Aldi ternyata masih disana dan memperhatikan mereka. Dia melihat keadaannya kini semakin rumit. 'Haruskah aku membantunya?'
Namun wanita paruh baya itu terlihat ingin menyerobot menyerang Anna, Aldi tak tahan lagi, ia takkan tinggal diam dan segera keluar dari mobil menemui mereka. "Berhenti membuat keributan disini!" Suara itu menggema, membuat keheningan suasana. "Siapa kamu? Berani sekali ikut campur dengan urusan kami." Tak ada sahutan, dia malah mendekati Anna yang masih membeku di sana. "Kenapa masih berdiri disini, ayo masuk!" "Dugaanku benar kan? Kamu itu wanita jal4ng Anna." ucapan mantan mertuanya begitu menusuk, Anna yang sebelumnya tak ingin menanggapinya lagi, terpaksa menoleh menatap mereka dengan remeh. “Aku tak peduli apa yang kalian katakan, karena aku tidak pernah seperti itu. Asal kalian tahu fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, dan ucapan kalian itu akan menjadi karma di masa depan." Cara bicara Anna terdengar keren, namun itu belum mengubah segalanya, pada detik yang sama ia kembali berujar. "Oh ya, Hanif. Kurasa aku harus mrngatakan ini, sekarang aku bukan lagi istrimu, seharusnya kini aku bebas kan?" "Hanif, kepalaku sangat pusing mendengar keributan ini..." Tiba-tiba Ayunda berkata seolah dia sedang tersakiti, bahkan dia sengaja bersandar ke bahu suaminya, memamerkan kemesraan mereka. Itu membuat Anna muak dan ingin segera pergi. "Anna, kamu mau kemana? Kamu harus tanggung jawab setelah membuat istriku begini, dia sedang hamil dan sangat sensitif sekarang. Bagaimana jika terjadi apa-apa pada janinnya?" Aldi menanggapinya dengan tangan terkepal. "Urus saja istrimu, dan jangan buat dia tertekan lagi." Aksi lalu melirik Anna, dan menarik tangannya dengan sedikit paksaan. "Ayo kita pergi Anna, jika tak ingin gila jangan tanggapi mereka lagi." "Heh! Kamu yang tak usah ikut campur, ini masalah kami, yang harusnya pergi itu kamu." Saat itu Aldi terpaksa berbalik, "Kamu bilang apa? Bukan urusanku? Apa Anna tak memberitahumu?" Ia mendengus. "Sepertinya aku harus membeberkan ini sekarang." Aldi melirik Anna yang berdiri dan menunduk. "Kenalkan, aku ini calon suami Anna!" "Kamu...?" Anna yang mendengar itu langsung kaget. Tak bisa di pungkiri, Aldi telanjur mengatakannya tanpa sedikitpun bantahan dari Anna. Apa itu berarti, Anna menyetujuinya? Hanif menelan ludah, bahkan ia tak berani lagi berkomentar, tangannya mengepal seolah sedang menyimpan dendam. Rasanya aneh jika Hanif marah, bukankah dia tak punya hubungan apa-apa lagi dengan Anna? Aldi menegakkan kepalanya dan berujar. "Kurasa kamu masih tidak tahu cara menghargai wanita, apa perlu ku-ajari?" Hanif melangkah mundur beberapa kali, dirinya begitu terlihat seperti orang yang tak punya harga diri. Saat ini dia sadar bahwa kesalahannya sangat fatal. "Tak perlu!" Hanif tak ingin di remehkan, dia menatap bengis pada sosok Aldi yang tanpa segan menggenggam tangan Anna. "Karena aku lebih bisa membahagiakan seorang wanita daripada kamu." Setelah berbicara, mereka bahkan tak peduli dan pergi tanpa menoleh sedikitpun ke belakang. "Dasar! dulu aku mengira kamu seorang wanita lugu, aku bahkan merasa bersalah telah membiarkan Hanif menceraikanmu. Tapi ternyata, dugaanku salah, kamu hanya ingin mengincar harta keluarga kaya Anna." Mantan mertua Anna menyempatkan diri untuk melontarkan kata-kata pedasnya pada Anna. Ini begitu menyinggung, Anna tidak bisa tidak menoleh, dan menatap tajam wanita paruh baya itu, saking tak tahan dengan perkataannya. "Maaf nyonya Jeanne, seharusnya anda mempertimbangkan tujuan anda kemari untuk menyerang orang. Apa kalian mau disamakan dengan hewan yang tidak punya kesopanan sama sekali?" Wanita yang dipanggil Jeanne itu tiba-tiba mendekatinya lalu menyiramkan air mineral kemasan ke wajah Anna tanpa dapat di hindari. "Hentikan! Apa yang anda lakukan?" Aldi bahkan terkena cipratannya sedikit. Anna perlahan mengelap wajahnya yang basah, lalu berkata dengan tegas. "Maaf, saya Anna Felicia tidak pernah berniat mengambil harta apapun dari kalian. Anda bisa tanyakan pada Hanif, apa yang saya bawa saat meninggalkan rumahnya." Hanif tak berkomentar, ia tak ingin membuat keadaan lebih parah lagi karena beberapa orang sudah berdiri di sekitarnya dengan raut penasaran, tampaknya keributan itu sudah sangat mengganggu mereka. Tak ingin menunggu lebih lama lagi, tanpa menunggu ibunya, Hanif melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu. "Maaf ibu, aku benar-benar harus pergi, aku tak ingin berdiri lebih lama lagi di sana." "Hei, Hanif! Kamu sudah gila ya?" Namun seruan nyonya Jeanne sama sekali tak di dengar Hanif, mobilnya sudah beranjak jauh dari sana. Menyaksikan lelucon tu Aldi lalu berkata. "Perbuatan kalian hari ini, termasuk kasus penyerangan dan pembully-an. Aku akan laporkan ini dan memanggil polisi!" Kata-kata itu penuh peringatan. Meski wanita paruh baya itu menyempatkan diri menatap sengit pada Anna, namun perlahan dia berbalik dan keluar dari pagar besi, sambil memikirkan rencana lain. "Sudahlah, ayo masuk." Anna merasa aneh, pria itu tiba-tiba cuek, lalu tiba-tiba baik padanya. Namun, dia tak ingin bertanya lebih lagi hingga Aldi mengantarkannya beristirahat. "Aldi, kamu mau pergi?" Langkah pria itu terpaksa berhenti saat di tanyai. "Benar, lebih baik kamu istirahat saja di kamar." "Soal tadi, terima kasih ya." Aldi tak menanggapinya lagi dan terus berjalan lurus hingga kembali ke mobilnya. Melalui jendela Anna menatap punggung tegapnya hingga tak terlihat, lalu menatap ke langit mendung, serta gerimis yang tiba-tiba turun seolah sedang mengetahui suasana hatinya. Bibirnya yang tipis itu mencoba tersenyum, namun getir ketika mengetahui kenyataan hidupnya. Setelahnya Anna terduduk lemas di kursi sofa memikirkan beban berat di benaknya. Dulu, saat statusnya masih istri Hanif, Anna begitu serius menjalani perannya sebagai istri sekaligus menantu keluarga suaminya. Tapi takdir tak bisa di tebak, hingga akhirnya Anna keluar dari belenggu itu. Andai saja Aldi tak muncul dan benar-benar telah membencinya, mungkin dia akan menghadapi masalah tadi sendirian. Getaran ponsel membuat lamunannya membuyar, Anna memeriksa ponselnya yang terdapat satu pesan teks. (Anna, kamu di mana?)Setelah mengetik balasan pesan, Anna beranjak dari sana dan mencuci wajahnya dengan niat berwudhu dan melakukan shalat magrib.Baru saja menyelesaikan rakaat terakhir, tiba-tiba pintunya di ketuk. Ini membuat Anna terburu-buru melepas mukenanya dan membuka pintu. "Dessy!"Rekan kerjanya datang dengan tas belanja berukuran besar. Anna berniat membantunya, namun temannya yang bernama Dessy itu malah bertanya."Kamu sudah lakukan apa yang kukatakan tadi?""Apa?" Anna ternganga, ingatannya berpacu pada pesan yang di kirim Dessy sebelumnya. "Itu... Maaf tadi aku lupa." Anna menyahut gugup, membuat Dessy mendecakkan lidahnya kesal. "Kamu ini bagaimana sih..." Dessy menghentikan aktivitasnya yang sedang membongkar kantong belanja."Kamu tenang saja, aku akan melakukannya sekarang...""Tidak perlu!" Ucapan Dessy membuat gerakan Anna berhenti."Kamu bahkan tak pernah mengisi kulkas, bagaimana caramu memasak?" Anna hanya menyengir, sejujurnya ia berniat ke warung sebelah rumah untuk membeli be
"Fuih… syukurlah ternyata bukan itu." Anna mengusap dada, perasaannya menjadi lebih lega setelah memeriksa kondisinya di kamar mandi. Anna berpikir, 'Jika bukan itu, artinya..." Ia tak perlu susah lagi, lagipula dia Randy sudah membelikannya obat di apotik. Ia memeriksa isi plastik tadi, dan... "Hah? I-ini kan?" Mata Anna melebar ketika melihat kantong plastik putih kecil di dalamnya. "Mas Randy membelikanku ini?Jangan-jangan dia mengira aku sedang…" Sungguh, wajahnya memerah, betapa malunya Anna saat ini. Bagaimana mereka bertemu setelah ini?Keluar dari kamar kecil, Anna kembali pada aktifitas mengajarnya seperti biasa, pekerjaan ini agak merepotkan, tapi murid-muridnya itu membuat dirinya terhibur. Sampai jam istirahat tiba, akhirnya sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. (Tak apa, lagipula aku tahu kamu sibuk.)Jawaban yang terkesan cuek, tapi setidaknya Aldi sudah menjawab pesannya. Tapi aku harus balas apa?Ia mengetik beberapa kata, lalu menghapusnya, dan mengulang hal sama h
"Aku akan resign dari pekerjaanku."Dengan segenap keberanian, Anna memutuskan suatu yang sangat mustahil dia lakukan. "Anna, kamu serius?"Beberapa temannya melongo tak percaya. Hal ini menjadi pertanyaan di benak mereka masing-masing. "Tapi Anna, bukankah kita disini baik-baik saja? Kenapa kamu mesti mengundurkan diri?""Apa maksudmu, Anna?" Dari bicaranya terdengar jelas kalau ia tak terima dengan keputusan Anna tadi."Anak-anak lebih suka menjadi muridmu, ketimbang kami yang agak galak.""Hei, kalian bukan galak lagi, tapi ganas seperti serigala." Seisi ruang tertawa lepas tanpa beban.Di sela-sela ketegangan itu, rekan kerja Anna selalu bisa membuat lelucon agar mereka tertawa. Itulah yang membuat Anna selalu betah di sana. Meskipun kadang ada sedikit konflik, tapi sampai saat ini Anna cukup melewatinya dengan baik. Anna mendatangi satu persatu dari mereka. "Maaf semuanya, tapi keputusanku sudah bulat. Aku berencana menyusul temanku di Swiss." Anna mencoba terus tersenyum saat m
Ruangan dokter..."Ini semua biaya rumah sakit dan bersalin saja dokter?" Hanif mengernyitkan dahinya tak percaya, saat membaca secarik kertas yang ia terima. Sosok berjas putih itu mengangguk, "Benar, semuanya sudah tercantum di sana." Sekali lagi Hanif membaca, meyakinkan matanya melihat sederet angka yang membuatnya menelan ludah. Jika dulu ia sanggup mengeluarkan uang sebanyak apapun, tapi sekarang ada kendala yang tak mungkin di jabarkan di sana. "Maaf dokter, apa ini tak bisa di korting lagi?" Hanif mencoba bernegosiasiYang di tanyai mengeleng, "Jika ingin murah seharusnya anda mengambil ruang rawat kelas ekonomi, bukan ruangan VIP. Anda pasti paham kan?" Hanif tak berkomentar lagi, kepalanya kini sudah berdenyut. Sebetulnya dia masih punya sedikit tabungan, dua mobil mewah dan satu perumahan serta vila mewah peninggalan kakeknya. Haruskah Hanif menggadaikannya satu demi melunasi biaya rumah sakit?"Pak Hanif, ada kendala lain?"Di tanyai begitu, seharusnya dia mengangguk,
"Permisi..." Hanif menarik nafas panjang, "Itu pasti pelanggan..." Buru-buru Hanif keluar dan kembali ke toko menemui tamunya. "Maaf Bu Dadang, kebetulan tadi saya sedang mengurus sesuatu di belakang, jadi...""Pesanannya sudah jadi kan pak?" Hanif baru ingat, wanita berpakaian dinas kuning itu adalah salah satu tetangganya yang memesan, Hanif tergagap, namun dia segera mengatasi iniBuru-buru dia memeriksa daftar pemesan, tanpa memperhatikan wajah pelanggannya, rasa cemas menghampirinya karena dia sudah tahu resiko di datangi pelanggan yang komplen jika hasil kerjanya mengecewakan."Buruan mas, acaranya mulai pukul 09.00 nanti, saya sudah repot datang dan menjemput kemari loh, lagipula 20 bungkus itu tidak terlalu banyak."Hanif menghembus kasar nafas, 20 bungkus kan? Ini cukup, dan dia segera menyelesaikan ini dan memberikannya pada pelanggan. "Ini ya Bu Dadang."Wanita itu sudah standby di motornya, Hanif meletakkannya di jok depan motor. "Nanti uangnya di transfer ya pak."Sampai
Leon tiba-tiba rewel, buru-buru Hanif membuatkan susu dan menghidupkan video anak-anak di gawai miliknya agar Leon berhenti menangis. Namun, usahanya itu malah gagal, Hanif mencoba mendiamkannya dengan segala cara, hasilnya tetap sama. Untungnya Ayunda belum jauh dari rumah.Pikiran Hanif jauh lebih kacau, dan itu malah memicu emosinya, hingga akhirnya mengeluarkan semua kekesalannya dengan emosi. "Ayunda, kamu masih ingat dengan anakmu kan?kamu tak dengar dia menangis? Bagaimana pun dia juga butuh kasih sayang seorang ibu.""Suruh saja ibumu kemari, bilang padanya untuk bawa anak-anak sekalian dan tinggal di sini."Dasar kepala, dia tak peduli betapa sulitnya Hanif bekerja mencari nafkah untuk keluarganya, semua ini demi memenuhi kebutuhan mereka juga.Sayangnya, Hanif selalu menyimpan itu dalam hati, ia tak ingin mengumbar semuanya dan dikatakan tidak ikhlas menafkahi keluarganya.Ayunda bukan tidak mendengar perkataan suaminya, tapi ia malah menggerutu, bahkan setelah keluar dari r
"Ayunda ...," Hanif memanggil istrinya dengan lembut. Pasalnya, sejak Ayunda pulang dia masuk kamar dan tak keluar hingga malam tiba. Hanif menyusulnya ke ranj4ng yang di tempati sang istri setelah putra mereka tertidur. Ia melihat punggung Ayunda yang membelakang, mendapati lek√kan tubuh yang tebalut piyama katun, begitu menggelora h4sratnya untuk melak√kan ses√atu. Sebagai pri4 normal, dia jelas menginginkan h4l yang sudah sepantasnya mereka lakukan, tangannya bergerak menyentuh pundak Ayunda, perlahan turun mencapai pingg√l. Hanif memindahkan tangannya menjelajahi bagian depan, kali ini ia berinisiatif menyentuh b3lah4n d4d4, dan mer3m4snya Namun, Ayunda malah terbangun dan segera menepis sentuhan itu, lalu menaikkan selimut tanpa peduli dengan keinginan sang suami."Sayang, kita sudah lama...""Aku lelah dan mau istirahat, besok aku masih ada urusan di suatu tempat." Kejam sekali, padahal h4sr4tnya sudah sampai ke ubun-ubun, namun Hanif memilih mengabaikan kekecewaannya, dan
Sejak semalam Hanif mondar-mandir di depan pintu dengan gelisah, menunggu kehadiran sang istri yang belum pulang sampai sampai detik ini, jika kemarin dia tak membuat nasi soto, apa sekarang dia harus begitu juga? Waktunya sudah tekor karena itu, tapi yang lebih ia cemaskan kini hanya istrinya. "Aku coba telpon dia lagi, semoga diangkat."Sigap tangan Hanif bergerak mengetuk layar ponselnya sampai panggilan tadi tersambung. Tut... tut... tut... "Aku mohon angkat Ayunda, angkat..." Satu, dua kali dia merasa percuma menelepon, karena hasilnya tetap sama. "Ayunda tidak sedang dalam masalah kan?" Saat itu matanya terpejam, mencoba berpikir jernih. "Baik, aku akan coba sekali lagi." "Halo..." Hanif baru menghembus nafas lega, begitu panggilan itu tersambung. "Sayang, kamu tak apa?" tanya Hanif dengan tergesa. "Hanif, hari ini aku sangat sibuk, mengobrolnya nanti saja, bye!" "Tapi ...""Oh, aku lupa. Hanif, untuk sementara ini aku mungkin tak bisa pulang, jadi tolong jaga Leon baik