Siapa?
“Dia yang selalu ada dan setia. Dia orang yang bisa menerima semua keadaanku.” Sorot mata Nadine memperlihatkan rasa bangga. Juga bahagia. “Tanpa syarat?” “Tanpa Syarat. Darinya aku belajar tentang cinta. Dan… rasa sakit untuk setia.” “Omong kosong!” Kali ini aku marah. Entah bagaimana gadis modern dengan logo kebebasan yang ada di depanku ini berubah menjadi gadis bodoh yang tidak memiliki akal sehat. Sejak kapan setia menimbulkan rasa sakit? Aku pernah melewatinya. Ketika setia menjadi rasa sakit, maka itu adalah tentang kesalahan dirimu sendiri. Wujud nyata dan manifestasi dari sebuah setia harusnya adalah bahagia. Jika kemudian yang didapati adalah luka, mungkinkah itu salah dalam membingkai kata? Nadine mulai terlihat konyol. Selama ini dia adalah wanita paling realistis yang kukenal. Dia menjadi sangat tidak masuk akal dengan ucapannya. Tampaknya rasa bahagia yang memenuhi Nadine ketika mengingat sosok itu, membuatnya luput melihat kemarahanku. Dia tersenyum dan melanjutkan
“Kau tahu bahwa aku bisa menerima hal paling logis sekali pun.” Nadine semakin penasaran. Aku harus mengatakan ini. Hal yang paling mungkin terjadi. Setelah semua cerita yang Nadine gulirkan, Rubben menjadi pria yang paling tidak masuk akal. “Katakan,” Nadine semakin tidak sabar. “Hmm… kenapa Rubben mau bersamamu ya… menurutku, karena Rubben yang membawa penyakit itu padamu. Dia tahu bahwa kau sakit karenanya.” “Teori dari mana? Kau hanya mengatakan sesuatu yang tidak mendasar.” “Memang begitu kan? Jika kau memiliki virus itu, maka pasangan yang bersamamu pasti memiliki virus yang sama. Jika dia adalah kekasihmu, mungkin saja memang dia yang memberikanmu.” Kenapa sih, nadine tidak mau realistis. Fakta bahwa Rubben menyakitinya secara fisik, melukai hatinya dan mengurung pikirannya, tidak membuat Nadine berhenti untuk mencintainya. Dia menanggung banyak rasa sakit dan itu karena orang yang tidak layak! Dia diam. Aku yakin Nadine sedang merunut kembali awal semuanya terjadi. Wajah
“Setelah sekian lama. Dan semuanya. Inikah yang kau katakan padaku?!” Terdengar suara Nadine dari dalam ruang depan. Tidak menunggu lama ku pun bergegas ke arah asal suara. Jantungku berdebar kencang seiring dengan kekhawatiran yang memburuku. Ini bukan pertama kali hal-hal buruk terjadi pada Nadine. Akhir-akhir ini bahkan terasa lebih buruk lagi. Tidak ingin bernadai-andai, aku berjalan lebih cepat lagi. Pemandangan yang kulihat di ruang tengah membuat darahku berhenti mengalir. Dadaku terasa panas dan mataku sesaat berkunang. Walau semua sudah kuperkirakan bahwa kekasih Nadine yang ada di sana, namun ketika melihat langsung semuanya, tak ayal aku pun terbawa emosi. Entah pria macam apa yang sedang berdiri di depan Nadine saat ini. Sementara Nadine, duduk teronggok di lantai dengan rambut berantakan. Wajahnya frustasi, menahan sakit dan kesedihan. Dia terlalu lemah untuk melawan atau bahkan berargumentasi. “Nad!” Spontan aku berteriak dan mendekat. Nadine mendonggakkan kepala. So
“Hey, Adina. Aku senang melihat perempuan sepertimu. Kau cerdas.” Nadine membelalakkan mata. Meski tersirat, dia tahu bahwa apa yang aku katakan telah di konfirmasi oleh Rubben. Bara api menyala dalam diriku. Aku terbakar! Ini sebuah kejahatan besar. Seseorang menggunakan kata cinta untuk membodohi dan memanfaatkan seorang wanita. Bagaimana Nadine selalu percaya bahwa apa yang ditunjukkan rubben adalah cinta. Kebenarannya, pria ini hanyalah predator yang sedang mencari mangsa. Dia hanya sedang memanfaatkan sisi lemah Nadine. Bodohnya, Nadine begitu saja percaya. Reflek aku mengibaskan tangan Nadine yang ada di lenganku. Lalu sekuat tenaga, tangan itu terayun dan mendarat di pipi Rubben. Suara keras kulit kami bertemu menciptakan keheningan seketika. Kami membeku. Sampai kemudian aku hampir melayangkan tangan itu untuk kedua kalinya ketiak Rubben menangkap pergelangan tanganku dengan kasar. “Kau benar-benar wanita yang menantang. Berani, tegas dan pandai. Aku suka wanita seperti itu
“Tapi, Ndre. A-” Kerutan dalamku pasti terlihat jelas. Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Andre memberikan pandangan yang lebih realistis. Aku hanya berpikir bahwa aku harus bersama Nadine saat dia membutuhkanku. Seperti juga Nadine yang selalu menerimaku saat aku membutuhkannya. “Adina, aku mengerti persahabatan kalian. Aku juga mengerti bahwa wanita selalu menggunakan perasaan yang terdalam untuk mengambil keputusan. Tapi, ini bukan tentang sehari dua hari. Kau tidak tahu sampai kapan ini harus dilakukan.” Penyataan Andre menghempaskanku ke lubang dalam. Dokter Rudi mengangguk setuju. Perlahan namun jelas menyiratkan persetujuan. Dia mengerti kondisi yang kami hadapi bukanlah hal mudah. Walau aku berusaha menjadi sahabat terbaik bagi Nadine, nyatanya memang tidak mungkin untuk mengurus seseorang seumur hidup. “Aku punya usul lain jika kalian setuju.” Dokter Rudi berusaha memecah kebuntuan. “Kami akan mencoba untuk setuju, Dok.” Andre menjawab. “Tempat rehabilitasi. Aku tahu
“Apakah ini rumah Nadine?” seorang pria Eropa dengan bahasa inggris yang kental berdiri di depan pintu. Semula aku membuka pintu sedikit saja karena membayangkan berbagai kemungkinan yang berdiri di baliknya. Demi melihat pria dengan usia paruh baya, hmm… sekitar lima puluh tahun itu, aku beranikan diri membuka pintu lebih lebar. Pria itu memakai celana jeans biru, kemeja coklat dan sebuah troli di samping berdirinya. Tampaknya dia baru saja mendarat dari pesawat. Itu terlihat dari tag yang ada di tas trolinya. Wajahnya tampak lelah namun bahagia. Aku baru saja hendak bertanya apa maksud kedatangannya, ketika Nadine muncul dari dalam rumah. Dengan celana pendek dan wajah pucat, Nadine tersenyum pada pria itu. Mereka tidak mengatakan apa pun. Mata keduanya berkaca-kaca dan tanpa aba-aba keduanya saling mendekat dan berpelukan. Aku hanya bisa diam menyaksikan adegan di depanku. Tanpa kusadari, air mataku pun turut menetes. Tidak ada alasan yang pasti kenapa aku ikut menangis. Sampai k
“Sebenarnya, Steve datang untuk menjemputku. Aku akan ikut dengannya ke Belanda.” “Apa?!” Kali ini aku yang berteriak terkejut. Aku benar-benar terkejut dengan keputusan Nadine. Beberapa menit lalu semua memang terihat membaik antara Nadine dan Steve. Meski begitu, aku toh tahu tahun-tahun penuh kesedihan yang Nadine alami. Dia selalu menganggap Steve sebagai peran utama yang menghancurkan hidupnya. Seorang ayah yang memberikan luka batin begitu dalam. Meski kami kemudian berpisah untuk waktu lama, namun setahun lalu ketika aku pertama kali datang ke Bali untuk memulihkan lukaku sendiri, semua tetap sama. Aku mendengar banyak kebencian Nadine pada ayahnya. Dia juga mengabaikan fakta bahwa ayahnya telah memberikan banyak aset dan bisnis padanya sebelum kembali ke negaranya di Belanda. Sekarang, Nadine mengatakan inginb bersama Steve ke Belanda. Tentu saja ini sangat mengejutkan. “Din! Jangan melotot begitu.” Nadine menepuk tanganku. “Ah, iya. Kamu yakin mau ikut Steve ke Belanda?”
“Bisa. Ayo kita putuskan sekarang,” ujarku. “Benarkah? Apa kau setuju untuk….” “Iya, aku setuju! Ayo, kita harus makan siang. Kau tahu, sudah berhari-hari aku tidak menikmati makanan enak.” “Ha… ha… ha! Kau membuatku nyaris merayakan kebahagiaan.” “Apa maksudmu? Apa kau tidak bahagia makan siang bersamaku?” Wajahku merajuk. Saat ini aku benar-benar lapar. Rasa yang hampir kulupakan sejak kejadian demi kejadian terus menunggu di depan mata untuk diselesaikan. Aku hampir lupa bagaimana cara menikmati hidup. Alih-alih mengembalikan kewarasan dengan berad di Bali, nyatanya aku justru harus menyelesaikan berbagai tantangan. Ketika satu masalah berlalu, masalah lainnya bahkan sudah menunggu. Ketegangan demi ketegangan membuatku lupa tentang menginginkan sebuah makanan sekedar untuk memanjakan diriku sendiri. Setelah melihat Nadine pergi dengan Steve dalam keadaan bahagia, tiba-tiba aku terserang rasa lapar. Andre baru saja akan memulai pembicaraan tegang lainnya ketika aku mengalihkan
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil