Hmm... ini dia kayanya biang keroknya.
“Setelah sekian lama. Dan semuanya. Inikah yang kau katakan padaku?!” Terdengar suara Nadine dari dalam ruang depan. Tidak menunggu lama ku pun bergegas ke arah asal suara. Jantungku berdebar kencang seiring dengan kekhawatiran yang memburuku. Ini bukan pertama kali hal-hal buruk terjadi pada Nadine. Akhir-akhir ini bahkan terasa lebih buruk lagi. Tidak ingin bernadai-andai, aku berjalan lebih cepat lagi. Pemandangan yang kulihat di ruang tengah membuat darahku berhenti mengalir. Dadaku terasa panas dan mataku sesaat berkunang. Walau semua sudah kuperkirakan bahwa kekasih Nadine yang ada di sana, namun ketika melihat langsung semuanya, tak ayal aku pun terbawa emosi. Entah pria macam apa yang sedang berdiri di depan Nadine saat ini. Sementara Nadine, duduk teronggok di lantai dengan rambut berantakan. Wajahnya frustasi, menahan sakit dan kesedihan. Dia terlalu lemah untuk melawan atau bahkan berargumentasi. “Nad!” Spontan aku berteriak dan mendekat. Nadine mendonggakkan kepala. So
“Hey, Adina. Aku senang melihat perempuan sepertimu. Kau cerdas.” Nadine membelalakkan mata. Meski tersirat, dia tahu bahwa apa yang aku katakan telah di konfirmasi oleh Rubben. Bara api menyala dalam diriku. Aku terbakar! Ini sebuah kejahatan besar. Seseorang menggunakan kata cinta untuk membodohi dan memanfaatkan seorang wanita. Bagaimana Nadine selalu percaya bahwa apa yang ditunjukkan rubben adalah cinta. Kebenarannya, pria ini hanyalah predator yang sedang mencari mangsa. Dia hanya sedang memanfaatkan sisi lemah Nadine. Bodohnya, Nadine begitu saja percaya. Reflek aku mengibaskan tangan Nadine yang ada di lenganku. Lalu sekuat tenaga, tangan itu terayun dan mendarat di pipi Rubben. Suara keras kulit kami bertemu menciptakan keheningan seketika. Kami membeku. Sampai kemudian aku hampir melayangkan tangan itu untuk kedua kalinya ketiak Rubben menangkap pergelangan tanganku dengan kasar. “Kau benar-benar wanita yang menantang. Berani, tegas dan pandai. Aku suka wanita seperti itu
“Tapi, Ndre. A-” Kerutan dalamku pasti terlihat jelas. Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Andre memberikan pandangan yang lebih realistis. Aku hanya berpikir bahwa aku harus bersama Nadine saat dia membutuhkanku. Seperti juga Nadine yang selalu menerimaku saat aku membutuhkannya. “Adina, aku mengerti persahabatan kalian. Aku juga mengerti bahwa wanita selalu menggunakan perasaan yang terdalam untuk mengambil keputusan. Tapi, ini bukan tentang sehari dua hari. Kau tidak tahu sampai kapan ini harus dilakukan.” Penyataan Andre menghempaskanku ke lubang dalam. Dokter Rudi mengangguk setuju. Perlahan namun jelas menyiratkan persetujuan. Dia mengerti kondisi yang kami hadapi bukanlah hal mudah. Walau aku berusaha menjadi sahabat terbaik bagi Nadine, nyatanya memang tidak mungkin untuk mengurus seseorang seumur hidup. “Aku punya usul lain jika kalian setuju.” Dokter Rudi berusaha memecah kebuntuan. “Kami akan mencoba untuk setuju, Dok.” Andre menjawab. “Tempat rehabilitasi. Aku tahu
“Apakah ini rumah Nadine?” seorang pria Eropa dengan bahasa inggris yang kental berdiri di depan pintu. Semula aku membuka pintu sedikit saja karena membayangkan berbagai kemungkinan yang berdiri di baliknya. Demi melihat pria dengan usia paruh baya, hmm… sekitar lima puluh tahun itu, aku beranikan diri membuka pintu lebih lebar. Pria itu memakai celana jeans biru, kemeja coklat dan sebuah troli di samping berdirinya. Tampaknya dia baru saja mendarat dari pesawat. Itu terlihat dari tag yang ada di tas trolinya. Wajahnya tampak lelah namun bahagia. Aku baru saja hendak bertanya apa maksud kedatangannya, ketika Nadine muncul dari dalam rumah. Dengan celana pendek dan wajah pucat, Nadine tersenyum pada pria itu. Mereka tidak mengatakan apa pun. Mata keduanya berkaca-kaca dan tanpa aba-aba keduanya saling mendekat dan berpelukan. Aku hanya bisa diam menyaksikan adegan di depanku. Tanpa kusadari, air mataku pun turut menetes. Tidak ada alasan yang pasti kenapa aku ikut menangis. Sampai k
“Sebenarnya, Steve datang untuk menjemputku. Aku akan ikut dengannya ke Belanda.” “Apa?!” Kali ini aku yang berteriak terkejut. Aku benar-benar terkejut dengan keputusan Nadine. Beberapa menit lalu semua memang terihat membaik antara Nadine dan Steve. Meski begitu, aku toh tahu tahun-tahun penuh kesedihan yang Nadine alami. Dia selalu menganggap Steve sebagai peran utama yang menghancurkan hidupnya. Seorang ayah yang memberikan luka batin begitu dalam. Meski kami kemudian berpisah untuk waktu lama, namun setahun lalu ketika aku pertama kali datang ke Bali untuk memulihkan lukaku sendiri, semua tetap sama. Aku mendengar banyak kebencian Nadine pada ayahnya. Dia juga mengabaikan fakta bahwa ayahnya telah memberikan banyak aset dan bisnis padanya sebelum kembali ke negaranya di Belanda. Sekarang, Nadine mengatakan inginb bersama Steve ke Belanda. Tentu saja ini sangat mengejutkan. “Din! Jangan melotot begitu.” Nadine menepuk tanganku. “Ah, iya. Kamu yakin mau ikut Steve ke Belanda?”
“Bisa. Ayo kita putuskan sekarang,” ujarku. “Benarkah? Apa kau setuju untuk….” “Iya, aku setuju! Ayo, kita harus makan siang. Kau tahu, sudah berhari-hari aku tidak menikmati makanan enak.” “Ha… ha… ha! Kau membuatku nyaris merayakan kebahagiaan.” “Apa maksudmu? Apa kau tidak bahagia makan siang bersamaku?” Wajahku merajuk. Saat ini aku benar-benar lapar. Rasa yang hampir kulupakan sejak kejadian demi kejadian terus menunggu di depan mata untuk diselesaikan. Aku hampir lupa bagaimana cara menikmati hidup. Alih-alih mengembalikan kewarasan dengan berad di Bali, nyatanya aku justru harus menyelesaikan berbagai tantangan. Ketika satu masalah berlalu, masalah lainnya bahkan sudah menunggu. Ketegangan demi ketegangan membuatku lupa tentang menginginkan sebuah makanan sekedar untuk memanjakan diriku sendiri. Setelah melihat Nadine pergi dengan Steve dalam keadaan bahagia, tiba-tiba aku terserang rasa lapar. Andre baru saja akan memulai pembicaraan tegang lainnya ketika aku mengalihkan
“Wah, kebetulan sekali aku bisa bertemu denganmu di tempat ini. Tadinya aku mau menemuimu dia Summer Hotel.” Spontan aku menarik tanganku dari genggaman Andre. Tatapan sinis langsung kudapatkan ketika wanita dengan tubuh seksi dan baju mini itu melihat gerakan kami. Tanpa dipersilahkan, dia duduk di sebelah Andre. Tangannya dengan mesra langsung mendarat di bahu lebar yang ada di sampingnya. Aku mengalihkan pandangan. Tidak ingin melihat intensitas kedekatan mereka. Entah kenapa perasaan yang datang justru seolah akulah orang ketiga di antara mereka. Karena bagaimana pun keadaannya, Andre dan Nauri masih sepasang suami istri. Senyum Nauri merekah mewah saat melihat ke arah Andre. Lalu beralih padaku dengan sedikit lirikan tajam. Itu sepertinya adalah sebuah ancaman. Aku diam dan mencoba untuk mengabaikan. “Mami mengundangku makan malam di Summer Hotel malam ini,” ujarnya bangga. “Mami? Di Bali? Dia tidak mengatakan padaku bahwa dia akan datang.” Andre terlihat terkejut dengan beri
“Andre!” Di belakangku terdengar suara Nauri. Itu artinya Andre memilih mengikutiku, dan Nauri mencoba menahannya. Sayangnya dia tidak berhasil. Aku bergegas menghentikan taksi dan meninggalkan restaurant itu. Apa yang sedang kurasakan tidak bisa kumengerti. Saat kami mulai meninggalkan bandara untuk mengantar Nadine dan Steve, semua terasa baik-baik saja. Kami semakin dekat dan ceria. Menikmati makanan bersama. Lalu tiba-tiba semua seperti kembali ke alam nyata. Di mana Andre adalah suami Nauri. Pintu yang semula siap kubuka di dalam hatiku, mendadak kembali kukunci rapat. Jika kosekuensi untuk mencintai Andre sebesar ini, aku tidak akan melakukannya. Lebih baik apa yang sedang mulai tumbuh itu segera kucabut sampai mati. Baru sepuluh menit aku masuk ke dalam pavilyun, kudengar pintu diketuk. Aku hampir bisa memastikan siapa yang ada di baliknya. “Adina, keluarlah. Kita bicara dulu.” Walau enggan, aku tetap membuka pintu. Setelah menghapus kering butiran yang ada di sudut mata.