaya pernah ketemu, di mana ya?” sapa sebuah sura dari belakangku. Ketika aku tiba di depan rumah, entah dari mana dan sejak kapan, sosok pria yang tadi berboncengan dengan Mey muncul di belakangku. Sapaannya ramah tapi membuatku sangat terkejut. Itu karena aku memang sedang memikirkannya. Aku masih mengingat apakah wajah yang aku lihat di motor tadi, sama degan wajah yang aku lihat beberapa tahun lalu. Sosok dengan kacamata tebal dan baju putih biru. Karena terkejut, sebuat kantung belanja terlepas dari tanganku. Isinya berhampuran di atas jalan yang hampir menuju ke rumahku. Aku baru saja akan membuka pagar yang setinggi pinggang orang dewasa. “Maaf… maaf… aduh ngagetin ya?” Pria itu merasa bersalah dan bergegas ikut memungut berbagai jenis sayuran yang sebagian keluar dari kantung kresek berwarna merah. “Nggak, nggak apa. Aku cuma kaget aja karena kamu tiba-tiba muncul.” “Iya… aku sengaja nungguin kamu. Kayanya pernah lihat atau pernah kenal. Tapi, di mana ya?” Dia melihat d
“Apa?! Adina janda? Mey, jangan sembarangan mengatakan hal seperti itu.” Sebenarnya Yohanes berkata pelan. Sepelannya, cukup terdengar olehku karena jarak antara aku dan Yohanes lebih dekat jika dibandingkan jarak Yohanes ke Mey. Dengan langkah cepat Meylani menuju ke arah kami berdiri. Ah… keadaan ini sungguh canggung. Merasa ada yang salah dengan pembicaraan yang tidak seberapa. Bahkan pembicaraan yang sebenarnya tidak ada artinya. Ketika akhirnya Meylani berhenti di dekat kami. “Kalian saling kenal? Kok tadi pas ketemu diam-diam saja? Jadi, kamu juga tahu donk, kalau Adina janda? Kalian masih sering komunikasi?” pertanyaan yang entah ditujukan untuk siapa, keluar memberondong dari mulut Meylani. “Aku baru bertanya pada Adina. Tadi sedang ingat-ingat wajahnya kaya kenal, di mana. Ternyata bener, lho Mey, Adina ini teman SMP-ku dulu. Ah, sudah lama sekali sejak terakhir kali kami bertemu.” Wajah Yohan berseri-seri. Dia pasti tidak mengerti bahwa wajah istrinya sangat kelabu denga
“Kenapa kamu mendadak pergi? Saat aku sampai di rumah, aku pikir kamu sudah tidur, jadi aku tidak membangunkanmu. Lalu saat aku mau ke kantor, pavilyunmu tertutup rapat. Sampai hari ini pavilyun itu tidak pernah terbuka.” Andre pasti sedang membicarakan hari di mana aku pergi dari Bali. Hari di malam sebelumnya ketika kata yang sama membuat Ibunya mengtur jarak untuk kami berdua. Keramahan yang semula tersirat mendadak hilang setelah Nauri mengucapkan kata yang sama. Statusku sebagai janda, lalu dipertanyakan. Kata-kata ibu Andre masih jelas terekam dalam ingatanku. Tidak membuatku sakit hati karena itu memang keyataannya. Itu cukup untuk membuatku mengerti, seberapa besar seseorang ingin dihargai dan menghargai. Suara berikutnya membawaku kembali bahwa itu adalah tentang harapan untuk bersama. “Din… aku perlu bertemu denganmu. Untuk menjelaskan semuanya.” Aku menarik nafas, berharap oksigen bisa menenangkan ‘pesawatku’ yang sedang terguncang. “Ndre, tidak ada yang perlu dijelask
“Nggak kenal saya, Bu. Cantik sih… tapi kaya udah agak sepuh.” Setelah menyelesaikan kalimatnya, Mbak Pia pun beranjak keluar dari kamarku. Hmm… ini memang bukan urusanku lagi. Semua hal tentang Fattan dan Kalila sejatinya bukan urusanku lagi. Setelah kembaliku dari Bali, segala hal tentang mereka justru satu per satu muncul ke permukaan. Ada yang belum selesai tentang masa lalu yang telah aku tuntaskan. Dalam pemaafanku, ada sesuatu yang masih menunggu, sebuah pembalasan! Apakah semesta sedang berjalan bergandengan di sampingku. Saat keinginan terbesar adalah bahagia dan cinta, di saat yang sama karma sedang bekerja. Berusaha menepis semua yang berkelebat dalam ingatan, aku kembali sibuk dengan krim dan make up tipis harianku. Sehari setelahnya. Ini adalah café tempatku bertemu dengan Andre. Tempat yang kami sepakati. Agak jauh dari tempat tinggalku. Itu aman karena untuk sementara ini, aku belum ingin terlihat oleh siapa pun. “Mbak, mau pesan makanan sekarang?” tanya seorang wai
“Jika aku mengatakan mencintaimu karena kamu cantik, itu pasti terdengar menggelikan. Ya, kan?” “Dan itu terdengar bohong.” Aku berusaha menahan tawa. Inilah yang kusukai dari Andre. Dia selalu tahu bagaimana mengubah suatu keadaan. Dari sebuah ketegangan yang menyiksa, menjadi sesuatu yang lucu dan ringan. Hal seperti itu memang tidak perlu diragukan karena Andre adalah seorang pemimpin dan pemilik hotel bintang lima. Kemampuannya untuk memanipulasi dan mengatur emosi pasti sudah di level yang sulit dielakkan. “Ada banyak mimpi dalam hidup yang belum aku wujudkan.” Matanya ikut berbicara. “Tentang keturunan?” “Salah satunya. Melihat Anaya di video call. Lalu ceritamu tentangnya, itu membuatku merasa memiliki Anaya. Aku juga ingin Anaya lain di antara kita tentu saja.” “Tidak ada yang istimewa. Kau bisa mendapatkan anak dari wanita yang mana saja. Bahkan Nauri sudah bersedia hamil untukmu.” “Ya, memang. Semua wanita bisa melahirkan anak. Tapi, apakah semua wanita bisa menjadi i
“Tunggu, Ndre. Ini… ini terlalu cepat.” “Din, aku memang tidak ingin berjalan lambat. Lihat saja, sejak pertemuan pertama kita, lebih dari setahun lalu, kita masih bergerak di tempat yang sama. Sikap lambatku justru membuat semuanya kian terlambat.” “Kita baru membicarakan semuanya. Memberi kesempatan. Tapi, kita belum memperbaiki apa pun.” “Jika maksudmu tentang ibuku, aku akan membawamu padanya. Beri aku sedikit waktu untuk memberinya penjelasan sebelum kalian bertemu.” Andre terdengar meyakinkan dan tidak ingin sebuah penawaran. Jauh di dalam hatiku ada sesuatu yang masih belum bisa kuterima. Lalu kemudian sisi yang lain mengatakan ‘sekarang’ atau ‘tidak sama sekali’. Ketika Andre meraih tanganku dengan lembut dan mendorong benda kecil itu untuk melingkar di sana, aku berhenti dengan penolakanku. Senyum bahagianya merekah melihat tanganku dengan cincin miliknya. Sebuah tanda ikatan dan kepemilikan. Aku membeku, mungkin juga menjadi batu. Entah ekspresi seperti apa yang harusny