Share

Jangan makan pedas terlalu banyak

Semangatnya bahkan muncul tiba-tiba, ini aneh. Tapi, dari hatinya yang terdalam sebenarnya pria itu masih menyimpan perasaan untuk Anna. Namun, meski dia tahu Anna bercerai, dia masih belum berani mengungkapkannya.

Sementara Anna masih diam seribu bahasa, dia masih berpikir untuk memulainya darimana, namun mencium aroma harus mie pangsit di pinggir jalan membuatnya memilih memesannya dua porsi untuk dirinya dan Aldi.

"Anna kamu terlalu banyak memasukkan sambal pedas, apa lambungmu tak bermasalah?"

Anna memaksakan dirinya menyantap seporsi mie pangsit dengan cepat seolah dirinya kelaparan. Jelas sekali ia sedang melampiaskan emosinya pada makanan itu. Matanya sudah memerah dan berair menahan pedas, di tambah lagi dengan kepulan asap yang menguap pertanda mie pangsit tadi masih sangat panas.

Satu suapan terakhir, membuat perutnya sangat kenyang, dan barulah pikirannya terbuka. Kemunculan Aldi, memberinya sedikit angin segar yang kini terkesima menatapnya.

"Anna, lama tak melihatmu kurasa ada sedikit perubahan, dulu meski hanya semangkuk kecil kamu bahkan tak sanggup menghabiskannya."

Anna menutup mulutnya, tersadar dirinya yang sejak pagi belum makan ternyata sangat berpengaruh besar hingga dirinya bisa serakus itu. Ia lalu menunduk, membuat Aldi tergelak.

Hahaha, sungguh lucu!

Dulunya ketika makan Anna, selalu memuntahkan kembali makanannya di kamar mandi demi menjaga bentuk tubuhnya, tapi sekarang wanita itu juga bisa begini.

"Habis ini kita kemana?" tanya Aldi memecah keheningan tadi.

Anna menggeleng, "Entahlah, tapi aku masih harus mencari kontrakan untuk ditempati sementara."

"Bagaimana kamu temani aku jalan-jalan?" Anna diam dan berpikir sejenak.

"Baiklah."

Sebelum mereka bergerak, Aldi kembali mengambil jepretan terbaik menurutnya.

"Hei, kamu foto aku tanpa izin lagi!"

Meski Anna memprotes, Aldi hanya terkekeh tanpa peduli dengan kekesalan Anna. Mereka lalu berjalan pelan dan membeli minuman dingin yang menepi dipinggir trotoar.

"Jadi kamu masih mengajar?" Di sela-sela sedang menyesap sedotannya, Anna mengangguk.

"Begitulah."

"Kamu tak capek? Emm... Maksudnya, sayang banget kan, udah S2 mesti jadi guru honorer, kan nggak seimbang."

Anna belum menjawab, karena saat ini mereka masih harus menyeberang jalan. Dalam situasi itu Anna masih memikirkan alasan kenapa dirinya rela jadi guru honorer selama empat tahun berturut-turut.

Sampai di seberang jalan langkahnya terhenti, lalu menghadapkan tubuhnya pada Aldi. "Aku tahu, tapi aku sudah terbiasa dengan anak-anak."

"Hanya itu?" Aldi masih tak yakin dengan jawaban Anna yang terkesan asal, dia berpikir wanita itu pasti punya alasan di balik kesediaannya menjadi tenaga pendidik.

Merasa dirinya terus di introgasi, Anna malah balik bertanya. "Oh ya, ngomong-ngomong sejak tadi kita hanya membahas tentangku, bagaimana denganmu? Kamu sudah menikah?"

Di tanyai begitu Aldi berperilaku sama dengannya, diam tak bergeming. Hanya ada tatapan penuh arti untuk Anna. Haruskah aku memberitahunya?

Jantungnya kini berdetak, dengan sengaja Aldi mengalihkan pembicaraan mereka. "Anna, tadi kamu bilang mau cari tempat kontrakan kan?" dia bertanya seolah betul-betul penasaran.

Huh! Anna menarik nafasnya lagi. "Jika tentang itu, jelas aku belum punya tujuan pasti." Dia menjeda ucapannya, pandangannya melihat kearah jalan raya yang sesak dengan kendaraan yang berhilir mudik, sorot mata seakan menerawang jauh menembus jauh isi pikirannya.

"Bagaimana jika kamu tinggal di apartemen lamaku?" Aldi melirik Anna yang juga melihatnya dengan mata selidik. "Maksudmu, tinggal serumah denganmu?"

Merasa ada yang salah dengan kata-katanya, Aldi langsung mengoreksinya. "Kamu jangan salah paham dulu, apartemen itu kosong dan kamu bisa tinggal di sana sendirian."

Seakan mendapat angin segar, Anna langsung tersenyum. "Baiklah."

***

Mobil SUV hitam yang di kendarai Aldi berhenti di depan bangunan bercat ungu. Namun ada sesuatu yang menganggu pikirannya, hingga ia mengurungkan niatnya untuk turun. "Anna, kamu belum menceritakan penyebab perceraian kalian, maaf jika aku menanyakan ini tapi tidak melakukan hal yang sangat fatal kan?"

Jentikan kasar mendarat di kening Aldi. "Kamu kira aku seperti apa hah jangan-jangan kamu mau menghakimiku dan membela Hanif, begitu?"

Aldi merasa bersalah dan ingin meminta maaf, namun belum sempat ia berbicara, Anna kembali berkata dengan sendu. "Aku memang tidak punya siapa-siapa lagi, tapi aku nggak mau merepotkan orang lain. Kalau tidak berniat membantuku, lebih baik aku pergi sekarang." Selesai mengatakan itu, Anna berniat membuka pintu dan keluar dari mobil.

Akan tetapi, ketika akan beranjak pergi, sebelah tangan menahannya. "Jangan pergi, Anna."

Wanita itu berbalik, dan mendapati pergelangan tangannya dalam genggaman Aldi, dia bisa melihat ketulusan dari sorot matanya. "Maafkan aku Anna, aku tidak bermaksud menyinggungmu, aku hanya..."

"Sudahlah..." Anna berusaha mengumbar senyumnya dengan sangat manis, dan melepas genggaman tadi secara perlahan. "Aku hanya tak mau menjadi beban orang lain, terimakasih sudah menghiburku."

Saat itu juga Anna keluar tanpa berkata apapun lagi, tapi di balik itu dia menumpahkan air matanya yang telah ia tahan dengan sekuat tenaga. Dan, ternyata ia tidak sanggup. Masalah ini begitu berat untuknya.

Aldi mengump4t dalam hati, menyalahkan dirinya, seketika itu ia keluar dari mobil untuk menyusul Anna dari belakang. "Anna, tunggu!"

Langkahnya di buat sangat cepat, hingga ia berhasil melampaui Anna. "Aku mencintaimu Anna."

Kalimat yang dipendamnya sejak lama akhirnya terucap dengan mantap di depan sang pujaan hati. Anna terpaksa menghentikan langkahnya, lalu menatap Aldi dengan wajah datar. "Terima kasih, tapi ini bukan waktunya main-main, sekarang sudah mau sore, aku harus segera mencari tempat untuk istirahat. Karena esok aku harus bekerja seperti biasa."

"Tapi Anna, kamu bisa bilang tujuanmu, dan aku akan mengantarmu sampai tujuan." Aldi bersikeras mencegah kepergiannya, dan lagi-lagi Anna bersikap sama.

"Aku mau ke masjid, mungkin juga bermalam di sana sampai dapat tempat tinggal."

"Anna, maaf karena perkataanku tadi membuatmu tersinggung, tapi aku tak punya niat lain selain membantumu. Kumohon, Anna..."

Sejujurnya Anna tersentuh, tapi ia tak ingin memperlihatkan itu, dan sengaja bersikap jual mahal di depan pria berjaket Hoddie itu. Bagaimanapun kehormatannya sebagai wanita itu lebih penting.

"Aku akan antar kamu masuk ke dalam, dan barang-barangmu?"

Anna menggeleng, "Aku berencana membeli pakaian kerja besok pagi."

"Tunggu, jangan bilang kamu tak membawa apapun dari rumah suamimu."

"Perkiraanmu tepat. Tapi aku tak masalah, lagipula aku punya sedikit tabungan." Anna terlihat santai, tetapi tidak dengan Aldi.

Pria itu merasa rusuh dengannya. Ingatannya kembali pada masalah tadi. "Jadi Anna, kamu mau memaafkanku dan tinggal disini bukan?"

Anna merapatkan mulutnya seakan terkunci, apa dirinya begitu gamblang dan terlihat seolah tak punya pendirian hidup?

Meski Anna tak menjawab, Aldi menganggapnya ia setuju dan segera membawanya hingga di depan pintu masuk. Toh, Anna juga tak menolaknya.

Saat pintu terbuka, Anna masih mematung di luar, sementara Aldi yang sudah masuk dan merapikan beberapa tempat yang agak berdebu kembali menatap Anna. "Kenapa masih berdiri di situ? Ayo masuk, kamu tak perlu merasa asing di sini."

Meski ragu-ragu, Anna berjalan pelan dan mengamati tempat yang luas dan memiliki banyak ruangan. Ini bahkan lebih bagus dari rumah milik Hanif yang pernah ditinggalinya.

Melihat kesediaan Anna memasuki rumahnya, Aldi cukup senang. Jujur, dirinya berharap banyak dari wanita itu. Meski pernyataan cintanya belum di jawab, tetapi setelah ini setidaknya mereka bisa mengobrol banyak.

"Kuharap kamu menyukai tempat ini Anna."

"Ya?" Anna sempat kaget karena fokusnya bukan pada satu hal, jadi tak begitu jelas mendengar ucapan Aldi.

"Oh ya, setelah ini aku akan pergi. Kamu bisa merapikan tempat ini sedikit, kamu tahu sendiri tempat ini sudah lama tak di huni." Aldi mengalihkan pandangannya kearah lain. "Disini ada beberapa kamar, kamu bebas memilihnya, lalu istirahatlah dengan tenang tanpa beban. Dan, besok aku datang lagi untuk menjemputmu."

Setelah berkata demikian, Aldi meliriknya beberapa detik, lalu pergi dari sana tanpa membiarkan pintu terbuka.

Saat itu Anna mendatangi jendela, dan menyingkapkan gordennya demi menatap punggung tegap yang mulai menjauh hingga masuk ke mobilnya dan menghilang dari sana.

Kepergian Aldi membuat Anna kembali teringat dengan masalahnya, bukannya merapikan tempat itu, ia malah merenung di kursi sofa. "Andai aku tahu semuanya berakhir begini, aku tak akan menikah waktu itu."

Malu, Anna agak malu menyandang status janda. Namun, waktu tak bisa diputar setelah takdir berjalan.

Apakah, aku terlalu buruk hingga Hanif meminta cerai? Atau penampilanku yang tak sempurna dimatanya hingga dia menemukan sosok yang baru untuk mengantikanku?

Berbagai pertanyaan menyerang, tentu saja perceraian diantara mereka tanpa perkelahian, ataupun masalah. Ini sangat diluar nalar. Tetapi kehadiran Aldi yang tiba-tiba mengungkapkan bahwa dia mencintaiku, apa aku harus move on secepatnya den melupakan Hanif?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status