Semangatnya bahkan muncul tiba-tiba, ini aneh. Tapi, dari hatinya yang terdalam sebenarnya pria itu masih menyimpan perasaan untuk Anna. Namun, meski dia tahu Anna bercerai, dia masih belum berani mengungkapkannya.
Sementara Anna masih diam seribu bahasa, dia masih berpikir untuk memulainya darimana, namun mencium aroma harus mie pangsit di pinggir jalan membuatnya memilih memesannya dua porsi untuk dirinya dan Aldi. "Anna kamu terlalu banyak memasukkan sambal pedas, apa lambungmu tak bermasalah?" Anna memaksakan dirinya menyantap seporsi mie pangsit dengan cepat seolah dirinya kelaparan. Jelas sekali ia sedang melampiaskan emosinya pada makanan itu. Matanya sudah memerah dan berair menahan pedas, di tambah lagi dengan kepulan asap yang menguap pertanda mie pangsit tadi masih sangat panas. Satu suapan terakhir, membuat perutnya sangat kenyang, dan barulah pikirannya terbuka. Kemunculan Aldi, memberinya sedikit angin segar yang kini terkesima menatapnya. "Anna, lama tak melihatmu kurasa ada sedikit perubahan, dulu meski hanya semangkuk kecil kamu bahkan tak sanggup menghabiskannya." Anna menutup mulutnya, tersadar dirinya yang sejak pagi belum makan ternyata sangat berpengaruh besar hingga dirinya bisa serakus itu. Ia lalu menunduk, membuat Aldi tergelak. Hahaha, sungguh lucu! Dulunya ketika makan Anna, selalu memuntahkan kembali makanannya di kamar mandi demi menjaga bentuk tubuhnya, tapi sekarang wanita itu juga bisa begini. "Habis ini kita kemana?" tanya Aldi memecah keheningan tadi. Anna menggeleng, "Entahlah, tapi aku masih harus mencari kontrakan untuk ditempati sementara." "Bagaimana kamu temani aku jalan-jalan?" Anna diam dan berpikir sejenak. "Baiklah." Sebelum mereka bergerak, Aldi kembali mengambil jepretan terbaik menurutnya. "Hei, kamu foto aku tanpa izin lagi!" Meski Anna memprotes, Aldi hanya terkekeh tanpa peduli dengan kekesalan Anna. Mereka lalu berjalan pelan dan membeli minuman dingin yang menepi dipinggir trotoar. "Jadi kamu masih mengajar?" Di sela-sela sedang menyesap sedotannya, Anna mengangguk. "Begitulah." "Kamu tak capek? Emm... Maksudnya, sayang banget kan, udah S2 mesti jadi guru honorer, kan nggak seimbang." Anna belum menjawab, karena saat ini mereka masih harus menyeberang jalan. Dalam situasi itu Anna masih memikirkan alasan kenapa dirinya rela jadi guru honorer selama empat tahun berturut-turut. Sampai di seberang jalan langkahnya terhenti, lalu menghadapkan tubuhnya pada Aldi. "Aku tahu, tapi aku sudah terbiasa dengan anak-anak." "Hanya itu?" Aldi masih tak yakin dengan jawaban Anna yang terkesan asal, dia berpikir wanita itu pasti punya alasan di balik kesediaannya menjadi tenaga pendidik. Merasa dirinya terus di introgasi, Anna malah balik bertanya. "Oh ya, ngomong-ngomong sejak tadi kita hanya membahas tentangku, bagaimana denganmu? Kamu sudah menikah?" Di tanyai begitu Aldi berperilaku sama dengannya, diam tak bergeming. Hanya ada tatapan penuh arti untuk Anna. Haruskah aku memberitahunya? Jantungnya kini berdetak, dengan sengaja Aldi mengalihkan pembicaraan mereka. "Anna, tadi kamu bilang mau cari tempat kontrakan kan?" dia bertanya seolah betul-betul penasaran. Huh! Anna menarik nafasnya lagi. "Jika tentang itu, jelas aku belum punya tujuan pasti." Dia menjeda ucapannya, pandangannya melihat kearah jalan raya yang sesak dengan kendaraan yang berhilir mudik, sorot mata seakan menerawang jauh menembus jauh isi pikirannya. "Bagaimana jika kamu tinggal di apartemen lamaku?" Aldi melirik Anna yang juga melihatnya dengan mata selidik. "Maksudmu, tinggal serumah denganmu?" Merasa ada yang salah dengan kata-katanya, Aldi langsung mengoreksinya. "Kamu jangan salah paham dulu, apartemen itu kosong dan kamu bisa tinggal di sana sendirian." Seakan mendapat angin segar, Anna langsung tersenyum. "Baiklah." *** Mobil SUV hitam yang di kendarai Aldi berhenti di depan bangunan bercat ungu. Namun ada sesuatu yang menganggu pikirannya, hingga ia mengurungkan niatnya untuk turun. "Anna, kamu belum menceritakan penyebab perceraian kalian, maaf jika aku menanyakan ini tapi tidak melakukan hal yang sangat fatal kan?" Jentikan kasar mendarat di kening Aldi. "Kamu kira aku seperti apa hah jangan-jangan kamu mau menghakimiku dan membela Hanif, begitu?" Aldi merasa bersalah dan ingin meminta maaf, namun belum sempat ia berbicara, Anna kembali berkata dengan sendu. "Aku memang tidak punya siapa-siapa lagi, tapi aku nggak mau merepotkan orang lain. Kalau tidak berniat membantuku, lebih baik aku pergi sekarang." Selesai mengatakan itu, Anna berniat membuka pintu dan keluar dari mobil. Akan tetapi, ketika akan beranjak pergi, sebelah tangan menahannya. "Jangan pergi, Anna." Wanita itu berbalik, dan mendapati pergelangan tangannya dalam genggaman Aldi, dia bisa melihat ketulusan dari sorot matanya. "Maafkan aku Anna, aku tidak bermaksud menyinggungmu, aku hanya..." "Sudahlah..." Anna berusaha mengumbar senyumnya dengan sangat manis, dan melepas genggaman tadi secara perlahan. "Aku hanya tak mau menjadi beban orang lain, terimakasih sudah menghiburku." Saat itu juga Anna keluar tanpa berkata apapun lagi, tapi di balik itu dia menumpahkan air matanya yang telah ia tahan dengan sekuat tenaga. Dan, ternyata ia tidak sanggup. Masalah ini begitu berat untuknya. Aldi mengump4t dalam hati, menyalahkan dirinya, seketika itu ia keluar dari mobil untuk menyusul Anna dari belakang. "Anna, tunggu!" Langkahnya di buat sangat cepat, hingga ia berhasil melampaui Anna. "Aku mencintaimu Anna." Kalimat yang dipendamnya sejak lama akhirnya terucap dengan mantap di depan sang pujaan hati. Anna terpaksa menghentikan langkahnya, lalu menatap Aldi dengan wajah datar. "Terima kasih, tapi ini bukan waktunya main-main, sekarang sudah mau sore, aku harus segera mencari tempat untuk istirahat. Karena esok aku harus bekerja seperti biasa." "Tapi Anna, kamu bisa bilang tujuanmu, dan aku akan mengantarmu sampai tujuan." Aldi bersikeras mencegah kepergiannya, dan lagi-lagi Anna bersikap sama. "Aku mau ke masjid, mungkin juga bermalam di sana sampai dapat tempat tinggal." "Anna, maaf karena perkataanku tadi membuatmu tersinggung, tapi aku tak punya niat lain selain membantumu. Kumohon, Anna..." Sejujurnya Anna tersentuh, tapi ia tak ingin memperlihatkan itu, dan sengaja bersikap jual mahal di depan pria berjaket Hoddie itu. Bagaimanapun kehormatannya sebagai wanita itu lebih penting. "Aku akan antar kamu masuk ke dalam, dan barang-barangmu?" Anna menggeleng, "Aku berencana membeli pakaian kerja besok pagi." "Tunggu, jangan bilang kamu tak membawa apapun dari rumah suamimu." "Perkiraanmu tepat. Tapi aku tak masalah, lagipula aku punya sedikit tabungan." Anna terlihat santai, tetapi tidak dengan Aldi. Pria itu merasa rusuh dengannya. Ingatannya kembali pada masalah tadi. "Jadi Anna, kamu mau memaafkanku dan tinggal disini bukan?" Anna merapatkan mulutnya seakan terkunci, apa dirinya begitu gamblang dan terlihat seolah tak punya pendirian hidup? Meski Anna tak menjawab, Aldi menganggapnya ia setuju dan segera membawanya hingga di depan pintu masuk. Toh, Anna juga tak menolaknya. Saat pintu terbuka, Anna masih mematung di luar, sementara Aldi yang sudah masuk dan merapikan beberapa tempat yang agak berdebu kembali menatap Anna. "Kenapa masih berdiri di situ? Ayo masuk, kamu tak perlu merasa asing di sini." Meski ragu-ragu, Anna berjalan pelan dan mengamati tempat yang luas dan memiliki banyak ruangan. Ini bahkan lebih bagus dari rumah milik Hanif yang pernah ditinggalinya. Melihat kesediaan Anna memasuki rumahnya, Aldi cukup senang. Jujur, dirinya berharap banyak dari wanita itu. Meski pernyataan cintanya belum di jawab, tetapi setelah ini setidaknya mereka bisa mengobrol banyak. "Kuharap kamu menyukai tempat ini Anna." "Ya?" Anna sempat kaget karena fokusnya bukan pada satu hal, jadi tak begitu jelas mendengar ucapan Aldi. "Oh ya, setelah ini aku akan pergi. Kamu bisa merapikan tempat ini sedikit, kamu tahu sendiri tempat ini sudah lama tak di huni." Aldi mengalihkan pandangannya kearah lain. "Disini ada beberapa kamar, kamu bebas memilihnya, lalu istirahatlah dengan tenang tanpa beban. Dan, besok aku datang lagi untuk menjemputmu." Setelah berkata demikian, Aldi meliriknya beberapa detik, lalu pergi dari sana tanpa membiarkan pintu terbuka. Saat itu Anna mendatangi jendela, dan menyingkapkan gordennya demi menatap punggung tegap yang mulai menjauh hingga masuk ke mobilnya dan menghilang dari sana. Kepergian Aldi membuat Anna kembali teringat dengan masalahnya, bukannya merapikan tempat itu, ia malah merenung di kursi sofa. "Andai aku tahu semuanya berakhir begini, aku tak akan menikah waktu itu." Malu, Anna agak malu menyandang status janda. Namun, waktu tak bisa diputar setelah takdir berjalan. Apakah, aku terlalu buruk hingga Hanif meminta cerai? Atau penampilanku yang tak sempurna dimatanya hingga dia menemukan sosok yang baru untuk mengantikanku? Berbagai pertanyaan menyerang, tentu saja perceraian diantara mereka tanpa perkelahian, ataupun masalah. Ini sangat diluar nalar. Tetapi kehadiran Aldi yang tiba-tiba mengungkapkan bahwa dia mencintaiku, apa aku harus move on secepatnya den melupakan Hanif?Aldi Sebastian, salah satu fotografer dari salah sebuah majalah yang terkenal. Meski begitu di usianya yang telah menginjak 33 tahun ini, dia masih belum menikah.Orang tuanya mencoba melakukan banyak cara, mengatur kencan buta untuknya dan bahkan membawa banyak gadis dari kalangan konglomerat, namun sayangnya Aldi sama sekali tak tertarik.Padahal mereka semua adalah wanita cantik dan bahkan berpendidikan tinggi serta pengalaman kerja yang profesional. Seharusnya, Aldi memilih salah satu dari mereka sebagai pasangannya. Sayangnya, harapan itu, seketika sirna, Aldi bahkan tak tertarik untuk berkenalan sekalipun. Beberapa orang menduga-duga bahwa dia tak menyukai wanita, namun melihat dirinya yang dekat dengan wanita berhijab, perhatian orang-orang kini menyorot padanya. Bahkan beberapa kaum hawa terlihat iri melihat Aldi memperlakukannya dengan luar biasa baik dan lemah lembut.Lirikan itu membuat ketidaknyamanan bagi Anna. Terlebih lagi, setiap hari pria itu mengantarkannya sampai
"Jadi, Viko anaknya Miss Ayunda? Dan mau pindah?"Kepsek SDN Founderword, memberitahu semua yang di ketahuinya pada Anna. Dan yang paling mencengangkan, bahwa itu anaknya yang ketiga!Anna kembali diam, memikirkan sesuatu. Namun, ketika melihat jam, dia baru sadar kalau dirinya sudah terlambat mengajar hampir satu jam. "Maaf Bu Hesti, saya harus buru-buru ke kelas, anak-anak pasti sudah menunggu."Setelah berbicara, Anna melesat pergi dengan secepat kilat tanpa mau mendengar ocehan atasannya. Wanita usia kepala lima itu hanya geleng-geleng kepala, andai Anna tak cepat pergi, wanita itu pasti akan mencerewetinya.Di ruang murid kelas 3, Anna melihat bangku di sudut nomor dua itu kini telah kosong. Lagi-lagi pikirannya tak fokus dan kembali mengingat Viko. 'Apa dia anaknya Hanif?'"Bu guru, kenapa Hanif pindah sekolah?"Pertanyaan seorang murid, mengejutkan Anna. Seramah mungkin ia tersenyum, dan menjawabnya dengan lembut. "Mungkin, orang tuanya juga mau pindah, meskipun Viko tidak dis
Anna terbangun dan mendapati dirinya terbaring di tempat tidur dengan selimut tebal yang menutupi sebagian tubuhnya. Pandangannya melihat ke sekitar, namun ternyata dia hanya sendirian di ruangan ini."Dimana aku?" Ia mencoba bangkit, namun rasa pusing yang menjadi, membuatnya menyentuh kepalanya, dan saat itu dia baru sadar bahwa kepalanya kini di lapisi dengan kain kompres. "Siapa yang mengompresku?" Penasaran dengan itu, dia memijit pelipisnya dan berharap sakitnya akan berkurang. "Sebenarnya apa yang terjadi?" Anna mencoba mengingat sesuatu, "Aku tidak mungkin pingsan di jalan kan?""Anna, kamu sudah bangun?" Astaga! suaranya pasti terlalu keras, sampai orang lain terganggu. Langkah kaki terdengar, Anna penasaran segera memastikan ... "Aldi?" Anna ingat, sebelumnya dia dan Aldi jalan bersama, lalu sekarang dia di sini, 'Jangan-jangan yang membawaku kemari itu Aldi? Betulkah dia mengendongku kemari?'Diamnya Anna membuat sosok Aldi mendekatinya di tepi ranjang. Rasanya sungguh
Aldi ternyata masih disana dan memperhatikan mereka. Dia melihat keadaannya kini semakin rumit. 'Haruskah aku membantunya?'Namun wanita paruh baya itu terlihat ingin menyerobot menyerang Anna, Aldi tak tahan lagi, ia takkan tinggal diam dan segera keluar dari mobil menemui mereka. "Berhenti membuat keributan disini!"Suara itu menggema, membuat keheningan suasana. "Siapa kamu? Berani sekali ikut campur dengan urusan kami."Tak ada sahutan, dia malah mendekati Anna yang masih membeku di sana. "Kenapa masih berdiri disini, ayo masuk!""Dugaanku benar kan? Kamu itu wanita jal4ng Anna." ucapan mantan mertuanya begitu menusuk, Anna yang sebelumnya tak ingin menanggapinya lagi, terpaksa menoleh menatap mereka dengan remeh.“Aku tak peduli apa yang kalian katakan, karena aku tidak pernah seperti itu. Asal kalian tahu fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, dan ucapan kalian itu akan menjadi karma di masa depan."Cara bicara Anna terdengar keren, namun itu belum mengubah segalanya, pada det
Setelah mengetik balasan pesan, Anna beranjak dari sana dan mencuci wajahnya dengan niat berwudhu dan melakukan shalat magrib.Baru saja menyelesaikan rakaat terakhir, tiba-tiba pintunya di ketuk. Ini membuat Anna terburu-buru melepas mukenanya dan membuka pintu. "Dessy!"Rekan kerjanya datang dengan tas belanja berukuran besar. Anna berniat membantunya, namun temannya yang bernama Dessy itu malah bertanya."Kamu sudah lakukan apa yang kukatakan tadi?""Apa?" Anna ternganga, ingatannya berpacu pada pesan yang di kirim Dessy sebelumnya. "Itu... Maaf tadi aku lupa." Anna menyahut gugup, membuat Dessy mendecakkan lidahnya kesal. "Kamu ini bagaimana sih..." Dessy menghentikan aktivitasnya yang sedang membongkar kantong belanja."Kamu tenang saja, aku akan melakukannya sekarang...""Tidak perlu!" Ucapan Dessy membuat gerakan Anna berhenti."Kamu bahkan tak pernah mengisi kulkas, bagaimana caramu memasak?" Anna hanya menyengir, sejujurnya ia berniat ke warung sebelah rumah untuk membeli be
"Fuih… syukurlah ternyata bukan itu." Anna mengusap dada, perasaannya menjadi lebih lega setelah memeriksa kondisinya di kamar mandi. Anna berpikir, 'Jika bukan itu, artinya..." Ia tak perlu susah lagi, lagipula dia Randy sudah membelikannya obat di apotik. Ia memeriksa isi plastik tadi, dan... "Hah? I-ini kan?" Mata Anna melebar ketika melihat kantong plastik putih kecil di dalamnya. "Mas Randy membelikanku ini?Jangan-jangan dia mengira aku sedang…" Sungguh, wajahnya memerah, betapa malunya Anna saat ini. Bagaimana mereka bertemu setelah ini?Keluar dari kamar kecil, Anna kembali pada aktifitas mengajarnya seperti biasa, pekerjaan ini agak merepotkan, tapi murid-muridnya itu membuat dirinya terhibur. Sampai jam istirahat tiba, akhirnya sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. (Tak apa, lagipula aku tahu kamu sibuk.)Jawaban yang terkesan cuek, tapi setidaknya Aldi sudah menjawab pesannya. Tapi aku harus balas apa?Ia mengetik beberapa kata, lalu menghapusnya, dan mengulang hal sama h
"Aku akan resign dari pekerjaanku."Dengan segenap keberanian, Anna memutuskan suatu yang sangat mustahil dia lakukan. "Anna, kamu serius?"Beberapa temannya melongo tak percaya. Hal ini menjadi pertanyaan di benak mereka masing-masing. "Tapi Anna, bukankah kita disini baik-baik saja? Kenapa kamu mesti mengundurkan diri?""Apa maksudmu, Anna?" Dari bicaranya terdengar jelas kalau ia tak terima dengan keputusan Anna tadi."Anak-anak lebih suka menjadi muridmu, ketimbang kami yang agak galak.""Hei, kalian bukan galak lagi, tapi ganas seperti serigala." Seisi ruang tertawa lepas tanpa beban.Di sela-sela ketegangan itu, rekan kerja Anna selalu bisa membuat lelucon agar mereka tertawa. Itulah yang membuat Anna selalu betah di sana. Meskipun kadang ada sedikit konflik, tapi sampai saat ini Anna cukup melewatinya dengan baik. Anna mendatangi satu persatu dari mereka. "Maaf semuanya, tapi keputusanku sudah bulat. Aku berencana menyusul temanku di Swiss." Anna mencoba terus tersenyum saat m
Ruangan dokter..."Ini semua biaya rumah sakit dan bersalin saja dokter?" Hanif mengernyitkan dahinya tak percaya, saat membaca secarik kertas yang ia terima. Sosok berjas putih itu mengangguk, "Benar, semuanya sudah tercantum di sana." Sekali lagi Hanif membaca, meyakinkan matanya melihat sederet angka yang membuatnya menelan ludah. Jika dulu ia sanggup mengeluarkan uang sebanyak apapun, tapi sekarang ada kendala yang tak mungkin di jabarkan di sana. "Maaf dokter, apa ini tak bisa di korting lagi?" Hanif mencoba bernegosiasiYang di tanyai mengeleng, "Jika ingin murah seharusnya anda mengambil ruang rawat kelas ekonomi, bukan ruangan VIP. Anda pasti paham kan?" Hanif tak berkomentar lagi, kepalanya kini sudah berdenyut. Sebetulnya dia masih punya sedikit tabungan, dua mobil mewah dan satu perumahan serta vila mewah peninggalan kakeknya. Haruskah Hanif menggadaikannya satu demi melunasi biaya rumah sakit?"Pak Hanif, ada kendala lain?"Di tanyai begitu, seharusnya dia mengangguk,