Hanif masih terpaku di teras tokonya, beberapa hari ini semangatnya mengendur, bahkan memasak untuk dirinya berdua Leon saja, terasa sangat malas. Di tengah keheningan situasi, rengekan ma nja putranya terdengar, gegas Hanif mengambil sikap dan mengendong Leon. "Dedek haus? Kita bikin susu dulu yuk!"Baru dia menginjakkan kakinya di dalam toko, ibu-ibu tetangga sebelah rumah datang. "Eh, Bu Monik, belanja apa hari ini?" tanya Hanif sedikit basa-basi."Sabun cuci, sama pengharum..." Wanita itu tiba-tiba diam, lalu memperhatikan anak yang masih dalam gendongan Hanif, "Anaknya baru bangun tidur?""Iya, Bu. Belakangan ini rewel sekali, keseringan nangis bikin badannya lemas." jelas Hanif sambil mengemas pesanan pelanggannya."Istri kamu ada nelpon nggak?" Hanif menghentikan aktivitasnya, lalu menyengir, mengingat masalah yang kemarin. "Ada kok, kadang dia juga datang jengukin Leon...""Kamu serius? Hanif, aku mau kas
Keluar dari ruangan itu, Aldi dan Anna sama-sama diam, dan fokus pada pikiran masing-masing. Mereka masuk ke satu mobil, dalam keheningan situasi, tiba-tiba Dessy mendehem, membuat semua mata mengarah padanya. "Aldi, kamu serius mau melamar Anna?" Pria itu menaikkan sebelah alisnya, melirik Anna sekilas, tanpa kesulitan. "Tentu saja..." "Bagaimana denganmu, Anna?" Wanita itu malah gugup dan memainkan ujung bajunya tanpa menjawab. "Sebenarnya ini terlalu mendadak, jujur aku masih belum siap..." Ekspresi Aldi langsung berubah, "Tak apa, lagipula ini belum lamaran resmi kan? Jadi, kamu masih bisa menjawabnya nanti, lagipula aku hanya ingin pastikan tentang perasaanmu saja." "Tapi aku masih bingung dengan perasaanku sendiri." Mendadak, Aldi menghentikan langkahnya. "Jadi, kamu tak setuju? Atau benar-benar tak punya perasaan apapun padaku?" "Bukan itu, tapi ..." "Katakan padaku, meski tidak menjamin, tapi setidaknya aku bisa mengatasi kendalamu." Anna terdiam dan menunduk, ia ba
"Jujur aku malah kasihan padanya..." Aldi dan Anna sama-sama menoleh kearah Dessy. "Kenapa?" "Kabarnya setelah perusahaannya bangkrut, ibunya membawa kabur dua anaknya Hanif." "Kan cucunya juga, ya pasti di kasih makan lah." sahut Aldi mengompori. Anna yang sedari tadi diam akhirnya berkomentar. "Tahu darimana kamu?" "Di internet banyak beredar, dan parahnya lagi Ayunda..." Dessy menggeleng dan mendecakkan lidahnya. "Dia semakin tidak beres saja." "Maksud kamu?" Anna mengernyit, "Dia udah jadi bintang PRN* gitu, ini benar-benar pekerjaan yang... Nauzubillah, mudah-mudahan semua keturunan aku terbebas dari hal semacam itu." Anna mulai kepo, dia sadar bahwa dirinya sekarang harus mendengar ghibahan temannya. Namun, dia harus mendapat informasi yang pas karena sudah terlanjur diberitahu. "Kamu tahu info banyak begini darimana sih?" Dessy melebarkan matanya kesal. "Aku lihat berita internet dong, belakangan dia dekat sama seorang sutradara, yang kalau nggak salah namanya..." Dess
"Ini dia pesanannya, kamu dapat bonus satu buah tas jinjing buatan Swiss edisi eksklusif."Dessy kembali muncul membawa 3 paket pesanan yang diminta pelanggannya, sementara keduanya mengobrol, Anna menjauhkan diri dari mereka.Dan itu karena ia sedang berbalas pesan dengan Aldi, sambil berjalan-jalan di sekitar apartemen dengan mata yang fokus menatap ponsel, tanpa melihat jalan. Brukk!Sayang sekali, Anna begitu teledor hingga dirinya menabrak seseorang, lalu terburu-buru membungkuk meminta maaf. "Tunggu!"Ia belum sempat melihat sosok yang ia tabrak, kebetulan orang itu hadapannya, rasanya orang ini tidak asing, Anna memberanikan diri menyentuh masker yang menutupi wajahnya dan membukanya dengan cepat. "Aldi?"Betapa kagetnya Anna saat melihat sang tunangannya kini berdiri di depannya sambil tersenyum. "Sejak kapan kamu di sini, bukannya tadi kita baru saja..." "Benar, ini kejutan bukan?" Diawal pria itu ingin m
"Percuma kamu bicara panjang lebar, Aldi, karena itu tidak akan berhasil. Aku sudah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri." Air mata kekecewaan Anna tumpah begitu saja tanpa pemberitahuan, ia tak percaya dengan kenyataan yang di lihat bahwa Aldi punya kekasih lain di luar sana, jika memang begitu, lalu apa arti pertunangan waktu itu? Perlahan tangannya menghapus jejak yang membekas di kedua pipi, bayangan saat Aldi berpelukan dengan seorang gadis belia, kembali melintas di kepalanya. 'Andai saat itu aku tak tiba di sana, mungkin saja mereka akan melakukan adegan yang dramatis di dalam lift." Namun, Anna kini tersenyum miring, "Ternyata, semua pria itu sama saja, selalu ada rahasia yang mereka simpan." Anna tak ingin lemah, mengotak-atik ponsel menjadi pilihan terbaiknya, hingga tanpa sadar sopir taksi menghentikan laju mobilnya secara tiba-tiba. "Maaf nona, kita sudah sampai." Tanpa ragu, Anna turun setelah membayar ongkos taksi. Langkahnya terasa berat masuk ke dalam. Namun t
Acara makan selesai, Randy dan Dessy masih menonton acara tv, sementara Anna memilih duduk di ruang teras dan menyibukkan diri dengan ponselnya. "Anna..." Aldi ternyata juga menyusul ke sana, dan itu di sambut masam oleh Anna, diiringi satu pertanyaan yang menusuk. "Kenapa kamu melakukan itu?" Tanpa sadar suaranya agak serak, Aldi menggerakkan mulutnya mencoba menjelaskan. "Ini salah paham, aku sama sekali tak kenal dengan gadis itu, entah kenapa gadis begitu nekat..." Anna bisa melihat kejujuran dari matanya, namun hatinya masih sakit hingga sebuah kata terlontar begitu saja. "Untuk sekarang lebih baik kita tak usah bertemu dulu..." "Kenapa?" Aldi tak terima mendengar kalimat singkat yang seakan menghujam jantungnya, matanya menatap wajah Anna dengan nanar. Sedangkan Anna sengaja beralih pandang kearah lain, "Aku hanya ingin sendiri, jadi jangan ganggu aku dulu." Aldi mencoba mendekatinya, namun seketika dia menjauh. "Hanya karena masalah tadi?" Ekpresinya seakan itu masal
Jika saja Aldi tak melihat Anna berada dalam situasi bahaya, entah bagaimana nasibnya. Jadi, saat tangan Anna yang cekatan membersihkan luka kecil di wajahnya, pada waktu yang sama mereka berbaikan, hingga Aldi hampir saja menyentuh Anna sembarangan. "Astaga! Apa yang sedang aku pikirkan?" Aldi menggeleng, sambil beristighfar berkali-kali. Ia dan Anna jelas belum menjadi pasangan sah menurut agama, untungnya, Aldi bisa mengontrol nafsunya. Anna yang merasa tak nyaman bergegas pergi. "Maaf, Dessy pasti sudah menunggu lama." Aldi hanya bisa memperhatikan punggungnya dari belakang. "Cantik."Esoknya, Aldi kembali standbye di depan apartemen yang di tinggali Anna. "Ayo kita berangkat sekarang."Tanpa mengulur waktu, Anna mengikuti Aldi masuk ke mobil, hingga kendaraan itu melajukan perlahan dan berhenti di tempat parkiran, tepat di depan toko busana ekslusif yang di kelola Aldi. "Selamat pagi pak Aldi, Bu Anna..." Semua orang men
Anna mengalihkan pandangannya pada sosok bertopi koki warna putih yang muncul bersama chef lain, dengan celemek di tubuhnya.Itu… "Anna, itu Hanif yang kita kenal kan?" Anna memperhatikan sosok yang berdiri dengan malu-malu di atas panggung Benarkah itu dia? Dessy tak ingin kehilangan kesempatan, tangannya sigap memotret, tanpa peduli pengambilan gambar yang buram. "Jika benar, kenapa berita mengenai kehidupan pribadi lain Hanif tidak terpapar di sana."Anna tak berkomentar, dan tak berminat dengan itu. Tapi, salah satu tamu undangan tiba-tiba berdiri sambil mengangkat tangan. "Bisa lepaskan topi anda sebentar?" Ya, topi itu memang menutupi wajahnya, jadi orang-orang tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dan permintaan itu, membuat sang kepala koki terkejut, ia sedikit ragu. Namun, dia berpikir bagaimana caranya agar para tamu itu tidak tersinggung, sementara dia sudah membuat persetujuan dengan para sponsor agar dirinya ta