Kan Rubben di penjara. Terus itu siapa?
“Apakah ini rumah Nadine?” seorang pria Eropa dengan bahasa inggris yang kental berdiri di depan pintu. Semula aku membuka pintu sedikit saja karena membayangkan berbagai kemungkinan yang berdiri di baliknya. Demi melihat pria dengan usia paruh baya, hmm… sekitar lima puluh tahun itu, aku beranikan diri membuka pintu lebih lebar. Pria itu memakai celana jeans biru, kemeja coklat dan sebuah troli di samping berdirinya. Tampaknya dia baru saja mendarat dari pesawat. Itu terlihat dari tag yang ada di tas trolinya. Wajahnya tampak lelah namun bahagia. Aku baru saja hendak bertanya apa maksud kedatangannya, ketika Nadine muncul dari dalam rumah. Dengan celana pendek dan wajah pucat, Nadine tersenyum pada pria itu. Mereka tidak mengatakan apa pun. Mata keduanya berkaca-kaca dan tanpa aba-aba keduanya saling mendekat dan berpelukan. Aku hanya bisa diam menyaksikan adegan di depanku. Tanpa kusadari, air mataku pun turut menetes. Tidak ada alasan yang pasti kenapa aku ikut menangis. Sampai k
“Sebenarnya, Steve datang untuk menjemputku. Aku akan ikut dengannya ke Belanda.” “Apa?!” Kali ini aku yang berteriak terkejut. Aku benar-benar terkejut dengan keputusan Nadine. Beberapa menit lalu semua memang terihat membaik antara Nadine dan Steve. Meski begitu, aku toh tahu tahun-tahun penuh kesedihan yang Nadine alami. Dia selalu menganggap Steve sebagai peran utama yang menghancurkan hidupnya. Seorang ayah yang memberikan luka batin begitu dalam. Meski kami kemudian berpisah untuk waktu lama, namun setahun lalu ketika aku pertama kali datang ke Bali untuk memulihkan lukaku sendiri, semua tetap sama. Aku mendengar banyak kebencian Nadine pada ayahnya. Dia juga mengabaikan fakta bahwa ayahnya telah memberikan banyak aset dan bisnis padanya sebelum kembali ke negaranya di Belanda. Sekarang, Nadine mengatakan inginb bersama Steve ke Belanda. Tentu saja ini sangat mengejutkan. “Din! Jangan melotot begitu.” Nadine menepuk tanganku. “Ah, iya. Kamu yakin mau ikut Steve ke Belanda?”
“Bisa. Ayo kita putuskan sekarang,” ujarku. “Benarkah? Apa kau setuju untuk….” “Iya, aku setuju! Ayo, kita harus makan siang. Kau tahu, sudah berhari-hari aku tidak menikmati makanan enak.” “Ha… ha… ha! Kau membuatku nyaris merayakan kebahagiaan.” “Apa maksudmu? Apa kau tidak bahagia makan siang bersamaku?” Wajahku merajuk. Saat ini aku benar-benar lapar. Rasa yang hampir kulupakan sejak kejadian demi kejadian terus menunggu di depan mata untuk diselesaikan. Aku hampir lupa bagaimana cara menikmati hidup. Alih-alih mengembalikan kewarasan dengan berad di Bali, nyatanya aku justru harus menyelesaikan berbagai tantangan. Ketika satu masalah berlalu, masalah lainnya bahkan sudah menunggu. Ketegangan demi ketegangan membuatku lupa tentang menginginkan sebuah makanan sekedar untuk memanjakan diriku sendiri. Setelah melihat Nadine pergi dengan Steve dalam keadaan bahagia, tiba-tiba aku terserang rasa lapar. Andre baru saja akan memulai pembicaraan tegang lainnya ketika aku mengalihkan
“Wah, kebetulan sekali aku bisa bertemu denganmu di tempat ini. Tadinya aku mau menemuimu dia Summer Hotel.” Spontan aku menarik tanganku dari genggaman Andre. Tatapan sinis langsung kudapatkan ketika wanita dengan tubuh seksi dan baju mini itu melihat gerakan kami. Tanpa dipersilahkan, dia duduk di sebelah Andre. Tangannya dengan mesra langsung mendarat di bahu lebar yang ada di sampingnya. Aku mengalihkan pandangan. Tidak ingin melihat intensitas kedekatan mereka. Entah kenapa perasaan yang datang justru seolah akulah orang ketiga di antara mereka. Karena bagaimana pun keadaannya, Andre dan Nauri masih sepasang suami istri. Senyum Nauri merekah mewah saat melihat ke arah Andre. Lalu beralih padaku dengan sedikit lirikan tajam. Itu sepertinya adalah sebuah ancaman. Aku diam dan mencoba untuk mengabaikan. “Mami mengundangku makan malam di Summer Hotel malam ini,” ujarnya bangga. “Mami? Di Bali? Dia tidak mengatakan padaku bahwa dia akan datang.” Andre terlihat terkejut dengan beri
“Andre!” Di belakangku terdengar suara Nauri. Itu artinya Andre memilih mengikutiku, dan Nauri mencoba menahannya. Sayangnya dia tidak berhasil. Aku bergegas menghentikan taksi dan meninggalkan restaurant itu. Apa yang sedang kurasakan tidak bisa kumengerti. Saat kami mulai meninggalkan bandara untuk mengantar Nadine dan Steve, semua terasa baik-baik saja. Kami semakin dekat dan ceria. Menikmati makanan bersama. Lalu tiba-tiba semua seperti kembali ke alam nyata. Di mana Andre adalah suami Nauri. Pintu yang semula siap kubuka di dalam hatiku, mendadak kembali kukunci rapat. Jika kosekuensi untuk mencintai Andre sebesar ini, aku tidak akan melakukannya. Lebih baik apa yang sedang mulai tumbuh itu segera kucabut sampai mati. Baru sepuluh menit aku masuk ke dalam pavilyun, kudengar pintu diketuk. Aku hampir bisa memastikan siapa yang ada di baliknya. “Adina, keluarlah. Kita bicara dulu.” Walau enggan, aku tetap membuka pintu. Setelah menghapus kering butiran yang ada di sudut mata.
“Ide gila. Bagaimana aku datang ke sebuah makan malam tanpa diundang.” “Aku yang mengundangmu. Tentu saja ak berhak. Aku adalah pemilik Summer Hotel.” “Tapi, makan malam itu adalah ide mamimu untuk Nauri. Dia akan langsung menendangku keluar.” Andre terkekeh mendengar ucapan putus asaku. Itu adalah ucapan paling jujur. Aku memang berpikir bahwa Mami Andre akan menendangku keluar jika aku tetap datang. Tampaknya makan malam itu bukan makan malam biasa. Itu adalah makan malam yang disetting untuk Andre dan Nauri. Mami Andre mempunyai keinginan untuk menyatukan keduanya lagi. Nauri adalah sosok wanita yang memikat. Dia cantik, langsing, modern dan model terkenal. Memiliki menantu seperti itu pastilah sebuah kebanggaan. Apalagi Andre tidak pernah menceritakan tentang keburukan Nauri pada orang tuanya. Sehingga dia nyaris tanpa cela. Bagaimana mami andre akan menerima dengan baik jika tiba-tiba aku muncul sebagai kekasih Andre. Kejutan yang tidak diharapkan tentunya. Jika Nauri adalah
“Ini terdengar mengkhawatirkan. Tampaknya aku harus kembali ke Jakarta untuk melihat langsung semuanya.” Aku bergumam pada diriku sendiri. Memikirkan tentang Anaya dan segala kemungkinan di sekitarnya, jujur membuatku khawatir dan gugup. Suka tidak suka, Anaya ada di antara mereka. Sesuatu yang terjadi pada Fattan dan Kalila akan berimbas pada putriku itu. Aku tidak akan membiarkan Anaya tersakiti dan kecewa dengan alasan apa pun. Malam hari, sesuai dengan yang dijanjikan oleh Andre, dia menjemputku untuk makan malam bersama maminya di Summer Hotel. Ini adalah hotel milik Andre, tanpa pemesanan khusus, mereka mendapatkan sebuah ruangan VIP. Sepanjang perjalanan menuju ke hotel, aku tidak bisa tenang. Beberapa hal membuatku tiba-tiba cemas berlebihan. Pertanyaan demi pertanyaan membanjiri kepalaku. “Din, berhenti meremas-remas tanganmu seperti itu.” Andre yang duduk di belakang kemudia mulai gemas dengan apa yang aku lakukan. “Aku gugup. Hmm… maksudku, khawatir.” “Nggak akan terja
“Tante mengerti, Nauri. Tapi, Adina sudah di sini dan kita tidak mungkin menyuruhnya pergi. Kita bisa menajdi Tuan Rumah yang baik, bukan?” Wajah Nauri seketika memerah. Kata-kata Tante Alice di luar harapannya Apa yang Nauri rencanakan untuk pertemuan ini tampaknya berantakan. Dia begitu gusar dan melirik ke arahku. Siap untuk menelanku tanpa sisa. “Kenapa kau datang? Bukankah kau tahu bahwa pertemuan ini adalah pertemuan keluarga. Aku ingin membicarakan hal-hal pribadi dengan Andre dan Tante Alice.” Mengabaikan apa yang Tante Alice katakan. Nauri justru menegurku secara langsung. Aku baru saja hendak membuka mulut ketika justru Andre yang menyahut. “Aku yang mengajaknya ke sini. Tampaknya Mami tidak keberatan, jadi tidak ada masalah. Adina boleh tahu apa pun yang akan kita bicarakan.” “Ya, nggak bisa gitu, donk, Ndre! Aku dan Mami mau bicara tentang rencana agar kita rujuk lagi. Aku ingin memperbaiki semuanya dan Mami sudah setuju.” Nauri semakin gusar. “Persetujuan Mami bukan