Sejak semalam Hanif mondar-mandir di depan pintu dengan gelisah, menunggu kehadiran sang istri yang belum pulang sampai sampai detik ini, jika kemarin dia tak membuat nasi soto, apa sekarang dia harus begitu juga? Waktunya sudah tekor karena itu, tapi yang lebih ia cemaskan kini hanya istrinya. "Aku coba telpon dia lagi, semoga diangkat."Sigap tangan Hanif bergerak mengetuk layar ponselnya sampai panggilan tadi tersambung. Tut... tut... tut... "Aku mohon angkat Ayunda, angkat..." Satu, dua kali dia merasa percuma menelepon, karena hasilnya tetap sama. "Ayunda tidak sedang dalam masalah kan?" Saat itu matanya terpejam, mencoba berpikir jernih. "Baik, aku akan coba sekali lagi." "Halo..." Hanif baru menghembus nafas lega, begitu panggilan itu tersambung. "Sayang, kamu tak apa?" tanya Hanif dengan tergesa. "Hanif, hari ini aku sangat sibuk, mengobrolnya nanti saja, bye!" "Tapi ...""Oh, aku lupa. Hanif, untuk sementara ini aku mungkin tak bisa pulang, jadi tolong jaga Leon baik
Oek... Oek..."Hanif, anakmu nangis tuh, emang ibunya nggak di rumah?" Pria itu hanya meringis ketika di tanyai salah seorang pelanggan yang berdiri dan akan belanja di tokonya. Meski sibuk mengemasi barang belanjaan para pelanggannya, Hanif menyempatkan diri menjawab seadanya. "Ayunda belakangan ini sibuk, dia dapat proyek iklan lagi, jadi di rumah cuma kami berdua.""Lalu ibu Jeanne?""Ibu jagain rumah lama, lagian dia juga sibuk ngurusin komunitas senamnya, jadi nggak bisa bantuin aku juga." Selesai mengemas semuanya, Hanif menata semua barang-barang itu di depan toko dan melanjutkan ucapannya. "Aku sudah biasa apa-apa sendirian kok Bu, jadi nggak masalah."Tangisan itu terdengar semakin keras, itu menarik perhatian semua pelanggan toko. "Hanif, lebih baik lihat dulu anakmu, kami akan tunggu di sini." Kesibukan Hanif, mengundang prihatin bagi mereka, ia baru menyadari bahwa semua tetangganya memiliki rasa manusiawi yang besar. Tanpa berpikir, Ia segera berlari menemui putranya ya
"Aku tak bisa terima itu!" Siapa yang akan membiarkan istrinya tinggal di luar selama beberapa bulan?Hanif jelas tak setuju dengan permintaan aneh istrinya."Hanif, apa belakangan ini aku meminta uang padamu? Apa kamu tahu semua keluhanku selama di luar? Meski kamu bertanya pun, aku juga tak ingin memberitahumu. Tapi, yang perlu kamu ketahui, sejak aku meninggalkan rumah kemarinnya lagi, aku sudah menghasilkan banyak uang, sementara jika hanya mengandalkan kamu..."Ayunda menarik nafas, dan tak ingin melanjutkan ucapannya, "Ayunda, tarik ucapanmu kembali! Bicaramu jangan keterlaluan, apa kamu lupa apa yang membuat hidup kita jadi begini? Kuharap kamu mengerti dengan roda perputaran ini." Hanif meraih tangan sang istri, berharap wanita itu akan berubah pikiran, namun Ayunda melepas genggamannya dengan kasar."Maaf Hanif, kurasa hubungan kita berakhir di sini saja, kurasa jalan terbaik adalah bercerai." Meski kata-katanya tidak kasar, tapi sangat menusuk. "Kamu kira semudah itu men
Hanif masih terpaku di teras tokonya, beberapa hari ini semangatnya mengendur, bahkan memasak untuk dirinya berdua Leon saja, terasa sangat malas. Di tengah keheningan situasi, rengekan ma nja putranya terdengar, gegas Hanif mengambil sikap dan mengendong Leon. "Dedek haus? Kita bikin susu dulu yuk!"Baru dia menginjakkan kakinya di dalam toko, ibu-ibu tetangga sebelah rumah datang. "Eh, Bu Monik, belanja apa hari ini?" tanya Hanif sedikit basa-basi."Sabun cuci, sama pengharum..." Wanita itu tiba-tiba diam, lalu memperhatikan anak yang masih dalam gendongan Hanif, "Anaknya baru bangun tidur?""Iya, Bu. Belakangan ini rewel sekali, keseringan nangis bikin badannya lemas." jelas Hanif sambil mengemas pesanan pelanggannya."Istri kamu ada nelpon nggak?" Hanif menghentikan aktivitasnya, lalu menyengir, mengingat masalah yang kemarin. "Ada kok, kadang dia juga datang jengukin Leon...""Kamu serius? Hanif, aku mau kas
Keluar dari ruangan itu, Aldi dan Anna sama-sama diam, dan fokus pada pikiran masing-masing. Mereka masuk ke satu mobil, dalam keheningan situasi, tiba-tiba Dessy mendehem, membuat semua mata mengarah padanya. "Aldi, kamu serius mau melamar Anna?" Pria itu menaikkan sebelah alisnya, melirik Anna sekilas, tanpa kesulitan. "Tentu saja..." "Bagaimana denganmu, Anna?" Wanita itu malah gugup dan memainkan ujung bajunya tanpa menjawab. "Sebenarnya ini terlalu mendadak, jujur aku masih belum siap..." Ekspresi Aldi langsung berubah, "Tak apa, lagipula ini belum lamaran resmi kan? Jadi, kamu masih bisa menjawabnya nanti, lagipula aku hanya ingin pastikan tentang perasaanmu saja." "Tapi aku masih bingung dengan perasaanku sendiri." Mendadak, Aldi menghentikan langkahnya. "Jadi, kamu tak setuju? Atau benar-benar tak punya perasaan apapun padaku?" "Bukan itu, tapi ..." "Katakan padaku, meski tidak menjamin, tapi setidaknya aku bisa mengatasi kendalamu." Anna terdiam dan menunduk, ia ba
"Jujur aku malah kasihan padanya..." Aldi dan Anna sama-sama menoleh kearah Dessy. "Kenapa?" "Kabarnya setelah perusahaannya bangkrut, ibunya membawa kabur dua anaknya Hanif." "Kan cucunya juga, ya pasti di kasih makan lah." sahut Aldi mengompori. Anna yang sedari tadi diam akhirnya berkomentar. "Tahu darimana kamu?" "Di internet banyak beredar, dan parahnya lagi Ayunda..." Dessy menggeleng dan mendecakkan lidahnya. "Dia semakin tidak beres saja." "Maksud kamu?" Anna mengernyit, "Dia udah jadi bintang PRN* gitu, ini benar-benar pekerjaan yang... Nauzubillah, mudah-mudahan semua keturunan aku terbebas dari hal semacam itu." Anna mulai kepo, dia sadar bahwa dirinya sekarang harus mendengar ghibahan temannya. Namun, dia harus mendapat informasi yang pas karena sudah terlanjur diberitahu. "Kamu tahu info banyak begini darimana sih?" Dessy melebarkan matanya kesal. "Aku lihat berita internet dong, belakangan dia dekat sama seorang sutradara, yang kalau nggak salah namanya..." Dess
"Ini dia pesanannya, kamu dapat bonus satu buah tas jinjing buatan Swiss edisi eksklusif."Dessy kembali muncul membawa 3 paket pesanan yang diminta pelanggannya, sementara keduanya mengobrol, Anna menjauhkan diri dari mereka.Dan itu karena ia sedang berbalas pesan dengan Aldi, sambil berjalan-jalan di sekitar apartemen dengan mata yang fokus menatap ponsel, tanpa melihat jalan. Brukk!Sayang sekali, Anna begitu teledor hingga dirinya menabrak seseorang, lalu terburu-buru membungkuk meminta maaf. "Tunggu!"Ia belum sempat melihat sosok yang ia tabrak, kebetulan orang itu hadapannya, rasanya orang ini tidak asing, Anna memberanikan diri menyentuh masker yang menutupi wajahnya dan membukanya dengan cepat. "Aldi?"Betapa kagetnya Anna saat melihat sang tunangannya kini berdiri di depannya sambil tersenyum. "Sejak kapan kamu di sini, bukannya tadi kita baru saja..." "Benar, ini kejutan bukan?" Diawal pria itu ingin m
"Percuma kamu bicara panjang lebar, Aldi, karena itu tidak akan berhasil. Aku sudah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri." Air mata kekecewaan Anna tumpah begitu saja tanpa pemberitahuan, ia tak percaya dengan kenyataan yang di lihat bahwa Aldi punya kekasih lain di luar sana, jika memang begitu, lalu apa arti pertunangan waktu itu? Perlahan tangannya menghapus jejak yang membekas di kedua pipi, bayangan saat Aldi berpelukan dengan seorang gadis belia, kembali melintas di kepalanya. 'Andai saat itu aku tak tiba di sana, mungkin saja mereka akan melakukan adegan yang dramatis di dalam lift." Namun, Anna kini tersenyum miring, "Ternyata, semua pria itu sama saja, selalu ada rahasia yang mereka simpan." Anna tak ingin lemah, mengotak-atik ponsel menjadi pilihan terbaiknya, hingga tanpa sadar sopir taksi menghentikan laju mobilnya secara tiba-tiba. "Maaf nona, kita sudah sampai." Tanpa ragu, Anna turun setelah membayar ongkos taksi. Langkahnya terasa berat masuk ke dalam. Namun t