Setelah mengetik balasan pesan, Anna beranjak dari sana dan mencuci wajahnya dengan niat berwudhu dan melakukan shalat magrib.
Baru saja menyelesaikan rakaat terakhir, tiba-tiba pintunya di ketuk. Ini membuat Anna terburu-buru melepas mukenanya dan membuka pintu. "Dessy!" Rekan kerjanya datang dengan tas belanja berukuran besar. Anna berniat membantunya, namun temannya yang bernama Dessy itu malah bertanya. "Kamu sudah lakukan apa yang kukatakan tadi?" "Apa?" Anna ternganga, ingatannya berpacu pada pesan yang di kirim Dessy sebelumnya. "Itu... Maaf tadi aku lupa." Anna menyahut gugup, membuat Dessy mendecakkan lidahnya kesal. "Kamu ini bagaimana sih..." Dessy menghentikan aktivitasnya yang sedang membongkar kantong belanja. "Kamu tenang saja, aku akan melakukannya sekarang..." "Tidak perlu!" Ucapan Dessy membuat gerakan Anna berhenti. "Kamu bahkan tak pernah mengisi kulkas, bagaimana caramu memasak?" Anna hanya menyengir, sejujurnya ia berniat ke warung sebelah rumah untuk membeli beras dan bahkan pangan lainnya, tapi karena larangan Dessy, ia tak jadi pergi. "Kamu tahu, aku sudah menduga hal ini terjadi, sifatmu berubah buruk sejak bercerai Anna, dulu kamu tak begini." Anna terdiam, itu memang benar, hanya Dessy yang tahu setiap rahasia dan permasalahannya. Umurnya yang lebih tua setahun, membuat Anna menganggapnya sebagai kakak kandung sendiri. Selesai membongkar kantong belanjaannya, Dessy mengeluarkan sesuatu. "Aku sengaja membeli makanan siap saji karena sudah tahu hal ini akan terjadi, jadi siap-siaplah menghabiskannya karena aku membeli stok yang banyak." Anna kaget bahwa melihat makanan instan yang berderet di meja. "Dessy, kamu gil4, mana mungkin aku bisa menghabiskan makanan sebanyak ini sendirian?" "Bukankah ada Aldi? Oh ya, aku lupa. Bagaimana hubungan kalian?" "Kenapa kamu menanyakan itu?" Anna sengaja menanyainya balik, namun Dessy sedikit mengerling mata kanannya dengan tujuan menggoda Anna. "Kenapa memangnya? Aku tak boleh bertanya? Kulihat kalian cocok." "Jujur aku belum memutuskan tentang itu, kamu pasti tahu alasannya bukan?" Seketika tawa Dessy meledak mendengar penjelasan Anna. "Hanya karena statusmu? Anna, itu tidak penting sekarang, kamu tahu tidak, zaman sekarang istilah janda tidak lagi dianggap tertinggal, justru beberapa orang mengatakan bahwa janda lebih di depan." Namun, Anna tak menanggapinya lagi dan memilih memasak makanan instan tadi di kompor elektrik mini yang berada tak jauh dari sana. Suasana langsung membeku, terhanyut dengan isi pikiran masing-masing. Dalam diam itu pula, mereka menyantap makanan yang sudah matang. Hingga setelah menghabiskan makanannya, Dessy kembali bicara. "Tentang tadi, aku minta maaf. Mungkin aku terlalu lancang menanyakan hal yang tak masuk akal, tapi ini demi kamu juga Anna. Kukira selama ini kamu dengannya sudah..." Sontak Anna menepuk meja, membuat lawan bicaranya kaget. "Anna...' "Tidak Dessy, kurasa kamu benar, mungkin aku terlalu jual mahal hingga membuat orang lain kecewa. Jika aku menghubunginya sekarang, apa masih ada kesempatan?" "Entahlah, hanya kamu sendiri yang tahu tentang itu, aku tak bisa memastikannya." *** Esoknya, pagi-pagi Anna kaget saat melihat jam di tangannya. "Ini sudah hampir terlambat, aku bahkan belum sarapan sama sekali. Bisa-bisanya aku tak ingat dengan pekerjaanku." Ia kebingungan mana yang akan di lakukannya lebih dulu. "Sudahlah, aku langsung pergi saja." Anna mengambil jilbab instan dan mengenakan itu tanpa menyisir rambutnya. Bisa di bayangkan tampilannya yang sedikit acak-acakan itu kini keluar dari rumahnya. "Pak stop!!" Anna menyetop sebuah yang kebetulan melintas di jalan raya, begitu sang sopir menghentikannya, ia masuk dan berkata dengan tergesa-gesa. "Ke SDN Founderword di pusat kota ya pak." Detik itu juga, sang sopir melajukan taksi dengan secepat kilat. "Sebentar lagi pukul delapan, aku bisa di marahi jika terlambat." Semalam ia benar-benar begadang dengan Dessy, memakan makanan pedas entah sampai pukul berapa rekannya itu baru pulang. Namun tiba-tiba Anna memegang perutnya. "Kenapa perih sekali? Apa asam lambungku kambuh?" Tetapi Anna ingat akan satu hal. 'Astaga! Jangan-jangan…' "Aku harus segera membeli pembalut, sebelum itu tembus." Namun, perutnya terasa semakin perih, ia menarik nafas dalam-dalam sambil mengusap perutnya. Anna melihat ke arah jalan mencari-cari papan nama apotik. Nah! Itu dia… "Pak, tolong berhenti di sini ya." "Tapi…" sopir itu tampak ragu, namun melihat keadaan Anna yang mengeluhkan situasinya, memaksanya untuk berhenti. Tepat di seberang jalan itu ada sebuah apotik yang berada tepat di samping gerai penjual makanan. Begitu taksi pergi, Anna malah melihat seorang pria yang tak asing, itu adalah rekan kerja sekaligus pria yang dia anggap sebagai kakak angkatnya "Mas Randy? kenapa dia berada di tempat ini?" Anna membeku di tempatnya berdiri, pikirannya menduga-duga, 'Apa Bu Hesti marah besar hingga dia menyuruh kak Randy mencariku? Atau sebaiknya aku menghindar saja, ini sudah melewati jam kerja, tapi sekarang perutku sangat sakit, bagaimana ini?' Anna kelihatan cemas, rasanya ingin melarikan diri dari sana. "Tunggu Anna, kamu mau kemana?" Sosoknya melangkah menghampiri Anna, dalam situasi terjepit ini Anna menjadi tak bisa bergerak kemana pun. "Kenapa tak angkat telepon? Kamu tak apa? Wajahmu sangat pucat." Anna menundukkan kepalanya dengan sungkan. "A-aku tidak apa-apa hanya saja perutku sedikit sakit." Sejujurnya, Anna tak ingin mengatakan itu, takut membuat orang lain repot lagi karenanya. Diamnya Randy, Anna mengira pria itu tidak mengacuhkannya, namun dia tampak celingukan dengan panik. "Di sana ada apotik, aku akan antar kamu ke sana. Sakit, jangan di tanggung sendiri, bagaimana kalau nanti kamu pingsan di jalan?" Anna bersyukur memiliki orang yang perhatian padanya, tapi ingatannya berpacu pada perkataan mantan suami, sekaligus ibu dari mantan suaminya itu. "Tapi mas, aku bisa pergi sendiri." Anna menolak tawaran itu secara halus, karena tak ingin di bilang perempuan p3nggod4. Namun, Randy sedikit memaksa membuatnya tak dapat mengelak lagi. "Jika kamu tak ingin sakitnya semakin parah, maka setuju saja dengan kata-kataku. Kamu harus ingat, mencegah lebih baik daripada mengobati." Beruntungnya Anna mendapat seorang kakak angkat yang begitu perhatian padanya, selain Dessy, ia tak punya siapa-siapa lagi untuk bergantung. Lalu Aldi? Ini tidak mungkin! Anna masih perang dingin dengannya. Dalam sejarah hidupnya, Anna terlahir kembar, namun nasib malang membuat saudara kembarnya mengidap suatu penyakit hingga harus pergi untuk selama-lamanya. Hingga suatu saat ia bertemu dengan Dessy dan Randy yang menggantikan kekosongan hidupnya. "Anna, kamu mau tunggu di sini atau..." Ups! Anna baru sadar kalau mereka sudah tiba di depan apotik. "Aku ikut!" Namun, Randy sudah berlalu dan masuk ke dalam sendirian tanpa menunggu Anna. Saat ingin menyusul, pria itu malah berkata. "Tak perlu ikut, aku akan kembali dalam 10 menit." Ia pasrah dan duduk di luar menunggu dengan merunggut. Sepuluh menit itu membosankan, Anna mengeluh Saat itu ia mengambil ponsel dan men-scroll media sosial menghilangkan kebosanan. Tiba-tiba perhatiannya terfokus pada siaran live keadaan bandara yang sibuk. "Astaga! Aku lupa." Buru-buru Anna mengetik pesan di ponselnya. (Maaf Di, aku nggak sempat antar kamu ke bandara, semoga selamat sampai tujuan.) Ia baru mengirimnya pada Aldi, berharap segera ada balasannya. Namun, meski sudah tercentang biru, ia tak mendapatkan pesan apapun. 'Apa dia masih marah?' Sepuluh menit yang di tunggu, Randy kembali muncul dengan kantong plastik di tangannya. "Di dalam ada obat sakit perut dan… kamu akan tahu setelah membukanya." Anna tak peduli, ia menerima kantong plastik itu dan memasukkannya ke dalam tas jinjing yang selalu ia bawa. "Kamu sudah sarapan?" Anna tak ingin membuat Randy lebih repot lagi, jadi dia terpaksa berbohong saking sungkannya. "Kakak tak perlu cemas, tadi aku sudah makan." "Kalau begitu kamu bisa langsung minum obat." Anna tak bisa menghindar, tapi dia memutar otaknya mencari alasan. "Nanti saja di sekolah." Randy menarik nafas dalam-dalam, mencoba memahami wanita itu, lalu melihat jam tangan. "Lima menit lagi jadwalku mengajar, kita bisa kejar waktu ke Founderword, ayo berangkat sekarang." "Tapi, Bu kepsek..." Anna sedikit cemas, untung saja Randy mengetahui tentang keterlambatannya. "Tenang saja, aku akan membantumu memberi alasan.""Fuih… syukurlah ternyata bukan itu." Anna mengusap dada, perasaannya menjadi lebih lega setelah memeriksa kondisinya di kamar mandi. Anna berpikir, 'Jika bukan itu, artinya..." Ia tak perlu susah lagi, lagipula dia Randy sudah membelikannya obat di apotik. Ia memeriksa isi plastik tadi, dan... "Hah? I-ini kan?" Mata Anna melebar ketika melihat kantong plastik putih kecil di dalamnya. "Mas Randy membelikanku ini?Jangan-jangan dia mengira aku sedang…" Sungguh, wajahnya memerah, betapa malunya Anna saat ini. Bagaimana mereka bertemu setelah ini?Keluar dari kamar kecil, Anna kembali pada aktifitas mengajarnya seperti biasa, pekerjaan ini agak merepotkan, tapi murid-muridnya itu membuat dirinya terhibur. Sampai jam istirahat tiba, akhirnya sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. (Tak apa, lagipula aku tahu kamu sibuk.)Jawaban yang terkesan cuek, tapi setidaknya Aldi sudah menjawab pesannya. Tapi aku harus balas apa?Ia mengetik beberapa kata, lalu menghapusnya, dan mengulang hal sama h
"Aku akan resign dari pekerjaanku."Dengan segenap keberanian, Anna memutuskan suatu yang sangat mustahil dia lakukan. "Anna, kamu serius?"Beberapa temannya melongo tak percaya. Hal ini menjadi pertanyaan di benak mereka masing-masing. "Tapi Anna, bukankah kita disini baik-baik saja? Kenapa kamu mesti mengundurkan diri?""Apa maksudmu, Anna?" Dari bicaranya terdengar jelas kalau ia tak terima dengan keputusan Anna tadi."Anak-anak lebih suka menjadi muridmu, ketimbang kami yang agak galak.""Hei, kalian bukan galak lagi, tapi ganas seperti serigala." Seisi ruang tertawa lepas tanpa beban.Di sela-sela ketegangan itu, rekan kerja Anna selalu bisa membuat lelucon agar mereka tertawa. Itulah yang membuat Anna selalu betah di sana. Meskipun kadang ada sedikit konflik, tapi sampai saat ini Anna cukup melewatinya dengan baik. Anna mendatangi satu persatu dari mereka. "Maaf semuanya, tapi keputusanku sudah bulat. Aku berencana menyusul temanku di Swiss." Anna mencoba terus tersenyum saat m
Ruangan dokter..."Ini semua biaya rumah sakit dan bersalin saja dokter?" Hanif mengernyitkan dahinya tak percaya, saat membaca secarik kertas yang ia terima. Sosok berjas putih itu mengangguk, "Benar, semuanya sudah tercantum di sana." Sekali lagi Hanif membaca, meyakinkan matanya melihat sederet angka yang membuatnya menelan ludah. Jika dulu ia sanggup mengeluarkan uang sebanyak apapun, tapi sekarang ada kendala yang tak mungkin di jabarkan di sana. "Maaf dokter, apa ini tak bisa di korting lagi?" Hanif mencoba bernegosiasiYang di tanyai mengeleng, "Jika ingin murah seharusnya anda mengambil ruang rawat kelas ekonomi, bukan ruangan VIP. Anda pasti paham kan?" Hanif tak berkomentar lagi, kepalanya kini sudah berdenyut. Sebetulnya dia masih punya sedikit tabungan, dua mobil mewah dan satu perumahan serta vila mewah peninggalan kakeknya. Haruskah Hanif menggadaikannya satu demi melunasi biaya rumah sakit?"Pak Hanif, ada kendala lain?"Di tanyai begitu, seharusnya dia mengangguk,
"Permisi..." Hanif menarik nafas panjang, "Itu pasti pelanggan..." Buru-buru Hanif keluar dan kembali ke toko menemui tamunya. "Maaf Bu Dadang, kebetulan tadi saya sedang mengurus sesuatu di belakang, jadi...""Pesanannya sudah jadi kan pak?" Hanif baru ingat, wanita berpakaian dinas kuning itu adalah salah satu tetangganya yang memesan, Hanif tergagap, namun dia segera mengatasi iniBuru-buru dia memeriksa daftar pemesan, tanpa memperhatikan wajah pelanggannya, rasa cemas menghampirinya karena dia sudah tahu resiko di datangi pelanggan yang komplen jika hasil kerjanya mengecewakan."Buruan mas, acaranya mulai pukul 09.00 nanti, saya sudah repot datang dan menjemput kemari loh, lagipula 20 bungkus itu tidak terlalu banyak."Hanif menghembus kasar nafas, 20 bungkus kan? Ini cukup, dan dia segera menyelesaikan ini dan memberikannya pada pelanggan. "Ini ya Bu Dadang."Wanita itu sudah standby di motornya, Hanif meletakkannya di jok depan motor. "Nanti uangnya di transfer ya pak."Sampai
Leon tiba-tiba rewel, buru-buru Hanif membuatkan susu dan menghidupkan video anak-anak di gawai miliknya agar Leon berhenti menangis. Namun, usahanya itu malah gagal, Hanif mencoba mendiamkannya dengan segala cara, hasilnya tetap sama. Untungnya Ayunda belum jauh dari rumah.Pikiran Hanif jauh lebih kacau, dan itu malah memicu emosinya, hingga akhirnya mengeluarkan semua kekesalannya dengan emosi. "Ayunda, kamu masih ingat dengan anakmu kan?kamu tak dengar dia menangis? Bagaimana pun dia juga butuh kasih sayang seorang ibu.""Suruh saja ibumu kemari, bilang padanya untuk bawa anak-anak sekalian dan tinggal di sini."Dasar kepala, dia tak peduli betapa sulitnya Hanif bekerja mencari nafkah untuk keluarganya, semua ini demi memenuhi kebutuhan mereka juga.Sayangnya, Hanif selalu menyimpan itu dalam hati, ia tak ingin mengumbar semuanya dan dikatakan tidak ikhlas menafkahi keluarganya.Ayunda bukan tidak mendengar perkataan suaminya, tapi ia malah menggerutu, bahkan setelah keluar dari r
"Ayunda ...," Hanif memanggil istrinya dengan lembut. Pasalnya, sejak Ayunda pulang dia masuk kamar dan tak keluar hingga malam tiba. Hanif menyusulnya ke ranj4ng yang di tempati sang istri setelah putra mereka tertidur. Ia melihat punggung Ayunda yang membelakang, mendapati lek√kan tubuh yang tebalut piyama katun, begitu menggelora h4sratnya untuk melak√kan ses√atu. Sebagai pri4 normal, dia jelas menginginkan h4l yang sudah sepantasnya mereka lakukan, tangannya bergerak menyentuh pundak Ayunda, perlahan turun mencapai pingg√l. Hanif memindahkan tangannya menjelajahi bagian depan, kali ini ia berinisiatif menyentuh b3lah4n d4d4, dan mer3m4snya Namun, Ayunda malah terbangun dan segera menepis sentuhan itu, lalu menaikkan selimut tanpa peduli dengan keinginan sang suami."Sayang, kita sudah lama...""Aku lelah dan mau istirahat, besok aku masih ada urusan di suatu tempat." Kejam sekali, padahal h4sr4tnya sudah sampai ke ubun-ubun, namun Hanif memilih mengabaikan kekecewaannya, dan
Sejak semalam Hanif mondar-mandir di depan pintu dengan gelisah, menunggu kehadiran sang istri yang belum pulang sampai sampai detik ini, jika kemarin dia tak membuat nasi soto, apa sekarang dia harus begitu juga? Waktunya sudah tekor karena itu, tapi yang lebih ia cemaskan kini hanya istrinya. "Aku coba telpon dia lagi, semoga diangkat."Sigap tangan Hanif bergerak mengetuk layar ponselnya sampai panggilan tadi tersambung. Tut... tut... tut... "Aku mohon angkat Ayunda, angkat..." Satu, dua kali dia merasa percuma menelepon, karena hasilnya tetap sama. "Ayunda tidak sedang dalam masalah kan?" Saat itu matanya terpejam, mencoba berpikir jernih. "Baik, aku akan coba sekali lagi." "Halo..." Hanif baru menghembus nafas lega, begitu panggilan itu tersambung. "Sayang, kamu tak apa?" tanya Hanif dengan tergesa. "Hanif, hari ini aku sangat sibuk, mengobrolnya nanti saja, bye!" "Tapi ...""Oh, aku lupa. Hanif, untuk sementara ini aku mungkin tak bisa pulang, jadi tolong jaga Leon baik
Oek... Oek..."Hanif, anakmu nangis tuh, emang ibunya nggak di rumah?" Pria itu hanya meringis ketika di tanyai salah seorang pelanggan yang berdiri dan akan belanja di tokonya. Meski sibuk mengemasi barang belanjaan para pelanggannya, Hanif menyempatkan diri menjawab seadanya. "Ayunda belakangan ini sibuk, dia dapat proyek iklan lagi, jadi di rumah cuma kami berdua.""Lalu ibu Jeanne?""Ibu jagain rumah lama, lagian dia juga sibuk ngurusin komunitas senamnya, jadi nggak bisa bantuin aku juga." Selesai mengemas semuanya, Hanif menata semua barang-barang itu di depan toko dan melanjutkan ucapannya. "Aku sudah biasa apa-apa sendirian kok Bu, jadi nggak masalah."Tangisan itu terdengar semakin keras, itu menarik perhatian semua pelanggan toko. "Hanif, lebih baik lihat dulu anakmu, kami akan tunggu di sini." Kesibukan Hanif, mengundang prihatin bagi mereka, ia baru menyadari bahwa semua tetangganya memiliki rasa manusiawi yang besar. Tanpa berpikir, Ia segera berlari menemui putranya ya
Aldi terdiam melihat tatapan Anna yang tajam seakan siap menusuknya kapan saja, dia sepertinya sedang dijebak. Namun dia berusaha menjelaskan ini. "Anna, aku..." Aldi mencoba berbicara, tenggorokannya seolah tercekat."Jangan bohong lagi!" Anna tersentak. "Kamu dan wanita itu sudah bermal4m bersama di hotel, bukan?"Wajah Aldi pucat pasi. "Ti-tidak, darimana kamu tahu itu?"Anna tersenyum sinis. "Lihat, kamu sendiri gugup kan? Aku jelas tahu semuanya dari seseorang. Awalnya aku tak percaya saat orang itu menceritakan semuanya, tapi aku tidak sangka kamu akan..." Sebagai istri dia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Anna, aku benar-benar tidak tahu akan hal ini, aku dijebak, ada orang yang ingin memfitnahku Anna... aku hanya... ""Hanya apa?" tanya Anna, suaranya dingin. "Kamu sudah melakukannya dengan wanita itu bukan?" Aldi tak bisa menyangkalnya lagi, lagipula dia sudah seperti ini, dia bahkan tidak tahu cara membangun kepercayaan Anna lagi pada dirinya. "Maafkan aku
"Shit!" Aldi mengumpat begitu ia terbangun, kepalanya berdenyut pusing. Ketika sudah kembali sadar, pria itu melihat seorang wanita di yang masih terbaring di sebelahnya. Punggung polos yang mengg0da itu terlihat hingga dia terus mengucek matanya agar pandangannya menajam. "Tidak, rambut Anna bukan warna coklat, ini bukan Anna." Mendengar helaan nafas, wanita itu berbalik dan Aldi langsung terkejut. "H-Halen? J-jadi, semalam aku melakukan itu bersamanya..."'Tidak! Tidak mungkin!' Aldi menggeleng cepat sambil beringsut mundur sambil memperbaiki pakaiannya, ia menatap Halen dengan wajah pucat. "Ada apa?" Wanita itu bangkit sambil menutupi tubuh polosnya dengan selimut."Aku tak tahu apa yang kamu pikirkan, tapi apa kamu sengaja memberiku obat agar bisa tidur denganku?" Mendapat tuduhan itu, raut muka Halen berubah. "Apa? Kenapa kamu membalikkan fakta ini padaku? Harusnya kamu sadar diri dengan ulah tubuhmu!" sahutnya dengan nada ketus.Aldi memijat pelipisnya beberapa kali, 'Ya tuh
"Aldi, Aldi ... kenapa kamu tidur disini?" teriakan itu membuat Aldi kaget dan langsung terbangun. Pria itu mengucek matanya beberapa kali. "Ternyata tadi aku cuma mimpi." "Kamu benar Aldi kan?" Wanita itu mengulangi pertanyaannya, pandangannya terarah lurus pada wajah sosok pria di hadapannya."Ya, bagaimana kamu tahu namaku..." "Halen, mungkin kamu tidak ingat. Di masa lalu kamu menolongku dari bully an para kakak senior waktu sekolah menengah..." "Ya, aku ingat. Itu sudah lama sekali." "Syukurlah, kukira kamu tidak mengenalku sama sekali. Tapi, ngomong-ngomong, kamu kenapa?" Sebisa mungkin dia menahan gugupnya, sambil mencoba mencari alasan. "Ah, aku hanya sedikit pusing saja. Bukan masalah besar..." "Yakin nggak apa-apa? Di sana ada apotik, nanti singgah saja ke sana dan belilah obat sebelum pulang."Hanya tawa yang lepas sebagai jawaban, Aldi terlihat santai seakan sedang tidak menyimpan beban. "
"Permisi, bisakah saya melihat tas yang di etalase itu? Saya akan membelikannya untuk istri saya." Aldi menunjuk sebuah tas merk branded edisi terbatas di sebuah toko dalam mall pusat kota."Oh itu, baiklah. Tunggu sebentar, saya akan ambilkan." sahut pemilik toko berjilbab yang bergerak cepat meraih barang yang di tunjuk Aldi. "Ini pak, harganya ada pada label."Aldi memperhatikan label harga yang terpasang pada merk bagian depan, sungguh itu barang mewah dan mahal. " tersenyum memandangi barang. "Baiklah, tolong bungkuskan."Dengan cepat pelayan itu bergerak saja. "Terima kasih."Pelayan itu tersenyum pada pelanggannya dengan sopan. Raffaele berjalan keluar dari tempat itu dengan bangga, dia langsung melajukan mobilnya untuk kembali pulang. Namun, di jalan matanya tak sengaja melihat seorang wanita mengobrol dengan pria yang tak asing. "Bukankah itu..."***"Ohhh." Anna membulatkan mulutnya saat mereka mengobrol dan mulai tak canggung lagi dengan situasi. "Hanya itukah?" tanyanya m
"Aku sudah mentransfernya." Randy langsung memutus panggilannya, kemudian menyeringai memasang tampang penuh misteri. "Bukankah sudah kubilang, semuanya bisa kulakukan tanpa mengotori tanganku." Kemudian dia berdiri, dan keluar dari tempat kerjanya setelah melirik jam dinding sekilas.Pria itu merubah rautnya yang menakutkan tadi, ketika bertemu dengan pegawai kantor saat melihatnya keluar melewati kumpulan orang-orang itu. Tampak jelas, pria itu bermuka dua dan raut kepura-puraan itu di tujukan di depan istrinya."Ketua, ponsel anda kembali berbunyi." Seorang staf memberikan ponsel smartphone yang tadinya di biarkan tergeletak di meja kerjanya.Randy menghentikan langkahnya, kemudian menerima ponsel dan menjawab panggilan tersebut. "Halo…""Randy, bisa tolong datang ke kantor polisi sekarang, aku baru saja di interogasi di sini.""Maaf, aku sedang dalam suasana hati yang buruk sekarang, kuharap kamu tidak sedang membuat ma
"Mama ...."Ayunda yang baru saja membuka pintu masuk rumahnya, langsung berlari saat mendengar suara putranya menjerit. “Arlis, sayang, kamu kenapa nak? Kamu sakit?" sebagai ibu, Ayunda jelas langsung berlari mendatangi putranya dengan raut cemas. "Perutku terasa sangat sakit..." Meski bicaranya belum jelas, tapi pemuda kecil itu meringis sambil memegang perutnya."Kamu sudah makan? Atau jangan-jangan karena ingin pup'?" Pemuda kecil bernama Arlis itu mengeleng. Ayunda melihat sepasang mata milik pangeran kecilnya memerah karena menahan sakit. "Kalau begitu kita coba minum antibiotik, kamu tunggu disini sebentar, mama akan ambil kotak P3K." Ketika Ayunda ingin bergerak pergi, tapi saat ingin pergi, langkah Ayunda dicegat oleh Randy.“Kenapa kau menghalangiku? Kau tak lihat putraku kesakitan?” Ayunda berkat dengan ketus saat dirinya tak dibiarkan mengetahui masalah putranya sendiri. "Diamlah!" potong Randy. "Anakmu baik-baik saja."'Benarkah keadaannya baik? lalu kenapa dia menan
Beberapa orang satpam menarik Selena dengan paksa keluar dari gedung rumah sakit. Dia menghela nafas berat, kemudian berbalik dan mendapati sosok Raffaele berdiri di depannya "Kenapa lama sekali?" ujarnya berkata dengan kesal. "Pergilah, kau tak usah ikut campur masalah ini." Kata-kata Selena agaknya membuat Raffaele tersinggung. "Kau bilang ini bukan urusanku? Huh! Kau saja yang terlalu membela Dharma, tapi dirimu bahkan tak di hargai..." "Dharma bukan orang seperti itu..." tegas Selena dengan wajah dingin. "Cukup!" bentak Raffaele setelah beberapa saat, "Apalagi yang pertahankan darinya? Uang? Pangkat? Jabatan?" Raffaelle mendengus. "Bukankah semuanya sudah lenyap? Tim auditor, sudah melepas jabatannya bukan? Pria itu sudah bangkrut, tahukah kau bahwa selama ini Dharma telah memberi nafkahmu dengan uang hasil penggelapan dana?" Mengatakan itu Raffaele menatap Selena dengan mata merah. Keadaan
Selena sadar setelah merasakan hembusan angin dari jendela yang kebetulan terbuka lebar. Pandangannya mengarah keluar, melihat bangunan mewah dari tempat terbaring. "Di mana ini? Kenapa aku bisa melihat pemandangan kota dari atas?" Wanita itu melihat ke sekitarnya untuk mengingat hal apa yang terjadi padanya barusan sambil berusaha duduk. "Aduh, kenapa tubuhku rasanya nyeri dan sakit sekali?"Meski lama berpikir, tapi Selena tidak bisa mengingatnya. Dia juga baru sadar, bahwa sebagian tubuhnya kini tertutupi selimut. Tiba-tiba dia ingat dengan ponselnya, matanya mencari benda itu dan berhenti ketika melihat tas miliknya di atas nakas. "Itu tasku!"Tetapi, tanpa diduga dua kakinya terasa kebas saat ingin mengambil benda sebesar buku tulis berbahan kulit itu disana. Selena menggigit bibirnya, tubuhnya sangat gemetar karena cemas. "Apakah kemarin Raffaele…"Selena menggeleng, lalu menarik selimut tadi dan kembali menutup kepalanya rapat-rapat. Dan
"Itu tak ada hubungannya denganku, bibi selesaikan saja sendiri." Aldi lalu melenggang pergi dari sana berbicara lagi."Pamanmu sekarang bangkrut, seluruh saldo rekeningnya terkuras habis secara mendadak..."Langkah Aldi terpaksa berhenti demi menanggapinya, "Itu sudah pasti karena dia membagikannya pada wanita yang dikencaninya..." "Bibi tahu itu, tapi pada dasarnya pamanmu punya uang yang banyak, dan kali ini dia benar-benar di jebak seseorang. Dan sekarang, ada banyak karyawan yang menuntut gaji mereka, bibi tidak tahu cara mengatasinya, sedangkan pamanmu sudah diberhentikan oleh dewan direksi." Wanita itu menjelaskan dengan nada sayu.Aldi menarik nafasnya, bahkan tanpa berbalik sedikitpun dia berkata. "Biarkan paman merasakan akibat perbuatannya, jika tak ada hal lain, aku pergi. Pekerjaanku masih banyak." "Kenapa kamu begitu egois, Aldi?"Wanita usia 40 puluhan itu akhirnya pergi setelah kalah bertengkar mulut dengan