Again?!!! Tepok jidat!
“Apa?! Adina janda? Mey, jangan sembarangan mengatakan hal seperti itu.” Sebenarnya Yohanes berkata pelan. Sepelannya, cukup terdengar olehku karena jarak antara aku dan Yohanes lebih dekat jika dibandingkan jarak Yohanes ke Mey. Dengan langkah cepat Meylani menuju ke arah kami berdiri. Ah… keadaan ini sungguh canggung. Merasa ada yang salah dengan pembicaraan yang tidak seberapa. Bahkan pembicaraan yang sebenarnya tidak ada artinya. Ketika akhirnya Meylani berhenti di dekat kami. “Kalian saling kenal? Kok tadi pas ketemu diam-diam saja? Jadi, kamu juga tahu donk, kalau Adina janda? Kalian masih sering komunikasi?” pertanyaan yang entah ditujukan untuk siapa, keluar memberondong dari mulut Meylani. “Aku baru bertanya pada Adina. Tadi sedang ingat-ingat wajahnya kaya kenal, di mana. Ternyata bener, lho Mey, Adina ini teman SMP-ku dulu. Ah, sudah lama sekali sejak terakhir kali kami bertemu.” Wajah Yohan berseri-seri. Dia pasti tidak mengerti bahwa wajah istrinya sangat kelabu denga
“Kenapa kamu mendadak pergi? Saat aku sampai di rumah, aku pikir kamu sudah tidur, jadi aku tidak membangunkanmu. Lalu saat aku mau ke kantor, pavilyunmu tertutup rapat. Sampai hari ini pavilyun itu tidak pernah terbuka.” Andre pasti sedang membicarakan hari di mana aku pergi dari Bali. Hari di malam sebelumnya ketika kata yang sama membuat Ibunya mengtur jarak untuk kami berdua. Keramahan yang semula tersirat mendadak hilang setelah Nauri mengucapkan kata yang sama. Statusku sebagai janda, lalu dipertanyakan. Kata-kata ibu Andre masih jelas terekam dalam ingatanku. Tidak membuatku sakit hati karena itu memang keyataannya. Itu cukup untuk membuatku mengerti, seberapa besar seseorang ingin dihargai dan menghargai. Suara berikutnya membawaku kembali bahwa itu adalah tentang harapan untuk bersama. “Din… aku perlu bertemu denganmu. Untuk menjelaskan semuanya.” Aku menarik nafas, berharap oksigen bisa menenangkan ‘pesawatku’ yang sedang terguncang. “Ndre, tidak ada yang perlu dijelask
“Nggak kenal saya, Bu. Cantik sih… tapi kaya udah agak sepuh.” Setelah menyelesaikan kalimatnya, Mbak Pia pun beranjak keluar dari kamarku. Hmm… ini memang bukan urusanku lagi. Semua hal tentang Fattan dan Kalila sejatinya bukan urusanku lagi. Setelah kembaliku dari Bali, segala hal tentang mereka justru satu per satu muncul ke permukaan. Ada yang belum selesai tentang masa lalu yang telah aku tuntaskan. Dalam pemaafanku, ada sesuatu yang masih menunggu, sebuah pembalasan! Apakah semesta sedang berjalan bergandengan di sampingku. Saat keinginan terbesar adalah bahagia dan cinta, di saat yang sama karma sedang bekerja. Berusaha menepis semua yang berkelebat dalam ingatan, aku kembali sibuk dengan krim dan make up tipis harianku. Sehari setelahnya. Ini adalah café tempatku bertemu dengan Andre. Tempat yang kami sepakati. Agak jauh dari tempat tinggalku. Itu aman karena untuk sementara ini, aku belum ingin terlihat oleh siapa pun. “Mbak, mau pesan makanan sekarang?” tanya seorang wai
“Jika aku mengatakan mencintaimu karena kamu cantik, itu pasti terdengar menggelikan. Ya, kan?” “Dan itu terdengar bohong.” Aku berusaha menahan tawa. Inilah yang kusukai dari Andre. Dia selalu tahu bagaimana mengubah suatu keadaan. Dari sebuah ketegangan yang menyiksa, menjadi sesuatu yang lucu dan ringan. Hal seperti itu memang tidak perlu diragukan karena Andre adalah seorang pemimpin dan pemilik hotel bintang lima. Kemampuannya untuk memanipulasi dan mengatur emosi pasti sudah di level yang sulit dielakkan. “Ada banyak mimpi dalam hidup yang belum aku wujudkan.” Matanya ikut berbicara. “Tentang keturunan?” “Salah satunya. Melihat Anaya di video call. Lalu ceritamu tentangnya, itu membuatku merasa memiliki Anaya. Aku juga ingin Anaya lain di antara kita tentu saja.” “Tidak ada yang istimewa. Kau bisa mendapatkan anak dari wanita yang mana saja. Bahkan Nauri sudah bersedia hamil untukmu.” “Ya, memang. Semua wanita bisa melahirkan anak. Tapi, apakah semua wanita bisa menjadi i
“Tunggu, Ndre. Ini… ini terlalu cepat.” “Din, aku memang tidak ingin berjalan lambat. Lihat saja, sejak pertemuan pertama kita, lebih dari setahun lalu, kita masih bergerak di tempat yang sama. Sikap lambatku justru membuat semuanya kian terlambat.” “Kita baru membicarakan semuanya. Memberi kesempatan. Tapi, kita belum memperbaiki apa pun.” “Jika maksudmu tentang ibuku, aku akan membawamu padanya. Beri aku sedikit waktu untuk memberinya penjelasan sebelum kalian bertemu.” Andre terdengar meyakinkan dan tidak ingin sebuah penawaran. Jauh di dalam hatiku ada sesuatu yang masih belum bisa kuterima. Lalu kemudian sisi yang lain mengatakan ‘sekarang’ atau ‘tidak sama sekali’. Ketika Andre meraih tanganku dengan lembut dan mendorong benda kecil itu untuk melingkar di sana, aku berhenti dengan penolakanku. Senyum bahagianya merekah melihat tanganku dengan cincin miliknya. Sebuah tanda ikatan dan kepemilikan. Aku membeku, mungkin juga menjadi batu. Entah ekspresi seperti apa yang harusny
“Kamu siapa?! Jangan ikut campur ya!” Mey justru meninggikan suara. Aku sedikit terkejut dengan sikap Mey yang temperamen. Suasana hatiku semakin memanas. Saat kami berdua saja, mungkin itu memang tentang kekhawatiran. Hal yang berbeda ketika yang ada orang lain dan itu adalah Andre. Ini berarti sebuah harga diri. “Maaf ya, Mbak. Saya hanya ingin tahu apakah ada masalah di sini yang bisa saya bantu.” Andre merendahkan suara walau kekesalan jelas terdengar di sana. “Dia ini janda penggoda suami orang. Saya benar-benar khawatir dengan keberadaannya di sekitar rumah kami.” Aku yang semula masih berusaha menahan amarah tak pelak lagi meledak. Sebutan dan hinaan itu tidak layak untuk kuterima. Bukan hanya karena aku memang tidak melakukan, tapi itu lebih berbentuk seperti tuduhan. Di sini, di depan Andre. Orang yang sedang berusaha menapaki masa depan bersamaku. “Mey! Jaga mulutmu. Sudah kubilang, aku dan Yohan hanya saling menyapa karena kami saling kenal saat SMP dulu. Itu hal wajar
“Halo, Naya.” Sapaan hangat Andre mengabaikan keterkejutan anak berumur sembilan tahun itu. Tidak membalas sapaan Andre, anaya turun ke lantai bawah dan berdiri di depanku. Dia mengulangi pertanyaan yang berlum terjawab. Sulit untuk menyimpulkan apa yang Anaya rasakan. Sepasang mata lebar itu ingin sebuah kepastian. “Bunda mau menikah sama Om Andre?” Sekali lagi dia bertanya. Tanganku mendarat lembut di bahu Anaya. “Belum. Mungkin nanti.” “Kenapa nanti? Kenapa nggak sekarang?” Nada bingung meluncur dari bibir kecilnya. “Lho! Kenapa harus sekarang?” Sambutanku lebih bingung lagi “Supaya Bunda nggak pergi lagi. Kalau ada Om Andre di rumah kita, Bunda nggak perlu kerja juga, kan?” Aku menatap Andre dan tersenyum bersamaan. Sesederhana itulah harapan seorang Anaya. Anak yang besar dari keluarga yang bercerai. Tidak akan mudah baginya membingkai sebuah dampak dari pernikahan. Mungkin yang ada di benak Anaya hanyalah keinginan untuk tetap bersamaku. Bagaimana pun, aku adalah tempat
“Setelah beberapa bulan, orang ini kembali mengirim pesan. Siapa dia?” Pesan-pesan yang berwujud ancaman itu telah bertahun-tahun aku terima. Aku memang mengabaikan begitu saja. Selama ini tidak ada yang terjadi, bagiku itu menjadi tidak terlau penting. Sekarang pesan ini kembali bersamaan dengan kondisi kami yang mengkhawatirkan. Satu per satu aku mulai menggulung benang kusut. Apakah ini ada kaitannya dengan berbagai peristiwa yang aku alami. Terlebih apa yang saat ini sedang Tara hadapi. Dalam tiga tahun, duniaku seolah terjungkir balik dengan alasan yang tidak jelas. Bukan hanya secara materi dan bisnis tapi juga mental. Ada seseorang yang sedang mengincarku untuk menjatuhkan. “Din… Dina.” Suara Andre menghempaskan pikiranku kembali. Aku meletakkan ponsel di atas meha nakas dan bergegas membuka pintu. “Ya, Ndre? Kalian sudah selesai makan?” “Kami sudah selesai. Tadinya aku mau berpamitan pulang, tapi Anaya memintaku untuk menemaninya nonton.” Sekilas aku melirik jam di dindi