Ya.... aroma perang dah nih.
“Tante mengerti, Nauri. Tapi, Adina sudah di sini dan kita tidak mungkin menyuruhnya pergi. Kita bisa menajdi Tuan Rumah yang baik, bukan?” Wajah Nauri seketika memerah. Kata-kata Tante Alice di luar harapannya Apa yang Nauri rencanakan untuk pertemuan ini tampaknya berantakan. Dia begitu gusar dan melirik ke arahku. Siap untuk menelanku tanpa sisa. “Kenapa kau datang? Bukankah kau tahu bahwa pertemuan ini adalah pertemuan keluarga. Aku ingin membicarakan hal-hal pribadi dengan Andre dan Tante Alice.” Mengabaikan apa yang Tante Alice katakan. Nauri justru menegurku secara langsung. Aku baru saja hendak membuka mulut ketika justru Andre yang menyahut. “Aku yang mengajaknya ke sini. Tampaknya Mami tidak keberatan, jadi tidak ada masalah. Adina boleh tahu apa pun yang akan kita bicarakan.” “Ya, nggak bisa gitu, donk, Ndre! Aku dan Mami mau bicara tentang rencana agar kita rujuk lagi. Aku ingin memperbaiki semuanya dan Mami sudah setuju.” Nauri semakin gusar. “Persetujuan Mami bukan
“Jadilah wanita yang punya harga diri. Itu akan baik untukmu, Nauri.” Andre bahkan tidak melihat ke arah Nauri. Dia megambil sebuah pisau makan dan memotong dengan kasar daging yang ada di atas piringnya. Ingin menunjukkan sesuatu dengan gerakan itu? Mungkin saja. Terlihat jelas bahwa Nauri bahkan merendahkan dirinya lebih dari apa pun untuk mendapatkan Andre. Melihat penolakan dan nyaris tanpa dukungna dari Andre dan ibunya, Nauri semakin terbakar kekesalan. Lalu pandangannya yang tajam beralih padaku. Aku tahu, tapi aku memilih diam. Bagiku cukup untuk meliaht sikap Andre yang kukuh pada keputusannya untuk tidak kembali pada Nauri. Ketegasan adalah sesuatu yang dibutuhkan seorang pria sebelum memulai hubungan. Ibu Andre mencoba memecah kabut kemarahan yang memenuhi ruangan. Dia mulai menikmati makannnya dan mempersilahkan kami untuk makan juga. “Sebaiknya, kita hentikan pembicaraan ini. Biar saja nanti waktu yang akan membawa jalan pada masing-masing kalian. Nauri, Adina, ayo mak
“Apa?! Adina seorang janda?” Ibu Andre terkejut. Aku juga sama terkejutnya. Bukan hanya karena statusku dan Nauri yang hampir sama, tapi karena ternyata Andre memang belum menginformasikan apa pun tentangku pada ibunya. Termasuk statusku. Bagi beberapa orang status bukan hal penting, namun bagi sebagian lainnya, itu tentang harga diri. Nauri yang sudah berada di ambang pintu, sesaat berhenti. Dia menoleh dan melayangkan pandangan penuh kemenangan. Sementara mata Ibu Andre melekat erat di wajahku. Tidak percaya sekaligus meminta penjelasan. Ketika aku berharap sebuah pembelaan dari Andre antara aku dan ibunya, ternyata Andre justru tidak kalah gugup. Dia beberapa kali menelan ludah untuk mengatur ketenangannya sendiri. “Kenapa diam? Kenapa kalia berdua tidak menjawab Mami?” tanya Ibu Andre. Perlahan dia kembali duduk di kursinya. Setelah ketegangan yang terjadi, aku pikir semua selesai dengan kepergian Nauri. Sial! Kami justru masuk ke ketegangan berikutnya. “Andre!” sekali lagi I
“Sesuatu yang serius pasti sedang terjadi.” Itu saja yang bisa kupikirkan. Aku mengenal Anaya dengan baik. Begitu besar kepercayaanku padanya termasuk dalam hal menangani emosinya sendiri. Di usianya yang ke sembilan tahun, dia bahkan lebih memahami bagaimana menjadi tenang. Perpisahanku dengan Fattan tiga tahun lalu, telah membawa Anaya pada tahapan hidup yang lebih tinggi. Memaksanya untuk menjadi dewasa di waktu yang belum ditentukan. Jika kali ini dia melakukan sebuah tindakan, itu menjadi peringatan. Ada sesuatu yang serius telah terjadi. Tanpa membuang waktu, dari bandara aku langsung menuju ke rumah Kalila. Sosok Mbak Pia menjadi yang muncul pertama di depan pintu. “Nyonya Adina!” Mbak Pia sontak memelukku. Erat, takut dan bingung. Aku pun tidak kalau terkejut. Air mataku spontan berjatuhan. Air mata untuk apa, aku juga tidak mengerti. Merasakan gunacangan di bahu Mbak Pia sudah cukup menjadi alasan untuk rasa kesakitan. “Ada apa? Mana Anaya?” “Nyonya Kalila dan Tuan Fat
“Kalila! Apa yang terjadi?!” Keadaan Kalila bahkan jauh lebih menyedihkan. Dia duduk di sudut kasur dengan kedua lutut tertekuk ke atas. Kedua tangannya menutupi telinga. Wajahnya pucat pasi dan sebagian tertutupi rambutnya yang kusut masai. “Kalila….” Aku mendekati perlahan. Tanganku memberi isyarat agar Anaya dan Mbak Pia berhenti di pintu. Mereka sebaiknya tetap menjaga jarak aman untuk tidak masuk ke dalam kamar tidur Kalila. Beberapa pecahan keramik berserak di lantai. Ini lebih buruk yang dari kuperkirakan. “Kalila….” Perlahan Kalila menurunkan tangannya dan melihat ke arahku. Dia hancur! Dia bukanlah Kalila yang pernah menjadi duri dalam pernikahanku. Ini adalah kalila kecil yang pernah kusayangi bagai putriku sendiri. “Tante….” Kalila menyerbu ke dalam pelukanku dan menangis. Kehilangan arah dan kata untuk menunjukkan apa yang dia rasakan. Tuhan! Kenapa dunia menjadi berputar seperti ini. Dia yang pernah memberiku luka abadi, bolehkah kali ini aku menolaknya? Saat dia le
“Kemana kita, Bun?” Anaya duduk di samping tempatku mengemudi sambil menikmati sepotong coklat yang tadi kami beli di swalayan. “Ke rumah yang Om Tara kasih.” “Kita pindah rumah terus,” ujarnya dengan mulut penuh karena baru saja memasukkan sepotong cokat ke dalam mulut. “Memang Naya mau kalau kita kembali ke apartement?” “Nggak ah, Anaya mau rumah yang ada tukang jualan. Punya teman buat diajak main.” “Hmm… rasanya sulit untuk punya teman seperti itu. Semoga rumah yang Om Tara berikan cukup nyaman untuk kita berdua.” Mobil yang kami naiki mulai memasuki sebuah kawasan perumahan. Bukan perumahan elit. Cukup bersih dengan taman-taman yang tertata rapi. Cukup mengejutkan karena ini bukan selera Tara yang biasa. Mungkin Tara tau bahwa ada beberapa hal yang perlu diubah dalam hidupku. Pergulatan dengan bisnis dan kehidupan papan atas membuatku merasa lelah. Sulit menemukan hal-hal baik dan tulus di lingkungan seperti itu. Satu-satu yang bisa dilakukan dalam menghadapi berbagai jebak
“Kenapa kau bertanya itu?” Kenapa aku bertanya untuk sebuah pertanyaan? Sebenarnya aku hanya mengulur waktu saja. Pertanyaan ini mudah saja untuk dijawab. Hal yang aku pikirkan adalah efek dari pertanyaan ini di masa mendatang. Mey mengerutkan kening. Dia yang semula sudah hendak kembali ke rumahnya, berbalik dan berjalan mendekat ke arahaku. Sejujurnya aku agak gugup, walau itu sama sekali tidak kuperlihatkan. “Kayanya itu pertanyaan wajar kan? Sebuah keluarga kan pasti ada istri, anak, suami, pembantu. Karena tadi aku nggak lihat suamimu, makanya aku tanya. Mungkin dia masih di kantor dan akan datang nanti sore. Atau dia sedang tugas di luar kota atau di luar negeri?” Aku menguatkan hati. Kuangkat sedikit wajahku untuk menghilangkan kesan ketakutan. Ok! Tidak ada yang salah dengan statusku. Dan tidak ada masalah jika aku tidak punya suami. Ini mungkin hanya ketakutanku sendiri. Setelah banyak masalah dan penghakiman yang kuterima, mungkin status ini meninggalkan sedikit jejak ket
“Selamat pagi.” Sapaan hangat mengalir di antara udara pagi yang masih sejuk. Tidak lupa dengan seulas senyum tipis yang merekah untuk mengubah menjadi ramah. Aku mengangguk kaku. Sesaat berhenti untuk kemudian melangkah. Sesungguhnya, aku tidak benar-benar melangkah. Selama perjalanan keluar cluster, pikiranku bekerja keras untuk menarik waktu tetang siapa pria itu. Seraut wajah yang rasanya pernah kukenali di masa lalu. Ah… kenapa dunia terasa begitu sempit. Dari sekian banyak permukaan bumi, pria itu tinggal di depan rumah baruku. Jika aku tidak salah mengenali, itu adalah rumah Mey. Mungkin pria itu suaminya. Mereka jelas dari ras yang sama yaitu Tionghoa. Aku nyaris tidak punya relasi dengan ras ini. Bukan… bukan karena sebuah antipati, hanya memang tidak ada sesuatu yang membuatku terhubung dengan mereka. “Silahkan Mbak, mau beli apa?” tanya abang tukang sayur yang mangkal tepat di depan pintu komplek. Sapaan ramah khas pedagang untuk menarik pembeli, membawaku mendarat ke a