Dahlah Adina, mending ngurus Anaya aja nggak sih?
“Sesuatu yang serius pasti sedang terjadi.” Itu saja yang bisa kupikirkan. Aku mengenal Anaya dengan baik. Begitu besar kepercayaanku padanya termasuk dalam hal menangani emosinya sendiri. Di usianya yang ke sembilan tahun, dia bahkan lebih memahami bagaimana menjadi tenang. Perpisahanku dengan Fattan tiga tahun lalu, telah membawa Anaya pada tahapan hidup yang lebih tinggi. Memaksanya untuk menjadi dewasa di waktu yang belum ditentukan. Jika kali ini dia melakukan sebuah tindakan, itu menjadi peringatan. Ada sesuatu yang serius telah terjadi. Tanpa membuang waktu, dari bandara aku langsung menuju ke rumah Kalila. Sosok Mbak Pia menjadi yang muncul pertama di depan pintu. “Nyonya Adina!” Mbak Pia sontak memelukku. Erat, takut dan bingung. Aku pun tidak kalau terkejut. Air mataku spontan berjatuhan. Air mata untuk apa, aku juga tidak mengerti. Merasakan gunacangan di bahu Mbak Pia sudah cukup menjadi alasan untuk rasa kesakitan. “Ada apa? Mana Anaya?” “Nyonya Kalila dan Tuan Fat
“Kalila! Apa yang terjadi?!” Keadaan Kalila bahkan jauh lebih menyedihkan. Dia duduk di sudut kasur dengan kedua lutut tertekuk ke atas. Kedua tangannya menutupi telinga. Wajahnya pucat pasi dan sebagian tertutupi rambutnya yang kusut masai. “Kalila….” Aku mendekati perlahan. Tanganku memberi isyarat agar Anaya dan Mbak Pia berhenti di pintu. Mereka sebaiknya tetap menjaga jarak aman untuk tidak masuk ke dalam kamar tidur Kalila. Beberapa pecahan keramik berserak di lantai. Ini lebih buruk yang dari kuperkirakan. “Kalila….” Perlahan Kalila menurunkan tangannya dan melihat ke arahku. Dia hancur! Dia bukanlah Kalila yang pernah menjadi duri dalam pernikahanku. Ini adalah kalila kecil yang pernah kusayangi bagai putriku sendiri. “Tante….” Kalila menyerbu ke dalam pelukanku dan menangis. Kehilangan arah dan kata untuk menunjukkan apa yang dia rasakan. Tuhan! Kenapa dunia menjadi berputar seperti ini. Dia yang pernah memberiku luka abadi, bolehkah kali ini aku menolaknya? Saat dia le
“Kemana kita, Bun?” Anaya duduk di samping tempatku mengemudi sambil menikmati sepotong coklat yang tadi kami beli di swalayan. “Ke rumah yang Om Tara kasih.” “Kita pindah rumah terus,” ujarnya dengan mulut penuh karena baru saja memasukkan sepotong cokat ke dalam mulut. “Memang Naya mau kalau kita kembali ke apartement?” “Nggak ah, Anaya mau rumah yang ada tukang jualan. Punya teman buat diajak main.” “Hmm… rasanya sulit untuk punya teman seperti itu. Semoga rumah yang Om Tara berikan cukup nyaman untuk kita berdua.” Mobil yang kami naiki mulai memasuki sebuah kawasan perumahan. Bukan perumahan elit. Cukup bersih dengan taman-taman yang tertata rapi. Cukup mengejutkan karena ini bukan selera Tara yang biasa. Mungkin Tara tau bahwa ada beberapa hal yang perlu diubah dalam hidupku. Pergulatan dengan bisnis dan kehidupan papan atas membuatku merasa lelah. Sulit menemukan hal-hal baik dan tulus di lingkungan seperti itu. Satu-satu yang bisa dilakukan dalam menghadapi berbagai jebak
“Kenapa kau bertanya itu?” Kenapa aku bertanya untuk sebuah pertanyaan? Sebenarnya aku hanya mengulur waktu saja. Pertanyaan ini mudah saja untuk dijawab. Hal yang aku pikirkan adalah efek dari pertanyaan ini di masa mendatang. Mey mengerutkan kening. Dia yang semula sudah hendak kembali ke rumahnya, berbalik dan berjalan mendekat ke arahaku. Sejujurnya aku agak gugup, walau itu sama sekali tidak kuperlihatkan. “Kayanya itu pertanyaan wajar kan? Sebuah keluarga kan pasti ada istri, anak, suami, pembantu. Karena tadi aku nggak lihat suamimu, makanya aku tanya. Mungkin dia masih di kantor dan akan datang nanti sore. Atau dia sedang tugas di luar kota atau di luar negeri?” Aku menguatkan hati. Kuangkat sedikit wajahku untuk menghilangkan kesan ketakutan. Ok! Tidak ada yang salah dengan statusku. Dan tidak ada masalah jika aku tidak punya suami. Ini mungkin hanya ketakutanku sendiri. Setelah banyak masalah dan penghakiman yang kuterima, mungkin status ini meninggalkan sedikit jejak ket
“Selamat pagi.” Sapaan hangat mengalir di antara udara pagi yang masih sejuk. Tidak lupa dengan seulas senyum tipis yang merekah untuk mengubah menjadi ramah. Aku mengangguk kaku. Sesaat berhenti untuk kemudian melangkah. Sesungguhnya, aku tidak benar-benar melangkah. Selama perjalanan keluar cluster, pikiranku bekerja keras untuk menarik waktu tetang siapa pria itu. Seraut wajah yang rasanya pernah kukenali di masa lalu. Ah… kenapa dunia terasa begitu sempit. Dari sekian banyak permukaan bumi, pria itu tinggal di depan rumah baruku. Jika aku tidak salah mengenali, itu adalah rumah Mey. Mungkin pria itu suaminya. Mereka jelas dari ras yang sama yaitu Tionghoa. Aku nyaris tidak punya relasi dengan ras ini. Bukan… bukan karena sebuah antipati, hanya memang tidak ada sesuatu yang membuatku terhubung dengan mereka. “Silahkan Mbak, mau beli apa?” tanya abang tukang sayur yang mangkal tepat di depan pintu komplek. Sapaan ramah khas pedagang untuk menarik pembeli, membawaku mendarat ke a
“Kaya pernah ketemu, di mana ya?” sapa sebuah sura dari belakangku. Ketika aku tiba di depan rumah, entah dari mana dan sejak kapan, sosok pria yang tadi berboncengan dengan Mey muncul di belakangku. Sapaannya ramah tapi membuatku sangat terkejut. Itu karena aku memang sedang memikirkannya. Aku masih mengingat apakah wajah yang aku lihat di motor tadi, sama degan wajah yang aku lihat beberapa tahun lalu. Sosok dengan kacamata tebal dan baju putih biru. Karena terkejut, sebuat kantung belanja terlepas dari tanganku. Isinya berhampuran di atas jalan yang hampir menuju ke rumahku. Aku baru saja akan membuka pagar yang setinggi pinggang orang dewasa. “Maaf… maaf… aduh ngagetin ya?” Pria itu merasa bersalah dan bergegas ikut memungut berbagai jenis sayuran yang sebagian keluar dari kantung kresek berwarna merah. “Nggak, nggak apa. Aku cuma kaget aja karena kamu tiba-tiba muncul.” “Iya… aku sengaja nungguin kamu. Kayanya pernah lihat atau pernah kenal. Tapi, di mana ya?” Dia melihat d
“Apa?! Adina janda? Mey, jangan sembarangan mengatakan hal seperti itu.” Sebenarnya Yohanes berkata pelan. Sepelannya, cukup terdengar olehku karena jarak antara aku dan Yohanes lebih dekat jika dibandingkan jarak Yohanes ke Mey. Dengan langkah cepat Meylani menuju ke arah kami berdiri. Ah… keadaan ini sungguh canggung. Merasa ada yang salah dengan pembicaraan yang tidak seberapa. Bahkan pembicaraan yang sebenarnya tidak ada artinya. Ketika akhirnya Meylani berhenti di dekat kami. “Kalian saling kenal? Kok tadi pas ketemu diam-diam saja? Jadi, kamu juga tahu donk, kalau Adina janda? Kalian masih sering komunikasi?” pertanyaan yang entah ditujukan untuk siapa, keluar memberondong dari mulut Meylani. “Aku baru bertanya pada Adina. Tadi sedang ingat-ingat wajahnya kaya kenal, di mana. Ternyata bener, lho Mey, Adina ini teman SMP-ku dulu. Ah, sudah lama sekali sejak terakhir kali kami bertemu.” Wajah Yohan berseri-seri. Dia pasti tidak mengerti bahwa wajah istrinya sangat kelabu denga
“Kenapa kamu mendadak pergi? Saat aku sampai di rumah, aku pikir kamu sudah tidur, jadi aku tidak membangunkanmu. Lalu saat aku mau ke kantor, pavilyunmu tertutup rapat. Sampai hari ini pavilyun itu tidak pernah terbuka.” Andre pasti sedang membicarakan hari di mana aku pergi dari Bali. Hari di malam sebelumnya ketika kata yang sama membuat Ibunya mengtur jarak untuk kami berdua. Keramahan yang semula tersirat mendadak hilang setelah Nauri mengucapkan kata yang sama. Statusku sebagai janda, lalu dipertanyakan. Kata-kata ibu Andre masih jelas terekam dalam ingatanku. Tidak membuatku sakit hati karena itu memang keyataannya. Itu cukup untuk membuatku mengerti, seberapa besar seseorang ingin dihargai dan menghargai. Suara berikutnya membawaku kembali bahwa itu adalah tentang harapan untuk bersama. “Din… aku perlu bertemu denganmu. Untuk menjelaskan semuanya.” Aku menarik nafas, berharap oksigen bisa menenangkan ‘pesawatku’ yang sedang terguncang. “Ndre, tidak ada yang perlu dijelask