Selena sadar setelah merasakan hembusan angin dari jendela yang kebetulan terbuka lebar. Pandangannya mengarah keluar, melihat bangunan mewah dari tempat terbaring. "Di mana ini? Kenapa aku bisa melihat pemandangan kota dari atas?"
Wanita itu melihat ke sekitarnya untuk mengingat hal apa yang terjadi padanya barusan sambil berusaha duduk. "Aduh, kenapa tubuhku rasanya nyeri dan sakit sekali?"Meski lama berpikir, tapi Selena tidak bisa mengingatnya. Dia juga baru sadar, bahwa sebagian tubuhnya kini tertutupi selimut. Tiba-tiba dia ingat dengan ponselnya, matanya mencari benda itu dan berhenti ketika melihat tas miliknya di atas nakas. "Itu tasku!"Tetapi, tanpa diduga dua kakinya terasa kebas saat ingin mengambil benda sebesar buku tulis berbahan kulit itu disana. Selena menggigit bibirnya, tubuhnya sangat gemetar karena cemas. "Apakah kemarin Raffaele…"Selena menggeleng, lalu menarik selimut tadi dan kembali menutup kepalanya rapat-rapat. DanBeberapa orang satpam menarik Selena dengan paksa keluar dari gedung rumah sakit. Dia menghela nafas berat, kemudian berbalik dan mendapati sosok Raffaele berdiri di depannya "Kenapa lama sekali?" ujarnya berkata dengan kesal. "Pergilah, kau tak usah ikut campur masalah ini." Kata-kata Selena agaknya membuat Raffaele tersinggung. "Kau bilang ini bukan urusanku? Huh! Kau saja yang terlalu membela Dharma, tapi dirimu bahkan tak di hargai..." "Dharma bukan orang seperti itu..." tegas Selena dengan wajah dingin. "Cukup!" bentak Raffaele setelah beberapa saat, "Apalagi yang pertahankan darinya? Uang? Pangkat? Jabatan?" Raffaelle mendengus. "Bukankah semuanya sudah lenyap? Tim auditor, sudah melepas jabatannya bukan? Pria itu sudah bangkrut, tahukah kau bahwa selama ini Dharma telah memberi nafkahmu dengan uang hasil penggelapan dana?" Mengatakan itu Raffaele menatap Selena dengan mata merah. Keadaan
"Mama ...."Ayunda yang baru saja membuka pintu masuk rumahnya, langsung berlari saat mendengar suara putranya menjerit. “Arlis, sayang, kamu kenapa nak? Kamu sakit?" sebagai ibu, Ayunda jelas langsung berlari mendatangi putranya dengan raut cemas. "Perutku terasa sangat sakit..." Meski bicaranya belum jelas, tapi pemuda kecil itu meringis sambil memegang perutnya."Kamu sudah makan? Atau jangan-jangan karena ingin pup'?" Pemuda kecil bernama Arlis itu mengeleng. Ayunda melihat sepasang mata milik pangeran kecilnya memerah karena menahan sakit. "Kalau begitu kita coba minum antibiotik, kamu tunggu disini sebentar, mama akan ambil kotak P3K." Ketika Ayunda ingin bergerak pergi, tapi saat ingin pergi, langkah Ayunda dicegat oleh Randy.“Kenapa kau menghalangiku? Kau tak lihat putraku kesakitan?” Ayunda berkat dengan ketus saat dirinya tak dibiarkan mengetahui masalah putranya sendiri. "Diamlah!" potong Randy. "Anakmu baik-baik saja."'Benarkah keadaannya baik? lalu kenapa dia menan
"Aku sudah mentransfernya." Randy langsung memutus panggilannya, kemudian menyeringai memasang tampang penuh misteri. "Bukankah sudah kubilang, semuanya bisa kulakukan tanpa mengotori tanganku." Kemudian dia berdiri, dan keluar dari tempat kerjanya setelah melirik jam dinding sekilas.Pria itu merubah rautnya yang menakutkan tadi, ketika bertemu dengan pegawai kantor saat melihatnya keluar melewati kumpulan orang-orang itu. Tampak jelas, pria itu bermuka dua dan raut kepura-puraan itu di tujukan di depan istrinya."Ketua, ponsel anda kembali berbunyi." Seorang staf memberikan ponsel smartphone yang tadinya di biarkan tergeletak di meja kerjanya.Randy menghentikan langkahnya, kemudian menerima ponsel dan menjawab panggilan tersebut. "Halo…""Randy, bisa tolong datang ke kantor polisi sekarang, aku baru saja di interogasi di sini.""Maaf, aku sedang dalam suasana hati yang buruk sekarang, kuharap kamu tidak sedang membuat ma
"Permisi, bisakah saya melihat tas yang di etalase itu? Saya akan membelikannya untuk istri saya." Aldi menunjuk sebuah tas merk branded edisi terbatas di sebuah toko dalam mall pusat kota."Oh itu, baiklah. Tunggu sebentar, saya akan ambilkan." sahut pemilik toko berjilbab yang bergerak cepat meraih barang yang di tunjuk Aldi. "Ini pak, harganya ada pada label."Aldi memperhatikan label harga yang terpasang pada merk bagian depan, sungguh itu barang mewah dan mahal. " tersenyum memandangi barang. "Baiklah, tolong bungkuskan."Dengan cepat pelayan itu bergerak saja. "Terima kasih."Pelayan itu tersenyum pada pelanggannya dengan sopan. Raffaele berjalan keluar dari tempat itu dengan bangga, dia langsung melajukan mobilnya untuk kembali pulang. Namun, di jalan matanya tak sengaja melihat seorang wanita mengobrol dengan pria yang tak asing. "Bukankah itu..."***"Ohhh." Anna membulatkan mulutnya saat mereka mengobrol dan mulai tak canggung lagi dengan situasi. "Hanya itukah?" tanyanya m
"Aldi, Aldi ... kenapa kamu tidur disini?" teriakan itu membuat Aldi kaget dan langsung terbangun. Pria itu mengucek matanya beberapa kali. "Ternyata tadi aku cuma mimpi." "Kamu benar Aldi kan?" Wanita itu mengulangi pertanyaannya, pandangannya terarah lurus pada wajah sosok pria di hadapannya."Ya, bagaimana kamu tahu namaku..." "Halen, mungkin kamu tidak ingat. Di masa lalu kamu menolongku dari bully an para kakak senior waktu sekolah menengah..." "Ya, aku ingat. Itu sudah lama sekali." "Syukurlah, kukira kamu tidak mengenalku sama sekali. Tapi, ngomong-ngomong, kamu kenapa?" Sebisa mungkin dia menahan gugupnya, sambil mencoba mencari alasan. "Ah, aku hanya sedikit pusing saja. Bukan masalah besar..." "Yakin nggak apa-apa? Di sana ada apotik, nanti singgah saja ke sana dan belilah obat sebelum pulang."Hanya tawa yang lepas sebagai jawaban, Aldi terlihat santai seakan sedang tidak menyimpan beban. "
"Shit!" Aldi mengumpat begitu ia terbangun, kepalanya berdenyut pusing. Ketika sudah kembali sadar, pria itu melihat seorang wanita di yang masih terbaring di sebelahnya. Punggung polos yang mengg0da itu terlihat hingga dia terus mengucek matanya agar pandangannya menajam. "Tidak, rambut Anna bukan warna coklat, ini bukan Anna." Mendengar helaan nafas, wanita itu berbalik dan Aldi langsung terkejut. "H-Halen? J-jadi, semalam aku melakukan itu bersamanya..."'Tidak! Tidak mungkin!' Aldi menggeleng cepat sambil beringsut mundur sambil memperbaiki pakaiannya, ia menatap Halen dengan wajah pucat. "Ada apa?" Wanita itu bangkit sambil menutupi tubuh polosnya dengan selimut."Aku tak tahu apa yang kamu pikirkan, tapi apa kamu sengaja memberiku obat agar bisa tidur denganku?" Mendapat tuduhan itu, raut muka Halen berubah. "Apa? Kenapa kamu membalikkan fakta ini padaku? Harusnya kamu sadar diri dengan ulah tubuhmu!" sahutnya dengan nada ketus.Aldi memijat pelipisnya beberapa kali, 'Ya tuh
Aldi terdiam melihat tatapan Anna yang tajam seakan siap menusuknya kapan saja, dia sepertinya sedang dijebak. Namun dia berusaha menjelaskan ini. "Anna, aku..." Aldi mencoba berbicara, tenggorokannya seolah tercekat."Jangan bohong lagi!" Anna tersentak. "Kamu dan wanita itu sudah bermal4m bersama di hotel, bukan?"Wajah Aldi pucat pasi. "Ti-tidak, darimana kamu tahu itu?"Anna tersenyum sinis. "Lihat, kamu sendiri gugup kan? Aku jelas tahu semuanya dari seseorang. Awalnya aku tak percaya saat orang itu menceritakan semuanya, tapi aku tidak sangka kamu akan..." Sebagai istri dia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Anna, aku benar-benar tidak tahu akan hal ini, aku dijebak, ada orang yang ingin memfitnahku Anna... aku hanya... ""Hanya apa?" tanya Anna, suaranya dingin. "Kamu sudah melakukannya dengan wanita itu bukan?" Aldi tak bisa menyangkalnya lagi, lagipula dia sudah seperti ini, dia bahkan tidak tahu cara membangun kepercayaan Anna lagi pada dirinya. "Maafkan aku
"Anna, ini surat cerainya, kamu tinggal tanda tangani lalu status kita bukan pasangan suami-isteri lagi."Anna terkejut ketika berkas dengan map coklat di lemparkan di hadapannya. Wanita yang berstatus sebagai guru honorer itu membuka dan memperhatikan lembaran demi lembaran dokumen, mencari kolom nama untuk dia tandatangani.Pertengkaran semalam membuat hubungannya di ujung tanduk. Tak dapat di pungkiri, raut wajahnya melemas, dan sanggup berkata apapun.Semudah itukah suaminya memberikan surat cerai? Ah, Anna tak habis pikir, jika tahu begitu, lebih baik semalam dia tidak pulang. Pandangan Anna beralih menatap wajah sang suami yang dalam hitungan detik lagi resmi menjadi mantannya. Sungguh, Anna ingin memastikan, apakah sosok pria yang bernama Hanif itu tak menyisakan perasaan pagi untuknya?Tanpa sadar, wanita kelahiran Kota Malang itu telah menunda proses penandatanganan surat cerainya, hingga sebuah teguran datang. "Anna, kamu kesulitan?" Pertanyaan itu membuatnya terkesima, ja
Aldi terdiam melihat tatapan Anna yang tajam seakan siap menusuknya kapan saja, dia sepertinya sedang dijebak. Namun dia berusaha menjelaskan ini. "Anna, aku..." Aldi mencoba berbicara, tenggorokannya seolah tercekat."Jangan bohong lagi!" Anna tersentak. "Kamu dan wanita itu sudah bermal4m bersama di hotel, bukan?"Wajah Aldi pucat pasi. "Ti-tidak, darimana kamu tahu itu?"Anna tersenyum sinis. "Lihat, kamu sendiri gugup kan? Aku jelas tahu semuanya dari seseorang. Awalnya aku tak percaya saat orang itu menceritakan semuanya, tapi aku tidak sangka kamu akan..." Sebagai istri dia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Anna, aku benar-benar tidak tahu akan hal ini, aku dijebak, ada orang yang ingin memfitnahku Anna... aku hanya... ""Hanya apa?" tanya Anna, suaranya dingin. "Kamu sudah melakukannya dengan wanita itu bukan?" Aldi tak bisa menyangkalnya lagi, lagipula dia sudah seperti ini, dia bahkan tidak tahu cara membangun kepercayaan Anna lagi pada dirinya. "Maafkan aku
"Shit!" Aldi mengumpat begitu ia terbangun, kepalanya berdenyut pusing. Ketika sudah kembali sadar, pria itu melihat seorang wanita di yang masih terbaring di sebelahnya. Punggung polos yang mengg0da itu terlihat hingga dia terus mengucek matanya agar pandangannya menajam. "Tidak, rambut Anna bukan warna coklat, ini bukan Anna." Mendengar helaan nafas, wanita itu berbalik dan Aldi langsung terkejut. "H-Halen? J-jadi, semalam aku melakukan itu bersamanya..."'Tidak! Tidak mungkin!' Aldi menggeleng cepat sambil beringsut mundur sambil memperbaiki pakaiannya, ia menatap Halen dengan wajah pucat. "Ada apa?" Wanita itu bangkit sambil menutupi tubuh polosnya dengan selimut."Aku tak tahu apa yang kamu pikirkan, tapi apa kamu sengaja memberiku obat agar bisa tidur denganku?" Mendapat tuduhan itu, raut muka Halen berubah. "Apa? Kenapa kamu membalikkan fakta ini padaku? Harusnya kamu sadar diri dengan ulah tubuhmu!" sahutnya dengan nada ketus.Aldi memijat pelipisnya beberapa kali, 'Ya tuh
"Aldi, Aldi ... kenapa kamu tidur disini?" teriakan itu membuat Aldi kaget dan langsung terbangun. Pria itu mengucek matanya beberapa kali. "Ternyata tadi aku cuma mimpi." "Kamu benar Aldi kan?" Wanita itu mengulangi pertanyaannya, pandangannya terarah lurus pada wajah sosok pria di hadapannya."Ya, bagaimana kamu tahu namaku..." "Halen, mungkin kamu tidak ingat. Di masa lalu kamu menolongku dari bully an para kakak senior waktu sekolah menengah..." "Ya, aku ingat. Itu sudah lama sekali." "Syukurlah, kukira kamu tidak mengenalku sama sekali. Tapi, ngomong-ngomong, kamu kenapa?" Sebisa mungkin dia menahan gugupnya, sambil mencoba mencari alasan. "Ah, aku hanya sedikit pusing saja. Bukan masalah besar..." "Yakin nggak apa-apa? Di sana ada apotik, nanti singgah saja ke sana dan belilah obat sebelum pulang."Hanya tawa yang lepas sebagai jawaban, Aldi terlihat santai seakan sedang tidak menyimpan beban. "
"Permisi, bisakah saya melihat tas yang di etalase itu? Saya akan membelikannya untuk istri saya." Aldi menunjuk sebuah tas merk branded edisi terbatas di sebuah toko dalam mall pusat kota."Oh itu, baiklah. Tunggu sebentar, saya akan ambilkan." sahut pemilik toko berjilbab yang bergerak cepat meraih barang yang di tunjuk Aldi. "Ini pak, harganya ada pada label."Aldi memperhatikan label harga yang terpasang pada merk bagian depan, sungguh itu barang mewah dan mahal. " tersenyum memandangi barang. "Baiklah, tolong bungkuskan."Dengan cepat pelayan itu bergerak saja. "Terima kasih."Pelayan itu tersenyum pada pelanggannya dengan sopan. Raffaele berjalan keluar dari tempat itu dengan bangga, dia langsung melajukan mobilnya untuk kembali pulang. Namun, di jalan matanya tak sengaja melihat seorang wanita mengobrol dengan pria yang tak asing. "Bukankah itu..."***"Ohhh." Anna membulatkan mulutnya saat mereka mengobrol dan mulai tak canggung lagi dengan situasi. "Hanya itukah?" tanyanya m
"Aku sudah mentransfernya." Randy langsung memutus panggilannya, kemudian menyeringai memasang tampang penuh misteri. "Bukankah sudah kubilang, semuanya bisa kulakukan tanpa mengotori tanganku." Kemudian dia berdiri, dan keluar dari tempat kerjanya setelah melirik jam dinding sekilas.Pria itu merubah rautnya yang menakutkan tadi, ketika bertemu dengan pegawai kantor saat melihatnya keluar melewati kumpulan orang-orang itu. Tampak jelas, pria itu bermuka dua dan raut kepura-puraan itu di tujukan di depan istrinya."Ketua, ponsel anda kembali berbunyi." Seorang staf memberikan ponsel smartphone yang tadinya di biarkan tergeletak di meja kerjanya.Randy menghentikan langkahnya, kemudian menerima ponsel dan menjawab panggilan tersebut. "Halo…""Randy, bisa tolong datang ke kantor polisi sekarang, aku baru saja di interogasi di sini.""Maaf, aku sedang dalam suasana hati yang buruk sekarang, kuharap kamu tidak sedang membuat ma
"Mama ...."Ayunda yang baru saja membuka pintu masuk rumahnya, langsung berlari saat mendengar suara putranya menjerit. “Arlis, sayang, kamu kenapa nak? Kamu sakit?" sebagai ibu, Ayunda jelas langsung berlari mendatangi putranya dengan raut cemas. "Perutku terasa sangat sakit..." Meski bicaranya belum jelas, tapi pemuda kecil itu meringis sambil memegang perutnya."Kamu sudah makan? Atau jangan-jangan karena ingin pup'?" Pemuda kecil bernama Arlis itu mengeleng. Ayunda melihat sepasang mata milik pangeran kecilnya memerah karena menahan sakit. "Kalau begitu kita coba minum antibiotik, kamu tunggu disini sebentar, mama akan ambil kotak P3K." Ketika Ayunda ingin bergerak pergi, tapi saat ingin pergi, langkah Ayunda dicegat oleh Randy.“Kenapa kau menghalangiku? Kau tak lihat putraku kesakitan?” Ayunda berkat dengan ketus saat dirinya tak dibiarkan mengetahui masalah putranya sendiri. "Diamlah!" potong Randy. "Anakmu baik-baik saja."'Benarkah keadaannya baik? lalu kenapa dia menan
Beberapa orang satpam menarik Selena dengan paksa keluar dari gedung rumah sakit. Dia menghela nafas berat, kemudian berbalik dan mendapati sosok Raffaele berdiri di depannya "Kenapa lama sekali?" ujarnya berkata dengan kesal. "Pergilah, kau tak usah ikut campur masalah ini." Kata-kata Selena agaknya membuat Raffaele tersinggung. "Kau bilang ini bukan urusanku? Huh! Kau saja yang terlalu membela Dharma, tapi dirimu bahkan tak di hargai..." "Dharma bukan orang seperti itu..." tegas Selena dengan wajah dingin. "Cukup!" bentak Raffaele setelah beberapa saat, "Apalagi yang pertahankan darinya? Uang? Pangkat? Jabatan?" Raffaelle mendengus. "Bukankah semuanya sudah lenyap? Tim auditor, sudah melepas jabatannya bukan? Pria itu sudah bangkrut, tahukah kau bahwa selama ini Dharma telah memberi nafkahmu dengan uang hasil penggelapan dana?" Mengatakan itu Raffaele menatap Selena dengan mata merah. Keadaan
Selena sadar setelah merasakan hembusan angin dari jendela yang kebetulan terbuka lebar. Pandangannya mengarah keluar, melihat bangunan mewah dari tempat terbaring. "Di mana ini? Kenapa aku bisa melihat pemandangan kota dari atas?" Wanita itu melihat ke sekitarnya untuk mengingat hal apa yang terjadi padanya barusan sambil berusaha duduk. "Aduh, kenapa tubuhku rasanya nyeri dan sakit sekali?"Meski lama berpikir, tapi Selena tidak bisa mengingatnya. Dia juga baru sadar, bahwa sebagian tubuhnya kini tertutupi selimut. Tiba-tiba dia ingat dengan ponselnya, matanya mencari benda itu dan berhenti ketika melihat tas miliknya di atas nakas. "Itu tasku!"Tetapi, tanpa diduga dua kakinya terasa kebas saat ingin mengambil benda sebesar buku tulis berbahan kulit itu disana. Selena menggigit bibirnya, tubuhnya sangat gemetar karena cemas. "Apakah kemarin Raffaele…"Selena menggeleng, lalu menarik selimut tadi dan kembali menutup kepalanya rapat-rapat. Dan
"Itu tak ada hubungannya denganku, bibi selesaikan saja sendiri." Aldi lalu melenggang pergi dari sana berbicara lagi."Pamanmu sekarang bangkrut, seluruh saldo rekeningnya terkuras habis secara mendadak..."Langkah Aldi terpaksa berhenti demi menanggapinya, "Itu sudah pasti karena dia membagikannya pada wanita yang dikencaninya..." "Bibi tahu itu, tapi pada dasarnya pamanmu punya uang yang banyak, dan kali ini dia benar-benar di jebak seseorang. Dan sekarang, ada banyak karyawan yang menuntut gaji mereka, bibi tidak tahu cara mengatasinya, sedangkan pamanmu sudah diberhentikan oleh dewan direksi." Wanita itu menjelaskan dengan nada sayu.Aldi menarik nafasnya, bahkan tanpa berbalik sedikitpun dia berkata. "Biarkan paman merasakan akibat perbuatannya, jika tak ada hal lain, aku pergi. Pekerjaanku masih banyak." "Kenapa kamu begitu egois, Aldi?"Wanita usia 40 puluhan itu akhirnya pergi setelah kalah bertengkar mulut dengan