Anna terbangun dan mendapati dirinya terbaring di tempat tidur dengan selimut tebal yang menutupi sebagian tubuhnya. Pandangannya melihat ke sekitar, namun ternyata dia hanya sendirian di ruangan ini."Dimana aku?" Ia mencoba bangkit, namun rasa pusing yang menjadi, membuatnya menyentuh kepalanya, dan saat itu dia baru sadar bahwa kepalanya kini di lapisi dengan kain kompres. "Siapa yang mengompresku?" Penasaran dengan itu, dia memijit pelipisnya dan berharap sakitnya akan berkurang. "Sebenarnya apa yang terjadi?" Anna mencoba mengingat sesuatu, "Aku tidak mungkin pingsan di jalan kan?""Anna, kamu sudah bangun?" Astaga! suaranya pasti terlalu keras, sampai orang lain terganggu. Langkah kaki terdengar, Anna penasaran segera memastikan ... "Aldi?" Anna ingat, sebelumnya dia dan Aldi jalan bersama, lalu sekarang dia di sini, 'Jangan-jangan yang membawaku kemari itu Aldi? Betulkah dia mengendongku kemari?'Diamnya Anna membuat sosok Aldi mendekatinya di tepi ranjang. Rasanya sungguh
Aldi ternyata masih disana dan memperhatikan mereka. Dia melihat keadaannya kini semakin rumit. 'Haruskah aku membantunya?'Namun wanita paruh baya itu terlihat ingin menyerobot menyerang Anna, Aldi tak tahan lagi, ia takkan tinggal diam dan segera keluar dari mobil menemui mereka. "Berhenti membuat keributan disini!"Suara itu menggema, membuat keheningan suasana. "Siapa kamu? Berani sekali ikut campur dengan urusan kami."Tak ada sahutan, dia malah mendekati Anna yang masih membeku di sana. "Kenapa masih berdiri disini, ayo masuk!""Dugaanku benar kan? Kamu itu wanita jal4ng Anna." ucapan mantan mertuanya begitu menusuk, Anna yang sebelumnya tak ingin menanggapinya lagi, terpaksa menoleh menatap mereka dengan remeh.“Aku tak peduli apa yang kalian katakan, karena aku tidak pernah seperti itu. Asal kalian tahu fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, dan ucapan kalian itu akan menjadi karma di masa depan."Cara bicara Anna terdengar keren, namun itu belum mengubah segalanya, pada det
Setelah mengetik balasan pesan, Anna beranjak dari sana dan mencuci wajahnya dengan niat berwudhu dan melakukan shalat magrib.Baru saja menyelesaikan rakaat terakhir, tiba-tiba pintunya di ketuk. Ini membuat Anna terburu-buru melepas mukenanya dan membuka pintu. "Dessy!"Rekan kerjanya datang dengan tas belanja berukuran besar. Anna berniat membantunya, namun temannya yang bernama Dessy itu malah bertanya."Kamu sudah lakukan apa yang kukatakan tadi?""Apa?" Anna ternganga, ingatannya berpacu pada pesan yang di kirim Dessy sebelumnya. "Itu... Maaf tadi aku lupa." Anna menyahut gugup, membuat Dessy mendecakkan lidahnya kesal. "Kamu ini bagaimana sih..." Dessy menghentikan aktivitasnya yang sedang membongkar kantong belanja."Kamu tenang saja, aku akan melakukannya sekarang...""Tidak perlu!" Ucapan Dessy membuat gerakan Anna berhenti."Kamu bahkan tak pernah mengisi kulkas, bagaimana caramu memasak?" Anna hanya menyengir, sejujurnya ia berniat ke warung sebelah rumah untuk membeli be
"Fuih… syukurlah ternyata bukan itu." Anna mengusap dada, perasaannya menjadi lebih lega setelah memeriksa kondisinya di kamar mandi. Anna berpikir, 'Jika bukan itu, artinya..." Ia tak perlu susah lagi, lagipula dia Randy sudah membelikannya obat di apotik. Ia memeriksa isi plastik tadi, dan... "Hah? I-ini kan?" Mata Anna melebar ketika melihat kantong plastik putih kecil di dalamnya. "Mas Randy membelikanku ini?Jangan-jangan dia mengira aku sedang…" Sungguh, wajahnya memerah, betapa malunya Anna saat ini. Bagaimana mereka bertemu setelah ini?Keluar dari kamar kecil, Anna kembali pada aktifitas mengajarnya seperti biasa, pekerjaan ini agak merepotkan, tapi murid-muridnya itu membuat dirinya terhibur. Sampai jam istirahat tiba, akhirnya sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. (Tak apa, lagipula aku tahu kamu sibuk.)Jawaban yang terkesan cuek, tapi setidaknya Aldi sudah menjawab pesannya. Tapi aku harus balas apa?Ia mengetik beberapa kata, lalu menghapusnya, dan mengulang hal sama h
"Aku akan resign dari pekerjaanku."Dengan segenap keberanian, Anna memutuskan suatu yang sangat mustahil dia lakukan. "Anna, kamu serius?"Beberapa temannya melongo tak percaya. Hal ini menjadi pertanyaan di benak mereka masing-masing. "Tapi Anna, bukankah kita disini baik-baik saja? Kenapa kamu mesti mengundurkan diri?""Apa maksudmu, Anna?" Dari bicaranya terdengar jelas kalau ia tak terima dengan keputusan Anna tadi."Anak-anak lebih suka menjadi muridmu, ketimbang kami yang agak galak.""Hei, kalian bukan galak lagi, tapi ganas seperti serigala." Seisi ruang tertawa lepas tanpa beban.Di sela-sela ketegangan itu, rekan kerja Anna selalu bisa membuat lelucon agar mereka tertawa. Itulah yang membuat Anna selalu betah di sana. Meskipun kadang ada sedikit konflik, tapi sampai saat ini Anna cukup melewatinya dengan baik. Anna mendatangi satu persatu dari mereka. "Maaf semuanya, tapi keputusanku sudah bulat. Aku berencana menyusul temanku di Swiss." Anna mencoba terus tersenyum saat m
Ruangan dokter..."Ini semua biaya rumah sakit dan bersalin saja dokter?" Hanif mengernyitkan dahinya tak percaya, saat membaca secarik kertas yang ia terima. Sosok berjas putih itu mengangguk, "Benar, semuanya sudah tercantum di sana." Sekali lagi Hanif membaca, meyakinkan matanya melihat sederet angka yang membuatnya menelan ludah. Jika dulu ia sanggup mengeluarkan uang sebanyak apapun, tapi sekarang ada kendala yang tak mungkin di jabarkan di sana. "Maaf dokter, apa ini tak bisa di korting lagi?" Hanif mencoba bernegosiasiYang di tanyai mengeleng, "Jika ingin murah seharusnya anda mengambil ruang rawat kelas ekonomi, bukan ruangan VIP. Anda pasti paham kan?" Hanif tak berkomentar lagi, kepalanya kini sudah berdenyut. Sebetulnya dia masih punya sedikit tabungan, dua mobil mewah dan satu perumahan serta vila mewah peninggalan kakeknya. Haruskah Hanif menggadaikannya satu demi melunasi biaya rumah sakit?"Pak Hanif, ada kendala lain?"Di tanyai begitu, seharusnya dia mengangguk,
"Permisi..." Hanif menarik nafas panjang, "Itu pasti pelanggan..." Buru-buru Hanif keluar dan kembali ke toko menemui tamunya. "Maaf Bu Dadang, kebetulan tadi saya sedang mengurus sesuatu di belakang, jadi...""Pesanannya sudah jadi kan pak?" Hanif baru ingat, wanita berpakaian dinas kuning itu adalah salah satu tetangganya yang memesan, Hanif tergagap, namun dia segera mengatasi iniBuru-buru dia memeriksa daftar pemesan, tanpa memperhatikan wajah pelanggannya, rasa cemas menghampirinya karena dia sudah tahu resiko di datangi pelanggan yang komplen jika hasil kerjanya mengecewakan."Buruan mas, acaranya mulai pukul 09.00 nanti, saya sudah repot datang dan menjemput kemari loh, lagipula 20 bungkus itu tidak terlalu banyak."Hanif menghembus kasar nafas, 20 bungkus kan? Ini cukup, dan dia segera menyelesaikan ini dan memberikannya pada pelanggan. "Ini ya Bu Dadang."Wanita itu sudah standby di motornya, Hanif meletakkannya di jok depan motor. "Nanti uangnya di transfer ya pak."Sampai
Leon tiba-tiba rewel, buru-buru Hanif membuatkan susu dan menghidupkan video anak-anak di gawai miliknya agar Leon berhenti menangis. Namun, usahanya itu malah gagal, Hanif mencoba mendiamkannya dengan segala cara, hasilnya tetap sama. Untungnya Ayunda belum jauh dari rumah.Pikiran Hanif jauh lebih kacau, dan itu malah memicu emosinya, hingga akhirnya mengeluarkan semua kekesalannya dengan emosi. "Ayunda, kamu masih ingat dengan anakmu kan?kamu tak dengar dia menangis? Bagaimana pun dia juga butuh kasih sayang seorang ibu.""Suruh saja ibumu kemari, bilang padanya untuk bawa anak-anak sekalian dan tinggal di sini."Dasar kepala, dia tak peduli betapa sulitnya Hanif bekerja mencari nafkah untuk keluarganya, semua ini demi memenuhi kebutuhan mereka juga.Sayangnya, Hanif selalu menyimpan itu dalam hati, ia tak ingin mengumbar semuanya dan dikatakan tidak ikhlas menafkahi keluarganya.Ayunda bukan tidak mendengar perkataan suaminya, tapi ia malah menggerutu, bahkan setelah keluar dari r
Aldi terdiam melihat tatapan Anna yang tajam seakan siap menusuknya kapan saja, dia sepertinya sedang dijebak. Namun dia berusaha menjelaskan ini. "Anna, aku..." Aldi mencoba berbicara, tenggorokannya seolah tercekat."Jangan bohong lagi!" Anna tersentak. "Kamu dan wanita itu sudah bermal4m bersama di hotel, bukan?"Wajah Aldi pucat pasi. "Ti-tidak, darimana kamu tahu itu?"Anna tersenyum sinis. "Lihat, kamu sendiri gugup kan? Aku jelas tahu semuanya dari seseorang. Awalnya aku tak percaya saat orang itu menceritakan semuanya, tapi aku tidak sangka kamu akan..." Sebagai istri dia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Anna, aku benar-benar tidak tahu akan hal ini, aku dijebak, ada orang yang ingin memfitnahku Anna... aku hanya... ""Hanya apa?" tanya Anna, suaranya dingin. "Kamu sudah melakukannya dengan wanita itu bukan?" Aldi tak bisa menyangkalnya lagi, lagipula dia sudah seperti ini, dia bahkan tidak tahu cara membangun kepercayaan Anna lagi pada dirinya. "Maafkan aku
"Shit!" Aldi mengumpat begitu ia terbangun, kepalanya berdenyut pusing. Ketika sudah kembali sadar, pria itu melihat seorang wanita di yang masih terbaring di sebelahnya. Punggung polos yang mengg0da itu terlihat hingga dia terus mengucek matanya agar pandangannya menajam. "Tidak, rambut Anna bukan warna coklat, ini bukan Anna." Mendengar helaan nafas, wanita itu berbalik dan Aldi langsung terkejut. "H-Halen? J-jadi, semalam aku melakukan itu bersamanya..."'Tidak! Tidak mungkin!' Aldi menggeleng cepat sambil beringsut mundur sambil memperbaiki pakaiannya, ia menatap Halen dengan wajah pucat. "Ada apa?" Wanita itu bangkit sambil menutupi tubuh polosnya dengan selimut."Aku tak tahu apa yang kamu pikirkan, tapi apa kamu sengaja memberiku obat agar bisa tidur denganku?" Mendapat tuduhan itu, raut muka Halen berubah. "Apa? Kenapa kamu membalikkan fakta ini padaku? Harusnya kamu sadar diri dengan ulah tubuhmu!" sahutnya dengan nada ketus.Aldi memijat pelipisnya beberapa kali, 'Ya tuh
"Aldi, Aldi ... kenapa kamu tidur disini?" teriakan itu membuat Aldi kaget dan langsung terbangun. Pria itu mengucek matanya beberapa kali. "Ternyata tadi aku cuma mimpi." "Kamu benar Aldi kan?" Wanita itu mengulangi pertanyaannya, pandangannya terarah lurus pada wajah sosok pria di hadapannya."Ya, bagaimana kamu tahu namaku..." "Halen, mungkin kamu tidak ingat. Di masa lalu kamu menolongku dari bully an para kakak senior waktu sekolah menengah..." "Ya, aku ingat. Itu sudah lama sekali." "Syukurlah, kukira kamu tidak mengenalku sama sekali. Tapi, ngomong-ngomong, kamu kenapa?" Sebisa mungkin dia menahan gugupnya, sambil mencoba mencari alasan. "Ah, aku hanya sedikit pusing saja. Bukan masalah besar..." "Yakin nggak apa-apa? Di sana ada apotik, nanti singgah saja ke sana dan belilah obat sebelum pulang."Hanya tawa yang lepas sebagai jawaban, Aldi terlihat santai seakan sedang tidak menyimpan beban. "
"Permisi, bisakah saya melihat tas yang di etalase itu? Saya akan membelikannya untuk istri saya." Aldi menunjuk sebuah tas merk branded edisi terbatas di sebuah toko dalam mall pusat kota."Oh itu, baiklah. Tunggu sebentar, saya akan ambilkan." sahut pemilik toko berjilbab yang bergerak cepat meraih barang yang di tunjuk Aldi. "Ini pak, harganya ada pada label."Aldi memperhatikan label harga yang terpasang pada merk bagian depan, sungguh itu barang mewah dan mahal. " tersenyum memandangi barang. "Baiklah, tolong bungkuskan."Dengan cepat pelayan itu bergerak saja. "Terima kasih."Pelayan itu tersenyum pada pelanggannya dengan sopan. Raffaele berjalan keluar dari tempat itu dengan bangga, dia langsung melajukan mobilnya untuk kembali pulang. Namun, di jalan matanya tak sengaja melihat seorang wanita mengobrol dengan pria yang tak asing. "Bukankah itu..."***"Ohhh." Anna membulatkan mulutnya saat mereka mengobrol dan mulai tak canggung lagi dengan situasi. "Hanya itukah?" tanyanya m
"Aku sudah mentransfernya." Randy langsung memutus panggilannya, kemudian menyeringai memasang tampang penuh misteri. "Bukankah sudah kubilang, semuanya bisa kulakukan tanpa mengotori tanganku." Kemudian dia berdiri, dan keluar dari tempat kerjanya setelah melirik jam dinding sekilas.Pria itu merubah rautnya yang menakutkan tadi, ketika bertemu dengan pegawai kantor saat melihatnya keluar melewati kumpulan orang-orang itu. Tampak jelas, pria itu bermuka dua dan raut kepura-puraan itu di tujukan di depan istrinya."Ketua, ponsel anda kembali berbunyi." Seorang staf memberikan ponsel smartphone yang tadinya di biarkan tergeletak di meja kerjanya.Randy menghentikan langkahnya, kemudian menerima ponsel dan menjawab panggilan tersebut. "Halo…""Randy, bisa tolong datang ke kantor polisi sekarang, aku baru saja di interogasi di sini.""Maaf, aku sedang dalam suasana hati yang buruk sekarang, kuharap kamu tidak sedang membuat ma
"Mama ...."Ayunda yang baru saja membuka pintu masuk rumahnya, langsung berlari saat mendengar suara putranya menjerit. “Arlis, sayang, kamu kenapa nak? Kamu sakit?" sebagai ibu, Ayunda jelas langsung berlari mendatangi putranya dengan raut cemas. "Perutku terasa sangat sakit..." Meski bicaranya belum jelas, tapi pemuda kecil itu meringis sambil memegang perutnya."Kamu sudah makan? Atau jangan-jangan karena ingin pup'?" Pemuda kecil bernama Arlis itu mengeleng. Ayunda melihat sepasang mata milik pangeran kecilnya memerah karena menahan sakit. "Kalau begitu kita coba minum antibiotik, kamu tunggu disini sebentar, mama akan ambil kotak P3K." Ketika Ayunda ingin bergerak pergi, tapi saat ingin pergi, langkah Ayunda dicegat oleh Randy.“Kenapa kau menghalangiku? Kau tak lihat putraku kesakitan?” Ayunda berkat dengan ketus saat dirinya tak dibiarkan mengetahui masalah putranya sendiri. "Diamlah!" potong Randy. "Anakmu baik-baik saja."'Benarkah keadaannya baik? lalu kenapa dia menan
Beberapa orang satpam menarik Selena dengan paksa keluar dari gedung rumah sakit. Dia menghela nafas berat, kemudian berbalik dan mendapati sosok Raffaele berdiri di depannya "Kenapa lama sekali?" ujarnya berkata dengan kesal. "Pergilah, kau tak usah ikut campur masalah ini." Kata-kata Selena agaknya membuat Raffaele tersinggung. "Kau bilang ini bukan urusanku? Huh! Kau saja yang terlalu membela Dharma, tapi dirimu bahkan tak di hargai..." "Dharma bukan orang seperti itu..." tegas Selena dengan wajah dingin. "Cukup!" bentak Raffaele setelah beberapa saat, "Apalagi yang pertahankan darinya? Uang? Pangkat? Jabatan?" Raffaelle mendengus. "Bukankah semuanya sudah lenyap? Tim auditor, sudah melepas jabatannya bukan? Pria itu sudah bangkrut, tahukah kau bahwa selama ini Dharma telah memberi nafkahmu dengan uang hasil penggelapan dana?" Mengatakan itu Raffaele menatap Selena dengan mata merah. Keadaan
Selena sadar setelah merasakan hembusan angin dari jendela yang kebetulan terbuka lebar. Pandangannya mengarah keluar, melihat bangunan mewah dari tempat terbaring. "Di mana ini? Kenapa aku bisa melihat pemandangan kota dari atas?" Wanita itu melihat ke sekitarnya untuk mengingat hal apa yang terjadi padanya barusan sambil berusaha duduk. "Aduh, kenapa tubuhku rasanya nyeri dan sakit sekali?"Meski lama berpikir, tapi Selena tidak bisa mengingatnya. Dia juga baru sadar, bahwa sebagian tubuhnya kini tertutupi selimut. Tiba-tiba dia ingat dengan ponselnya, matanya mencari benda itu dan berhenti ketika melihat tas miliknya di atas nakas. "Itu tasku!"Tetapi, tanpa diduga dua kakinya terasa kebas saat ingin mengambil benda sebesar buku tulis berbahan kulit itu disana. Selena menggigit bibirnya, tubuhnya sangat gemetar karena cemas. "Apakah kemarin Raffaele…"Selena menggeleng, lalu menarik selimut tadi dan kembali menutup kepalanya rapat-rapat. Dan
"Itu tak ada hubungannya denganku, bibi selesaikan saja sendiri." Aldi lalu melenggang pergi dari sana berbicara lagi."Pamanmu sekarang bangkrut, seluruh saldo rekeningnya terkuras habis secara mendadak..."Langkah Aldi terpaksa berhenti demi menanggapinya, "Itu sudah pasti karena dia membagikannya pada wanita yang dikencaninya..." "Bibi tahu itu, tapi pada dasarnya pamanmu punya uang yang banyak, dan kali ini dia benar-benar di jebak seseorang. Dan sekarang, ada banyak karyawan yang menuntut gaji mereka, bibi tidak tahu cara mengatasinya, sedangkan pamanmu sudah diberhentikan oleh dewan direksi." Wanita itu menjelaskan dengan nada sayu.Aldi menarik nafasnya, bahkan tanpa berbalik sedikitpun dia berkata. "Biarkan paman merasakan akibat perbuatannya, jika tak ada hal lain, aku pergi. Pekerjaanku masih banyak." "Kenapa kamu begitu egois, Aldi?"Wanita usia 40 puluhan itu akhirnya pergi setelah kalah bertengkar mulut dengan